Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 195: Di depan Garis Start (2)
“Apa perlu dipertanyakan?”
Kaya melihat Anderson tidak percaya. Anderson balas mencibir.
“Apa? Apa jawabannya sudah pasti?”
“Tentu saja. Menurutku…”
“Tunggu. Berhenti.”
Anderson mengangkat tangannya Kemudian dia melihat Jo Minjoon yang berdiri di depan panci.
“Kalian berdua jawablah bersamaan. Katakan dengan keras siapa yang akan berbagi kamar dengan Minjoon. Kaya, jawaban yang menurutmu sudah pasti, mari kita lihat apakah pacarmu yang tersayang berpikir hal yang sama.”
“…Menurutmu, Minjoon akan menjawab yang berbeda?”
“Entahlah. Pikiran orang-orang cederung berbeda.”
Kaya melotot pada Anderson. Anderson menyeringai seolah mengejeknya. Nada bicaranya yang santai membuat jengkel Kaya.
“Jadi kita bertaruh untuk itu? Kau bisa menyerah jika tidak yakin.”
“Aku jelas percaya diri. Ayo kita lakukan.”
“Baiklah, apa yang ingin kau pertaruhkan?”
Kaya memikirkannya sejenak lalu berkata dengan nada percaya diri.
“Hidangan. Tidak. Hidangan, sampah, dan bersih-bersih. Semuanya. Bagaimana dengan itu?”
“Selama berapa lama?”
“Selama kita tinggal bersama.”
Entah apa yang membuat Kaya sangat percaya diri, dia melotot pada Anderson dengan tatapan kompetitif. Tetapi sayangya, Jo Minjoon bahkan tidak tahu jawaban apa yang akan diberikan Kaya. Akankah dia mengatakan bahwa yang benar adalah mereka berdua berbagi kamar karena mereka berkencan? Tetapi pada poin ini, mereka berdua belum pernah tidur seranjang.
Pada saat yang sama, Kaya tidak tampak akan mengatakan bahwa wajar bagi Jo Minjoon untuk berbagi kamar dengan Anderson. Bagaimanapun, mereka berdua berpacaran. Jika kau tinggal bersama dengan pacarmu dan seorag teman, bukankah akan aneh berbagi kamar dengan temanmu alih-alih dengan pacarmu?
Benak Jo Minjoon berputar cepat, hampir pada titik dia merasa dia tidak pernah berpikir sedemikian berat sebelumnya. Bahkan memikirka resep baru tidak sesulit ini. Anderson berkata.
“Aku akan menghitung dari tiga. Kalian berdua jawablah bersamaan. Jika aku yang berbagi kamar dengan Minjoon, katakan garpu, dan jika kalian berdua yang berbagi kamar, katakan sendok. Paham?”
“Iya. Hitunglah.”
Kaya menelan ludah. Anderson juga mengepalkan tangan dengan ekspresi gugup. Sejujurnya, ini bergantung pada keberuntungan. Bagaimana takdir Tuhan nanti. Setelah hening sejenak, Anderson mulai menghitung.
“…Tiga. Dua. Satu!”
“Sendok!”
“Garpu!”
Jawaban yang terdengar berbeda. Jo Minjoon dan Kaya saling berpandangan. Kaya memelototi Minjoon dengan kesal seolah bertanya bagaimana mungkin dia melakukan itu padanya. Jo Minjoon telah mengatakan garpu, sedangkan Kaya mengatakan sendok. Jo Minjoon tidak berani menatap balik Kaya, dia mengalihkan pandangannya.
“Ini tidak bisa dipercaya. Kenapa …Minjoon? Bagaimana ini masuk akal? Apa kau sungguh suka gadis kerempeng itu?”
“Bukan, itu bukan…Aku tidak menyangkan kau ingin berbagi kamar denganku.”
“Bukankah sudah jelas? Apa kita hanya teman? Kita kan pasangan! Bukankah aneh bila kita menggunakan kamar yang berbeda?”
“Oh, aku harus menbuang busa di panci.”
“Apa kau sungguh memikirkan hal itu saat ini?”
Jo Minjoon berpura-pura tidak mendengarnya, dia fokus membuang busa yang mengapung di kaldu. Anderson terkekeh lalu melihat Kaya dengan senyum dingin.
“Terima kasih banyak. Hidangan, bersih-bersih, dan juga sampah. Mengagumkan. Hebat.”
“…Apa kau sungguh berencana membuatku melakukannya?”
“Lalu haruskah aku membuat itu sebagai lelucon? Kau tidak berencana mengingkari janji yang kau buat sendiri, kan? Yaa, kukira itu terserah dirimu. Jangan lakukan jika kau tak mau. Aku tidak akan membeberkan kalau kau tidak memegang kata-katamu.”
“Jangan katakan bahwa aku tidak memegang kata-kataku bahkan sebelum ini mulai. Aku baik dalam bertarung, kau tahu.”
“Oh, wow. Menakjubkan sekali. Baiklah jika kau tidak berencana ingkar janji, itu bagus juga. Aku serahkan padamu, nona ART.”
Tangannya yang terkepal teracung. Dengan santai Anderson berbalik lalu pergi.
“Aku pergi dulu. Aku terlalu mengantuk untuk begadang.”
“Pengkhianat. Kau mau pergi sendiri?”
“Aku tidak pernah menyuruhnya merebus kaldu. Dia memutuskan untuk melakukannya sendiri.”
Anderson menjawab itu sebelum keluar dapur. Kaya mulai cemberut ketika dia menyeret kursi dan duduk.
“Dasar bajingan lemah. Bahkan calon istrinya akan sama lemahnya.”
“Bukankah dia melakukan itu untuk kita? Memberi kita waktu berduaan.”
“Haa! Jika ada yang harus memberi waktu untuk berduaan, seharusnya itu kan aku? Mr Minjoonku yang berkelas dan formal, yang lebih memilih untuk berbagi kamar bukan dengan pacarnya, tetapi dengan Anderson.”
“…Kenapa kau seperti ini? Kau tahu bukan begitu.”
“Entahlah.”
Kaya meletakkan lengannya di sandaran kursi lalu menundukkan kepalanya. Kemudian dia mulai bergumam dengan nada sedih. Masakan, bersih-bersih, sampah…Jo Minjoon tidak bisa menahannya lalu menghela napas.
“Aku akan membantumu. Jangan khawatir soal itu.”
“Jangan membantuku. Aku kalah. Ini tanggung jawabku.”
“Terserah.”
Jo Minjoon tidak ragu sedikitpun saat menjawab lagi. Kaya membelalak pada Jo Minjoon. Jo Minjoon bahkan tidak menoleh setelah menjawab lagi.
“Kenapa mengatakan itu jika kau akan memelototiku seperti itu?”
“Hah? Apa? Bagaimana kau tahu aku memelototimu?”
“Menurutmu, aku tidak paham Kaya Lotus?”
“Kau tidak paham apa keputusan yang aku buat.”
“Paham bukan berarti aku tahu.”
Jo Minjoon merespon secara alami. Kaya mulai menggerutu.
“Selalu bagus dalam bicara tanpa alasan.”
“Ada banyak orang yang tidak bagus dalam berbicara. Seorang chef itu separuh sukses kalau dia punya cara dalam berbicara.”
Kaya hanya diam melihat punggung Jo Minjoon saat dia mengatakan itu. Dia tidak memasak sesuatu yang menakjubkan. Dia hanya merebus kaldu dan membuangi busa dengan hati-hati. Tetapi untuk beberapa alasan dia tampak sangat keren saat melakukan itu. Dia tampak sangat menawan. Dan Kaya merasa iri. Perlahan dia berkata.
“Menurutmu, seberapa jauh aku sudah sukses, sebagai chef?”
“…Kita menyebut sukses, tetapi belum ada dari kita berdua yang berada di level untuk mendiskusikan perjalanan menjadi sukses”
“Kau tahu apa yang aku bicarakan. Aku merasa sudah tertinggal. Kalian semua bekerja di dapur sementara aku menghabiskan lebih banyak waktu berdiri di aula. Aku hanya menunjukkan wajahku ke orang-orang, berfoto dengan mereka, dan memberikan tanda tangan. Aku juga harus menerima pujian untuk resep yang aku hampir tidak memiliki peran dalam pembuatannya…Aku merasa seperti seorang artis penipu.”
Tangan Jo Minjoon terhenti. Tetapi dia tidak menoleh. Jika dia mau, dia bisa menghampirinya dan memeluknya untuk menghiburnya. Tetapi dia tidak melakukannya. Dia tidak bisa melakukannya. Dengan melakukan itu sama seperti menghampiri seseorang yang sedang flu lalu mengatakan ‘kau tidak benar-benar sakit.’. Meskipun itu sulit…dia harus menjadi orang yang memberikan suntikan obat. Jika perlu, dia harus memotong anggota badan yang membusuk. Jo Minjoon berkata. Dalam benaknya, dia sedang memegang pisau bedah.
“Kaya, apa yang membuat frustasi? fakta bahwa kau tidak bisa berdiri di dapur? Atau bahwa kau harus hidup sebagai boneka Grand Chef selama satu tahun?”
“Keduanya.”
“Kenapa itu membuat frustasi?”
“Aku sudah bilang. Aku bukan chef ataupun selebriti saat ini. Hanya berada di tengah dan terasa aneh. Beda cerita jika aku melangkah ke dunia hiburan seperti Chloe. Aku sungguh bukan apa-apa saat ini. Tidak, aku hanya tidak melakukan apapun saat ini. Aku sungguh membenci ini.”
Jo Minjoon pelan-pelan mengangkat spatulanya. Perlahan dia membuang busa di spatula ke dalam kaleng sampah. Lalu perlahan dia berkata.
“Kaya, kau adalah chef yang lebih baik dari yang kau percayai. Kau bilang resepmu tidak sempurna tadi. Oleh karena itu, mereka harus mengubahnya. Aku yakin kemampuanmu sebagai chef kepala juga kurang. Itu normal jika kurang. Lalu apa menurutmu apa yang seharusnya kau lakukan saat ini?”
“…Apa maksudmu dengan apa yang seharusnya aku lakukan?”
“Apa yang ingin kau lakukan di akhir memasak. Lalu latihlah keahlianmu. Perbaiki resep, riset, dan bekerja keras untuk tidak hanya menjadi chef kepala dalam nama, tetapi chef kepala sungguhan. Buat dapur menjadi milikmu. Bahkan jika kau tidak berhasil melakukan itu …… semua upayamu untuk mewujudkannya akan menunjukkan hasil yang sesuai. Apa kau berusaha yang terbaik saat ini?”
Kaya tidak menjawab. Dia tidak bisa menjawab. Seperti yang disebut Jo Minjoon, Kaya tidak menggertakkan giginya dan melakukan apapun yang dia bisa lakukan untuk membuatnya terjadi. Jo Minjoon lanjut berbicara.
“Kau tidak bisa mendapat sabuk kemenangan jika kau tidak menantang dirimu sendiri. Kaya, jika kau ingin menggerutu, lakukan setelah kau menantang dirimu. Menangislah setelah kau telah mengalahkan dirimu sendiri. Pada saat itu, aku akan menghiburmu dengan benar. Tetapi tidak untuk saat ini. Kaya, aku tidak suka air mata yang turun bahkan sebelum kau berjuang.”
“…Aku tidak menangis.”
“Iya. Kau tidak boleh menangis.”
Kaya berdiri dan memeluk Minjoon dari belakang. Lengannya mendekap tubuh Minjoon dengan erat. Kaya berbisik pelan.
“Kau sangat kejam. Selalu sangat keras padaku.”
“Jadi berhentilah untuk bersikap seperti anak kecil.”
“Aku masih anak kecil. Aku masih remaja.”
“…Kukira aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan.”
Jo Minjoon meletakkan spatula lalu berbalik. Kemudian dia mencium bibir Kaya lalu tersenyum.
“Apa menurutmu aku akan berhasil menjadi guru?”
Kaya tertawa.
“Menurutku, kau akhirnya akan menyerah menjadi chef.”
€
Badannya terasa berat. Dia tidak bisa memastikan apakah dia bernafas atau apakah dia bahkan bisa menggerakkan jari-jarinya. Dia merasa dia membuka mata sejenak, tetapi kelopak matanya sangat berat dan terpejam. Ketika dia kembali tersadar, dunia sekali lagi tampak gelap.
Begitu dia berhasil keluar dari dunia kelumpuhan atau tidur ini, hal pertama di depan matanya adalah wajah bulat. Ella melihat Kaya tepat di depannya. Kaya menggosok-gosok matanya saat dia mulai meregangkan badan.
“Hoaaaahm…Ella, kenapa kau di si…?”
Dia yang masih setengah bangun, suaranya tidak keluar dengan benar hanya keluar perlahan dari mulutnya. Ella berdehem sembari menyibakkan rambutnya ke belakang. Di dadanya ada boneka Chloe yang telah ditanda tangani Chloe.
“Karena aku sudah pulang sekolah!”
“Sekolah? Kenapa pulang pagi sekali? Ini kan masih pagi.”
“Ini bukan pagi. Ini pagi. Tidak, pagi.”
Ella, yang mengatakan kata yang salah, buru-buru memperbaiki dirinya. Tapi Kaya tidak memiliki kemewahan berpikir Ella lucu atau bahkan bodoh. Dia melongo ketika dia mencoba menyerap apa yang dikatakan Ella, sebelum dengan cepat mengeluarkan ponselnya dari sakunya. Namun, layar tidak menyala. Baterainya habis. Kaya menatap Ella dengan ekspresi sedikit gugup.
“Ella, apa kau punya ponsel?”
“Anak TK mana yang punya ponsel?”
“Lalu bagaimana dengan jam tangan?”
“Entahlah. Tapi ini sudah lewat dua.”
Tentunya, Ella tidak mengatakan pukul dua siang. Kaya menepukkan tangannya ke dahinya lalu menghela napas. Dia terlambat. Karena dia sudah sangat terlambat, dia bahkan tidak berpikir untuk buru-buru. Pesan Jo Minjoon tentang menantang sisi terbaik dirirnya masih terngiang di kepalanya, tetapi dia malah melakukan sesuatu seperti ini di hari pertama.
Perlahan Kaya bangun dari tidurnya dengan enggan. Benar-benar terlalu banyak bergadang. Dia meletakkan kepalanya di atas meja untuk tidur sebentar, jadi bagaimana dia bisa terbangun dari sofa? Apa Jo Minjoon membaringkannya? Kaya melihat Ella.
“Apa yang dilakukan Minjoon?”
“Memasak.”
“…Masih?”
Kaya berekspresi prihatin. Dia merasa selelah ini setelah tidur sebentar, tidak, tidur lama, jadi bagaimana keadaannya? Dia tidak menaruh dendam pada kenyataan bahwa Jo Minjoon tidak membangunkannya. Itu adalah tanggung jawabnya sendiri untukbangun tidur.
Begitu dia melangkah keluar kantor tempat dia berbaring, aroma manis kaldu menghantam hidungnya. Betapa mengejutkan, aromanya tidak berminyak sama sekali. Mungkin ini normal karena Minjoon mencurahkan banyak sekali usaha membuangi minyak dan busa. Namun, kaya justru semakin khawatir, betapa badan Jo Minjoo pasti luar biasa lelah untuk berusaha sedemikian keras.
“Ah, halo, Chef Kaya.”
“Ya, halo.”
Kaya merespon balik salam dari chef preparasi dengan ekspresi masih kaku saat dia buru-buru menuju aula. Jo Minjoon di sana. Dia mulai tersenyum dengan wajah lelahnya begitu melihat Kaya.
“Ah, Kaya. Kau sudah bangun?”
“…Apa kau tidak tidur sama sekali?”
“Jangan khawatir. …Ini mudah sekali. Ah, aku sudah mengontak agenmu. Aku mengatakan padanya kau tidak enak badan jadi kau perlu beristirahat.”
“Apa aku yang sungguh sakit? Kau yang tampak seperti mau jatuh sakit.”
Suara kaya terdengar sedikit marah. Menonton Kaya, Rafael berbisik di telingan Janet.
“Dia sama seperti yang dirumorkan. Minjoon benar-benar akan dicambuk.”
“Entahlah. Firasatku justru sebaliknya.”
“Sebaliknya?”
Alih-alih menjawab, Janet hanya melihat kembali pada Kaya dan Jo Minjoon. Rafael menoleh melihat mereka juga. Jo Minjoon tersenyum lembut saat mendudukkan Kaya di sebelahnya.
“Kau bisa marah-marah nanti, tapi coba ini dulu. Seharusnya ini tidak berlebihan bahkan untuk perut yang kosong. Aku memadatkan kaldu dan memasukkan daging sapi rebus yang dibungkus lasagna di dalamnya. Diakhiri dengan bubuk pala dan sedikit garam kasar. Ayo cepat, cobalah.”
Melihat matanya berkilauan dengan ekspektasi dirinya mencoba hidangan itu, dia tidak bisa lagi lanjut menggerutu. Kaya membuka mulutnya dan menyantap makanan yang ditawarkan Jo Minjoon. Cita rasanya sungguh menarik. Lebih tepatnya, hal yang menarik ada pada teksturnya. Tampak seperti bola kokoh, tetapi terasa sangat berbeda dengan jeli. Ini mungkin paling baik digambarkan sebagai air yang entah bagaimana mempertahankan bentuknya. Kaldunya meleleh perlahan di mulut, dan kekenyalan daging yang terbungkus dalam lasagna menambah tekstur dan rasa gurihnya.
Tetapi rasa yang paling kuat, tentu, kaldunya. Bagaimana mungkin yang seperti ini hanya karena waktu dan usaha yang dicurahkan? Cita rasa Asia meleleh dengan lasagna dan daging, yang mana mengeluarkan sebagian besar cita rasa masing-masing bahan. Kaya bahkan lupa tentang kekhawatirannya pada Minjoon saat dia menunjukkan kekagumannya.
“Ini mungkin keluar sebagai menu. Tentunya, ini butuh beberapa penyesuaian…tetapi ini sungguh lezat.”
“Ini akan sulit untuk membuatnya sebagai menu. Aku tidak bisa membuat kaldu seperti ini setiap hari.”
“…Kukira itu benar. Lalu kenapa kau membuat ini jika kau bahkan tidak bisa memasukkannya sebagai menu?”
Jo Minjoon terkikik alih-alih merespon. Kaya mulai mengerutkan dahinya.
“Kenapa kau tertawa?”
“Tidak, ini lucu. Baru kemarin, kau mengatakan aku mencurahkan usaha pada hal yang tidak berguna, tetapi sekarang, kau kecewa aku tidak bisa memasukkannya ke menu. Bukankah itu lucu? Fakta bahwa kau mencurahkan waktu dan usaha pada sesuatu sangat jelas terlihat.”
Kaya diam mencerna kata-kata Jo Minjoon. Apa itu karena mereka banyak mengobrol kemarin? Kata-katanya tidak terasa ringan. Mungkin itulah sebabnya, jawaban Kaya lebih berat dari biasanya.
“Aku harap untuk hubungan kita, kita bisa mencurahkan banyak usaha ke dalamnya dan merebusnya untuk waktu yang lama.”
Jo Minjoon menggenggam tangan Kaya.
“Kita akan merebusnya sampai sumsumnya habis dan tulangnya patah.”
<Di depan Garis Start (2)> Selesai.