Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 198: Masa penjajakan 36 orang (2)
“Mr. Pabo.”
Suara yang tak terduga membawa PD, Pabo, kembali ke realita. Pabo melihat ke sekeliling. Rachel sedang menatapnya.
“Ya?”
“Mereka akan segera tiba.”
“Ah, Baik. Iya. Terima kasih banyak. Tim Film. Ke sini!”
Pabo keluar dapur dan memanggill stafnya. Jo Minjoon menatap Rachel bingung.
“Tiba? Siapa yang datang?”
“Kau akan segera mengetahuinya.”
Rachel hanya tersenyum dan tidak menjawab. Jo Minjoon penasaran apakah dia bisa membujuk Rachel jika dia lanjut bertanya, tetapi … Jo Minjoon tidak mau menguji teorinya itu. Dia tidak sepenasaran itu. Jika itu seseorang yang Rachel undang, mereka pasti seorang epicurean atau chef. Dan siapapun itu, dia jelas terkenal. Mengetahui sebanyak itu sudah cukup. Begitulah anggapannya.
Akan tetapi, tamu yang tiba sejam berikutnya diluar ekspektasi Jo Minjoon. Lebih tepatnya, para tamu, yang berjumlah banyak, semuanya di luar ekspektasi Jo Minjoon.
Ada 36 orang.
€
LAX. Parkiran Bandara Internasional Los Angeles dipenuhi bus-bus seperti biasa.. Tamu Rachel berada di salah satu bus itu. Sebuah bus sewaan biasa yang tidak ada keunikannya. Tidak ada dekorasi spesial atau apapun, sekilas tampak seperti sebuah bus yang penuh dengan turis.
Wajar ada beberapa orang yang tidak puas dengan perencanaan itu. Seorang wanita berambut merah ikal adalah salah satunya. Dia menghela nafas lalu menggelengkan kepala.
“Grand Chef menyewa pesawat untuk chef-chef yang mereka undang.”
“Debra, itu kan Grand Chef. Apa yang mereka filmkan saat ini lebih seperti sebuah dokumenter. Selain itu, chef-chef yang di pesawat itu adalah Chef Rachel dan Chef Sergei. Mereka berdua patut mendapatkan sesuatu seperti itu.”
Orang yang merespon adalah Dave, chef kepala restoran bintang tiga, yang merupakan salah satu cabang Rose Island, yang pernah dikunjungi Jo Minjoon untuk pertama kali. Wanita bernama Debra, yang di ceramahi Dave, hanya mengantuk-antukkan dahinya ke dinding saat merespon Dave.
“Entahlah. Tentu kita kurang dibanding Guru Rachel atau Sergei, si pria tua sinting itu, tapi… memikirkan jumlah total bintang milik kita semua di sini, jika termasuk mereka yang membuka restoran dia luar area yang didukung Michelin Guide, mungkin ada 100 bintang yang terkumpul.”
“Kau yakin? 36 dari kita semua memberi 100 bintang? maka kebanyakan dari kita akan butuh 3 bintang. Kau sendiri hanya punya 1 bintang.”
“…Itu agak menyakitkan.”
Debra cemberut ketika dia mengalihkan pandangan tanpa berkata apa-apa. Dave melihat ke sekeliling bis. Di dalam bis ini yang dapat memuat 40 orang lebih sedikit, hampir 30 orang berada di dalam bis saat ini. Dave mengerang saat dia mulai membelai dagunya.
“Mereka terlambat.”
“Akan lebih aneh jika semua orang tiba berbarengan, kita bersama dengan orang-orang yang datang dari seluruh penjuru dunia.”
“Sudah berapa lama sejak kita semua berkumpul bersama?”
“Tidak yakin. Sepanjang yang kutahu setidaknya sudah 10 tahun. Hanya kita yang ada di AS, sedangkan orang-orang datang dari seluruh penjuru dunia…guru Rachel adalah titik pusat kita.”
“Rose Island…hanya memikirkan nama itu berdiri lagi membuat jantungku menggila.”
“Aku tidak peduli soal lain. Aku hanya bahagia guru memasak lagi.”
Ekspresi Debra kosong saat dia bernostalgia memikirkan tentang masa lalu, kemudian dia mulai tersenyum. Pada saat itu, suara padat tapi lemah menyela pembicaraan.
“Tapi apa kalian mendengar rumor?”
Yang berbicara itu adalah seorang pria berbadan tegap yang mencukur habis kepalanya. Dave menoleh ke belakang lalu bertanya.
“Aku tidak yakin rumor apa yang kau bicarakan.”
“Kudengar guru berencana mengambil anak itu, Jo Minjoon, sebagai pewarisnya.”
Pernyataan itu membuat seluruh orang di bus terdiam. Itu adalah topik yang sangat sensitif untuk didiskusikan. Dave menyilangkan lengannya lalu mengerang. Kemudian dia merespon pelan.
“Philip, itu bukan hal yang patut kita diskusikan.”
“Kenapa tidak? Kita semua murid guru. Kita juga tentara Rose Island. Jika kita akan mendapat jenderal baru…sebaiknya kita, setidaknya, bisa menyuarakan pendapat kita.”
“Bukannya aku tidak paham apa yang coba kau katakan. Akan tetapi, guru tidak mengatakan apapun pada kita. Guru mungkin berpikiran buruk jika kita mendasarkan pemikiran pada rumor.”
“Aku tidak ingin guru salah paham. Mau tak mau, kita penasaran soal itu. Jika guru sungguh meletakkan harapannya pada anak kecil itu atau tidak…Dave, kau sudah bertemu dengannya sebelumnya. Bagaimana dia?”
Debra, dan juga semua chef lainnya yang menyimak percakapan mereka, menajamkan telinga mereka pada pertanyaan Philip. Dave mengerutkan dahi setelah merasa terbebani, lalu mulai bergumam seolah dia tenggelam dalam pikirannya.
“Aku sungguh tidak yakin. Semua yang dia lakukan adala mencicipi makananku dan seketika itu mengetahui resepku. Apa yang aku tahu dengan pasti adalah dia mempunyai indera pengecap yang mutlak. Jika kalian semua ingat guru Daniel, kalian tahu dengan baik bagaimana memiliki lidah yang bertalenta.”
“Dia sungguh punya indera pengecap yang mutlak? Itu tidak dibuat-buat atau dibesar-besarkan?”
“Jika ada sesuatu yang seperti itu, tidak mungkin guru akan membawanya masuk di bawah sayapnya.”
“…Kukira itu benar.”
Debra mengangguk. Indera pengecap mutlak dan pewaris potensial Rachel, meski itu hanya kecurigaan. Jo Minjoon punya julukan keren pada namanya. Dan julukan yang terakhir itu merupakan satu hal yang bahkan lebih bermakna bagi para chef-chef Rose Island.
Philip menyilangkan lengannya. Bisa terlihat dengan jelas emosi rumit di wajahnya.
“Aku tidak yakin apakah aku seharusnya gugup ataukah suka cita. Biasanya, aku akan bahagia mendengar tentang seseorang dengan indera pengecap yang mutlak dan ingin menyajikan makananku. Tetapi mendengar dia adalah kompetitorku…”
“Kompetitor? Dia tetaplah seorang anak yang bertugas sebagai chef demi. Tidak perlu sangat khawatir dengannya di sana?”
“Kau tahu bahwa ada monster-monster yang melakukan hal-hal hanya dalam setahun sedang yang lain 10 tahun hanya untuk belajar. Jo Minjoon adalah kebalikan yang kuat. Huufh, aku sudah sakit kepala melawan kalian semua…”
Meskipun mereka tidak pernah membicarakannya, posisi pewaris Rose Island adalah satu hal yang diimpikan semua chef kepala Rose Island. Mereka bukan serakah ingin memiliki semua harta Rachel Rose. Mereka lebih peduli tentang kepopularitasan menjadi perwakilan Rose Island. Setelah mendedikasikan seluruh hidupnya pada Rose Island, nama itu memegang arti yang begitu mendalam bagi mereka semua.
Tetapi jika restoran utama kembali seperti ini…ada kesempatan bagus yang mana chef kepala restoran pusat akan mengambil alih peran pengganti. Tentunya, tidak ada yang mengeluh karena Rachel akan menjadi chef kepala restoran pusat saat ini, tetapi jika Jo Minjoon atau orang lain yang menjadi chef kepala dan keahliannya tidak lebih baik secara signifikan dari pada mereka yang di sini, itu mungkin akan memicu beberapa masalah.
Alasan dari ke36 chef dari restoran cabang berkumpul di sini hari ini tidak hanya untuk memberi selamat atas kembalinya restoran utama tetapi juga karena rasa pensaran mereka soal masa depannya.
Oleh karena itu mereka semua berekspresi serius ketika mereka akhirnya berkumpul bersama dan tiba di Rose Island. Dave melihat ke sekeliling restoran dengan sorot mata bernostalgia. Pada satu titik, dia pun pernah bekerja keras di lokasi ini. Menyakitkan melihat tempat ini kosong selama sepuluh tahun terakhir. Melihat tempat ini kembali, membuatnya sangat senang.
“… … Siapa orang-orang itu?”
“Aku mengenal beberapa di antaranya. Mereka semua chef. Chef kepala Rose Islands. Apa mereka semua chef kepala…”
Staf TV tidak tampak begitu terkejut, tetapi penyaji, para chef, dan keluarga restoran lainnya tampak gugup setelah melihat banyak orang berjalan masuk. Rachel tersenyum ceria saat dia melangkah ke depan para chef.
“Lama tak jumpa kalian semua…yaa, kebanyakan dari kalian semua. Aku pernah bertemu beberapa dari kalian sepuluh tahun terakhir ini.”
“Ini bukan karena kita tidak ingin bertemu Guru. Anda lah yang tidak ingin bertemu dengan kami. Guru jauh bersembunyi seperti seorang putri di tengah hutan.”
Debra menyanggah dengan nada kecut. Tatapan Rachel melembut.
“Kau benar. Aku bersembunyi selama beberapa waktu.. Tapi lupakan soal putri, tampaknya kau telah menjadi seorang ratu selama ini, mendengar segala kelancangan dalam suaramu.”
“Guru tampak sangat lembut di TV jadi kupikir Guru sungguh menua, tapi tampaknya Guru belum sangat tidak berguna.”
“Melihat hormat yang kalian tunjukkan pada guru kalian, aku bisa memahaminya. Apa kau masih berbintang satu?”
“Sial. Itu karena para epicurenan yang muncul pada waktu itu, menilai seenaknya. Berandal itu sungguh tidak punya kesopanan yang layak untuk seorang profesional.”
“Jadi kau mengatakan padaku kau terus bertemu dengan epicurean yang tidak profesional selama bertahun-tahun? Cukup. Alasan akan mengasingkanmu Debra.”
“Apa Guru sungguh akan seperti ini pada muridmu yang menggemaskan yang tidak guru temui selama bertahun-tahun?”
“Apa kau sungguh akan seperti ini pada guru terhormatmu setelah sekian lama?”
Debra melotot pada Rachel dengan tatapan berkaca-kaca lalu segera menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Rachel tidak menjadi cemas dan hanya tersenyum simpul. Debra berbisik dengan nada agak terisak.
“Aku sungguh merindukanmu. Guru, harusnya kau menemuiku. Sungguh”
“…Maafkan aku.”
Melihat Debra bersikap demikian, chef kepala lain mulai bergerak perlahan. Rachel mengangkat tangan untuk menghentikan mereka.
“Berhenti! Kalian bertiga puluh lebih tidak ingin aku memeluk kalian semua. kan? Badanku akan sakit jika melakukannya. Tidak.”
“Guru masih seperti pisau.”
“Orang lansia sepertiku harus menjaga diri sendiri.”
Rachel tersenyum saat dia merespon ucapan Dave. Pada saat itu chef demi keluar ke aula. Jo Minjoon berjalan menuju chef kepala lalu tersentak dengan semua tatapan mereka yang tiba-tiba terfokus padanya. Mereka tidak melihat chef demi. Mereka semua melihat Jo Minjoon. Dia mulai berkata dengan nada canggung.
“Senang berjumpa dengan Anda…?”
“Minjoon, lama tak jumpa.”
“Ah, Dave. Senang berjumpa denganmu.”
Jo Minjoon menjabat tangan Dave lalu melihat Rachel. Tatapannya penuh dengan tanda tanya. Dia tampak menanyakan soal ini semua. Rachel mulai berbicara dengan nada santai.
“Orang-orang yang berkumpul disini adalah chef kepala cabang-cabang Rose Island di seluruh dunia. Mereka semua datang ke sini bahkan di jadwal sibuk mereka karena aku meminta mereka untuk datang. Mereka semua adalah orang-orang yang luar biasa.”
“Guru memperlakukan kami dengan mengatakan kami tidak akan mendapat bonus apapun untuk tahun depan jika kami tidak datang.”
“Aduh, aduh, Jeave. Kau tidak paham itu lelucon? Kau masih tetap lambat berpikir.”
Pria kulit hitam yang bernama Jeave tampak syok. Apa dia sungguh lambat berpikir? Sesuatu yang mirip pasti terjadi di masa lalu. Beberapa dari mereka ingat bagaimana Rachel tidak memberikan bonus apapun selama beberapa bulan … … Tentu saja, Rachel tidak melanjutkan pembicaraan itu. Dia perlahan melihat ke chef-chef lain.
Ada dua alasan aku meminta kalian semua berkumpul di sini seperti ini. Pertama, pembukaan kembali Rose Island tidak lama lagi, jadi aku ingin berbagi momen ini dengan kalian semua sebelum itu terjadi. Dan yang kedua,…Aku ingin kalian semua menjadi pelanggan pertama yang secara pribadi memeriksa dan memberi nilai hidangan dapur. Kalian semua tahu Daniel dengan baik dan seharusnya ingat dengan cita rasa makanannya.”
“Apa kau berencana …menciptakan ulang cita rasa di masa lalu?”
Suara orang yang bertanya itu gemetar. Tidak ada pilihan lain. Semua restoran cabang Rose Island mencoba segala yang mereka bisa untuk meniru atau menyamai cita rasa restoran pusat, tetapi hampir tidak ada restoran cabang yang bisa menciptakan ulang citarasa dari restoran utama lebih dari satu atau dua hidangan. Tidak, itu tidak akan salah untuk dikatakan bahwa mutlak tidak ada restoran cabang yang bisa melakukannya.
Hanya memikirkan akan mengalami kenikmatan citarasa itu lagi, membuat mereka menggigil bahagia. Entah badannya gemetar sebagai chef atau sebagai seseorang yang menikmati makanan, dia…bukan, mereka, tidak bisa berkata apa-apa. Rachel menjawab.
“Kami tidak akan menciptakan ulang cita rasa yang lama.”
“… Hah?”
“Bahkan Daniel tidak menginginkan aku hidup dalam bayang-bayang kematiannya. Aku akan menunjukkannya pada manusia yang kurang beruntung itu. Retoran pusat akan berkembang lebih jauh dari pada di masa lalu. Itu akan berkembang bahkan lebih.”
Dia menyatakannya dengan nada serius.
“Aku akan membuatnya terjadi.”
< Masa Penjajakan 36 orang (2)> Selesai