Dewa Memasak – Bagian 19: Pemahaman terhadap Siaran (1)
Ruang tunggu. Para juri sedang duduk di sofa dan melihat ke arah benda-benda yang ada di atas meja. Itu adalah benda-benda yang sederhana. Beberapa foto. Lebih tepatnya, foto para peserta. Mereka melihat pada total 27 foto. Emily membuka suara,
“Apakah ada peserta yang menurutmu layak?”
“Yang ini. Dia salah satu yang menguasai paling banyak hal-hal dasar.”
Foto yang Alan pilih, adalah foto Anderson. Emily memiringkan kepalanya dan berkata,
“Anderson? Tidakkah dia kurang kreatif? Dia bisa melezatkan, tapi itu pada level masakan instan yang 3 menit selesai.”
“Aku sepemdapat. Tapi kau tidak bisa tahu jika dia menyembunyikan kemampuannya dengan sengaja atau tidak. Setidaknya keahliannya luar biasa. Performanya ketika membuat stik ikan lele membuatmu kagum.”
“Apa yang membuatku kagum? Dia yang membuat hidangan yang biasa dengan keahlian menakjubkan itu? Orang biasa akan memakannya, tapi bagiku, rasanya kurang. Itu seperti seolah-olah aku telah mencobanya ribuan kali.”
Apa yang Anderson sajikan adalah stik ikan lele dengan pure bawang bombay. Pada saat itu, Emily teringat dengan rasa itu sekali lagi dan mengerutkan kening. Perasaan yang seolah-olah kau sudah mencobanya di suatu tempat. Anderson bukan seorang chef yang tiba-tiba berubah pikiran. Dan Emily tidak suka dengan chef semacam itu. Alan memandang Emily dan menjawab dengan tenang,
“…Jika kau punya keahlian, maka kepribadianmu juga akan mengikuti. Namun, aku ingin bertaruh untuknya. Dia punya kesempatan terbaik dari sekian orang yang kacau ini. Emily, bagaimana denganmu?”
Emily tersenyum pada apa yang Alan tanyakan dan mengarahkan jarinya. Jari telunjuknya yang panjang dan ramping menunjuk pada satu foto, foto Kaya Lotus.
“Aku akan bertaruh untuk dia.”
“…Kaya Lotus? Dia memang punya keahlian…”
Alan mengerutkan dahi. Tentunya, Kaya adalah peserta yang menarik. Menu khas andalannya, belut bakar, mendekati keahlian seorang master. Di seluruh dunia, tidak ada satu orang pun yang memasak belut bakar seperti Kaya. Namun,
“Masakannya tidak terbingkai apalagi identitasnya. Jika kau mengasuh seekor anjing sebagai contoh, dia adalah peranakan campuran.”
“Kau dengar ucapannya saat wawancara. Dia datang dari pasar. Hidangan bebas adalah identitasnya. Aku juga berpikir begitu.”
Suara Emily tegas. Tampak seolah-olah Emily benar-benar menyukai Kaya. Alan tidak terlalu menyangkal Emily. Karena mengevaluasi hidangan adalah kebebasan pribadi masing-masing.
Alan memandang Joseph lagi. Dia tidak mengatakan apapun. tapi Joseph dapat menebak apa yang akan Alan ingin katakan. Joseph membuka suara,
“Aku masih belum tahu.”
“Meski begitu, kau harus punya seseorang yang kau sukai?”
“Aku bingung… Aku menyukai kedua peserta yang kalian pilih. Selain mereka berdua, teman lain yang mengesankan adalah Chloe dan…”
Kata-kata Joseph tidak bisa terdengar jelas, tapi pandangannya tertuju pada foto seseorang. Alan mengikuti arah pandangan Joseph. Dan ketika dia melihat foto orang tersebut, dan berkata seolah-olah dia takjub.
“Minjoon? Tidak. Kau terus memikirkannya?”
“Bukan aku terus memikirkannya. Sederhananya, dia tampak seperti sesorang yang selalu menunjukkan seluruh keahliannya. Tapi aku jadi mengira-ngira hidangan apa yang akan dia buat ketika dia semakin berkembang.”
“… Kalau boleh jujur, itu memang membuat penasaran. Dia punya pengetahuan dasar, dan bahkan dengan itu dia bertahan di kompetisi dengan keahlian yang dia punya. Maksudku bukan aku membandingkan dia dengan Kaya atau Anderson.”
“Tentu saja, Aku tidak mengatakan dia akan menang. Bila dibandingkan dengan Anderson dan Kaya, keahliannya masih kurang. Aku hanya menduga sebagai seorang chef. Bagaimana teman kecil ini akan tumbuh. Itu hanya sebatas perkiraan.”
Joseph melihat foto Jo Minjoon. Alasan Joseph berharap sesuatu pada Jo Minjoon sederhana. Hidangannya melampaui keahliannya. Dan itu terjadi dua kali. Ada bagian yang masih kurang dalam memegang pisau dan penguasaan api, resepnya sempurna, dan tidak ada kecacatan. Itu adalah alasan Joseph memandang Jo Minjoon begitu tinggi.
“Aku yakin bahwa setidaknya dia akan membuat hidangan yang enak disantap.”
–
“Katakan sejujurnya. Kau menyukainya, kan?”
Martin menginterogasi, dia muncul tiba-tiba entah dari mana sebelumnya. Jo Minjoon tidak mengerti apa yang Martin nyatakan. Jo Minjoon mengerutkan dahi dan bertanya,
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Kaya Lotus. Maksudku dia.”
Martin berkata sambil tertawa meledek. Jo Minjoon menghela nafas dan bahkan sebelum dia bisa menjawab, Martin melanjutkan berbicara,
“Jangan katakan bahwa kau menyukainya sebagai chef seperti sebelumnya. Tidak peduli bagaimana kau menatapnya, bertukar makanan itu sedikit terlalu serius. Aku, sebagai orang yang melihat, menjadi bingung.”
“…Seperti yang kukatakan sebelumnya, tidak seperti itu. Itu adalah kekaguman seperti seorang penggemar…”
“Tuan Jo Minjoon. Jujurlah. Kaya baru saja mulai muncul di TV. Dan baru memasak yang kedua kali. Bagaimana bisa kau menjadi penggemarnya?”
Jo Minjoon tidak bisa membalas apa-apa. Dia bahkan tidak tahu harus membalas apa. Dia tidak bisa hanya mengatakan dia melihat siarannya dari masa depan, dan sejak itu menjadi penggemarnya.
Jo Minjoon mulai berpikir. Dia menjawab apa agar terdengar bijak? Tidak, Apa yang akan terdengar paling nyaman? Kesimpulannya sederhana. Biarkan dia berpikir sesuka hatnya.
“Baik. Editlah sesuai yang kau inginkan.”
“…Ya?”
“Jika itu yang kau inginkan, kau bisa mengeditnya seolah-olah aku menyukainya. Padahal aku tidak menyukai siapapun. Dan aku bahkan belum menikah. Aku mengerti proses mengedit adalah hal yang menyenangkan dan aku setuju dengan itu.
Saat Jo Minjoon mengatakan itu, Martin memasang ekspresi aneh. Benar bahwa dia meminta Jo Minjoon jujur tentang perasaannya terhadap Kaya agar siaran menjadi menarik, tapi itu karena dia tampak seperti menyukai Kaya. Tapi sekarang dia mengatakan pada Martin bahwa bukan itu yang terjadi.
‘…Apakah dia sengaja melakukannya karena malu?’
Dari sudut pandang Martin, Jo Minjoon tidak bisa berhenti memikirkannya. Martin berkata dengan suara yang sulit dipercaya,
“…Apa kau sungguh-sungguh tidak menyukainya?”
“Aku sudah bilang padamu aku tidak menyukainya. Ini hanya perasaan suka terhadap chef.”
“Tidak, meski begitu, dia cantik bukan? Sikapnya memang sedikit kasar, tapi dia cukup memesona sebagai wanita yang patut dipertimbangkan. Kau tidak melihatnya sebagai seorang wanita?”
“…Apakah melihatnya sebagai wanita juga berarti menyukainya?”
“Tidak, tentu saja sedikit berbeda…”
Martin melihat Jo Minjoon dengan wajah kesal. Sangat sulit memahami Jo Minjoon. Apakah Jo Minjoon mengatakan yang sesungguhnya? bahwa dia menjadi penggemar seseorang yang baru pertama dia lihat? Apakah belut bakar dan tangsuyuk Kaya begitu menakjubkan?
Bahkan jika dia berpikir keras tentang itu, dia tidak bisa memahami orang seperti apa yang berpikiran seperti itu. Martin menghela nafas dan mengubah pertanyaannya.
“Jadi, bagaimana rasa dari tangsuyuk yang kau dapat? Apakah lebih baik dari rebusan baso ikan lele buatanmu?”
“Menurutku hasil akhir dari kedua hidangan itu sama.”
“Berapa poin dari maksimal 10 poin?”
“7 poin.”
Suara Jo Minjoon tegas. Dia tidak berpikir dua kali, apa lagi mempertimbangkannya. Martin teringat ucapan Jo Minjoon pada kameramen. Dia mendengar dari kameramen bahwa Jo Minjoon mengatakan bahwa hidangan ikan air tawarnya bernilai 7 poin. Berdasarkan standar apa itu?
“Apa yang lebih baik dari 7 poin?”
“Itu adalah hidangan maksimal yang bisa aku buat saat ini. Jika kau seorang chef seperti Kaya, itu adalah hidangan rata-rata.”
“Nampaknya aku tidak paham dengan perhitungan itu. Apakah ada yang spesial?”
“Resep yang digunakan, usaha dalam memasaknya, dan bahan-bahan segar di dalamnya. Itu sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Namun aku sangat percaya diri.”
Mata Jo Minjoon bersinar. Dia berkata dengan sangat percaya diri melebihi sebelumnya.
“Poin evaluasiku benar.”
“…Aku bertanya-tanya. Jika itu hidangan yang sama, apakah akan berbeda bergantung siapa yang membuatnya? Aku tidak berpikir bahwa itu poin utamanya…”
“Tentu saja. Itu disebut selera pribadi. Namun, meski kau tidak paham perhitungannya, poinku pasti benar secara obyektif.”
“Kalau begitu aku berharap kau akan mengevaluasi hidangan para peserta mulai sekarang. Bagus. Mari beranjak ke pertanyaan selanjutnya. Kau datang ke sini dari Korea. Apa kau yakin akan menang?”
Jo Minjoon memilih diam terhadap pertanyaan itu. Dia melihat ke meja kaca yang tidak ada apapun diatasnya sesaat, kemudian memutuskan lebih baik menjawabnya,
“Dalam hidupku, tidak pernah ada sesuatu sebagai konfirmasi. Jika ini tentang memasak, maka terlebih lagi. Alasan aku datang ke Grand Chef adalah untuk mendapatkan konfirmasi itu.”
“Konfirmasi seperti apa?”
Jo Minjoon menjawab, Itu terdengar seperti suara yang tulus,
“Jika aku diperkenankan menjadi seorang chef. Aku ingin mendapatkan konfirmasi itu dari diriku sendiri. Tidak. Aku ingin mendapat konfirmasi.”
< Pemahaman terhadap Siaran (1) > Selesai