Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 194: Di depan Garis Start (1)
Seperti biasa, waktu tidak peduli dengan situasi setiap orang. Tanggal pembukaan Rose Island sudah kurang dari sebulan. Tentunya, belum ada pelanggan, tetapi suasana dapur tampak sedikit lebih gugup dari biasanya.
Dan sekarang, Jo Minjoon sedang mengerutkan dahi sembari memegang jeruk di tengah pasar.
“Kualitasnya tidak bagus, ya? Sepertinya kurang manis juga.”
“Kenapa kualitasnya tidak bagus?…Iya, ini sedikit kurang manis dari biasanya.”
“Apa paman akan seperti ini? Jika paman terus seperti ini, aku akan ke toko bibi Trudy.”
“Ah, jangan seperti itu. Perbedaannya tidak begitu besar. Ini masih sangat manis. Hanya berbeda tipis.”
“Perbedaan tipis itu bisa mengontrol semuanya dalam masakan. Jadi yang mana yang kualitasnya bagus? Apa kau punya?”
“Maaf. Menurutku, kurirnya tidak menjaga temeperatur dengan baik selama pengantaran.”
Pria itu menghela napas dengan ekspresi malu. Kemudian dia melirik Jo Minjoon. Dari luar, bahkan sulit baginya, seseorang yang telah menjual buah-buahan hampir sepanjang hidupnya, untuk membedakannya, tetapi bagaimana Jo Minjoon bisa tahu tanpa mencicipinya …… dia hanya bisa mendecakkan lidahnya. Jo Minjoon menyilangkan lengannya lalu menghela napas.
“Lalu kenapa kau menerima jeruk-jeruk ini? Kau seharusnya mengembalikannya. Kupikir hari ini tidak bagus. Aku akan kembali besok.”
“Tidak, jangan seperti itu. Setidaknya, coba lihat buah yang lain.”
“Aku tidak berencana membeli dalam jumlah kecil. Kartu ini bukan milikku.”
Jo Minjoon meninggalkan pria yang kecewa itu lalu berbalik. Maya dan Justin hanya mengikutinya di belakangnya lalu berkata.
“Wow, chef. Kau menakjubkan. Bagaimana kau bisa tahu tingkat kemanisan jeruk bahkan tanpa mencicipinya?”
“Aku harap aku bisa sepertimu nanti…apa ada triknya?”
“Warna dan baunya. Teksturnya juga.”
Tentunya, sistem juga sedikit berperan, tetapi hidung Maya dan Justin terlalu tinggi dengan kesombongan dan kebanggaan. Itu masuk akal. Dari keempat chef demi, mereka bisa mengatakan dengan jelas bahwa Jo Minjoon adalah yang terbaik, setidaknya saat membeli bahan-bahan. Tidak pernah sekalipun Minjoon membeli bahan-bahan yang buruk. Jika kita membeli 10 bawang bombay, setidaknya salah satu diantaranya buruk, tetapi Jo Minjoon memverifikasi masing-masing.
Bahkan membuat tim dapur bertanya apakah Jo Minjoon seharusnya bertanggung jawab atas berbelanja bahan-bahan. Tentunya tidak mungkin Jo Minjoon akan menerima itu. Tidak mudah bangun awal di pagi hari untuk berbelanja bahan-bahan.
Akan tetapi, meskipun tidak mudah, Maya dan Justin benar-benar menantikan momen ini. Udara di pagi buta. Aroma dari berbagai macam buah di udara dan semua warna-warni bahan-bahan bahkan lebih indah dari ladang bunga. Namun, alasan mereka ingin ikut berbelanja bukan itu. Tentunya, semua ini membantu untuk menjernihkan dan menenangkan pikiran, tetapi hal yang menarik bukan ini. Yang menarik adalah…
“Lihat di sebelah sana. Para chef dari Pesto Pesto. Setelah chef Minjoon mengatakan tidak pada jeruk-jeruk itu, mereka pun juga tidak membelinya.”
“Para chef dari Glacier hanya mengikuti di belakang kita. Mereka berusaha menemukan apa yang tidak kita beli.”
Inilah alasannya. Tentunya, jika chef kepala atau chef sous yang datang berbelanja, mereka tidak akan mengikuti Jo Minjoon ke sana kemari. Tetapi ketika chef demi atau dibawahnya yang datang untuk menjalankan tugas, mengikuti Jo Minjoon adalah cara untuk menghindari kekurangan dan hanya menemukan bahan-bahan yang baik. Singkatnya kau bisa menyebut Jo Minjoon sebagai panduan berbelanja bahan-bahan.
Itu masuk akal. Jo Minjoon seperti selebriti terkenal di kalangan pedagang di pasar saat ini. Bukan hanya karena dia punya pengecapan yang mutlak tetapi juga karena dia chef dari Rose Island. Setelah mampu menyebutkan kondisi buruk suatu bahan, yang bahkan si penjual yang telah bekerja selama puluhan tahun tidak bisa melakukannya, bagaimana mungkin dia tidak terkenal?
Seolah Jo Minjoon menjadi seseorang dari golongan atas di dunia chef. Tentunya hanya bekerja di Rose Island sudah cukup menyebutnya sebagai golongan atas, tetapi sikap Jo Minjoon yang tenang dan pengetahuan yang tidak sesuai dengan usianya memungkinkan orang-orang di sekitarnya turut merasa bangga. Hampir pada titik di mana mereka merasa harus berjalan dengan gaya modis, bahkan.
Seperti biasa, Justinlah yang mengemudi dalam perjalanan kembali dari pasar. Dia berkata dengan nada suka cita.
“Selalu mudah dan menyenangkan ketika kita berbelanja denganmu, chef. Rasanya seperti aku berjalan bersama selebriti.”
“Bagaimana bisa seorang chef kesusahan di pasar? Bukankah terasa seperti di taman hiburan? Setiap kali aku melihat banyak sekali bahan-bahan yang berkualitas tinggi dan menarik, aku merasa seperti sedang piknik.”
“Tetapi tidak seperti chef demi dan chef preparasi yang bergantian, aku harus datang setiap hari. Tidak peduli betapa bagusnya itu, kau akan lelah jika harus melakukannya setiap hari.”
“Bertahanlah. Akan lebih mudah begitu kau sudah lulus magang.”
Jo Minjoon memberikan tatapan hangat seolah dia paham apa yang dialami Justin. Dia sendiri telah menjadi chef magang dan dia magang untuk individu yang mengerikan dan menjengkelkan saat itu. Oleh karena itu, dia paham apa yang dialami Justin. Jika chef kepala adalah orang yang paling sibuk secara mental, chef magang adalah orang yang paling sibuk secara fisik. Mereka bertangung jawab atas semua pekerjaan kasar.
Maya mulai berpikir sembari melihat cara Minjoon memperlakukan Justin. Meskipun dia di bagian gastronomi molekuler, mungkin sebenarnya hal yang sungguh bagus dia berakhir sebagai asisten Jo Minjoon. Jo Minjoon tegas tetapi tidak menekan, keras tetapi tidak menyulitkan. Fokusnya selalu pada memasak, dan dia tidak berusaha untuk mengguruinya di bidang selain memasak.
Yang paling penting, dia tidak memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan buruk. Tentunya, chef demi lain tidak banyak berbeda, tetapi kau bisa mengatakan dengan jelas bahwa Jo Minjoon sangat perhatian dengan situasi orang lain. Sampai pada titik bahkan saat Maya mengeluh, chef preparasi lain akan menghentikan dirinya dan berkata ‘setidaknya kau adalah asisten Chef Minjoon.’
Mereka harus segera bekerja begitu kembali ke dapur. Banyak orang hanya berpikir tentang mesin ketika berbicara tentang gastronomi molekuler, tetapi menurut pendapat Maya, ada lebih banyak waktu yang dihabiskan dengan bahan-bahan yang spesial, seperti agar, dekstrosa monohidrat, lesitin, tapioka maltodekstrin, dan natrium sitrat. Bahan-bahan seperti itu.
Yang mana juga berarti bahwa ada banyak waktu yang dihabiskan untuk memeriksa kondisi adonan atau jel yang juga terbuat dari bahan-bahan itu. Tentunya, hal itu tidak membuatnya super sibuk tetapi itu memang pekerjaan yang sibuk, baik untuk tangan maupun pikiran untuk mempersiapkan bahan-bahan dan memasaknya. Jika pekerjaannya sudah sesulit itu, bayangkan saja bagaimana jika mereka sudah buka.
Jika ada hal yang bisa chef prepasi pelajari sembari mempersiapkan pembukaan, itu adalah ada alasan perbedaan antara chef demi dan chef preparasi. Bukan hanya perbedaan dalam kemampuan memasak. Meskipun chef demi juga lelah, mereka tidak akan pernah memecah konsentrasinya di tengah memasak sebuah hidangan Kau bisa melihat dengan jelas mereka menaruh perhatian penuh pada hidangan. Chef preparasi mau tak mau menjadi termotivasi sembari menonton chef demi berkonsentrasi.
“Maya, cicipi ini.”
Jo Minjoon memegang hidangan di depan Maya.. Maya melihat hidangan, dan terlihat ada mie transparan dengan bubuk putih di atasnya. Setelah itu, ada pula ketumbar dan sereh.
“Apa ini?” tanya Maya.
“Ini mie bihun gaya Thailand dengan kaldu sengkel yang dibuat menjadi krim. Setelah itu, dikembalikan menjadi bubuk lalu ditaburkan. Tentunya, ini belum selesai…tetapi setidaknya katakan padaku bagaimana menurutmu rasanya.”
“….aku merasa terhormat.”
Dia tampak cukup khawatir meski menyebut itu suatu kehormatan. Itu masuk akal. Hidangan gastronomi molekuler Jo Minjoon sangat…menarik. Hampir menakjubkkan. Yang mana berarti…
‘Entah kau akan pergi ke surga atau neraka.’
Maya memejamkan matanya erat-erat lalu memasukkan mie ke mulutnya. Begitu dia mengunyahnya, matanya yang tepejam, terbuka kembali dan wajahnya penuh kekaguman. Maya mengunyah mie lalu menelannya kemudian dia bertepuk tangan.
“Wow. Ini sebenarnya sangat baik. Ini adalah yang terbaik yang kau buat dalam beberapa hari terakhir.”
“Benarkah?”
“Tetapi jika ada sesuatu yang mengecewakan, itu adalah…cita rasa bubuk kaldunya kurang mantap.”
Jo Minjoon mengangguk dengan berat. Hal yang menarik bagi Jo Minjoon akhir-akhir ini adalah soal kaldu. Ada banyak perbedaan antara masakan Barat dan Timur dalam membuat kaldu. Sementara negara-negara timur cenderung meminum kaldu sebagaimana adanya, masakan Barat menggunakannya lebih sebagai sebuah bahan sup atau saus demi-glace.
Masalahnya adalah keduanya sungguh sulit dan membutuhkan banyak perhatian. Saus demi-glace dan kaldu, keduanya terasa seperti bahan yang paling dasar…tetapi tidak mudah untuk membuatnya dengan benar. Jika kau melihat restoran nasi dan kaldu Korea, tidak banyak yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk menciptakan cita rasa kaldu yang baik.
‘…Aku punya resep, tapi…’
Ada beberapa restoran kaldu dan nasi yang layak yang telah ia kunjungi di seluruh Koreatown. Jo Minjoon pun tahu semua resep kaldu mereka. Masalahnya adalah kebanyakan restoran nasi dan kaldu merebus daging sekaligus dalam jumlah besar. Selain itu, mereka juga mempunyai seseorang yang menangani itu selama 24/7 untuk memastikan api tidak padam.
“Apa ini yang menyita perhatianmu akhir-akhir ini?”
Sebuah suara tiba-tiba muncul. Itu suara Rafael. Dia mengagkat garpu dan menggulung mie lalu memasukkan ke mulutnya.
Kemudian dia mengangguk lalu berkata.
“Ini enak, tetapi kurang mantap.”
“Menurutku, itu karena aku tidak bisa memasak kaldu selama waktu yang dibutuhkan.”
“Apa kau menggunakan kaldu komersil?”
“Tidak, aku membuat kaldu sendiri. Kupikir, buatan sendiri jelas akan lebih baik.”
“Aku tidak yakin. Menurutku, dibanding rasa yang seperti ini, lebih baik kau menggunakan kaldu komersil. Kau tidak bisa memandang rendah hanya karena barang itu dikomersilkan. Produk yang berasal dari pabrik semuanya tampak cukup mirip, tetapi ada sedikit sekali yang mempunyai ketulusan pembuatnya.”
“Iya. Aku tahu. Tapi…aku merasa pelanggan yang datang ke sini akan lebih menyukai bahan yang kita buat sendiri.”
“Itu benar. Kalau begitu kenapa tidak kau coba buat sendiri? Aku mengizinkanmu.”
Begitu Rafael mengatakan itu, Jo Minjoon melihat Rafael dengan wajah bingung. Rafael tersenyum lalu lanjut berbicara.
“Kaldu komersil itu. Buatlah dengan tanganmu sendiri.”
€
“…Aku penasaran kenapa aku tidak bisa bertemu denganmu, apa kau sungguh mengerjakan hal gila ini?”
Kaya melihat Minjoon dengan sorot mata seolah menyebutnya bodoh. Malam hari. Hanya ada tiga orang di dapur. Jo Minjoon, Kaya, dan Anderson. Jo Minjoon tersenyum manis saat menjawab.
“Sejujurnya, aku ingin mencobanya setidaknya sekali. Makanan yang dimasak lama. Aku tidak pernah secara pribadi membuatnya dengan tanganku sendiri.”
“Tetapi tetap ada batasan untuk itu. Orang-orang tidak naik pesawat luar angkasa hanya karena mereka ingin pergi ke luar angkasa.”
“Eeh, kau tidak bisa membandingkan ini dengan itu.”
“…Kau benar-benar tidak berdaya. Sungguh”
Kaya duduk di meja. Anderson mulai mengerutkan dahi.
“Itu mejaku.”
“Oh. Maafkan pantatku. Aku memberi sesuatu yang buruk padamu.”
Kaya melompat turun lalu menepuk pantatnya. Jo Minjoon menghela nafas.
“Jika kalian hanya ingin melakukan itu, pergi saja. Ini sudah malam.”
“Kau boleh mengatakan itu, tapi kau akan sendirian jika aku pergi.”
“Apa ada orang yang kesepian saat memasak?” jawab Jo Minjoon dengan santai sambil menyendoki lemak yang mengapung di kaldu. Kaya menjulurkan kepalanya dari sebelah leher Jo Minjoon.
“Aroma babi ini akan menempel di dapur. Berapa lama kau harus merebus ini?”
“24 jam.”
“…Kau akan tetap seperti ini selama itu? Kau akan menyakiti dirimu sendiri.”
“Tidak masalah. Aku bisa beristirahat beberapa menit beberapa kali.”
“Semua penderitaan ini hanya untuk membuat sup ramen yang kekinian.”
“…Tiba-tiba aku merasa lelah mendengar responmu seperti itu.”
Dia tertawa. Sembari Kaya memijat leher Minjoon, Anderson berkata.
“Memasak memang spesial, tapi kita perlu segera menanda tangani kotrak untuk rumah kita.”
“Apa kalian berdua sudah memutuskan?”
Jo Minjoon tidak mengalihkan pandangan dari kaldu saat dia bertanya. Ada dua pilihan untuk tempat tinggal mereka. Satu di Beverly Hills, yang lain di Hollywood barat. Yang pertama dekat dengan Rose Island, sedangkan yang kedua dekat dengan restoran Grand Chef Kaya. Tentu, tidak ada yang lebih jauh lagi.
“Aku suka Beverly Hills.” jawab Kaya.
“Kenapa?”
“Ada banyak sekali orang gila di Hollywood.”
Minjoon bisa mengerti apa yang Kaya coba katakan. Semua jenis artis berkumpul di Hollywood hingga orang-orang yang ada di Hollywood cenderung berkelakukan sangat…aneh. Anderson berkata.
“Tetapi di Beverly Hills…Kau tahu, kan? Semuanya punya kamar tidur utama dan kamar tidur kedua.”
“Kami tahu.”
Biaya hidup di Beverly Hills sangat mahal. Sulit mencari 3 kamar tidur dengan gaji mereka. Hal ini berarti, dua dari mereka bertiga setidaknya harus berbagi kamar utama. Anderson mengangkat bahu lalu melanjutkan.
“Kalau begitu, solusinya hanya satu. Untuk kamar tidur utama, siapa yang akan menempatinya? Kalian berdua? Atau Minjoon dan aku?”
<Di depan Garis Start (1)> Selesai