Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 192: Mencari akar (3)
“…Apa boleh buat? Ini pekerjaanku.”
Jo Minjoon menjawab dengan nada kecewa. Ella menoleh dan menatap Kaya dengan sengit. Anderson mengambil japchae dengan sumpitnya sebelum berkata.
“Kau sungguh merasa seperti diberi sajian hidangan pesta ketika ada begitu banyak hidangan seperti ini. Tetapi…aku juga merasa ini terlalu spektakuler. Ini terlalu banyak hingga aku merasa seperti aku tidak bisa mencicipi semuanya karena sudah kenyang.”
“Kudengar sebelumya, negaraku memiliki banyak masalah ekonomi sampai beberapa dekade yang lalu. Tidak banyak orang-orang yang bisa makan sampai kenyang sekali. Itulah kenapa ada banyak penantian dan hasrat untuk makanan. Tentunya, aku sendiri mengalami jaman itu…tapi omong-omong, mendapat sajian pesta semacam ini yang tampaknya tidak mungkin untuk menghabiskannya, memberikan kebahagiaan yang luar biasa bagi orang yang masih muda yang mengalami masa itu.”
“Aku tahu bagaimana rasanya.”
Kaya berbicara dengan senyum kecut. Jo Minjoon menatap Kaya. Kaya melihat ke sekeliling meja, bernostagia.
“Meskipun dunia menjadi lebih baik, orang miskin tetap miskin. Dan masalah yang paling besar bagi orang miskin adalah makanan. Menyantap makanan sedikit lebih banyak meskipun rasanya buruk. Hal seperti itu adalah cara kami meredakan stress. Oleh karena itu…aku suka jamuan ini. Impianku adalah bisa menyantap banyak makanan lezat.”
Chloe menepuk pundak Kaya dengan iba. Kaya lanjut dengan jahil.
“Tapi sekarang, aku bisa makan di tempat seperti ini. Kukira aku sudah sukses.”
“Tidak perlu mengira. Kau sudah sukses dengan cara yang sangat keren.” respon Jo Minjoon sambil tersenyum.
Kaya tersenyum simpul lalu mengusap-usap betis Jo Minjoon dengan kakinya, seolah mengatakan terima kasih. Tiba-tiba Jo Minjoon menjadi gugup dan melihat ke yang lain. Jelas yang lain tidak menyadari apa yang terjadi. Jo Minjoon berdehem lalu berkata.
“Bagaimana pendapatmu tentang makanan? Lisa, mana yang paling kau suka?”
“Buatku…aku paling suka yang ini.”
Lisa mengangkat sumpitnya dan menunjuk hidangan itu. Hidangan yang dia tunjuk tidak terduga oleh Jo Minjoon.
“Samgyetang?” tanya Jo Minjoon terkejut.
“Iya. Aku merasa bahwa mereka mencurahkan banyak waktu dan usaha untuk hidangan ini. Aku tidak tahu herbal apa yang dimasukkan ke dalamnya tetapi ini sangat berkesan karena beraroma seperti pohon…Aku merasa hidangan ini mengeluarkan sifat unik dari makanan Korea.”
“Bagaimana menurutmu soal sifat unik dari makanan Korea?”
“Untuk makanan Korea, apakah itu harus makanan yang dimasak lama?”
“…Mmmm. Sama seperti pendapatku juga. Menurutku, bagian yang paling karismatik dari makanan Korea adalah kaldunya. Seperti samgyetang ini, sebagai hidangan berkaldu, mereka mungkin tidak merebusnya terlalu lama. Ayam akan menjadi kering jika kau merebusnya terlalu lama. Faktanya, mereka mungkin merebus semua bahan dahulu lalu memasukkan ayam di bagian akhir.”
Kaldu cenderung menjadi lebih beraroma semakin lama kaldu direbus, jadi Lisa tidak salah. Dibanding hidangan sayuran dan acar yang biasa diingat untuk makanan Korea, ada banyak sekali macam-macam kaldu. Sayuran bisa dianggap sebagai sejenis salad, dan masakan barat pun menggunakan acar.
Tetapi untuk kaldu berbeda. Jika kau ingin mencari sejenis kaldu dalam masakan barat, ada yang terpikirkan, yaitu seperti sup atau rebusan boga laut, tetapi bahkan sup boga laut terasa seperti hanya digunakan untuk menaikkan cita rasa hidangan utama yang akan disajikan. Kau tidak bisa mendapatkan produk yang berakhir bersih dari kaldu sup. Itu masuk akal. Kecuali itu adalah menu lengkap makanan yang dirancang dengan buruk, sesuatu yang lain akan keluar setelah sup.
Anderson berkata.
“Sejujurnya, aku tidak pernah kagum oleh hidangan berkaldu. Tentu, itu makanan yang sedap. Tetapi aku merasa ada sesuatu yang hilang saat kau menelannya. Jika hidangannya semakin kental, setidaknya kau bisa mendapatkan rasa itu memenuhi mulut…”
“Aku tahu maksudmu. Masalahnya adalah kita tidak merasa seperti benar-benar menyantap sesuatu.”
“Mirip. Tentunya, ada beberapa komponen padat, tetapi orang Asia tampaknya puas hanya dengan kaldu itu sendiri. Secara pribadi, aku lebih suka makanan padat dari pada kaldu.”
“Semua orang pasti setuju bahwa yang padat lebih enak…tidak, semain kupikir-pikir, jika aku mengatakan aku haya bisa makan satu atau dua, kaldu mungkin sebenarnya lebih baik.”
Ini sangat menarik jika kau memikirkannya. Jo Minjoon tahu apa yang disukainya secara pribadi. Dia ingin sesuatu yang bisa mengeluarkan cita rasa masing-masing bahan dan ingin sesuatu yang bisa menyelaraskan cita rasa dari masing-masing bahan, saat hidangan itu menyentuh lidahnya. Jo Minjoon mengemukakan pendapatnya tentang makanan berdasarkan harmonisasi itu.
Jika seperti itu, kaldu adalah yang terbaik untuk menciptakan harmoni cita rasa. Di satu sisi, itu paling sesuai dengan keahliannya, saus. Kaldu sesungguhnya hanyalah saus yang bisa kau minum.
‘…Tapi kenapa yaa, aku tidak pernah terlarut dalam kenikmatan kaldu?’
Kaldu selaras dengan preferensi pribadinya dan filosofi memasak, tetapi Jo Minjoon belum pernah memasak kaldu secara resmi sebelumnya. Tetapi itu tidak terlalu aneh. Untuk benar-benar mengeluarkan rasa kaldu, mayoritas butuh waktu yang cukup lama. Sejak dia datang ke Amerika Serikat, dia tidak pernah punya waktu untuk berkutat dengan panci seharian.
Namun, hal yang penting adalah dia hampir lupa soal hidangan berkaldu. Dia sering membuat sup dan rebusan, tetapi dia tidak terlalu tertarik dengan hidangan itu. Bagiannya saat ini mungkin gastronomi molekuler, tetapi seharusnya dia tidak sepenuhnya melupakan itu. Melupakan itu sama saja dengan tidak memilikinya.
Kaldu adalah simbol makanan Korea, dan eksistensi makanan Korea adalah yang mengajarkan Jo Minjoon tentang makanan. Meskipun Jo Minjoon sendiri mungkin tidak sadar akan hal itu, alasan dia berakhir menyukai hidangan dalam keadaan basah seperti saus mungkin adalah pengaruh dari kaldu ini. Baginya, hidup tanpa memikirkan tentang komponen yang berpengaruh banyak dalam hidupnya semacam itu, sama seperti terbang di langit dengan sayap terlipat.
“…Kaldu.”
Jo Minjoon menyendok kaldu Samgyetang lalu menyeruputnya. Di atas cita rasa ayam yang ringan ada aroma dari bermacam-macam herba. Ini sungguh kombinasi yang bagus. Itu hampir menakjubkan, cita rasa semacam itu bisa keluar melalui herba-herba pahit itu.
Dia menyeruput kuah beberapa kali lagi. Hatinya berbisik di telinganya. Pengalamannya sendiri dan bias yang terjadi padanya berbisik.
– Kaldu tidak berlaku di masakan Barat.. Mereka berpikir bahwa itu adalah cara bagi orang miskin untuk mengenyangkan mereka. Itu tidak cocok dengan jalurmu.
‘Faktor yang menentukan untuk kualitas hidangan bukanlah asalnya, tetapi chefnya.’
– Tetapi bagaimana kita bisa mendapat nilai positif dari orang-orang di daerah ini? Tentu. Orang Asia mungkin menyukai hidangan ini. Tetapi apa kita berencana mendapatkan selamat dari orang-orang Asia sementara dijauhi yang lain?
‘…Jika asal dari selera pengecapanku adalah kaldu, setidaknya aku harus tahu bagaimana untuk menikmatinya.’
– Orang-orang cenderung menaruh hatinya bahkan dalam menggambar satu garis lurus. Tidak bisakah kau mengatakan melalui tes psikologi? Kau menggambar sebuah pohon dan sebuah rumah, dan mereka bisa menilai tipe orang dari beberapa garis-garis yang kau gambar di atas kertas. Menurutmu, apa bedanya dengan memasak? Jika kau menyukai kaldu, itu akan muncul dalam hidanganmu. Dan perasaan itu…apa menurutmu akan cukup untuk menarik yang lain?
Sendok Jo Minjoon terhenti. Dia terbelalak menatap samgyetang dengan ekspresi kaku. Ella menatap Minjoon dengan ekspresi khawatir.
“Paman Minjoon, Ada apa? Apa perutmu sakit?”
“Bukan, Ella. Aku hanya terpikir banyak hal.”
“Apa lagi? Apa masalahnya?”
Kaya bertanya dengan nada kasar. Meskipun nadanya terdengar kasar, matanya menunjukkan kekhawatiran. Bahkan kakinya di bawah meja dengan hati-hati membelai tumit Jo Minjoon.
“Aku terus berpikir ini akan sulit menjadi seorang chef di negara asing.”
“Apa? Kenapa?”
“Selera pengecapanku berbeda dibanding orang Amerika. Tetapi aku tidak bisa memaksakan selera pengecapanku cocok dengan orang Amerika. Jika aku melakukannya, aku hanya akan menjadi seorang penipu.”
Chloe menyimak ucapan Jo Minjoon lalu menganggukkan kepala. Dia punya kekhawatiran yang sama sebelumnya. Tidak, dia masih mengkhawatirkan hal itu. Setelah tumbuh besar dengan masakan China buatan ibunya, selera pengecapannya juga bukan seperti orang Amerika. Chloe perlahan berkata.
“Apa boleh buat. Kau perlu melokalkannya ke tingkat tertentu. Jika kau perlahan mulai mencocokkan itu waktu demi waktu…”
“Kenapa kau mengubahnya? Apa yang salah dengan selera pengecapan kalian?”
Kaya menyela Chloe dan menjawab dengan nada sedikit marah. Dia tampak sungguh marah, dia terengah-engah karena menggeram cukup kuat.
“Tidak. Baiklah. Ini sedikit berbeda ,100 dari 100 kali dari selera pengecapan lokal Tetapi apa yang salah dengan itu? Kau hanya harus membuat sebuah hidangan yang membuat orang berpikir bahwa preferensimu itu keren dan penuh gaya.”
“…Aku tahu apa yang kau maksud. Tetapi apa itu sungguh mungkin tanpa melokalkan sama sekali? Coba lihat foie gras. Orang Barat cenderung mengirisnya berukuran besar, sementara orang Timur memotongnya berukuran selebar dua jari. Ini karena pelanggan berpikir bahwa itu terlalu berminyak jika lebih besar. Makanan Szechuan pun sama. Di provinsi Szechuan, mereka menggunakan Mala dan peppercorn banyak sekali. Tetapi makanan Szechuan ala Amerika tidak bisa melakukan itu. Jika mereka membuat itu sama pedasnya seperti di Szechuan, tidak mungkin yang lain menyantapnya. Sama juga dengan daun ketumbar atau daun perilla.”
“Jadi maksudmu selera pengecapan kalian buruk?”
“….Ini bukan jalur yang mudah.”
“Apa pernah kau merasa ini mudah? Kenapa kau tiba-tiba bersikap lemah?”
“Kaya, tidak semua orang bisa selalu kuat. Ada hal-hal yang membuat kita lemah, saat-saat yang membuat kita lemah.”
“Tidak. Kau tidak bisa seperti itu.”
Kaya membelalak pada Jo Minjoon. Jo Minjoon bisa merasakan tumit Kaya mengeras di atas kakinya. Dia menaruh kekuatan ke seluruh badannya. Dia bahkan bisa melihat sekujur tubuhnya gemetar. Tiba-tiba dia merasa sedih. Bukan karena dia marah. Perasaan Kaya jelas tersampaikan padanya. Kaya perlahan lanjut berbicara.
“Aku mengatakan ini pada para koki di final Grand Chef. Aku bilang bahwa aku menghormati dirimu. Inilah kenapa kau…setidaknya di depanku…jangan perlihatkan sisimu itu. Aku tidak bilang jangan menjadi lemah. Kau bisa berjuang. Kau bisa kesakitan. Tetapi, jangan pernah kehilangan kepercayaan diri. Jangan berpikir bahwa hal-hal yang kau punya tidak berharga.”
“Kau…sungguh berpikir selera pengecapanku ini bernilai?”
“Kau mengatakannya sendiri. Jika kau mengubah siapa dirimu, kau hanya akan berakhir menjadi seorag penipu. Dan aku suka Minjoon yang asli. Aku menghormati Minjoon yang asli. Kau tidak perlu sesuatu seperti selera pengecapan yang sesuai dengan semua orang. Kau adalah Minjoon. Kau adalah pacarnya Kaya Lotus. Buat orang lain percaya bahwa apa yang menurutmu lezat memang sungguh lezat.”
Jo Minjoon berekspresi rumit setelah mendengar ucapan Kaya. Dia tiba-tiba teringat perkataan Rachel. Ketika dia mengatakan padanya untuk melakukan riset makanan Korea, tambahan terakhir pada ucapannya adalah ‘jangan berusaha untuk mewakili semua orang.’ Mungkin apa yang Rachel bicarakan adalah berdasarkan fakta dia tahu apa yang menjadi fokus masalah Jo Minjoon.
“Kita adalah chef. Jika kita ingin memenuhi selera pelanggan kita, kita tidak boleh berkompromi. Kita perlu menguasai mereka. Iya, kita perlu mengurangi jumlah herba jika hidangan terlalu beraroma atau mengurangi ukuran foie gras jika itu terlalu berminyak. Tetapi kita tidak boleh berkompromi seperti itu. Aku tidak mau menjadi seorang chef yang kabur. Aku tidak mau kau memasak seperti itu juga. Minjoon, kumohon.”
Kaya tanpa sadar menginjak kaki Minjoon sebelum melanjutkan.
“Menangkanlah! Jadilah chef yang bisa mengalahkan semua jenis pelanggan.”
Suara Kaya menjernihkan semua kecemasannya.
Dia tidak memberi jawaban atas permasalahannya. Seseorang yang tidak tahu jawabannya tidak bisa memberikan jawaban. Semua yang Kaya lakukan adalah membagikan pemikirannya.
Jo Minjoon ingin memberi Kaya apa yang dia inginkan. Jika dia tidak ingin dirinya ragu, dia tidak akan ragu. Dia tidak mau cemas. Dia tidak bisa menjadi kelinci yang ketakutan. Pada saat itu dia memutuskan.
[Anda telah melangkah keluar dari batas-batas objektivitas dan telah menerima selera pengecapan Anda sendiri. Indera pengecap Anda yang tertekan telah meningkat!]
[Kondisi untuk mencapai Pengecapan level 9 telah dibereskan!]
Pesan itu berdering di benaknya. Jo Minjoon mulai berpikir. Apa yang membuat level pengecapannya meningkat saat ini? Apa itu Kaya? Ataukah kuah kaldu ini? Setelah memikirkan tentang itu sejenak, Jo Minjoon mulai tersenyum. Itu adalah kegelisahan yang tak berguna. Jawabannya jelas. Dia berkata.
“Seperti biasa, kau adalah jawabanku.”
Sendoknya terangkat sekali lagi.
< Mencari akar (3)> Selesai