Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 193: Mencari akar (4)
Jo Minjoon memasukkan lagi sesendok penuh kuah samgyetang ke mulutnya. Fakta bahwa pola pikirnya berubah tidak serta merta mengubah rasanya. Namun, kesan yang dia dapat dari cita rasa jelas berbeda. Hal itu karena dia tidak lagi memikirkan apakah dia harus menyerah dengan hal ini karena efisiensi. Pemikiran yang ada dalam kepalanya sekarang adalah apa yang bisa dia lakukan untuk memanfaatkan cita rasa dengan baik demi memenangkan hati banyak orang.
Tidak menyerah, tetapi memiliki harapan. Perubahan kecil itu membuat meja makan terasa lebih menyenangkan daripada sebelumnya. Kepuasan ada di wajah Jo Minjoon. Kaya pun tersenyum saat melihat Jo Minjoon.
“Apa selalu seperti ini?” tanya Lisa dengan nada menggoda.
“Hmm? Apa?”
“Kalian berdua. Aku tahu kalian adalah pasangan, tetapi aku tidak tahu kalian berkencan sembari membuatnya sangat jelas kalau kalian adalah chef.”
“Ini karena Minjoon. Dia selalu berusaha membuka diskusi tentang makanan.”jawab Anderson seolah dia lelah.
Anderson melirik Chloe. Dia tampak tenang dari luar, tetapi mungkin dia sedikit terluka. Tidak ada orang yang tidak sakit ketika menonton orang yang disukainya bermesraan dengan orang lain. Kemudian Anderson melihat Jo Minjoon. Jo Minjoon mungkin tampak bodoh saat itu, tetapi dia adalah seorang pemikir keras dan dia sangat peka terhadap perasaan orang lain.
‘…Apa dia sungguh melakukan itu dengan sengaja?’
Mungkin itu yang terbaik. Kelakuannya itu akan membuat Chloe lebih mudah untuk menata perasaannya, yaitu kelakuan yang menunjukkan realita kejam alih-alih memberikan sinyal acak pada Chloe. Normal bagi pasangan manapun untuk tampak seperti mereka tidak akan pernah putus, tetapi Anderson sungguh tidak bisa membayangkan Kaya dan Jo Minjoon putus. Setelah memikirkan itu sejenak, Anderson menghela napas dalam hati lalu mengangkat sumpitnya.
‘Tidak ada yang lebih tidak berguna daripada mencemaskan masalah hubungan orang lain.’
Makan malam terus berlanjut dan tidak berakhir dengan cepat karena banyaknya hidangan di meja. Orang normal mungkin hanya menyantap makanan yang mereka suka, tetapi mereka adalah chef. Mereka ingin mencicipi setiap hidangan, dan sekaligus tidak ingin membuang-buang makanan. Tentunya, yang kedua itu tidak mungkin dihindari…
“Aku tidak bisa makan lagi…”
Ella melihat galbi-jjim di ujung garpunya dengan tatapan sedih. Kaya merespon dengan blak-blakan.
“Kalau begitu berhentilah makan. Nanti kau gendut.”
“…Aku tidak mau gendut.”
“Kalau kau tak akan gendut karena kau tidak mau gendut, tidak akan ada yang namanya diet.”
Ella melotot pada Kaya lalu melihat kembali galbi-jjim dengan tatapan sedih. Jo Minjoon tersenyum saat merespon.
“Jika aku punya anak perempuan, aku ingin dia seperti Ella.”
“…Apa? Siapa yang mengizinkan itu?”
Kaya bertanya dengan nada sedih untuk menunjukkan bahwa dia tidak setuju dengan itu. Ella pun sama. Dia melihat Minjoon dengan ekspresi syok.
“Paman akan punya anak?”
“Aku berharap suatu saat nanti iya.”
“…Aku tidak mau paman punya anak.”
“Kenapa?”
“Nanti paman tidak akan bermain dengan Ella lagi.”
Bahu Ella turun bersama dengan ekspresinya yang muram. Jo Minjoon membelai bagian belakang kepala Ella.
“Kenapa aku harus berhenti bermain denganmu? Jangan khawatir. Aku akan sering bermain denganmu.”
“….Kau mengatakan seolah kita sudah memutuskan untuk punya anak.”
“Sebenarnya iya kan.”
“Aku tidak pernah menyetujuinya. Aku tidak punya waktu untuk punya anak dan membesarkannya karena pekerjaanku.”
“Entahlah. Itu hanya jika aku menikah denganmu…mmm.”
Ucapannya gemetar seolah tiba-tiba dia syok, lalu tangannya bergerak turun mengusap pahanya. Kaya mencubit Jo Minjoon dengan kakinya.
“Apa kau mau mati?” tanya Kaya dengan ekspresi menakutkan.
“…Baiklah. Maaf.” jawab Jo Minjoon pelan.
Jika mereka berakhir hidup bersama di masa mendatang, Jo Minjoon bisa mengatakan dengan jelas siapa yang akan memegang kendali. Lisa berkata sesuatu seoalah tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Sekarang jika dipikir-pikir, kalian bilang bahwa kalian berencana akan tinggal bersama. Apa kalian sudah memutuskan?”
“Belum. Kami belum menemukan rumah…”
“Ah, Ngomong-ngomong soal itu.”kata Chloe. Dia lanjut berbicara dengan nada canggung.
“Maaf ya. Aku berencana menolaknya.”
“Apa? Kenapa?”tanya Kaya kecewa.
Chloe tersenyum seolah mengatakan dia meminta maaf.
“Maaf ya. Terlalu rumit untuk menjelaskannya secara rinci. Menurutku, itu hanya akan menyulitkanku.”
“Tidak perlu meminta maaf, tapi…”
Ucapan Kaya terhenti. Wajahnya sangat kecewa. Itu masuk akal. Dialah yang paling ingin tinggal bersama Chloe. Jo Minjoon melihat Chloe. Lalu perlahan dia berkata.
“Kau sudah memikirkannya matang-matang, bukan?”
“Iya. Aku memikirkan bagaimana bila aku sedikit memaksakan diri, tetapi pada akhirnya, menurutku akan sulit.”
Ucapannya yang singkat punya makna lebih dari apa yanya dikatakannya. Chloe mengepalkan tangannya di bawah meja sehingga tidak ada orang yang bisa melihatnya.
‘…Iya. Bagus, Chloe.’
Jika dia bilang bahwa dia telah menata perasaannya untuk Jo Minjoon, Jo Minjoon jelas akan mempercayainya. Dia adalah orang yang seperti itu. Tetapi Chloe tidak bisa melakukannya. Dia tidak bisa membohonginya dengan memanfaatkan watak Jo Minjoon. Dia juga tidak bisa mengkhianati Kaya.
Mungkin ini adalah sebuah pengakuan bagi dirinya. Perasaannya masih ada dan sulit untuk dihapus. Mungkin itu ungkapan bahwa dia berbohong saat mengatakan dia sudah menata perasaannya. Mungkin itulah kenapa, Chloe mulai merasa tidak nyaman, Jo Minjoon berkata.
“Sayang sekali, tapi apa boleh buat. Bukan hal yang penting kita tinggal bersama atau tidak. Hal yang penting adalah bahwa kita adalah sahabat dan itu tidak akan berubah meski kita tinggal berjauhan. Aku benar, kan?”
Chloe menggigit bibirnya sejenak saat mendengar itu. Dia merasa dia akan menangis jika dia tidak melakukannya. Jo Minjoon berusaha untuk menghiburnya saat ini. Dia mengerti dan dia membiarkan Chloe tahu. Dia mengatakan pada Chloe bahwa perasaannya tidak akan merusak persahabatan mereka. Kaya melanjutkan seolah mengatakan hal itu sudah jelas.
“Tentu saja. Tidak banyak yang tinggal bersama dengan sahabatnya. Ini normal untuk tinggal berjauhan.”
“Itu benar.”
Jo Minjoon tersenyum. Pada saat itu, pintu terbuka dan Lee Tae Hoon masuk. Dia melihat ke arah meja lalu berkata.
“Apa kalian sudah selesai? Apa sebaiknya aku bawakan hidangan penutup?”
“…Apa chef pembuat saus biasanya datang untuk menanyakan itu?”
“Biasanya tidak, tetapi ini berbeda bila chef itu adalah penggemar dari tamunya. Selain itu, ada tiga wanita cantik …oh tidak, empat wanita cantik.”
Lee Tae Hoon melihat Ella melotot dan cepat-cepat meralat ucapannya. Jo Minjoon melihat ke sekelilingnya lalu menganggukkan kepala.
“Iya. Silakan. Oh, selain itu…apa aku boleh meminta sesuatu?”
“Apa itu?”
“Aku ingin melihat-lihat dapurmu…Aku hanya melihat dapur masakan Korea di film-film. Aku tidak pernah berada di dalamnya.”
“Mmm…Itu tidak sulit.”
“Aku juga! Aku juga mau liha-lihat!”
Ella mengacungkan tangannya ke udara sambil berteriak. Lisa membentak Ella dengan wajah malu.
“Jangan, Ella. Kau akan mengganggu para chef.”
“……Oke.”
Ella merespon dengan nada sedih lalu menurunkan tangannya. Kadang-kadang, dia mungkin seorang pembuat masalah, tetapi dia sungguh patuh terhadap ibunya. Lee Tae Hoon tersenyum lalu berkata.
“Tak apa. Tidak masalah. Lagipula saat ini para chef sedang beristirahat. Aku yakin mereka akan senang jika ada wanita cilik menggemaskan datang berkunjung.”
Ella mengangkat wajahnya setelah mendengar itu lalu melihat Lisa dengan mata berbinar. Pada akhirnya, Lisa menggelengkan kepala seolah tidak punya pilihan lain.
“Baiklah. Tapi kau harus patuh pada paman Minjoon, oke? Tetap berpegangan dengan tangan paman.”
“Oke. Siap.”
Ella tersenyum ceria lalu meninju lengan Jo Minjoon. Chloe tersenyum lalu menepuk-nepuk lutut Kaya setelah melihat ekspresinya yang tidak nyaman.
“Santai, dia hanya anak kecil.”
“…Aku tidak tahu kau bicara apa. Aku santai saja.”
“Tanganmu yang terkepal erat itu jelas menunjukkan sebaliknya.”
Pada saat itu, Ella, yang berjalan sambil memegang tangan Jo Minjoon, menoleh lalu mencibir pada Kaya. Kaya melotot, tapi Ella sudah berbalik. Lee Tae Hoon berkata saat dalam perjalanan menuju dapur.
“Ini akan berbeda dari ekspektasimu.”
Begitu mereka memasuki dapur, terjawab sudah kenapa dia mengatakan itu. Kecuali beberapa periuk Korea, dapur restoran itu sangat modern. Kau tidak bisa benar-benar mengatakan apakah itu restoran Korea ataukah restoran Barat. Ada ubin di dinding dan di lantai, dia pun bisa melihat perabot anti karat dan pendingin. Lee Tae Hoon berkata.
“Tidak sekuno yang kau duga kan?”
“Iya. Aku membayangkan dapur dengan banyak peralatan dari kayu dan tungku pemasak yang tesusun dari batu dan pasir.”
“Itu wajar. Bagian luar restoran tampak seperti rumah genteng kuno.”
Ella menepuk punggung Jo Minjoon saat Lee Tae Hoon berbicara. Saat Minjoon menoleh, Ella mengangkat kedua lengannya lalu berkata.
“Gendong aku. Aku mau melihat dari atas.”
Jo Minjoon menggendong Ella. Syukurlah, dia tidak begitu berat. Ella melihat periuk lalu berseru karena terpesona.
“Itu tampak seperi seekor kura-kura.”
Saat dia mengatakan itu, seorang pria tua menghampirinya. Dia mengangkat tangannya. Ketika Jo Minjoon menurunkan Ella dan menjabat tangan pria itu, pria itu berkata.
“Kau pasti Jo Minjoon yang terkenal itu. Aku banyak mendengar tentangmu. Kudengar kau bekerja di Rose Island?”
“Ah, iya.”
“Namaku Gregory Adams. Aku chef kepala di restoran ini.”
Jo Minjoon tampak terkejut mendengar itu. Bagaimana mungkin tidak? Gregory adalah orang berkulit hitam. Gregory tersenyum seolah dia bisa mengatakan apa yang Jo Minjoon pikirkan.
“Kenapa? Apa kau terkejut ada pria berkulit hitam bekerja di restoran Korea dan menjadi chef kepala?”
“Tidak, eh…iya. Sejujurnya, aku sedikit terkejut.”
“Aku suka kau jujur.”
“Makanannya terasa sangat Korea. Tentunya, ada sedikit perbedaan, tetapi berdasarkan bahan-bahan yang digunakan, itu pun tidak bisa disebut sebagai perbedaan. Oleh karena itu, aku semakin terkejut.”
“Kadang-kadang, kau bisa melihat sesuatu lebih jelas saat melihatnya dari luar. Sebagai contoh, kau adalah orang Korea, tetapi kau memasak masakan Barat.”
“Kau benar. Aku tidak berpikir aku menjadi seperti ini, tetapi aku juga punya anggapan sendiri. Maaf.”
“Tidak perlu meminta maaf. Siapa di negara ini yang bebas dari anggapan? Bahkan aku merasa tidak nyaman dan bertanya-tanya apakah sebaiknya aku tidak pergi ke restoran sushi yang mana aku melihat orang kulit putih yang memotong ikan.”
Jo Minjoon tertawa. Saat dia mengangkat Ella, Gregory berkata.
“Dia putrimu?”
“Tidak, putri kolegaku.”
“Dia adalah anak paling menggemaskan yang aku lihat sepanjang tahun.”
“Terima kasih banyak.”
Ella terkikik malu-malu saat menjawab. Perbincangan tidak terlalu lama. Jo Minjoon tidak mau terlalu banyak mengganggu mereka Ketika mereka berjalan kembali menuju ke ruangan mereka, Ella meletakkan dagunya ke leher Jo Minjoon dan mulai berbicara dengan nada sedih.
“Aku harap Minjoon adalah ayahku bukan pamanku.”
Jo Minjoon berhenti berjalan. Dia inginmengatakan sesuatu, tapi itu terlalu berat untuk hanya mengatakan sesuatu tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Jo Minjoon menepuk punggung Ella perlahan lalu akhirnya berkata.
“Apa kau sungguh ingin melihat ayahmu?”
“…Iya. sangat.”
“Paman tidak bisa menjadi ayahmu…tapi aku bisa menyayangimu sebanyak ayahmu. Jadi, jangan kesepian. Ella. Aku, dan yang lainnya, kami semua ada di sisimu. Dan kita semua sangat menyayangimu. Kau tahu itu, kan?”
Ella tidak merespon. Justru, dia semakin erat memeluk leher Jo Minjoon.
Apa yang terjadi? Dia masih anak kecil yang sama dengan sebelumnya, tetapi Ella, terasa lebih berat saat itu.
<Mencari Akar (4)> Selesai