Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 180: Mengambil Inisiatif (2)
Jadwal mereka pergi menaiki truk makanan adalah tepat setelah makan siang. Lokasinya berada di Hollywood. Karena keramaian terfokus di area ini sepanjang hari, perhitungan Rachel, lokasi ini akan menjadi tempat terbaik untuk ajang mencicipi. Rose Island sangat terkenal hingga tidak perlu pemasaran, tetapi alih-alih aktif di benak orang-orang, Rose Island masih berada di sudut memori mereka, dan itu dua hal yang berbeda.
Dengan mempunyai banyak sekali orang-orang yang perlu bergerak, truk makanan tidaklah cukup. Justin ada di belakang kemudi, sementara chef demi dan chef preparasi semuanya di dalam van. Tidak heran bahwa chef preparasi gugup dan tidak bisa berkata apa-apa. Namun, chef demi merasa gugup dengan alasan yang berbeda, mereka juga tidak banyak mengobrol.
Di tengah keheningan, Jo Minjoon melihat ke ponselnya.
#Kita sekarang menuju Hollywood.
Kita berencana melakukan ajang mencicipi gastronomi molekuler.
Kami mengundang semua orang yang tertarik untuk datang memeriksa. Lokasinya adalah…
Maya Patel: Gastronomi molekuler? Tampaknya jaman sekarang jarang menemukan restoran mewah yang tidak menyajikan gastronomi molekuler.
└ Kylee Wilson : Meskipun perlakuan gastronomi molekuler sangat berbeda dari masakan tadisional, ini sungguh soal perlakuan memasak dengan sains. Jadi, jika ingin kaku dalam hal ini, secara teknis semua masakan adalah gastronomi molekuler.
Ravin May : Selamat, Minjoon. Aku penasaran kapan ini akan terjadi, tapi akhirnya kau menjadikan Kaya sebagai pacarmu. Jadi, kapan kalian akan menikah?
└ Jo Minjoon [1] : Aku masih 21 tahun, masih…terlalu dini untuk memikirkan tentang pernikahan.
└ Kaya Lotus : @Jo Minjoon Jadi begitu perasaanmu?
└ Jo Minjoon : @Kaya Lotus ······ Bagaimana kau bisa melihat medsos saat ini?
Kotak komentar yang damai tiba-tiba membeku. Jo Minjoon melihat layar dengan ekspresi gugup. Tetapi Kaya tidak merespon. Ketika dia menyegarkan laman karena penasaran, dia hanya melihat komentar-komentar dari orang lain.
Ravin May : Apa aku baru saja menyulut api di antara mereka?
└ Jasmyn Osburn : Sepertinya begitu.
└ Anderson Russo : Terima kasih. Terima kasih banyak.
Jo Minjoon melihat ke samping tanpa berkata apa-apa. Anderson tidak membuat kontak mata dengan Minjoon, dia hanya menatap layar ponselnya. Jo Minjoon bertanya dengan suara pelan.
“Apa kau ingin mengatakan sesuatu?”
“Tidak.”
“Apa ada yang salah?”
“Ti, tidak ada.”
Mendengar pertanyaan Javier, Jo Minjoon menggelengkan kepala perlahan. Barangkali Javier tidak menginginkan keheningan yang lalu kembali lagi, dia buru-buru memulai obrolan.
“Omong-omong, aku gugup dan juga penuh antisipasi. Jika ini Hollywood, mungkin beberapa selebriti akan muncul sebagai pelanggan.”
“Meskipun kita tidak ke Hollywood, ketika nanti restoran buka, kita akan menerima reservasi banyak sekali. Aku yakin di antaranya, juga ada banyak selebriti.”
“Bahkan Obama mungkin datang.”
Mendengar respon Minjoon, chef demi dan chef preparasi, semuanya tertawa. Hanya Anderson yang mengaguk-angguk dengan pasrah.
“Itu akan jadi pertanyaan kapan dia datang. Aku yakin beliau akan datang. Selama beliau bisa melewati dan membuat reservasi.”
“Bukankah biasanya restoran memberi perlakuan spesial pada VIP seperti mereka?”
“Guru Rachel terkenal karena tidak melakukan hal semacam itu. Sejujurnya, ketika kau selevel guru Rachel, tidak ada untungnya melakukan itu. Restoran memberikan perlakuan istimewa pada selebriti untuk pemasaran, tetapi Rose Island tidak membutuhkan pemasaran. Aku yakin ini soal masalah pribadi, untuk memperlakukan mereka di samping, di bagian luar restoran, hal ini mungkin saja…”
Sebuah restoran yang bahkan seorang presiden Amerika Serikat juga harus menunggu dalam antrian. Dia merasa seperti menjadi anggota dapur yang memberinya sensasi kebanggaan. Mungkin alasan murid-murid Rachel terus berada di bawah merek ‘Rose Island’ yaitu meskipun mereka adalah raksasa dalam industri ini…… barangkali rasa bangga semacam itu memainkan faktor besar.
“Aku ingin membuka semacam cabang Rose Island di masa depan.”
Di saat membicarakan hal-hal semacam ini, spontan ada yang menanggapinya sebagai berikut. Jikalau ada masalah, orang yang mengutarakan tanggapan itulah penyebabnya. Antonio melihat kursi supir dengan ekspresi syok.
“Justin, kau hanya chef magang. Kau belum bisa mengatakan hal itu.”
“Hei!”
Sebelum Justin menjawab, Janet melihat Antonio dengan tatapan dingin. Antonio memasang ekspresi bersalah.
“I, iya?”
“Memangnya kau siapa melarang seseorang untuk bermimpi? Memangnya chef magang tidak boleh mengutarakan impian di masa depannya? Apa mereka tidak punya hak untuk mengatakannya?”
“Ti, tidak, bukan seperti itu…”
“Tentu seperti itu. Lalu apa yang kau pikirkan saat kau memasak? Bukankah mempunyai dapur sendiri di masa depan dan punya restoran sendiri? Tetapi kau mengatakan padanya karena dia masih magang, dia tidak bisa bermimpi seperti itu. Terlalu dini. Itu yang baru saja kau katakan.”
“Chef, aku baik-baik saja.”
Melihat suasana berubah tegang, Justin membuka suara untuk menenangkan Janet. Janet menoleh untuk menatap Justin. Tatapannya tajam dan galak.
“Kau baik-baik saja?”
“Iya. Chef Antonio baru saja bilang dia hanya bercanda…”
“Jadi kau tidak masalah impianmu jadi bahan lelucon?”
Justin tidak bisa merespon pertanyaan itu dengan mudah. Janet melihat mereka seolah membenci mereka. Jo Minjoon meletakkan tangannya pada bahu Janet lalu dia berkata dengan nada tenang.
“Janet. Aku paham dari mana kau mulai memasak, tapi jangan menghakimi mereka seperti itu. Aku yakin Antonio tidak sungguh-sungguh saat mengatakan itu.”
“…Aku paham, jadi singkirkan tanganmu. Aku biasa saja.”
Jo Minjoon menarik tangannya kemudian memberikan sinyal melalui matanya pada Antonio. Syukurlah, Antonio paham dan buru-buru mengatakan.
“Maaf. Aku tak akan membuat impian seseorang jadi bahan lelucon lagi.”
“Kenapa kau meminta maaf padaku?”
“Oh. Iya. Maaf, Justin.”
“Tidak apa-apa.”
“Aku senang ini berakhir baik.” celetuk Javier sambil menyeringai culas. Jo Minjoon mengangguk.
“Janet itu baik. Dia menjaga anggota paling muda dengan cara seperti itu.”
Janet melihat Jo Minjoon dengan tatapan ‘kau ngomong apa sih!’, lalu menutup mulutnya. Jika dia merespon, dialah yang akan tampak bodoh. Chef preprasi yang berada di belakang mulai berbisik-bisik pelan.
“Baik?”
“Serius?”
“Aku tidak pernah tahu ada orang yang menyebut Janet baik. Khususnya pada situasi seperti ini.”
“Mari kita maklumi saja. Lagipula Chef Minjoon adalah pacar Kaya.”
Mendengar kalimat terakhir, mereka semua mengangguk setuju.
Mereka segera tiba di tujuan mereka, yaitu di depan gedung teater Hollywood. Pada saat Jo Minjoon dan Anderson keluar dari mobil, seolah telah ditungu-tunggu, sekelompok orang mulai mengerubungi mereka. Suara mereka sontak meledak seperti gemuruh.
“Anderson! Boleh aku berswafoto denganmu?”
“Minjoon, selamat yaa akhirnya berkencan dengan Kaya!”
“Bolehkah aku meminta tanda tanganmu?”
Mau tak mau, Jo Minjoon dan Anderson tersapu oleh momentum itu. Mereka berfoto dengan ekspresi gugup, melambaikan tangan, dan memberikan tanda tangan. Mereka berterima kasih bahwa tidak terlalu banyak orang.
Melihat mereka berdua memberikan tanda tangan pada penggemar, yang lain hanya menonton tanpa berkata apa-apa. Javier bergumam seolah gugup.
“Aku sebaiknya ikut Grand Chef juga. Lalu aku akan punya fanns seperti mereka.”
“Aku yakin, tidak hanya satu atau dua hari, tetapi sepanjang waktu orang-orang akan mengerubungi mereka. Aku tidak suka. Aku lebih suka keheningan.”
“Iya. Itu sangat cocok denganmu.”
Javier tertawa mendengar Janet. Kemudian dia melihat ke arah para chef preparasi. Gerrick bergumam seolah akhirnya ini terasa nyata.
“Mereka berdua layak menjadi selebriti.”
“Aku yakin ini hanya soal waktu sebelum mereka menjadi chef bintang. Mereka sudah mendapat pengakuan.”
“Keren.”
“Kalian berempat yang di sana. Berhentilah memandangi mereka, ayo kemari. Ayo mempersiapkan dapurnya.”
“Oh, Iya. Chef.”
Mendengar perintah Javier, chef preparasi segera mendekat. Berkat itu, barulah Jo Minjoon dan Anderson berhasil keluar dari baptisan penggemar yang tak terduga. Truk makanan telah selesai disiapkan. Jo Minjoon buru-buru memeriksa pasta jeli yang ada di lemari es di dalam truk. Kondisinya tampak bagus. Jo Minjoon melihat Gerrick yang berdiri di sebelahnya dan berkata.
“Tolong kerjakan dengan baik seperti saat latihan. Aku percaya padamu.”
“Iya, chef!”
Ada alasan sederhana Minjoon mengatakan itu pada Gerrick. Untuk misi mencicipi ini, chef demi sebenarnya tidak memasak, tetapi menyajikan makanan mereka dan menjelaskan hidangan mereka.
Tetapi karena hidangan Minjoon butuh bebrapa sentuhan tambahan, dia memilih Gerrick sebagai asistennya. Hal itu karena performa Gerrick yang terbaik pada saat audisi. Karena chef demi lainnya tidak butuh bantuan chef preparasi, tidak ada yang peduli Minjoon merekrut Gerrick.
“Ayo kita periksa untuk yang terakhir kalinya. Kau bisa menyajikan ravioli seperti ini saja. seperti spaghetti dengan kacang tumbuk, jangan menumbuk kacang sampai tepat sebelum kau menyajikannya. Begitu bola daging mulai hangat, potong-potong dan letakkan di atas lasagna. Jangan lupa untuk membumbui secukupnya. Jeli lasagna sudah terbumbui di awal. Paham?”
“Iya, chef! Jangan khawatir. Aku berlatih semalaman.”
“Benarkah? tapi kau tidak punya lingkar hitam di bawah matamu? Kau tampak baik-baik saja.”
“Aku punya stamina yang bagus.”
Jo Minjoon tersenyum sambil menepuk bahu Gerrick.
“Baiklah. Aku serahkan padamu.”
Mungkin kebetulan atau mungkin itu perlu, semua chef demi menggunakan teknik gastronomi molekuler yang berbeda. Javier membuat saus busa kopi dengan anglaise krim saffron, dan Janet memperbaiki film ravioli yang sebelumnya sebagai hidangan finalnya. Sedangkan Anderson, dia mencampurkan putih telur dengan air, lalu memasaknya menggunakan microwave, dengan krim lemon yang terbuat dari saus bubuk broccolini.
Dengan hanya memppunyai 10 hari untuk bersiap, hasilnya sangat lumayan. Mungkin itulah kenapa, Rafael dan Rachel, yang sedang berdiri di depan kerumunan, merasa lebih percaya diri dan bersemangat untuk mereka berempat lebih dari biasanya. Rachel melantangkan suaranya.
“Terima kasih telah bergabung dengan kami hari ini untuk ajang mencicipi Rose Island. Hidangan yang pertama akan kalian coba adalah hasil kerja chef demi yang telah menghabiskan 10 hari persiapan. Setelah itu, kami akan memberi kalian es krim molekuler buatan Rafael.”
“Jika kalian tetap duduk di kursi kalian, chef demi akan mendatangi kalian dan menjelaskan hidangan mereka. Mohon bersabar menunggu.”
Sementara Rafael dan Rachel menjelaskan misi mencicipi, Anderson memperhatikan kerumunan. Dia melihat wajah-wajah yang familier. Dia berbisik pelan pada Jo Minjoon.
“Kau lihat kakek berambut putih yang disebelah sana?”
“Iya. Kenapa?”
“Dia menjalankan restoran bintang satu di pusat kota. Wanita asia dengan gaya riasan ala China, dia adalah pemilik restoran bintang dua.”
“…Apa mereka datang untuk memata-matai kita?”
“Sejujurnya, kita berkerja dengan baik pun tidak akan berdampak pada penjualan mereka, aku yakin itu ada dalam benak mereka. Ini kembalinya seorang legenda. Bahkan setelah menutup pintunya, Rose Island terpilih sebagai restoran yang merepresentasikan LA, dan mereka semua berusaha merebut posisi itu. Di luar penjualan, ini soal popularitas.”
Jo Minjoon mengangguk. Untuk disebut yang terbaik, itu hal yang menarik, tidak peduli di dunia mana kita berada.
Penyajian dimulai. Syukurlah, Gerrick mengerjakan sesuai ekspektasi Jo Minjoon. Setiap kali piring persegi dengan tiga jenis pasta lewat, orang-orang terpukai melihatnya.
“Ini menakjubkan. Bukankah kau bilang kau baru memulai gastronomi molekuler baru-baru ini?”
“Meskipun saya mulai mengerjakan gastronomi molekuler baru-baru ini, saya sudah memasak sejak lama. Saya ingin bersikap sederhana dan mengatakan saya masih agak kurang, tapi rasanya aneh mengatakan itu kepada pelanggan. Silakan dinikmati.”
“Bagimana urutan menyantap ini?”
“Anda sebaiknya memulai dengan spaghetti hijau. Kaldu lembut dan citarasa berminyak dari kacang terasa enak di mulut. Setelah itu, silakan menyantap lasagna. Ada saus pedas dan pasta tomat yang dicampur ke dalam jeli, jadi bahkan tanpa saus apapun, hanya menyantapnya dengan bola daging cita rasanya sudah cukup. Yag terakhir, cobalah ravioli ini, yang berasal dari buah-buahan. Ini difermentasi selama satu hari, jadi rasa manisya akan terasa leih kuat.”
Ironisnya, dari keempat chef demi, Jo Minjoon yang merupakan orang asing, justru yang paling baik dalam menjamu pelanggan, bukan soal pengucapan atau aksen bicara, wajah Jo Minjoon mengandung senyum lembut Javier, keikhlasan Anderson, dan aura mistik Janet yang tenang.
Jo Minjoon tahu apa yang harus diucapkan. Masa jabatannya yang singkat sebagai guru bahasa Inggris mungkin telah menambah keterampilan menangani pelanggan.
Satu hal yang pasti adalah sikapnya terhadap pihak penerima, membuat mereka seolah benar-benar sedang dilayani. Setelah mendengarkan penjelasannya yang lembut dan tenang, tak ayal lagi, mereka menikmati cita rasa rumit gastronomi molekuler dengan gembira.
Berapa banyak pelanggan yang harus dia layani seperti itu? Jo Minjoon mengambil hidangan dan menuju pelanggan berikutnya. Seorang wanita dengan rambut coklat gelap, yang mengenakan gaun berpola bunga-bunga yang cerah. Meskipun dia memakai kaca mata hitam lebar yang menutupi separuh wajahnya, tidak peduli bagaimana bentuk mata di balik kaca mata hitam itu, tampaknya wanita itu cantik. Jo Minjoon tersenyum dan berkata.
“Hollywood jelas dikelilingi wanita cantik.”
“Terima kasih. Boleh aku mendengar penjelasan hidangan ini?”
Suaranya serak dan sengau, seolah hidungnya sedang tersumbat. Jo Minjoon mengingat-ingat sejenak. Dia merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya. Dengan hati-hati Jo Minjoon meletakkan hidangannya lalu mulai menjelaskan.
“Jeli spaghetti hijau ini terbuat dari daun basil dan kaldu ayam. Saya menambahkan kacang tumbuk di luar agar terasa berminyak. Lasagna ini adalah jeli yang terbuat dari saus pedas dan pasta tomat. Dan ravioli ini adalah jeli yang terbuat dari campuran curacao biru dan jus buah-buahan. Di dalamnya ada sari jeruk nipis dan pir.”
“Kau tampak bahagia.”
“Saya tidak tahu pada saat lainnya, tetapi menurut saya, kapanpun saya menyajikan hidangan buatan saya pada pelanggan, saya pasti gembira dan hati saya berdebar. Itulah cara agar pelanggan menikmati masakan saya juga.”
Mendengar jawaban Jo Minjoon, wanita itu tersenyum di balik kaca matanya. Jika senyuman itu terkesan seperti senyuman kesepian, itu salah. Tanpa mengetahui apa yang terlihat di mata, bagaimana mungkin kita bisa tahu seseorang sedang kesepian hanya dari sudut bibir seseorang?
“Kau masih tetap sama.” kata wanita itu.
“…Apa?”
Wanita itu berkata seolah mengenal Jo Minjoon. Tentunya tidak aneh bagi wanita itu untuk mengenal Jo Minjoon karena Jo Minjoon cukup sering muncul di TV. Akan tetapi cara dia mengatakanya terkesan dia tidak hanya melihat Jo Minjoon di TV. Pada saat itu, Jo Minjoon merasa seolah yakin bahwa suara wanita ini mirip dengan seseorang.
Wanita itu melepas kaca matanya. Suara bernada ceria perlahan masuk ke telinga Jo Minjoon.
“Aku tidak berpikir kau akan segera mengenaliku …tapi kau keterlaluan. Kau bahkan belum sadar juga sampai akhir?”
Suara Jo Minjoon mulai gemetar.
“……Chloe?”
<Mengambil Inisiatif (2)> Selesai