Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 181: Mengambil Inisiatif (1)
Mendengar suara Jo Minjun gemetar, Chloe tersenyum simpul. Dia ingin melihat lagi mata Jo Minjoon yang gemetar karena gugup. Dia ingin mendengar suara Jo Minjoon yang menenangkan, halus, dan lembut sekali lagi.
Mereka berdua berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi setelah Grand Chef berakhir, tetapi mereka tidak mungkin bisa melakukannya. Tentunya, bukan seperti Jo Minjun menghindari telepon Chloe atau semacamnya, justru dia bersikap lebih baik dari sebelumnya. Bisa dikatakan, dia berhati-hati terhadap setiap pesan yang dia kirimkan untuk memastikan Chloe tidak akan terluka.
Chloe bersyukur akan hal itu, yang mana berarti bahwa Jo Minjun cukup memberikan semangat padanya untuk melakukannya. Tetapi secara bersamaan, itu menjadi siksaan. Sebagai lawan jenisnya, fakta bahwa orang yang kita sukai harus berhati-hati di sekitar kita, alih-alih merasa nyaman di dekat kita… akan sulit bagi siapa pun untuk menghadapinya.
“Sudah lama ya. Apa kabarmu baik?”
Itulah kenapa Chloe berusaha berbicara dengan santai sebisanya. Seandainya Chloe memiliki kepribadian yang lebih manipulatif, dia bisa saja mencoba bersandar pada kelembutan Jo Minjoon … tetapi dia tidak melakukannya. Dia tidak bisa. Jo Minjun duduk di sebelah Chloe lalu berkata.
“Bagaimana kau sampai di sini? Seharusnya kau menelponku agar aku tahu kau akan datang.”
“Aku tidak mau kau gugup. Pasti ini lezat. Tidak, apa sebaiknya aku bilang jeli ini lezat?”
“Yaa, pada akhirnya ini adalah pasta. Jeli adalah bahan-bahannya.”
Chloe mengangguk-angguk sambil memasukkan pasta ke dalam mulutnya tanpa berkata apa-apa. Jo Minjun dilema sesaat. Apa yang bisa dia ucapkan agar suasana canggung ini sirna? Akan tetapi, dia merasa seolah momen canggung ini tidak akan hilang apapun yang dia katakan.
“Selamat. Aku dengar kau berkencan dengan Kaya.”
“Iya, akhirnya begitu.”
“Agar kau tahu, aku tidak bermaksud sinis ataupun bersikap formalitas. Aku sungguh bahagia untukmu. Kau dan Kaya, kalian berdua adalah temanku.”
Dia tidak memaksakan diri mengatakan itu. Ini sungguh perasaan Chloe yang sebenarnya.
Ketika dia pertama kali mengetahui bahwa Kaya dan Jo Minjoon berkencan, hatinya hancur. Tidak ada pilihan lain. Tentu dia tahu ada sesuatu yang tidak biasa di antara mereka berdua sejak lama, tetapi bobot kecurigaan dan bobot ketika hal itu menjadi kenyataan, terasa sangat berbeda.
Awalnya, dia tidak percaya diri untuk beremu dengan mereka berdua. Meskipun dia tidak melakukan kesalahan apapun. Dia malu. Dia bahkan sungguh dilematis bahkan tidak pernah menghubungi mereka lagi, dan hidup seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Namun, dia tidak bisa melakukannya. Saat dia mengatakan Jo Minjun dan Kaya adalah teman baiknya, Chloe tidak punya pilihan selain mengatakan itu.
“Jangan khawatir, Minjoon. Aku tidak sepolos dan setulus yang kau pikir. Hatiku yang aku berikan padamu, aku akan segera mengambilnya. Jadi…”
Tiba-tiba, Chloe berhenti bicara. Mungkin karena memakai lip tint, bibirnya tampak berkilau. Akan tetapi, alasan Jo Minjoon melihat bibir Chloe bukan karena kilau di bibirnya, bukan, melainkan karena sudut bibir Chloe yang gemetar dengan lemah, mengatakan lebih dari hal-hal yang Chloe utarakan padanya.
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku mulai sekarang. sudah lama berlalu. Hatiku juga sudah banyak berubah.”
“Oke. Aku akan mengingatnya.”
Itu jawaban yang sederhana, tetapi bukan berarti dia menganggap enteng ucapan Chloe. Justru, Jo Minjoon sebisa mungkin menghargai Chloe. Dia jelas merasakan ketakutan Chloe, dia tidak ingin menghancurkan persahabatannya. Jo Minjoon tidak bisa mencampuri perasaan itu.
Pada saat itu,
“Minjoon! Berani-beraninya kau mengatakan itu di starbook…ah, Chloe?”
Suara yang familier terdengar dari belakangnya. Tiba-tiba Jo Minjoon merasa seperti jantungnya berhenti berdegup dan dengan canggung menoleh ke belakang. Meskipun dia tidak sedang berselingkuh atau semacamnya, hanya pada fakta dia bersama Chloe membuat Jo Minjoon merasa dia melakukan hal yang salah.
Syukurlah, Kaya tampaknya terkejut dengan fakta ada Chloe di sana, dan tidak berusaha menguraikan ekspresi Jo Minjoon. Kaya mulai menangis lalu mendorong jauh Jo Minjoon agar dia bisa duduk di sebelah Chloe.
“Ada apa? Kau selalu bilang padaku kau terlalu sibuk untuk menemuiku.”
“Ma, maaf.”
“Aku tidak bisa mengatakan apa-apa karena aku juga sibuk. Aku senang berjumpa denganmu.” kata Kaya lalu memeluk Chloe erat.
Ekspresi Chloe agak gugup saat dia melingkarkan lengannya memeluk Kaya dengan canggung. Dia juga tidak menduga Kaya akan muncul. Selain itu, berada di depan Kaya membuatnya merasa bersalah. Bagaimanapun itu, dia punya perasaan terhadap pria yang dicintai temannya. Jo Minjoon melihat Kaya lalu berkata.
“Kau bilang kau pergi ke Dallas selama akhir pekan. Apa sudah selesai? Ini masih hari minggu.”
“Aku buru-buru kembali karena ingin bertemu denganmu.” jawab Kaya sambil tersenyum.
Chloe menonton mereka berdua dengan ekspresi malu. Alih-alih cemburu, dia justru terkejut. Ini tidak terduga. Meski mereka berkencan, bagi seorang Kaya Lotus yang menunjukkan ketertarikan semacam ini, itu sesuatu yang tidak pernah Chloe duga.
“Chef Minjoon! “Apa yang kau lakukan!”
“…Oh, aku harus kembali bekerja. Kaya, maaf ya. Kau baru saja sampai tapi aku harus kembali bekerja. Ngobrol-ngobrollah dengan Chloe dulu sembari menunggu aku selesai.”
“Wah. Jeli. Berikan padaku juga.”
“Baik. Tunggu sebentar.”
Kaya, yang memandangi punggung Jo Minjoon yang berjalan menjauh, tersenyum lalu menoleh melihat Chloe.
“Karena kita berdua sudah mapan sekarang, sebaikya kita lebih sering bertemu.”
“Iya. Harusnya begitu. Tapi aku sangat sibuk. Aku hanya punya sedikit waktu hari ini. Bagaimana denganmu, Kaya?”
“Aku juga sibuk tapi…aku suka, ini membuatku merasa seperti hidup dan tidak menyia-nyiakan hidupku. Kau tahu kan bagaimana aku tumbuh.”
“Menurutku, kehidupanmu yang dulu bukanlah menyia-nyiakan hidup. Kau mencambuk dirimu sekuat tenaga untuk bertahan. Itulah yang membuatmu menjadi chef yang luar biasa hari ini. Oleh karena itu…”
Chloe melirik Jo Minjoon. Dia kembali mendatangi pelanggan lalu tersenyum sembari menjelaskan menu. Pada saat itu, dia tampak lupa tentang Chloe, satu hal yang ada di matanya saat dia menyapa pelanggan adalah hasrat dan harga dirinya dalam memasak. Chloe lanjut berbicara dengan nada santai.
“Kau juga punya pacar yang keren seperti itu.”
“Hmm…memang. Menurutmu, dia juga keren, kan, Chloe?”
“Jika tidak untukmu, aku mungkin akan merenggutnya jadi milikku.”
“Tidak, Minjoon itu punyaku.”
Chloe tersenyum dengan lembut. Dia sama sekali tidak menunjukkan kemuraman. Dia berencana merahasiakan percakapannya dengan Jo Minjoon. Meskipun dia tidak bisa melakukan apapun soal perasaan tulusnya, setidaknya dari luar, dia tidak ingin menunjukkan perasaannya.
“Iya. Minjoon milikmu.”
€
“Hidangan mana yang meninggalkan kesan paling kuat?”
Rafael mulai bertanya. Disebelahnya ada Rachel, Jack, Lisa, dan terakhir Ella. Ella tampak seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia cukup bijaksana untuk tidak menginterupsai dalam pembicaraan orang dewasa. Lisa membelai rambut Ella lalu berkata.
“Sejujurnya, semuanya meninggalkan kesan yang kuat. Kita tidak mencicipi gastronomi molekuler setiap hari. Aku yakin orang-orang yang mencicipi hidangan hari ini merasakan hal yang sama. Kalaupun ingin mencari perbedaannya, kita harus mencarinya bukan dari kesan yang ditinggalkan, melainkan pada cita rasanya.”
“Bu, aku paling suka jeli buatan paman.”
Ella berbisik pelan di telinga Lisa. Dia tampak polos saat mengatakan itu. Lisa mencium sekilas pipi Ella. Ella membuka matanya lebar-lebar saat bertanya pada ibunya.
“Bu, yang mana yang paling kau suka?”
“Ibu…”
Lisa melihat ke seluruh piring yang kosong. Keempat-empatnya memiliki cita rasa yang luar biasa. Tekstur yang menyentuh lidah sangat luar biasa. Bisa dikatakan, mereka sungguh melakuan riset terhadap resep mereka. Tetapi sebagai pemanggang, mau tak mau, dia hanya bisa menikmatinya.
“Ibu suka anglaise krim buatan paman Javier. Ibu penasaran bagaimana rasanya jika dengan roti.”
“Aku tidak suka yang itu.”
“Itu karena Ella masih kecil. Ketika kau besar nanti, kau akan paham kau butuh cita rasa yang seperti itu.”
“…Kau selalu bilang aku masih kecil. Aku sudah besar.”
Ella mengembungkan pipinya lalu membusungkan bibir.
“Aku belum pernah mencicipi gastronomi molekuler sebelumnya…ini menarik. Rachel, aku bisa melihat kenapa kau tertarik. Kau selalu benci hanya berdiri diam. Baik dalam hidupmu sendiri maupun dalam memasak.” kata Jack.
“Jadi, Jack, yang mana yang paling kau suka?”
“Aku sependapat dengan Lisa. Pemanggang manapun akan merasa hatinya tercuri oleh krim semacam itu.”
“Aku suka film ravioli Janet. Bagi pemula, menangani film sungguh sangat merepotkan…tetapi dia sukses membuatnya. Chef Rachel, yang mana yang kau suka?”
Rachel berkata.
“Aku….”
€
Sementara Rachel dan lainnya menilai hidangan gastronomi molekuler para chef demi, ada orang-orang yang diam-diam memberi penilaian juga di sudut area yang berbeda. Yaa, karena orang-orang berkumpul untuk menilai makanan, maka tidak ada seseorang pun yang tidak memberikan penilaian.
Akan tetapi, mereka berdua sedikit spesial. Seorang pria dan seorang wanita yang tampaknya berusia sekitar 30-an tahun. Mereka tidak tampak seperti pasangan, tetapi mereka berbagi karakteristik yang unik, yaitu cara mereka memperlakukan makanan.
Mereka berdua tidak buru-buru memasukkan makanan ke dalam mulut seperti yang dilakukan orang lain. Pertama, mereka menggunakan mata mereka untuk melihat keindahan sisi-sisinya, ruang kosong dan makanan yang disajikan. Mereka menggunakan hidung mereka untuk menikmati aroma makanan. Barulah kemudian, mereka menggunakan lidah mereka untuk mencicipi.
Sikap mereka terhadap makanan juga sedikit berbeda. Ketika kebanyakan orang akan memperdebatkan apakah makanan itu enak atau tidak, mereka berdua mendiskusikannya seperti berikut. Seorang pria Asia berkepala botak yang mengenakan setelan dan topi fedora berkata.
“Secara pribadi, aku bisa melihat banyak usaha yang dicurahkan pada ravioli ini. Alicia, bagaimana menurutmu?”
“Aku bisa melihat pembuatnya sengaja menjadikan ini sebagai dekorasi selain sebagai isian. Yang hijau mungil di samping ini juga memiliki tujuan tertentu. Tekstur yang menarik dari kerenyahan kacang dan kelembutan kaldu disatukan oleh kerenyahan daun. Pintar dan terampil. Yang membuat ini adalah chef wanita itu, kan?”
“Iya. Kau suka?”
“Menyukainya itu ambigu. Sejujurnya, ini gastronomi molekuler yang mana mereka sudah latihan selama 10 hari. Akan aneh jika menyebutnya luar biasa. Kalau kau bertanya padaku apakah ini enak, aku bisa dengan yakin menganggukkan kepala. Jika ini adalah hasil 10 hari, pada saatnya nanti mereka membuka restoran, level mereka akan semakin meningkat. Lucunya adalah…”
Wanita yang dipanggil Alicia itu tersenyum. Dia melihat piring di meja dengan tatapan penuh kekaguman.
“Apa ini semua adalah pekerjaan chef demi? bukannya chef sous, melainkan chef demi yang belajar gastronomi molekuler selama 10 hari? Senior kita sungguh mengatakan hal yang benar bahwa Rose Island sungguh berbeda. Chen.”
“Akhirnya, kita bisa memenuhi keinginan kita. Sekarang kita tidak perlu lagi mendengar ‘Kau kan belum pernah pergi ke restoran pusat Rose Island’.”
Mereka pasti telah banyak terganggu soal itu, ada sensasi kebebasan pada tatapan Chen. Alicia mengangguk.
“Begitulah, aku ingin memverifikasi dengan mata kepalaku sendiri. Kebenaran tentang restoran yang membuat orang-orang mengatakan bintang tiga tidaklah cukup, harusnya berbintang empat. Aku harap sama dengan sebelumnya.”
“Ini Rachel Rose dan Rafael Yoon. Terlebih, mereka punya Jo Minjoon yang terkenal dengan indera pengecapnya yang mutlak. Dengan kombinasi seperti itu, bukankah mereka akan membuat sesuatu yang diluar nalar?”
Chen menggulung spaghetti Jo Minjoon dengan garpunya lalu memasukkannya ke dalam mulut. Kemudian badannya gemetar karena suka cita. Spaghetti ini, serta lasagna dan ravioli, ketiganya sempurna. Dia tidak bisa menemukan kekurangan apapun. Tekstur jeli, bumbu dari bahan-bahan yag terkandung d dalamnya, serta jenis dan harmoni dari garnish di atasnya. Ini sungguh selevel dengan item menu di restoran berbintang Michelin.
“…Wow, orang ini sungguh memiliki indera pengecap yang mutlak. Kalau tidak, dia tidak mungkin bisa mengekspresikan cita rasa seperti ini dengan begitu cermat. Secara pribadi, menurutku, hidangan Minjoon bisa segera dimasukkan ke dalam menu Bukan hidangan mungil seperti amuse-bouche , tetapi sebagai hidangan pembuka secara penuh.”
“Ini sungguh mengejutkan. Hanya sepuluh hari, dan masih berusia 21 tahun, dia bisa menunjukkan keahlian sebagus ini…Aku tidak bsa membayangkan nantinya dia akan menjadi monster seperti apa.”
“Rose Island selalu penuh dengan orang jenius. Bahkan ada pembicaraan tentang bagaimana semua orang di Rose Division menjadi sukses tanpa terkecuali, hal itu karena Rose Island tidak pernah membawa orang tanpa bakat sejak awal.”
Chen berguman dengan nada gembira, seolah hatinya membara.
“Tetapi Jo Minjoon adalah orang jenius pertama yang direkrut Rachel secara pribadi. Menurutmu, itu berarti?”
“Apa itu berarti bahwa dia punya bakat yang luar biasa banyak di antara semua muridnya?”
“Iya. Dia murid nomor satu. Pikirkanlah, bagaimana kebanyakan guru memperlakukan murid nomor satunya.”
Alicia memiringkan kepala dengan ekspresi bingung. Tidak lama kemudian, wajahnya berubah syok. Dia mulai bergumam seolah dia bahkan tidak mempertimbangkan terusannya.
“Mungkinkah…Rose Island?”
“Rachel Rose seorang janda. Dia juga tidak punya anak.”
Chen menoleh. Tatapannya mengejar Jo Minjoon yang sedang berjalan di antara kerumunan orang-orang. Kemudian dia lanjut berbicara dengan nada penuh arti.
“Ini tidak akan aneh…meskipun bahkan jika dia memikirkan pemuda itu sebagai penerus untuk mewariskan semuanya.”
<Mengambil Inisiatif (3)> Selesai