Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 187: Kembalinya Sang Legenda (2)
“Haha…itu sangat percaya diri.”
Bahkan Matthew, yang punya pengalaman bertahun-tahun, mau tak mau, merasa gugup sejenak untuk merespon. Tidak hanya dia. Beberapa chef dan penonton tertawa dan yang lainnya terpesona. Matthew menanyakan hal yang semua orang ingin tanyakan.
“Aku penasaran sumber kepercayaan diri itu. Apa dari nama Rose Island?”
“Apa ada sebuah pohon di suatu tempat di dunia dengan hanya satu akar? Sumber percaya diri di man-mana sama. Terlebih, nama Rose Island…memberi kami lebih banyak tugas alih-alih kepercaaan diri.”
“Kemudian…”
Tiba-tiba Chloe menyela. Dia bertanya dengan senyum indahnya.
“Apa akar yang paling tebal bagi Minjoon?”
“Bagi ku…”
Jo Minjoon berhenti berbicara beberapa saat. Sorot matanya entah tertuju ke mana, menghadap ke langit. Perenungannya tidak memakan waktu lama.
“Aku harus mengatakan, itu adalah rekan timku.”
“Kau tahu kan itu jawaban yang tipikal?”
“Memang harus tipikal. Hal-hal umum seperti ini cenderung tidak boleh salah.”
“Kepribadian kunomu itu masih sama.”
Jo Minjoon hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Tanya-jawab berlanjut pada tim lain. Hal yang lucu adalah bahwa ada lebih banyak tim yang membicarakan Rose Island daripada yang tidak. Satu yang paling diingat adalah apa yang dikatakan oleh ketua tim chef demi dari restoran Glouto.
“Chef kepala kami memberi perintah khusus.”
“Perintah khusus apa itu?”
“Kami tidak peduli jika kau tidak menang. Hanya pastikan kau tidak kalah dari anak seperti Anderson.”
Anderson memegangi dahinya seolah dia merasa sakit kepala setelah mendengar itu. Dia melihat ke area penonton dengan tatapan kesal. Tidak sulit menemukan lokasi duduk Amelia dan Fabio karena mereka sedang memasukkan jari ke dalam mulut dan bersuit tanda setuju. Janet berkata seolah mengejeknya.
“Kau punya orang tua yang baik lho?”
“…Jangan mengomporiku. Ini menyebalkan.”
Tim yang tersisa mengatakan hal yang sama, yaitu hasrat mereka untuk melampaui legenda Rose Island. Bahkan ada cukup banyak orang yang menggeram dan mengatakan mereka akan membuat kepercayaan diri Jo Minjoon turun. Namun, Jo Minjoon tidak gugup
‘…Pertama, tidak ada seorang pun yang level memasaknya 9.’
Hal itu sangat jelas jika dia memikirkanya. Level memasak 9 bukan sesuatu yang mudah ditemukan. Namun, ada cukup sedikit orang dengan level 8. Tidak sampai 10. Lee Tae Hoon, pria Korea yang menyapa Jo Minjoon sebelumnya, adalah salah satunya.
Tentunya, tidak ada tim sekuat Rose Island saat melihat rata-rata skor tim. Mereka punya dua orang dengan level 8 dan dua orang dengan level 7. Dia tidak cemas. Namun, dia tetap harus fokus. Membiarkan bentengmu melemah bisa menyebabkan hasil yang tak terduga. Jo Minjoon melihat ke arah ketiga rekan timnya lalu berkata.
“Tidak ada alasan bagi kita untuk kalah. Resep Chef Rachel sempurna dan kita pun sudah cukup berlatih. Apa yang perlu kita cari bukanlah kemenangan…tetapi agar mereka tahu bahwa Rose Island telah kembali dengan baik. Kita harus menunjukkan pada mereka kehadiran yang luar biasa itu mungkin. Meskipun kita harus menarik jiwa kita, kita harus menjadi versi terbaik dari yang pernah terjadi pada kita.”
“…Kau tampak sangat percaya diri.”
“Aku sudah bilang. Aku percaya pada kalian.”
Jo Minjoon menjawab dengan ekspresi seolah ‘perlukah itu ditanyakan’. Janet merasa sebagian hatinya bergetar saat menatap Jo Minjoon yang merespons seperti itu. Percaya. Itu adalah sebuah kata yang hilang dari benak Janet selama bertahun-tahun. Dia tidak pernah menduga ada seseorang yang menerimanya sebagai rekan setim seperti ini.
Jo Minjoon tidak peduli Janet itu chef wanita. Tidak hanya Jo Minjoon, Anderson dan Javier pun tidak berusaha mendiskrimansinya karena dia wanita. Mereka tidak berusaha membantunya meski dia wanita. Mereka hanya memperlakukan Janet seperti chef lainnya.
‘…Aku juga harus menunjukkan itu pada mereka.’
Dia harus menunjukkan bahwa dia chef yang kuat sama seperti yang mereka percayai.
€
“Penilaian dilakukan oleh 11 epicurean. Kita tidak bisa mengungkapkan nama para juri sampai semua hidangan selesai. Silakan buat hidangan yang bisa memenangkan semua juri, siapa pun itu!”
“Kalian punya 30 menit persis untuk memasak. Apa ada yang masih belum selesai bersiap?”
Tidak ada respon. Chloe mengangguk dan berteriak keras. Jantungnya berdegup kencang. Meskipun lokasinya berbeda, dia bisa mengatakan hal-hal yang biasa juri katakan padanya saat dia berkompetisi di Grand Chef.
“Mulai!”
Saat Chloe berteriak kencang dengan ekspresi suka cita, pasukan chef mulai bergerak.
Tim dengan meja masak unik mungkin Rose Island. Mereka punya banyak mesin yag berbeda untuk gastronomi molekuler.
Hidangan pembuka yang Janet buat adalah jeli yang dipadatkan dengan gelatin setelah mencairkan salad. Setelah itu, dia akan menaburkan gula di atasnya dan mengkaramelisasinya. Untuk memberi jeli sensasi renyah, dia menambahkan permen tipis.
Hidangan Anderson tidak menggunakan teknik gastronomi molekuler. Dia sendiri membuat bola udang dan adonan gnocchi wortel lalu memasaknya, lalu meletakkan bisque udang yang terbuat dari kulit udang di atas hidangan seolah saus, lalu terakhir menambahkan garnish kacang polong.
Sedangkan Javier, membuat campuran masakan tradisional dan gastronomi molekuler. Javier meletakkan arang yang mereka bawa untuk membakar belut, dan nantinya dia akan meletakkan lentil rebus pada piring saji dengan belut di atasnya. Kemudian dia harus membentuk saus kecap menyerupai jeli untuk diletakkan di atasnya dan mengakhiri masakan dengan membuat krim jahe busa. Itu adalah versi penemuan kembali belut bakar ala Jepang.
Dan Minjoon…
‘Aku tidak pernah menduga hari ini aku akan memegang suntikan pada kompetisi memasak.’
Hidangannya adalah sebuah variasi spaghetti jeli yang dia buat sebelumnya saat ajang pencicipan. Resep Rachel sederhana. Rebus air dan agar bersama-sama dan tambahkan coklat putih dan arak kelapa (coconut liqueur) sebelum membiarkannya mendidih sedikit. Kemudian melakukan hal yang sama yang dia lakukan sebelumnya untuk membuat spaghetti jeli: menuang cairan ke dalam suntikan untuk mendorong cairan jeli masuk ke dalam tabung dan membiarkannya dingin dalam air es.
Spaghetti coklat yang dibuat dengan cara seperti itu berwarna putih sehingga tampak seperti mie spaghetti biasa. Di atasnya ada saus stroberi karbonasi dengan irisan stroberi seolah saus tomat, dan beberapa kismis di atasnya seolah bola daging.
‘Spaghetti palsu.’
Saat pertama dilihat, hidangan itu tampak seperti spaghetti, tetapi, cita rasanya sangat berbeda. Hidangan seperti ini disebut hidangan palsu. Itu adalah jenis masakan yang membuat epicurean selalu penasaran ingin mencoba.
Pertama, Jo Minjoon menyiapkan stroberi. Ada 2 metode untuk mengkarbonasi buah, menggunakan sedotan / mesin busa ISI untuk menambahkan karbonasi, atau kita bisa meletakkan buah di atas es kering. Jo Minjoon memilih metode yang terakhir.
Stroberi untuk saus dan stroberi untuk dekorasi dipotong dengan ukuran berbeda. Setelah meletakkan semua stroberi ke atas es kering, dia harus segera menyiapkan isian untuk spaghetti coklat.
Sebagian penonton berfokus pada Rose Island. Bukan hanya karena citra Rose Island, melainkan karena ada beberapa tim yang juga melakukan gastronomi molekuler tetapi tidak ada yang berfokus pada gastronomi molekuler seperti Rose Island. Bagi restoran seperti Rose Island yang mewakili kejayaan di masa lalu untuk memasak dengan metode modern seperti ini menarik.
“Adonan buatan Anderson kecil sudah sedikit mengembang.”
“Tentu, dia sehebat itu. Apa kau lupa anak siapa dia?”
Amelia dan Fabio bahkan tidak melihat para chef demi restoran Glouto dan hanya berfokus pada Rose Island. Lebih tepatnya, mereka hanya fokus pada Anderson, tetapi mereka berakhir melihat proses chef-chef yang lainnya juga berulang kali.
Yang dilihat paling sering oleh mereka setelah Anderson adalah Jo Minjoon. Hal itu karena masakannya yang paling unik, selain itu fakta bahwa ada banyak sekali yang harus dia lakukan. Tidak hanya harus memasak hidangannya sendiri, dia juga harus memeriksa status anggota tim yang lain. Fabio berkata seolah dia cemburu.
“Minjoon sungguh punya keahlian tinggi dalam mengomando dapur. Mungkin itu karena dia punya palet yang bagus. Dia mampu menemukan masalah dengan hanya sekali mencicipi.”
“Anderson kita harus menjadi seperti itu.”
“Dia hanya belum mendapat kesempatan. Jika nanti dia mendapat kesempatan, dia akan melakukannya dengan baik.”
“Tetapi Minjoon masih lebih baik.”
Suara serak tiba-tiba menyela dari samping. Amelia dan Fabio mengerutkan dahi saat mereka melihat ke samping lalu mereka bingung. Ada seorang wanita dengan rambut keriting berwarna hitam dan panjang. Dia juga memakai kaca mata hitam dan masker menutupi mulutnya. Tidak mungkin mengetahui siapa dia.
Wanita itu sedikit menurunkan kaca matanya. Namun, Amelia dan Fabio masih tidak bisa mengatakan siapa itu. Pada akhirnya, dia harus menurunkan maskernya juga lalu akhirnya mereka bisa menyadari siapa dan berseru.
“Kaya, itu kau.”
“Sudah lama ya. Kami sudah melihat semua upayamu dengan gembira sampai sekarang.”
“Upaya? Aku sungguh tidak banyak melakukan apa-apa.”
“Baiklah. Kau tahu kan. Apa masker yang kau pakai sekarang adalah masker yang kau pakai waktu itu?”
Wajah Kaya merona saat dia akhirnya paham apa yang mereka bicarakan. Saat Amelia mulai tertawa, Fabio menyikut badan Amelia dengan kikuk. Fabio tersenyum saat melihat Kaya.
“Jadi siapa yang kau dukung hari ini? restoran Grand Chef? Ataukah Rose Island?”
“Keduanya.”
“Ah, kau tidak bisa menjawab seperti itu. Pasti ada yang lebih dominan dari yang lain.”
“…Kukira restoran Grand Chef?”
Itu jawaban yang mengejutkan. Amelia bertanya dengan ekspresi bingung.
“Ini mengejutkan. Kau tidak berada di sisi Minjoon.”
“Entahlah.”
Kaya mengangkat bahu. Sejujurnya, alasan dia ingin restoran Grand Chef menang adalah karena Jo Minjoon juga. Dia ingin melihat ekspresi Jo Minjoon saat kecewa. Dia ingin bisa menghibur dan memeluk Jo Minjoon. Dia juga ingin merasakan sensasi kami mengalahkanmu dan masih ingin menjadi karakter utama yang dikagumi Jo Minjoon sebagai chef.
“Bagaimana dengan Anda berdua? Apa Anda ingin Glouto menang? Ataukah Anda ingin Rose Island menang dengan Anderson sebagai bintang?”
“Tentu saja Glouto. Kita menikmati melihat pertumbuhan anak-anak hanya sampai mereka setinggi dada kita. Ketika mereka mulai lebih tinggi dari kita, mereka mulai menjadi sedikit menjengkelkan.”
“…Aku juga lebih tinggi dari ibuku.”
“Itu buruk. Kau berakhir menjadi putri yang menjengkelkan.”
“Tidak apa-apa. Minjoon bilang aku cantik kok.”
Amelia melihat Fabio saat Kaya mengatakan itu. Fabio hanya menatap balik Amelia dan penasaran kenapa dia menatapnya. Amelia menghela nafas.
“Baiklah. Aku kalah.”
“Sejak kapan kalian berdua mulai bersaing?”
“…Sayang. Bisa tolong diam saja?”
Fabio menutup mulutnya dan tangannya bergerak seolah menutup resleting dia mulutnya. Amelia melihat Kaya dan merespon dengan nada menantang.
“Tunggu saja. Anakku akan mengalahkan pacarmu.”
“Hmph. Minjoon tidak selemah itu.”
“Tidak lemah? Menurutku, anakku sudah mengalahkannya pada acara epicurean yang waktu itu.”
Dia sedang membicarakan tentang kompetisi Anderson dan Jo Minjoon saat di Perjalan Kuliner. Kaya tidak bisa merespon hal itu dan hanya mengerutkan bibirnya di balik masker. Kemudian dia mulai bergumam dengan nada marah.
“Tunggu saja. Hari ini, Minjoon jelas akan mengalahkan Anderson.”
“Kau yakin? Menurutku kita harus menunggu selama 10 tahun untuk itu terjadi.”
Fabio bergumam tidak percaya.
“Mmm…Mereka itu ada di tim yang sama…”
< Kembalinya Sang Legenda (2) > Selesai