Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 188: Kembalinya Sang Legenda (3)
Kaya dan Amelia tidak menurunkan semangat kompetitifnya bahkan pada komentar Fabio. Tentunya, perseteruan mereka tidak berimbas pada Anderson maupun kinerja tim Jo Minjoon…Fabio hanya mendecakkan lidahnya lalu bergumam dalam hati untuk dirinya sendiri.
‘Wanita. Kenapa mereka membuat hidup mereka sangat rumit?’
Hanya tinggal 5 menit tersisa dari 30 menit yang diberikan. Rose Island sudah plating. Bisa dilihat perbedaan antara tim yang santai dan tim yang tertekan berdasarkan plating mereka. Kaya berkata, meski wajahnya tertutup masker, tapi bisa dilihat dengan jelas bahwa dia sedang tersenyum.
“Lihat betapa santainya Minjoon. Tim lain hanya plating untuk satu atau dua piring tetapi Minjoon tampaknya plating berdasarkan jumlah juri. Chef harus jadi keren seperti itu.”
“Anderson pun sama. Untuk membuat adonan gnocchi dan bisque dalam waktu singkat…anakku sungguh menakjubkan.”
“Minjoon juga memperlihatkan itu.”
“Cukup, cukup. Kalian berdua, cukup. Omong-omong, Kaya, apa anggota tim restoranmu memasak berdasarkan resep darimu?”
Fabio pasti sudah tahu, itu tidak akan berakhir meski dia menyela dan mengubah topik. Kaya ragu sejenak dan mengerutkan bibirnya. Responnya tidak datang dengan cepat.
“…Separuh separuh.”
“Ada apa dengan jawaban aneh itu?”
Kaya tidak merespon. Dia tidak ingin memperdebatkan apa yang dia katakan. Dia hanya tidak mau menjawab. Dia menyediakan resep original, tetapi resep itu disesuaikan dan ditingkatkan oleh kepala koki yang asli hingga pada titik hidangan buatan mereka itu hampir tidak ada kemiripannya dengan resep original Kaya. Untuk menjawab pertanyaan Amelia, dia harus menjelaskan itu semua atau berbohong. Atau, lebih baik tidak mengatakan apapun.
Syukurlah, Amelia tidak bertanya lebih lanjut. Kaya menyilangkan kakinya, begitu juga lengannya. Matanya yang tersembunyi di balik kaca mata hitamnya mengejar Chloe.
‘…Chloe, kau sangat keren.’
Chloe tidak merendah di depan begitu banyak orang. Ekspresi Chloe percaya diri, enerjik, dan selalu tersenyum. Kaya merasa iri pada wajah itu. Dia ingin membuat ekspresi seperti itu dan mengeluarkan suara seperti itu juga. Menjadi pemenang Grand Chef tampak mewah di luar, tetapi semua itu hanyalah cangkang kosong.
‘Kaya Lotus akan menjadi apa…jika bukan pemenang Grand Chef?’
Dia bahkan tidak bisa muncul dengan resepnya untuk dikompetisikan. Hal itu membebani perasaan Kaya. Dia ingin keluar dan berada di dapur sebagai chef demi layaknya Jo Minjoon atau Anderson…tetapi dia tidak bisa melakukan itu. Pertama, hal itu karena dia chef kepala. Meskipun chef kepala hanyalah sebuah nama..itu adalah jabatan yang hanya dimilikinya saat ini.
Satu tahun. Aku hanya harus sabar selama satu tahun. Dia berusaha berpikir seperti itu…tetapi untuk menghabiskan satu tahun, lebih seperti seorang selebriti, bukan, sebenarnya, lebih seperti maskot daripada chef, hal itu terlalu membuat frustasi. Mungkin dia terdengar seperti tidak bersyukur pada apa yang dia punya, tetapi dia ingin memegang pisau di tangannya. Dia ingin memegang wajan dan merasakan panasnya api, lembutnya keringat yang mengalir di atas kulit, dan aroma sayuran yang digoreng di wajan. Dia ingin merasakan semua itu.
Mungkin itu karena hasrat pribadi Kaya, tetapi tatapannya saat melihat Jo Minjoon, bukan, saat dia melihat semua orang yang memasak di auditorium, tatapannya penuh hasrat.
‘Aku…ingin memasak.’
Jo Minjoon tiba-tiba berhenti saat membersihkan piring. Perlahan dia mendongak dan melihat ke arah penonton. Anderson melirik Jo Minjoon lalu memutuskan bertanya.
“Apa kau melihat sesuatu di sana?”
“…Tidak ada. Aku hanya penasaran apakah Kaya di sini saat ini.”
“Melihat betapa senyapnya ini, dia pasti tidak di sini. Kalau tidak, dia pasti dalam penyamaran.”
Jo Minjoon melihat seluruh piring tanpa berkata apa-apa. Tidak hanya Jo Minjoon yang mempersiapkan 13 piring, anggota tim Rose Island yang lain pun demikian. Mereka tampaknya ingin memberikan santapan pada juri dan juga penonton. Para chef dari tim lain hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya setelah melihat apa yang disiapkan Rose Island.
‘Ini gila. Membuat adonan gnocchi dan melakukan gastronomi molekuler sembari menyiapkan masing-masing 13 hidangan…’
‘Rose Island muncul sungguh untuk meletakkan semuanya kembali pada tempatnya.’
Hal itu bukan sesuatu yang bisa mereka dapatkan dengan berlatih gila-gilaan selama beberapa hari. Hal ini sungguh bergantung pada betapa kuatnya pondasi yang mereka punyai sejak awal. Semua chef yang hadir bisa merasakannya. Level chef demi Rose Island lebih tinggi dari rata-rata level chef demi.
Di tengah itu ada Jo Minjoon. Matthew memuji mereka sambil diam-diam bergumam pada Chloe.
“Apa ini karena pengalaman di Grand Chef? Minjoon tidak begitu canggung dalam memimpin. Dia tampak sangat berpengalaman.”
“Kita harus menangani misi yang sulit pada situasi yang penuh tekanan. Minjoon itu baik. Jika dia mendapat kepercayaan dari rekan timnya, dia pasti membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin untuk memenuhi ekspektasi mereka. Dia adalah pemimpin yang baik. Dari yang pernah bekerja sama denganku, dia adalah pemimpin terbaik sepanjang pertunjukkan.”
“Dia pasti berarti untukmu karena kau sangat memujinya.”
Matthew melihat Chloe seolah berusaha melihat ke dalam benaknya. Chloe tidak mau menatap mata Matthew. Namun, meski tanpa membuat kontak mata, mudah untuk mengetahui bagaimana perasaannya. Selama 30 menit terakhir, kapanpun dia punya kesempatan, pandangan Chloe berfokus pada Rose Island. Lebih tepatnya, sungguh bisa dikatakan pandangannya hanya tertuju pada Jo Minjoon, kapanpun ada kesempatan.
‘Wanita ini sedang berjalan di jalur yang sulit juga.’
Tentunya, itu bukan urusan Matthew. Matthew lanjut berbicara dengan nada santai.
“Aku akan mengumumkan jika waktunya telah habis.”
“Silakan. Aku sudah puas mendapat porsi pengumuman START.”
Matthew melihat ke arah jam dinding. Dulu, dia melihat jam dinding dari penonton. Tetapi sekarang, dia melihat jam dinding sebagai orang yang mengumumkan. Ada perasaan yang berbeda. Batasan di antara yang lalu dan sekarang. Yang mirip adalah Rose Island yang dulu, tetapi dengan chef demi yang baru. Setelah memikirkan semua itu, suaranya tiba-tiba terdengar dengan lantangnya.
“Waktunya habis. Angkat tangan ke atas!”
Chef demi Rose Islands sudah selesai sebelum waktu habis. Jo Minjoon melihat ke arah hidangan para chef lain tanpa berkata apa-apa. Semua hidangan tampak bagus. Jika kau hanya melihat skor masakan, mayoritas berskor 7 poin. Ada juga yang berskor 9 poin. Sebagai perbandingan, hidangan tim Rose Island semuanya…
‘Semua berskor 9 poin.’
Yang mana berarti mereka tidak membuat kesalahan apapun saat memasak. Hampir tidak mungkin bagi mereka untuk membuat kesalahan. Selama proses, jika tiga chef lainnya tampak hendak membuat kesalahan, skor hidangan estimasi segera memberi respon di kepala Jo Minjoon, lalu dia segera menuju ke orang itu untuk memberi tahu apa yang salah dan yang lain bisa tahu bagaimana untuk merespon itu.
“Kerja bagus semuanya.”
“Jangan mengatakan itu sebelum kita menang.” jawab Anderson dengan nada menggerutu.
Jo Minjoon menyeringai saat dia melihat ke depan.
“Kerja bagus semuanya! Kalian semua telah mencurahkan seluruh jiwa ke dalam hidangan-hidangan ini. Sekarang kami akan mengumumkan para juri!” teriak Chloe melalui mikrofon dengan nada agak gugup.
Segera setelah dia selesai bicara, tirai di belakang pembawa acara terbuka. Jo Minjoon tersentak sejenak lalu mulai merinding…Ada dua wajah yang familiar.
“Mr. Jeremy dan bahkan Emily…Aku tidak menyangka melihat mereka lagi di sini.”
“Mereka berdua adalah epicurean yang terkenal.” jawab Anderson menjawab santai seolah dia tidak terkejut sama sekali.
“Pencicipan di mulai. Hal yang paling mengejutkan Jo Minjoon adalah penilaian Emily. Jeremy memang selalu kasar dan terkenal atas komentarnya yang jahat, sehingga tidak aneh bagi Jeremy untuk mendapat banyak komentar negatif. Namun, Emily berbeda.
“Jadi kau mengatakan ini adalah hidangan yang merepresentasikan restoranmu? Mengecewakan. Lebih baik mengatakan hidangan ini gagal. Kukira tidak ada alasan bagiku untuk mengunjungi restoranmu nantinya.”
“Chef kepala muncul secara pribadi. Berapa banyak anggota staf yang kau punya di restoran? Ah, barangkali kau menghabiskan lebih banyak waktu berleha-leha alih-alih sebenarnya memasak. Jadi kenapa kau memutuskan untuk mengangkat wajan hari ini? Hidangan ini jelas mengatakan kau sudah kehilangan sentuhanmu. Dagingnya terlalu matang, dan pureenya lunak. Kenapa tidak kau serahkan pada chef demimu?”
“Kau bilang bahwa kau kehilangan bintang Michelin baru-baru ini. Kau juga mengatakan kau tidak bisa menerima hasil itu. Namun, menurut pendapatku, itu keputusan yang benar melepas bintang itu. Hidangan yang ada di depanku ini adalah hidangan dasar yang bisa kau santap di mana-mana. Rasanya enak. Tetapi kreativitasnya tidak ada. Apa kau kehilangan hasratmu dalam memasak ataukah kau kehilangan kreativitasmu? Apapun itu, akan sulit mengembalikan kepercayaan dirimu dengan hidangan yang kau buat hari ini.”
Tentunya, dia tidak bersikap sangat kejam pada semua tim. Omelannya terlontar pada tim-tim yang menurutnya kurang dalam hal-hal dasar. Masalahnya adalah beberapa hidangan yang dia kritik berskor 8 poin dan 9 poin. Bahkan meski hidangan-hidangan itu berskor 9 poin, jika dilihat dari sisi kreativitasnya, tidak akan sulit untuk membuat kritikan.
Masalahnya adalah masing-masing juri punya standar berbeda dalam menilai. Setiap hidangan yang tidak memenuhi standar mereka akan dikritik habis-habisan. Bahkan Janet menggigit bibirnya karena gugup. Tekanan ini sangat berlebihan.
Tetapi Jo Minjoon terus waspada. Jo Minjoon memberi salam pada para juri dengan sorot mata percaya diri saat dia meletakkan piring-piring di depan mereka. Salah satu dari mereka berkata.
“Sudah lama sejak terakhir kami melihat Rose Island di kompetisi ini.”
Respon atas tanggapan itu, tentu menjadi tugas Jo Minjoon. Dengan percaya diri, dia menjawab.
“Iya. Kami tahu soal itu.”
“Kami gugup dan juga berhati-hati di saat kami berdiri di depan hidangan-hidangan ini. Aku bahkan takut untuk mengangkat garpu. Rose Island. Restoran pusat. Ingatan kami tentang tempat itu…apakah kau akan mempertahankannya? ataukah membuat kami berpikir bahwa cerita itu dibesar-besarkan? bagaimana akhirnya nanti…”
“Ingatan itu akan hilang.” jawab Jo Minjoon dengan nada percaya diri.
Alis juri itu naik mendengar respon Jo Minjoon. Perlahan, Jo Minjoon lanjut berbicara.
“Restoran pusat bukan lagi restoran lama yang mengingatkan Anda pada sepuluh tahun yang lalu. Chef Rachel masih hidup dan restoran utama masih ada. Bukan, faktanya, restoran utama telah berkembang.”
“Mungkinkah perkembangan itu adalah gastronomi molekuler? Tidak buruk untuk berfokus pada gastronomi molekuler. Pesan bahwa Rose Island tidak berhenti hanya di masakan tradisional itu pun baik. Namun, hanya karena kau mencoba sesuatu yang baru bukan berarti kau mendapat sesuatu yang baru. Berdasarkan apa yang pernah aku dengar…kalian semua baru mengerjakan gastronomi molekuler hanya sebulan, apa itu benar?”
“Iya. Itu benar bagi kami para chef demi. Namun, selama 10 tahun terakhir, Chef Rachel berfokus mempelajari gastronomi molekuler. Dan sisanya, kami semua berada di sini karena kerja keras chef kepala kami. Makanan yang telah kami buat adalah hidangan Chef Rachel. Pengalaman gastronomi molekuler kami tidak menjadi masalah.”
Jo Minjoon mengatakan itu dengan menunjuk hidangan pembuka. Dia lanjut berbicara dengan tenang.
“Hidangan pembukanya adalah salad jeli dengan permen dan gula coklat. Silakan dinikmati.”
Para epicurean mengangkat garpu mereka sesuai anjuran Jo Minjoon. Jo Minjoon tidak gugup. Mereka tidak membuat kesalahan apapun dan resepnya sempurna. Untuk ukuran hidangan yang dibuat dalam waktu 30 menit, hidangan itu lebih baik. Perlahan, mereka memasukkan salad ke dalam mulut lalu ekspresi mereka kecewa. Gula permennya tidak special dan jelinya pun sama. Namun, situasi berbuah secara instan.
“Ini……” kata Jeremy dengan nada terkejut.
Jo Minjoon tidak mengatakan apapun. Sekarang mereka akan kewalahan oleh aroma salad yang meledak di mulut mereka. Mereka telah mengontrol densitas gelatin, salad cair yang terkandung dalam jeli pasti sudah terlepas.
Semua juri tidak bisa berkata-kata dan hanya saling berpandangan satu sama lain. Setelah menyantap sesuap jeli, tiba saatnya gnocchi Anderson. Gnocchi yang terbuat dari adonan wortel adalah hasil dari Rachel mengajari Anderson secara pribadi selama seharian penuh. Produk akhirnya tentu saja sempurna. Cita rasa lembut wortel yang bermitra dengan cita rasa bisque udang yang manis dan sedap menghantam lidah seperti wanita bangsawan yang montok dan cantik pada jaman dahulu. Bahkan tekstur bola udang di sebelah gnocchi sangat kenyal sempurna dan lunak hingga kau tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Bahkan sekarang, tidak ada dari mereka yang berbicara. Beberapa dari mereka tersesat dalam kebahagiaan, sementara yang lain meraih hidangan berikutnya seolah-olah tidak bisa menunggu lagi. Belut bakar Javier. Di atas belut yang menyerap asap dari arang adalah jeli kecap asin dan saus busa krim jahe. Belut yang kehilangan separuh bau amisnya karena arang, terbilas dengan saus busa krim jahe lalu terbungkus dalam jeli kecap asin. Meskipun mereka sedang menyantap makanan, itu terasa seperti mereka sedang menikmati karya seni di lidah mereka. Belut bakar ini membuat mereka merasa demikian.
Hidangan terakhir adalah hidangan penutup buatan Jo Minjoon. Beberapa dari mereka tampak bingung melihat hidangan itu karena bukan seperti hidangan penutup, namun, kebanyakan dari mereka bahkan tidak punya kemewahan untuk melakukan itu. Mereka begitu terperdaya oleh makanan sehingga perlahan menggulung spaghetti dan memasukkannya ke dalam mulut seolah-olah kecewa karena mereka sudah berada di menu akhir.
Coklat yang meleleh dalam spaghetti membawa keluar lebih banyak cita rasa coklat alih-alih fokus pada rasa manis. Ketika coklat berharmonisasi dengan rasa manis dari stroberi yang terkarbonasi, kombinasi itu menghasilkan sebuah cita rasa yang tidak seorang pun bisa mengantisipasinya. Itu seperti sebuah ledakan. Itu adalah ciuman sayang yang paling indah nan lembut.
Pada akhirnya, beberapa epicurean mulai menangis. Bak tertusuk duri, ekspresi kesakitan itu tampak penuh kesedihan dan kerinduan. Empat hidangan itu menciptakan harmoni yang sempurna tanpa cacat.
“Rose……Island.”
Seseorang mulai bergumam seolah melantunkan mantra. Epicurean lain mengangguk seolah mereka setuju dan menggumamkan hal yang sama. Rose Island. Rose Island.
Jo Minjoon punya rencana menarik saat dia berdiri tegak dan melihat para juri. Semua piring telah kosong. Hidangan telah benar-benar habis hingga tidak meninggalkan satu tetes saus pun. Orang-orang yang makan hingga bersih ini saling berdiskusi.
Momen yang jelas ini.
Sang legenda telah kembali.
< Kembalinya Sang Legenda (3) > Selesai