Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 196: Di depan Garis Start (3)
‘Mereka begitu lagi.’
Semua keluarga dapur menggelengkan kepala dan menghela napas. Itu sungguh romantis, tetapi bagaimana mungkin dia mengatakan sesuatu yang murahan itu di depan semua orang? Tidak akan terasa semenjijikkan ini jika mereka hanya menunjukkan rasa kasih sayang yang besar di depan umum.
Maya melihat Gerrick. Dia mulai berbicara dengan nada kesal.
“Hei, Gerrick. Apa semua pria Asia seperti ini?”
“…Entahlah. Tapi pria Korea adalah yang paling terkenal dengan hal murahan diantara semua pria Asia.”
“Tapi itu akan berubah begitu mereka menikah, kan?”
“Seharusnya itu tidak berbeda bagi bangsa manapun. Bahkan film drama hanya berfokus pada kehidupan sebelum menikah. Mereka biasanya tidak berfokus pada kehidupan setelah menikah. Mereka tidak melakukannya karena romantisme akan pudar begitu kau menikah. Begitu kau menikah, itu menjadi drama keluarga. Drama keluarga lebih berfokus pada krisis, cekcok, permintaan maaf, dan hal-hal seperti itu.”
Janet mulai berkata dengan nada dingin setelah mendengar pernyataan Gerrick.
“Aku sungguh ingin mereka segera menikah.”
“Itu terdengar seperti sebuah harapan yang diisi dengan maksud buruk setan.”
Gerrick tertawa dengan canggung saat mengatakan itu. Namun, Janet tidak tampak tertawa. Anderson yang berdiri di sebelahnya berkata dengan ekspresi serius.
“Itu hal terbaik yang kau katakan sejauh ini.”
“Aku selalu mengatakan hal yang baik.”
“Terserah kau bilang apa.”
Anderson mengangkat bahu. Janet melirik Anderson sejenak lalu mengalihkan pandangannya. Kemudian dia tersentak. Ella memelototinya dengan mata penuh kebencian. Kemudian dia mulai bergumam dengan nada sedih.
“…Aku tidak mau itu terjadi.”
€
“Ini barang terakhirmu, kan?”
“Tidak banyak. Hanya beberapa pakaian.”
Jo Minjoon meletakkan koper terakhirnya ke dalam mobil saat dia mengangkat bahu. Cuaca di California biasanya hangat, jadi selain beberapa pakaian formal atau mantel tipis, mayoritas adalah pakaian musim panas.
Dia melihat ke belakang. Matahari menyinari rumah dengan hangat. Lekukan-lekukan di pagar yang berwarna magenta cerah menutupi umurnya, dan cerobong panjang di satu sisi dinding tampak seperti akan terlepas. Jo Minjoon mulai bergumam dengan nada sedih.
“…Aku agak sedih sekarang karena harus pergi.”
“Akan aneh jika kau tidak sedih saat meninggalkan rumah bagus seperti ini.”
“Rumahmu juga bagus. Tetapi kenapa kau tidak sedih?”
“Siapa yang peduli dengan rumah bagus? Ada dua hantu yang tinggal di sana.”
“Menyebut orang tuamu hantu itu sedikit keterlaluan.”
“Kalau begitu coba kau berurusan dengan mereka. Kau bahkan akan mengatakan mereka keterlaluan. Orang tuamu baik. Kau tidak akan mengerti.”
Jo Minjoon menaikkan alisnya lalu menurunkannya kembali. Bukannya Anderson salah. Orang tua Jo Minjoon pasti sangat berbeda dengan orang tua Anderson. Tetapi…
“Tetapi Amelia tampak menangis saat kau berkemas sebelumnya.”
“…Menangis apanya.”
Anderson merespons dengan wajah masam. Rachel, yang menonton mereka berdua, perlahan berkata.
“Amelia bersikap tegar tetapi dia tergar dari dalam.”
“…Aku tidak mengerti ucapan Guru. Apa seharusnya bersikap tegar tetapi lemah di dalam?”
“Bahkan wanita yang kuat seperti dirinya akan merasa kesulitan ketika anaknya pergi. Apalagi jika itu adalah putranya yang selama 20 tahun ini berada di dekatnya.”
“Dia bukan tipe penyayang seperti itu…”
Anderson menjawabnya lalu tatapan Rachel membuatnya berhenti. Jo Minjoon mulai berpikir saat melihat Rachel. Apa Rachel dan Daniel tidak pernah punya anak ataukah mereka kehilangan mereka? Biasanya, orang-orang cenderung memiliki satu atau dua anak setelah bersama selama itu, tetapi ia hanya bisa bertanya-tanya tentang hal itu karena tidak ada yang pernah membahas topik itu.
Tentunya, dia tidak cukup lancang untuk menanyakan hal itu sendiri. Hanya karena dia penasaran, bukan berarti dia punya hak untuk tahu soal itu. Itu adalah kehidupan pribadi Rachel. Kecuali Rachel sendiri yang mengungkapkan soal itu duluan, Jo Minjoon tidak punya alasan atau hak untuk bertanya. Rachel punya senyum murah di wajahnya saat dia menoleh untuk melihat Jo Minjoon.
“Kukira saatnya kalian pergi sekarang.”
“Aku menikmati waktuku di sini. Aku tidak pernah menyantap makanan yang enak di rumah sepanjang hidupku.”
“Oh, oh, Kaya akan sedih jika kau mengatakan hal semacam itu.”
“Kukira Kaya belum pernah memasak untukku di rumah.”
“Bukankah pada akhirnya dia yang akan memasak untukmu di rumah?”
Itu adalah pertanyaan iseng. Jo Minjoon dengan malu-malu mengalihkan pandangannya. Rachel melanjutkan berbicara dengan suara yang sedikit serius.
“Kadang-kadang, ada saat-saat ketika kau harus memegang sesuatu dengan kuat alih-alih mundur. Kau mungkin menganggapnya seperti wanita tua yang mengomel padamu, tetapi itulah yang diinginkan wanita dari seorang pria. Mereka menginginkan seseorang yang menggenggam mereka dengan erat.”
“…Guru, apa kau juga seperti itu?”
“Meskipun aku sering mendengar bahwa aku mempunyai kepribadian yang kuat, aku tetap bukan seroang pria. Ketika seorang pria menginginkan dunia, wanita menginginkan pria yang memiliki dunia. Dan ketika mereka yakin bahwa mereka memiliki seseorang seperti itu, itulah saatnya orang itu untuk fokus padanya. Seorang wanita yang tidak menerima cinta seperti itu…menjadi mudah untuk mempertanyakan cinta itu sendiri.”
Dia bisa paham apa yang Rachel katakan. Jo Minjoon punya tatapan kompetitif saat dia menganggukkan kepala. Kemudian, dengan hati-hati dia menjawab.
“Tapi bukankah aku sudah sangat fokus padanya?”
“Iya, itu fokus yang sangat lembut. Kadang-kadang, bagus untuk menjadikannya sedikit lebih kuat. Pikirkanlah. Jika kau punya teman tetapi mereka selalu formal denganmu, apa kau akan merasa nyaman dengan teman seperti itu?”
“…Kukira itu sedikit sulit.”
Jo Minjoon menjawab dengan nada percaya diri. Rachel tersenyum. Kemudian Rachel menepuk bahu Jo Minjoon pelan lalu lanjut berbicara.
“Kau anak yang cerdas. Aku tahu kau paham apa yang coba kukatakan. Omelanku cukup sampai di situ. Kau tidak berpikir aku nenek yang membosankan, kan?”
“Guru, aku tidak bisa menilai itu membosankan padahal guru sedang membacakan sebuah ensiklopedia di depanku.”
“Kau sangat jelas mencoba menyanjungku.”
“Bukankah sanjungan yang jelas lebih manis daripada sanjungan yang tersembunyi?”
“…Aku sungguh tidak tahu entah dirimu beruang ataukah rubah. Aku terus bolak-balik.”
Rachel tersenyum memikirkan tidak ada yang bisa dia lakukan pada si pembuat masalah ini. Jo Minjoon merespon dengan suara lembut.
“Terima kasih, Guru. …Rasanya aneh mengatakan hal semacam ini. Ini bukan aku sedang meninggalkan dapur. Aku hanya pergi dari rumahmu.”
“Kemarilah.”
Rachel membuka lengannya. Dengan hati-hati, Jo Minjoon menghampirinya dan memeluknya. Rachel menepuk-nepuk punggung Jo Minjoon lagi.
“Kau seperti seorang putra bagiku. Kau akan terus seperti putra bagiku. Jika kau pernah merindukan keluargaku, silakan datang kapanpun.”
Muncul pemikiran di kepala Jo Minjoon ketika dia mendengar itu. Dia punya keluarga di Korea dan seorang pacar, Kaya. Akan tetapi Rachel tidak punya siapapun.
Tentu, Isaac yang setia ada di sisinya. Namun,…hal ini mulai membebani hatinya, orang yang lebih merindukan keluarga adalah Rachel daripada dirinya.
Jo Minjoon memeluk Rachel lebih erat. Tidak hanya ada kekuatan di lengan yang memeluk Rachel itu. Ada perasaan bersalah karena meninggalkannya, dan ada semacam rasa kasih sayang. Apakah Rachel bisa merasaknnya juga? Jo Minjoon tidah tahu. Dia berbisik pelan pada Rachel.
“Jangan menganggap aku anak kecil yang mirip seperti seorang putra bagimu. Perlakukan saja aku sebagai putramu. Ketika Guru memelukku, aku akan balas memelukmu, Guru.”
“…Kau tahu dengan pasti apa yang kau katakan. Apa kau mencoba menghiburku?”
“Menghibur tidak hanya dilakukan oleh orang berperingkat lebih tinggi.”
Rachel pelan-pelan mendorong Jo Minjoon. Keriput di wajahnya menampakkan kegugupan. Rachel terbatuk palsu saat dia hendak berbicara.
“Pergilah sekarang. Kau bahkan mengambil cuti untuk pindahan, kau tidak bisa menyia-nyiakannya dengan mengobrol denganku.”
“Cuti tidak cukup sebagai imbalan untuk mengobrol denganmu, Guru.”
“Aku sungguh tidak berdaya soal mulut manismu.”
Senyuman Rachel terlihat mengatakan seolah tidak ada yang bisa dia lakukan terhadap Jo Minjoon. Bagi seseorang yang mengatakan hal murahan dengan santainya dan sangat jujur tanpa ada ambisi tersembunyi, tidak heran Kaya jatuh cinta pada orang itu. Tidak, terlepas dari pria atau wanita, kepribadiannya yang jujur adalah sesuatu yang membuat siapapun penasaran.
‘Itu adalah sesuatu yang bagus untuk dimiliki.’
Itu hal yang mungkin untuk membuat makanan yang enak tanpa memiliki kepribadian yang bagus. Meskipun sebuah hidangan membawa perasaan chef, tidak banyak orang yang bisa membaca perasaan dalam hidangan. Tetapi pada akhirnya, sebuah dapur yang dijalankan oleh orang seperti itu akan terjerumus pada masalah. Jika kita tidak merawat kaviti pada gigi karena tidak sakit, pada akhirnya, kita harus mencabut gigi karena kerusakan akan bertambah buruk secara bertahap.
Setidaknya, Jo Minjoon tidak akan pernah jatuh dalam situasi seperti itu. Tidak, dia tidak akan mendapat masalah, karakternya sendiri akan memberikan banyak keuntungan baginya. Kepribadiannya yang hangat akan memeluk keluarga dapur dan sebuah dapur yang seperti itu akan memeluk pelanggan bahkan lebih erat.
“Aku akan mengabarimu segera setelah aku sampai!”
“Tempatmu bahkan tidak sebegitu jauh. Pergi saja dan bereskan barang-barangmu lalu istirahatlah dengan baik. Ini perintah dari chef kepala.”
“Iya,”
Jo Minjoon memberi hormat lalu masuk ke dalam mobil. Rachel, yang tersenyum saat dia menonton mobil menjauh, perlahan berbalik. Banyak suara-suara terdengar beberapa saat yang lalu, tetapi sekarang sangat senyap.
Angin, cuitan burung-burung dan serangga, dan bahkan suara mesin mobil tak terdengar lagi. Rachel melihat rumahnya dengan tatapan kosong. Kenapa rumah ini yang sepertinya muncul dari negeri dongeng terasa begitu jauh?”
“……Sekarang akan jauh lebih sunyi di sekitarnya.”
Dia tidak bisa membuat dirinya melangkah.
€
Rumah tempat mereka bertiga pindah berada di pinggiran Beverly Hills. Banyak tanaman tinggi yang ditanam di tepi jalan, dan banyak mobil di parkir di jalan di depan rumah.
Dan salah satu kendaraan-kendaraan itu adalah truk Jo Minjoon dan Anderson. Ketika Jo Minjoon menggeret kopernya ke dalam rumah, Kaya yang telah membersihkan rumah, melihat ke arah mereka dengan masker tetap terpasang di wajahnya.
“Apa kau sudah membawa semua barang-barangmu?”
“Iya, ini semua.”
“Bagus dan tidak banyak.”
Dia mengangguk. Furnitur yang mereka pesan sebelumnya sudah diantarkan dan menunggu mereka. Jo Minjoon menghela napas lalu menjatuhkan diri ke sofa. Kaya mulai mengerutkan dahinya.
“Kau akan beristirahat begitu tiba di sini? Apa kau tahu betapa banyak hal yang harus dilakukan saat ini?”
“Bukankah bersih-bersih adalah tugasmu?”
“…Jadi kau tidak akan bekerja sama, begitu?”
Kaya menatap tajam Jo Minjoon. Jo Minjoon meraih pergelangan tangan Kaya yang sedang memegang kain lap dan menariknya agar dia mendekat.
Kaya terkejut dan terjatuh ke atas lutut Jo Minjoon, dia berbalik lalu melotot.
“Apa yang coba kau lakukan?”
“Ayo istirahat sebentar. Aku sedang banyak pikiran sekarang.”
“…Apa terjadi sesuatu?”
Jo Minjoon memeluk Kaya dengan erat alih-alih menjawab. Kaya mulai menggeliat seolah-olah merasa tidak nyaman.
“Jika kau ingin memelukku, peluklah dengan benar. Posisi seperti ini membuat punggungku sakit.”
“Guru Rachel mengatakan ini padaku kadang-kadang, aku perlu bersikap seperti pria buruk.”
“…Menurutku, bukan itu yang Rachel maksud.”
Jo Minjoon menyeringai saat dia melepaskan Kaya. Kaya bangkit dan membenahi dirinya lalu sorot matanya langsung memandang ke arah pangkuan Minjoon dan area kosong di sebelahnya.
Pada akhirnya, keputusannya separuh-separuh. Separuh dia ingin mendudukkan pantatnya di sofa sementara separuh lagi ingin duduk di atas paha Jo Minjoon.
“Kau bilang padaku untuk memelukmu dengan benar jika aku ingin memelukmu, tapi kau bahkan tidak mau duduk.” tanya Jo Minjoon tidak percaya.
“Aku membacanya di internet, jika kau ingin menjaga hubungan yang baik, jangan berikan seluruh hati dan badanmu. Berikan saja separuhnya. Itulah kenapa -Kenapa wajahmu seperti itu?”
“Aku hanya terpikir soal Guru Rachel. Memikirkan dia yang tinggal di rumah besar sendirian,… membuatku agak sedih.”
“Kau bisa sering-sering mengunjunginya. Selain itu, kau akan bekerja di dapur yang sama.”
“Tetapi rumah itu berbeda. Dia perlu seseorang yang menyambutnya ketika dia sampai di rumah…”
“Bukankah dia punya Isaac?”
“Mereka berdua tidak seperti keluarga…Hubungan mereka terasa lebih seperti antara seorang majikan dan pelayan. Aku tidak tahu.”
“Berhentilah memikirkan hal-hal yang tidak bisa kau jawab dan ayo masuk. Aku sudah selesai membersihkan kamar kita.”
Kaya mencium pipi Jo Minjoon saat dia berdiri. Pada akhirnya, Kaya dan Jo Minjoon yang akan berbagi kamar utama. Meski dia tidak menunjukkan secara visual, Jo Minjoon juga lebih suka untuk berbagi kamar dengan Kaya daripada Anderson. Selama Kaya tidak keberatan, tidak ada alasan menggunakan kamar yang berbeda.
Tetapi mereka tidak akan berbagi tempat tidur. Lebih tepatnya, ada dua tempat tidur di kamar itu dengan jarak hanya cukup untuk lampu tidur diantaranya. Kaya berbaring di kasur lalu menatap Minjoon.
“Apa yang kau lakukan? Berbaringlah juga.”
“Sekarang?”
“Lalu apa kau mau berbaring besok?”
Jo Minjoon merenung sejenak. Dia masih memakai pakaian untuk keluar. Tetapi daripada menolak dan membuat Kaya marah, lebih baik dia mencuci selimut saja nanti.
Begitu dia berbaring, Kaya berkata.
“Tanganmu.”
“…Apa aku anjingmu?”
Meski berkata begitu, dia tetap menyodorkan tangannya. Kaya menggenggam tangannya saat dia mulai tertawa puas.
“Kita akan tidur seperti ini setiap hari.”
“…Tidak akan ada kemajuan jika kita melakukan ini setiap hari.”
“Meski ada kemajuan dalam hubungan kita, kita akan berpegangan tangan seperti ini saat kita tidur. Tidak hanya saat kita tidur. Kemanapun kita pergi, apapun yang kita lakukan, mari kita lakukan sambil berpegangan tangan.”
“Bahkan saat kita ke kamar mandi?”
“Berhentilah mengacaukan momen ini.”
Kaya melotot dan mencubit telapak tangan Minjoon. Itu tidak sakit.
“Apa kau ingat janji kita selama Grand Chef waktu itu?” tanya Jo Minjoon.
“Janji yang mana?”
“Sarapan dan makan siang. Aku bilang aku akan membuatkan itu untukmu sampai kau kalah kompetisi.”
Jo Minjoon masih tetap berbaring saat dia menoleh. Kaya juga menatap Jo Minjoon. Begitu tatapan mereka bertemu, Jo Minjoon berkata.
“Tapi kau berakhir jadi pemenang. Jadi kau tidak pernah kalah.”
Kaya tidak merespon. Jo Minjoon melihat mata Kaya dengan tatapan serius. Lalu berbisik seolah sedangbercanda.
“Tangan yang sedang kau genggam, tidak akan pernah bisa kau kembalikan.”
< Di depan Garis Start > Selesai