Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 189: Kembalinya Sang Legenda (4)
Ketika mereka selesai mencicipi hidangan tim Rose Island, semua orang sudah yakin. Kemana condongnya kursi kemenangan. Tidak ada jalan lain. Bahkan penonton bisa mengatakan bahwa para juri penuh rasa kagum, bukan, melainkan sungguh kewalahan dengan cita rasa hidangan.
Keempat hidangan Rose Island yang disajikan sempurna. Detail dari masing-masing hidangan dan platingnya rapi. Sulit untuk percaya bahwa mereka membuat semua ini dalam waktu 30 menit. Yang paling mengejutkan adalah sinergi antara keempat hidangan ini. Tentu saja makanan itu tidak disantap sekaligus. Oleh karena itu, bisa dikatakan masing-masing hidangan berada dalam teritorinya masing-masing…tetapi menu lengkap Rose Island mengubah pemikiran semacam itu.
Pertama, jeli salad ada di sana bukan hanya untuk menyatukan beraneka bahan. Cita rasa sayuran di dalamnya dapat membantu membersihkan mulut dari makanan yang disantap sebelumnya. Tetapi bukan itu. Cita rasa sayuran justru tertinggal hingga saat akan menyantap gnocchi wortel dan bola udang, dan perlahan menghilang hanya pada saat mulai menyantap hidangan utama, yaitu belut bakar.
Kemudian, momen ketika cita rasa kuat dari belut tersisa di mulut, pasta cokelat putih Jo Minjoon dengan saus stroberi memenuhi mulut dengan cita rasa manis dan asam sekaligus…hidangan ini membersihkan seluruh rongga mulut tanpa perlu berhenti untuk meminum air. Itu adalah komposisi yang terlampau enak. Itu adalah sebuah menu lengkap yang akan membuat siapapun yang tahu tentang makanan mulai mengeluarkan air ludah. Chloe menutup matanya dan membiarkan cita rasanya membawa pikirannya menjauh.
‘Ini…Minjoon membuat ini.’
Hidangan pembuka itu sendiri menakjubkan, tetapi fakta bahwa Jo Minjoon tidak membuat satu kesalahan pun dalam menyatukan ini bersama-sama, itulah yang lebih menakjubkan, yaitu membuat hidangan gastronomi molekuler dengan sempurna tanpa membuat kesalahan apapun…
Komposisi hidangan, serta kecanggihan dan keunikan resepnya juga luar biasa. Chloe merasa akhirnya dia paham seperti apa Rachel Rose. Dan Jo Minjoon bekerja di bawah orang semacam itu. Di saat Chloe berdiri di depan kamera, Jo Minjoon sedang berdiri di sebelah chef paling hebat pada generasi ini.
“…Luar biasa, Minjoon, bukan, maksudku semua anggota tim Rose Island. Kalian sungguh membuat hidangan yang menakjubkan. Aku iri, menurutku, kalian sangat keren.”
“Terima kasih banyak.” jawab Jo Minjoon singkat.
Chloe tidak kecewa. Mungkin akan tampak sombong bila menanggapi pujian Chloe dengan hal lain. Matthew, yang tenggelam dalam pikirannya, perlahan berkata.
“Aku gagal sebagai pembawa acara. Nona Chloe, kau juga. Bagaimana mungkin kita tidak mengatakan satu kata pun sembari menyantap keempat menu ini? Lihatlah wajah-wajah frustasi penonton kita.”
“Oh, aku sungguh merasa bersalah pada mereka. Aku juga sedih mereka tidak bisa menyantap ini.”
“Hmm hmm, nona Chloe, mungkin sebaiknya kau berhenti memuji. Sebagai MC, kau tidak boleh menunjukkan favoritism pada salah satu tim.”
“Benar. Aku harus adil. Tetapi hidangan mereka membuat seorang pembawa acara tidak bisa bersikap adil. Ah…Aku sungguh terpesona. Aku tidak tahu urutan hidangan bisa memunculkan cita rasa yang luar biasa. Aku sungguh berharap kata-kataku bisa menjadi rasa yang bisa menjangkau lidah kalian semua. Para juri, apa Anda setuju?”
Chloe melihat ke arah para juri. Tetapi mayoritas dari mereka tidak dalam keadaan untuk merespon. Seseorang terisak-isak sambil masih melamun, sementara yang lain hanya menatap kosong ke arah piring kosong. Satu-satunya yang masih bisa mengatakan sesuatau adalah Emily. Dia berkata dengan ekspresi rumit di wajahnya.
“Iya, aku setuju. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa sungguh kesulitan dalam mendeskripsikan cita rasa. Gastronomi molekuler yang di tangani Chef Rachel Rose …… terasa sangat berbeda, lebih dari apa pun yang pernah aku santap dalam hidupku.”
“Aspek mana yang berbeda?”
“Kukira kesan yang kau dapat dengan yang tidak. Bukan, itu tidak cukup untuk mendeskripsikannya. Aku merasa seperti aku sedang didongengi saat aku menyantapnya. Jika aku harus mengatakan sendiri, mayoritas restoran gastronomi molekuler punya masalah karena para chef masih belum familier betul dengan komposisi hidangan gastronomi molekuler. Apa boleh buat. Gastronomi molekuler baru berusia 10 tahunan. Bahkan yang disebut ahli dalam bidang gastronomi molekuler sekalipun tidak memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun.”
“Itu berarti…Chef Rachel Rose sungguh menguasai gastronomi molekuler?”
“Sulit bagiku untuk menjawab itu. Namun, yang aku yakini adalah…”
Emily menunjuk piring kosongnya. Suaranya penuh rasa kagum, takjub, serta suka cita. Sulit dipercaya bahwa dia baru saja memberikan kritikan pedas pada para koki sebelumnya.
Dari semua chef yang pernah aku temui, Rachel Rose memiliki pemahaman yang paling hebat dalam gastronomi molekuler. Chef Rachel juga mempraktekannya dengan baik. Aku yakin semua orang pada hari ini merasa begitu. Itulah kenapa mereka masih tidak bisa duduk sampai saat ini.”
Chloe melihat respon para chef yang lain dan para epicurean terhadap kata-kata Emily. Emily benar. Semuanya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Chloe akhirnya yakin. Rose Island tidak hanya membuat hidangan yang sedap dan sempurna. Mereka telah menunjukkan sesuatu yang berbeda dari semua hidangan pada hari ini. Sementara orang lain mengagumi pemandangan di puncak gunung, hidangan Rose Island membantu orang-orang melihat semua yang ada di langit.
‘Mereka membuatnya seperti itu…kau bisa merasakan makanan dengan seluruh tubuhmu.’
Selalu hanya ada satu untuk setiap suap hidangan. Rachel mengatasi masalah itu dengan ragam menu lengkap. Alih-alih membiarkanmu merasakan banyak hidangan dalam satu suap, dia membuat kau bisa merasakan satu rasa dengan banyak hidangan. Rasa yang akan tetap tinggal dalam mulut orang-orang saat ini tepatnya seperi itu. Hal yag menakjubkan adalah dia mengatur untuk melakukan ini bukan dengan kekuatannya dalam masakan tradisional, melainkan dengan gastronomi molekuler. Gastronomi molekuler ini yang dia pun seharusnya tidak punya banyak pengalaman.
Fakta bahwa Rose Island bukanlah tim terakhir, hal itu buruk bagi juri maupun tim yang tersisa. Para juri tidak bisa mendapatkan kesan positif dari hidangan buatan tim yang tersisa. Bukan karena itu tidak sedap. Faktanya, ada banyak hidangan, yang mau tak mau mengklaim sebelumnya bahwa mereka hebat. Namun, setelah mencoba menu lengkap Rose Island, menu lengkap yang lain bahkan tidak terasa seperti menu lengkap. Perbedaan yang bisa diungkapkan dari sudut pandang adalah mana hidangan yang sudah tua dan mana yang mash muda dapat terlihat dengan jelas.
‘10 tahun yang lalu, Rose Island selalu yang terakhir dalam kompetisi ini.’
Karena dahulu, memang selalu berakhir seperti ini, antisipasi dari kompetisi hilang saat Rose Island giliran pertama. Setelah tidak ada Rose Island dalam kompetisi selama 10 tahun, mereka pasti sama sekali tidak ingat akan hal itu.
‘Semua orang harus mengingatnya mulai sekarang.’
Pulau yang mereka yakini sudah tenggelam telah kembali ke permukaan lagi. Sekarang, semua orang harus melihat pulau itu lagi. Mereka akan bermimpi datang ke pulau itu. Jeremy mulai terkekeh dan bergumam pada dirinya sendiri, seolah-olah memikirkan hal itu sebagai sesuatu yang lucu.
“Yang memasak akan segera sibuk.”
€
“Pemenangnya adalah…Rose Island”
Tidak ada yang terkejut saat Matthew mengumumkan hasilnya. Semua orang telah menduga hasil ini. Tentunya orang-orang yang berharap merasa kecewa, tetapi melihat kelahiran kembali seorang legenda, itu lebih menyegarkan. Hampir semua orang memiliki senyuman di wajahnya.
Ratusan, tidak, ribuan tepuk tangan memenuhi auditorium. Para chef pun demikian. Mereka semua menoleh ke arah tim Rose Island dan bertepuk tangan untuk mereka dengan tulus.
Jo Minjoon tidak segera melangkah maju. Dia memejamkan mata, dia mengukir kemenangan ini dalam benaknya. Semangat bertepuk tangan yang beresonansi tidak hanya di telinga, tetapi juga melalui tubuhmu. Ribuan mata dan sorakan yang memenuhi auditorium.
Jo Minjoon perlahan mulai membuka matanya. Kemudian dia menoleh ke rekan timnya.
“Ayo.”
“…Kita semua?”tanya Janet terekejut.
“Kita memasak bersama-sama. Maka seharusnya kita mendapat tropi bersama-sama juga.” jawab Jo Minjoon dengan santai.
Jo Minjoon melangkah. Tentunya tidak ada benda seperti karpet merah. Namun, berjalan di tengah riuh tepuk tangan terasa lebih mewah dan menakjubkan baginya dari pada berjalan di atas karpet merah. Chloe dan Matthew melihat mereka dari panggung. Matthew perlahan mulai berbicara.
“Semuanya merindukan sang legenda dan penasaran. Terima kasih, para chef Rose Island. Kalian telah membuktikan bahwa sang legenda masih ada. Sekarang, sang legenda tidak lagi hanya kenangan tetapi ada di antara kita semua.
“Selamat. Pemenang Kompetisi Memasak LA yang ke-53. Jika memungkinkan, kami ingin memberi kalian tropi satu satu….tetapi sayangnya hanya ada satu. Apa ada seseorang yang akan menerima ini sebagai perwakilan?”
Para chef demi melihat Jo Minjoon saat Chloe bertanya. Anderson mendorong Jo Minjoon maju. Jo Minjoon tampaknya gugup sejenak lalu tersenyum dengan lembut dan menerima tropi dari Chloe. Kamera-kamera mulai mengeluarkan kilat-kilat lampu blitz pada mereka. Kata-kata ‘Grand Prize’ yang terukir pada tropi kristal sangat jelas terlihat. Chloe bertanya pada Jo Minjoon dengan senyum tidak nyaman yang biasa ditunjukkan pada temannya. Nada bicaranya sangat normal.
“Bagaimana perasaanmu?”
“..Ini adalah tropi pertama yang pernah aku terima sepanjang hidupku. Ini kemenangan pertamaku. Meskipun ini adalah tropi yang bukan aku dapatkan sendiri melainkan bersama dengan rekan timku, menurutku ini justru semakin berarti.”
“Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
Jo Minjoon menelan ludah. Kemudian, perlahan dia menoleh ke chef demi lainnya, dan juga pada penonton dan para juri.
Lalu dia perlahan berkata.
€
“Lama tak jumpa, Emily, dan Jeremy.”
“Tadinya aku berusaha untuk bisa sangat keras bila hasilnya tidak baik, tetapi kau membawa hidangan yang membuatku tidak bisa melakukannya. Mengagumkan.”
“Aku tidak mengagumkan. Aku hanya melakukan apa yang diajarkan Guru Rachel padaku.”
“Mayoritas chef demi cenderung untuk tidak mampun melakukan itu meski mereka diajari. Pada levelmu, kau bisa menjadi sedikit arogan.”
“Terima kasih telah memujiku seperti itu.”
Jo Minjoon tersenyum. Kompetisi selesai dan banyak dari mereka berkumpul bersama di luar area kompetisi. Rachel pun juga ada di keramaian itu. Segera setelah Rachel tiba, mayoritas epicurean tampak seperti mereka berusaha setengah mati untuk berbicara pada Rachel. Tetapi bukan hanya terjadi pada para epicurean. Bahkan para chef demi lain yang ikut berkompetisi pun sama. Rachel melihat chef deminya lalu tersenyum.
“Kerja bagus. Aku khawatir kalian akan terlalu gugup, ternyata sia-sia aku khawatir.”
“Guru, tatapan guru lebih sulit ditangani dari pada ribuan mata mereka, setidaknya bagiku. Itulah kenapa aku tidak terlalu gugup.”
“Itu pujian kan?”
“…Itulah betapa besarnya pengaruh yang guru berikan padaku.”
Jo Minjoon terkikik saat merespon. Pada saat itu, seseorang tiba-tiba memeluk leher Jo Minjoon dari arah belakang. Kemudian dia berbisik di telinga Jo Minjoon dengan suara seraknya.
“Lalu apa pengaruh dari aku?”
“…Kaya. Apa yang kau lakukan di depan semua orang ini?”
“Itu akan jadi sloganmu atau semacamnya! Kau selalu mengomeliku di depan banyak orang.”
Kaya mulai menggerutu saat melepaskan tangannya. Emily melihat mereka dengan ekspresi sedikit asing.
“Aku sudah dengar kalian berdua berpacaran, tetapi ini terasa aneh melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”
“Jangan khawatir. Aku yakin aku merasakan hal yang sama saat aku melihatmu dengan Alan, Emily.” respon Kaya dengan santai.
Itu sangat santai, seolah dia tidak punya alasan lagi untuk khawatir karena Emily bukan lagi jurinya. Emily melihat Rachel dengan ekspresi malu-malu.
“Omong-omong, selamat Rachel, bukan, terima kasih. Sesuai dugaanku, tidak ada orang lain yang bisa membuatku kewalahan dengan makanan selain dirimu.”
“Menurutku, Alan akan sedih mendengar itu.”
“Biarlah dia sedih. Si bodoh itu perlu sedikit menderita.”
Melihat Emily menggerutu seperti itu, mereka pasti sedang bertengkar baru-baru ini. Jeremy tersenyum saat dia bertanya.
“Omong-omong apa yang akan kalian lakukan dengan uang hadiah $30,000?”
“Minjoon mengatakan beberapa hal yang berkesan sebelumnya.”
Rachel menatap Jo Minjoon. Jo Minjoon berusaha mengingat-ingat apa yang dia katakan. Dia tidak tahu apa yang Rachel bicarakan. Rachel lanjut berbicara.
“’Alasan kami bisa memiliki momen kejayaan ini semua berkat guru kita. Terima kasih telah memberikan semangat dan mengajari muridmu yang masih kurang ini. Kami selalu bersyukur dan kami menyayangimu, Guru.’ Aku sangat bersyukur kau mengatakan hal seperti itu, Minjoon.”
“..Kudengar yang terbaik adalah jujur pada perasaanmu.” respon Jo Minjoon dengan ekspresi malu. Rachel tersenyum lalu berkata lagi.
“Oleh karena itu, aku terpikir hal ini pula. Alasan aku bisa memenangkan kompetisi ini, adalah karena kalian semua menyelesaikan misi dengan baik sepert tanganku sendiri. Jadi tentunya…”
Rachel melanjutkan dengan nada halus.
“Uang hadiahnya milik kalian semua.”
< Kembalinya Sang Legenda (4) > Selesai