Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 186: Kembalinya Sang Legenda (1)
Kompetisi Memasak Los Angeles.
Kualifikasi hanya untuk orang-orang yang bekerja di restoran Los Angeles. Bisa dikatakan skalanya kecil dibanding kompetisi internasional yang mendapat kontestan dari seluruh dunia, tetapi realitanya, tidak seperti itu. Dari seluruh negara barat dengan masakan yang enak, Los Angeles, disebut-sebut memiliki orang-orang berbakat yang paling banyak. California dikenal menjadi wadah budaya, dan Los Angeles tidak terkecuali.
Dengan sedikit melebih-lebihkan, tidak ada hidangan yang tidak ditemukan di Los Angeles. Los Angeles memiliki orang-orang dari seluruh penjuru dunia dan punya restoran berbagai masakan. Yang tentu berarti, semua jenis makanan ada di Los Angeles. Tempat yang sebanding dengan Los Angeles dalam variasi makanan mungkin hanya Hong Kong, yang dikenal sebagai ibukota cita rasa.
Berkat kompetisi memasak Los Angeles berbatas pada wilayah, variasi makanan yang disajikan tidak keluar dari kompetisi internasional. Jika mempertimbangkan fakta bahwa sulit bagi restoran untuk bertahan di Los Angeles karena kompetisi ini…maka jelas partisipannya punya level yang tinggi soal keahlian kuliner. Tidak mengejutkan, wajah Javier menjadi kaku.
“……Hoooo, ternyata aku sangat gugup.”
“Jangan gugup. Faktanya, aku yakin orang lain lebih gugup melihat kita. Kita adalah tentara Rose Island.”
“Entah bagaimana kita menjadi fokusnya?”
“Sudah jelas. Bukankah lebih aneh jika kita tidak menarik perhatian?”
Jo Minjoon merespon dengan sikap santai. Citra Rose Island, kembalinya Rachel, serta citra Jo Minjoon dan Anderson, jika memperhitungkan semua itu, akan sangat aneh bila mereka tidak menarik perhatian. Javier melihat Jo Minjoon seolah kagum.
“Kau tidak tampak gugup.”
“Karena tidak perlu gugup. Kita sudah cukup berlatih dan resep kita sempurna. Sisanya adalah percayalah padaku dan kalian semua.”
“Percaya itulah yang susah dilakukan.” kata Javier sambil mengangkat bahu. Jo Minjoon tersenyum sambil meremas bahu Javier.
“Busungkan dadamu. Kita chef yang lebih baik dari yang kita pikirkan. Tidak hanya mempercayai diriku sendiri, bahkan aku lebih percaya pada kalian semua. Maka dari itu, aku santai.”
“Jujurlah padaku. Apa kau belajar berpidato dari suatu tempat? Kau terlalu pandai berbicara.”
“Kata-kata yang diucapkan dengan jujur lebih baik didengar daripada prosa.”
“Ucapan itu juga keren.”
Javier memejamkan mata dan mulai berguman hal-hal yang baru dikatakan Jo Minjoon. Anderson menyimak percakapan mereka berdua lalu melirik Janet. Dia sedang berdoa dengan mata terpejam. Anderson melihat Janet diam-diam lalu akhirnya berkata begitu Janet membuka mata.
“Ini mengejutkan. Apa kau juga gugup?”
Janet tidak segera merespon. Pupil matanya perlahan bergerak ke sudut matanya saat dia menatap Anderson, dingin dan gelap seperti biasa. Dia perlahan berkata. Tidak sebanding dengan lamanya waktu Anderson menunggu, Respon Janet terlalu singkat.
“Kenapa?”
“Hmmm?”
“Kenapa ini mengejutkan?”
“Aku pikir kau akan mirip denganku. Penuh percaya diri hingga pada titik kesombongan. Apa aku salah?”
“Iya. Kau salah.”
Itu semua yang dikatakan Janet. Dia tidak berusaha menjelaskan kenapa dia gugup. Oleh karena itu, Anderson sedikit menekannya.
“Kenapa aku salah?”
“Kenapa aku harus menjelaskan padamu?”
“…Karena kita rekan satu tim.”
Janet pun, mau tak mau, menyemburkan tawanya. Aneh bagi seseorang dengan ekspresi yang lebih dingin dari es krim mengatakan sesuatu yang murahan seperti yang biasa ditemukan di program TV anak-anak. Mungkin itulah kenapa Janet dengan santai mengutarakannya meski biasanya dia tidak akan mau berbagi tentang apa yang dipikirkannya,.
“Yang bisa kulakukan hanya gugup. Seandainya aku tidak gugup…aku pun tidak punya latar edukasi kuliner yang tiada tara sepertimu, apalagi indera pengecap yang mutlak seperti Jo Minjoon. Hal-hal yang mudah bagi kalian berdua, itu sulit bagiku. Karena itu…”
“Itu juga tidak pernah mudah bagi kami.”sela Anderson.
Janet seketika membuka mata lebar-lebar karena syok lalu menurunkan sorot matanya dan mengangguk.
“…Kau benar. Aku yakin. Tidak mudah juga bagi kalian. Maaf. Itu salahku.”
“Tidak perlu meminta maaf. Jangan terlalu serius.” jawab Anderson dengan ekspresi malu.
Suasana sedikit aneh. Anderson pura-pura batuk lalu menoleh melihat Jo Minjoon sebelum dia menyeringai.
“…Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”jawab Jo Minjoon sambil terkikik.
Tawa kikik Jo Minjoon membuat perasaan Anderson tidak enak. Anderson mengalihkan pandangannya lalu berkata.
“Kau bilang hari ini Kaya datang, kan?”
“Menurutku begitu.”
“Apa dia mendukungmu? Ataukah dia mendukung restorannya sendiri?”
Alih-alih merespon, Jo Minjoon mendongak melihat penonton di lantai dua. Dia tidak bisa mengatakan apakah Kaya ada di sana. Terlalu banyak penonton di sana. Orang bilang jika kita sungguh mencintai seseorang, dialah satu-satunya orang yang kita lihat, tapi…bahkan itu hanya terjadi jika kita bisa melihat orang itu.
Alasan restoran Kaya mengikuti kompetisi tapi Kaya berada di bangku penonton adalah dia chef kepala. Peran Kaya di restoran itu berfokus menciptakan resep dan menjadi wajah restoran terhadap pelanggan, bukan memasak. Karena itu adalah restoran yang didanai oleh kompetisi Grand Chef, satu dari hal yang dinantikan orang-orang saat datang ke sana adalah untuk melihat wajah Kaya Lotus, pemenang kompetisi Grand Chef.
Jo Minjoon melihat ke sekitar auditorium di mana kontestan berkumpul. Tidak banyak yang terlihat seperti chef kepala. Kata Isaac, hal itu mulai terjadi ketika Rose Island mulai memenangkan trofi dengan para chef deminya. Karena chef demi yang sebenarnya memasak makanan, maka chef demilah yang harus berkompetisi. Filosofi Rose Island adalah permulaan. Namun, karena chef demi yang membawa trofi kemenangan untuk Rose Island, hal itu mengacaukan reputasi restoran lain, yang juga berdampak pada chef sous dan chef kepala restoran itu.
Tentunya, hal itu bukan berarti tidak ada individu selevel chef kepala di sana. Tidak aneh bagi chef kepala untuk berpartisipasi jika mereka bekerja di jalurnya. Hal itu juga normal bila restoran tidak punya banyak anggota staf.
‘Memiliki cukup pengaruh untuk mengubah lingkup kompetisi…’
Jo Minjoon memejamkan mata. Dia bisa merasakan dengan jelas jantungnya berdebar kencang dalam rongga dadanya. Kembali atau tidaknya sang legenda yang tersisa di masa lalu, berada di tangannya. Ketika dia membuka mata lagi, matanya penuh dengan semangat juang. Pada saat itu, dia membuat kotak mata dengan seseorang.
‘…Apa yang terjadi?’
Jo Minjoon ragu sejenak saat dia melihat orang itu. Seorang pria Asia yang tampaknya sebaya dengannya. Dia gendut dengan wajah bulat, alis matanya yang tebal dan lipatan kelopak matanya membuatnya tampak sangat kuat. Kemudian, orang itu berjalan menghampiri Jo Minjoon.
“Anyeonghaseyo, Chef Jo Minjoon!”
Mau tak mau, Jo Minjoon terkejut. Pertama, suaranya tidak cocok dengan penampilannya, dan yang kedua, dia berbicara dengan Minjoon bukan dalam Bahasa Inggris, melainkan bahasa Korea. Jo Minjoon berjabat tangan dengan pria itu dengan ekspresi gugup.
“Ah, iya. Anyeonghaseyo.”
“Maaf tiba-tiba mendatangimu tanpa janji seperti ini. Aku sungguh ingin bertemu denganmu setidaknya sekali.”
Jo Minjoon akhirnya menyadari bahwa mata pria itu tampak berbinr seperti bintang-bintang di langit. Bahkan tangannya yang menjabat tangan Jo Minjoon bergetar karena gugup. Pria itu menggigit bibirnya yang kering lalu berkata.
“Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Lee Tae Hoon. Aku menjalankan restoran Korea kecil di Hanta.”
“Jo Minjoon. Tapi Hanta…oh, kau membicarakan Koreatown?”
“Iya. Aku menyimak siaran dan aku sangat bersyukur. Berkat Anda beberapa kali mempersembahkan masakan Korea di Grand Chef, aku mendapat banyak untung sejak itu. Orang-orang di Hanta merasakan hal yang sama. Semua orang bersyukur pada chef Jo Minjoon.”
“Oh….benar kah? Aku senang bisa membantu.”jawab Jo Minjoon dengan ekspresi tidak menduga hal itu.
Dia tidak pernah menduga bahwa siarannya akan membantu restoran Korea di AS. Khususnya karena dia tidak mendapat hasil yang baik setiap kali mencoba dengan hidangan Korea. Kimbap mirip dengan norimaki, tetapi itu pun tidak mendapat respon yang bagus.
“Silakan berkunjung ke Hanta kapan-kapan. Aku yakin Anda akan disambut lebih baik daripada para selebritas. Saya pun menghormati Anda. Semangat perintis Anda …… juga sangat mengejutkan bagi saya.”
“Terima kasih banyak.”
Lee Tae Hoon tersenyum ceria lalu kembali ke tempatnya. Chef demi lain melihat Jo Minjoon tidak percaya.
“Aku terus lupa kalau kau orang Korea.”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Tidak banyak. Dia bilang aku sangat populer di Koreatown.”
“Masuk akal sih. Kau salah satu dari mereka.”
Anderson mengangguk seolah paham. Jo Minjoon berkata pada Anderson.
“Kau dari Los Angeles. Apa kau juga sangat populer?”
“…Entahlah.”
Anderson melirik ke samping kanan kiri. Chef demi dari restoran Glouto, Restoran Amelia dan Fabio, melirik Anderson lalu mengalihkan pandangan mereka begitu mereka membuat kontak mata dengan Anderson. Anderson mengangkat bahu.
“Tampaknya rumahku memperlakukanku sebagai pengkhianat.”
“Kau terus dicampakkan oleh semua orang.” respon Jo Minjoon sambil menyerigai.
Pada saat itu, orang-orang mulai saling berbisik. Jo Minjoon melihat ke depan. Ada seorang pria dan wanita yang berjalan menaiki depan auditorium. Salah satu dari mereka adalah Matthew Cummings, yang terkenal di dunia hiburan sebagai epicurean. Sedangkan wanita itu…
“Aku paham kenapa Chloe Jung disebut sebagai chef paling seksi…” kata Javier dengan ekspresi tercengang.
Di masa lalu, Jo Minjoon berpikir bahwa Chloe menggemaskan dan tidak pernah terpikir bahwa Chloe seksi…tapi setidaknya hari ini, dia setuju dengan pernyataan Javier. Mungkin itu karena dia ada di acara formal walau bukan siaran. Dia sangat cantik hingga kau bahkan tidak ingat penampilan biasanya. Rambutnya yang panjang tergerai dan riasan di wajahnya tipis tapi cerah. Orang-orang pun akan percaya bahwa dia bukan seorang chef, melainkan sebenarnya selebriti dunia hiburan.
‘…Kukira dia adalah seorang selebriti dalam berbagai aspek.’
Faktanya, Chloe mungkin menghasilkan lebih banyak uang dari pada Kaya. Jika Jo Minjoon mempertimbangkan betapa besar upahnya berkat kemunculannya di Perjalanan Kuliner, itu mungkin saja. Chloe cukup diakui sekarang untuk menjadi pembawa acara sebuah kompetisi besar semacam ini.
Para reporter dari berbagai stasiun berita mulai mengambil foto. Di tengah semua itu, Matthew mulai menaikkan suaranya.
“Selamat datang para chef yang bertanggung jawab terhadap mulut semua orang di Los Angeles. Tahun ini adalah kompetisi memasak tahunan yang ke-53! Nama saya adalah Matthew Cummings dan saya sebagai pembawa acara hari ini.”
“Nama saya Chloe Jung, chef, selebriti, dan maskot paruh waktu.”
Semua orang tergelak. Chloe tersenyum ceria saat dia melihat ke sekeliling lalu menghentikan sorot matanya pada satu orang. Dia bisa melihat Jo Minjoon. Melihat senyum lembut di wajah Jo Minjoon, Chloe merasa semakin gembira. Chloe berkata dengan nada lebih gembira.
“Ada para kontestan di sini yang berpartisipasi beberapa kali, dan ada pula kontestan yang baru pertama kali turut serta. Aku yakin ada orang-orang yang telah meraih trofi sebelumnya, dan menurutku ada tim yang bahkan digembar-gemborkan sebagai legenda.”
Jelas bahwa kalimat terakhir tertuju pada Rose Island. Jo Minjoon menatap Chloe. Chloe membuat kontak mata singkat dengan Jo Minjoon lalu mulai tersenyum dan lanjut berbicara.
“Aku yakin kesimpulan dari acara hari ini adalah salah satu dari dua hasil ini. Antara bintang baru ataukah sang legenda yang mempertahankan namanya. Dan mungkin…kita bisa mendapat keduanya.”
“Chloe, Apa ada tim yang kau dukung?”
“Matthew. Pembawa acara tidak boleh menyebut kontestan tertentu.”
“Bukankah lebih asik jika kita melanggar apa yang tidak boleh dilakukan?”
“Aku tidak yakin. Aku tidak berpikir membayar biaya penalti itu cukup mengasyikkan.” jawab Chloe dengan senyum. Matthew tergelak lalu melihat ke arah kontestan.
“Sebelum kita mulai kompetisi, kita punya waktu bagi masing-masing restoran untuk memperkenalkan diri. Yang pertama adalah…kukira adalah tim yang menjadi fokus semua orang hari ini. Aku sungguh ingin bisa memanggil nama mereka sebagai pembawa acara program ini setidaknya sekali.”
Matthew mengambil napas.
“Rose Island!”
Seketika, auditorium penuh dengan sorak-sorai dan tepuk tangan. Penonton di lantai dua, para reporter yang semuanya berkumpul, dan bahkan chef-chef lain yang menjadi saingan mereka bertepuk tangan. Itu tak ayal lagi.
Kompetisi Memasak Los Angeles memiliki arti yang berbeda berdasar apakah Rose Island turut serta atau tidak. Sejujurnya, selama sepuluh tahun terakhir saat Rose Island tidak aktif, ada banyak restoran yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam kompetisi.
Jo Minjoon bisa merasakan wajahnya memanas. Dia tahu tepuk tangan mereka tidak tertuju padanya, tetapi pada Rose Island. Namun, jantungnya tetap gemetar. Matthew berkata.
“Rose Island, jawara tak terkalahkan Los Angeles sampai Rachel Rose pensiun sebagai chef 10 tahun yang lalu. Aku yakin ada banyak orang di sini hari ini yang memperhatikan Rose Island.”
“Iya. Aku bukan dari Los Angeles, namun, aku telah mendengar banyak sekali tentang restoran pusat Rose Island. Itu nama yang tidak bisa kau lewatkan bahkan jika kau hanya numpang lewat di dunia kuliner. Oleh karena itu, aku bahkan sangat gembira lebih dari biasanya hari ini.”
“Salah satu impianku, sejak aku debut, adalah berdiri di sini dan menilai. Sayangnya, restoran utama tutup saat aku debut…tetapi kukira, akhirnya aku bisa memenuhi impianku 10 tahun kemudian seperti ini.”
Yang dia ucapkan tidak terdengar seperti membaca naskah. Mata Matthew penuh dengan minat dan kegembiaraan. Chloe dan Matthew mendekati tim Rose Island dan berkata.
“Menurutku, kalian semua pasti sangat gugup saat ini. Legenda Rose Island yang telah terjaga sampai saat ini berada di tangan kalian. Bagaimana perasaan kalian?”
Mereka berempat saling berpandangan. Hanya ada satu orang yang bisa melangkah sebagai perwakilan dalam situasi seperti ini. Lalu tatapan mereka bertiga tertuju pada satu orang, dan pada akhirnya, Jo Minjoon berkata.
“Kami telah sedikit bersiap-siap untuk kompetisi ini. Resep Chef Rachel sempurna dan kami pun cukup berlatih. Maka dari itu, kami tidak percaya diri.”
Pada saat itu, Chloe dan Matthew, bukan, tidak hanya mereka berdua, tetapi semua orang yang mendengar ucapan Jo Minjoon berekspresi bingung. Matthew bertanya dengan nada penasaran.
“Resepnya sempurna dan kalian cukup berlatih, jadi kenapa kalian tidak percaya diri?”
Jo Minjoon menyeringai.
“Kami tidak percaya diri untuk kalah.”
< Kembalinya Sang Legenda (1) > Selesai