Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 199: Masa penjajakan 36 orang (3)
Tidak ada orang dalam ruangan yang berpikir Rachel membual. Meskipun Rachel tidak selalu orang yang serius, dia bukan tipe orang yang bercanda tentang keseriusannya dalam memasak. Jika seseorang selevel Rachel tidak punya kepercayaan diri sebanyak itu, hal itu akan menyebabkan masalah yang lebih besar. Debra bertanya dengan ekspresi yang tampak seakan-akan separuh percaya dan separuh cemas.
“Akankah itu mungkin? Guru menjadi kaku setelah sepuluh tahun.”
“Seekor macan tua tidak akan berubah menjadi kucing. Cakarnya juga tidak menjadi tumpul.”
“Aduuh. Haruskah aku memberimu gunting kuku?”
“…Itulah selera bercandamu. Karena itulah kau masih belum bisa menambah bintang.”
“Astaga, apa guru akan terus mengusik soal itu?”
Debra mulai melotot. Rachel tersenyum lalu menatap yang lainnya. Kemudian, dia lanjut berbicara dengan nada santai.
“Omong-omong, karena seperti ini, aku akan meminta kritik pedas kalian sembari kalian di sini. Bagiku dan juga anak-anakku. Kau bahkan bisa mengumpati mereka jika kau mau. hanya saja jangan memukul mereka. Tidak mungkin salah satu dari kalian menjadi chef kepala idiot yang memukul keluarganya, bukan?”
“Jika kita menjadi seorang chef kepala seperti itu, kita akan dipenjara alih-alih di sini.”
“Bagus. Kalau begitu kumohon tolong aku. Ganggulah semua orang di sini sampai mereka tidak ingin lagi berurusan dengan kalian.”
Dave mulai tersenyum simpul.
“Itulah spesialisasi kita.”
€
“Confitnya matang dengan pas. Tapi itu wajar saja karena mesin secara otomatis melakukan semuanya untukmu. Sayangnya, kau tidak menaburkan saus yuzu dengan benar. Javier, kau sudah tahu bahwa itu terasa seerti butiran pasir, bukan?”
“… … Mm, aku belum pernah merasakannya jadi aku sungguh tidak yakin.”
“Kau menyajikan hidangan yang kau buat tanpa mencicipinya dulu? Jika guru Rachel melihatnya, guru sudah akan melontarkan umpatan. Ah, apa guru sudah jadi terlalu jinak dibanding dengan zaman kita? Apa karena itu kau tidak gugup sama sekali?”
“Tidak, bukan itu…”
Javier mulai terbata-bata lalu berekspresi gugup. Dia berusaha yang terbaik untuk tersenyum, tetapi tampak jelas senyumannya canggung.
Segera setelah Rachel selesai berbicara, chef kepala mulai mencari masalah seperti mereka telah menunggu Rachel mengatakannya. Tidak ada yang keluar batas, secara alami termasuk makanan, sikap saat memasak, dan bahkan pakaian. Dan tentunya, anak panah tidak hanya ditujukan pada Javier. Debra sedang berdiri dengan lengan tersilang lalu mengernyit tepat di sebelah Janet.
“Apa kau tahu bahwa aku sungguh senang saat pertama kali melihatmu? Kukira ini semacam persahabatan sebagai sesama chef wanita.”
“Itu terdengar seperti kau sudah tidak senang lagi.”
“Ini lebih seperti kecewa. Lihatlah tuna ceviche carpaccio ini. Ketebalan 2 potong ini tidak sama. Tentunya tidak berbeda jauh, tetapi ini cukup terlihat. Kau pikir di mana kau bekerja saat ini?”
“Rose Island.”
“Apa kau tahu nama itu menyimbolkan apa?”
Debra berbicara dengan nada pilih-pilih tapi entah bagaimana nadanya menghargai, sehingga membuat siapa pun yang mendengarnya jadi bingung tentang perasaannya yang sebenarnya. Namun, Janet tidak bingung. Hal itu karena dia bersyukur punya kepribadian yang mirip dengan Debra. Tidak ada kesalahpahaman. Ucapan Debra secara tulus penuh dengan perhatian dan kepedulian.
“Iya. Itu berarti bahwa aku bagian dari restoran terhebat negara ini.”
“Tidak hanya di negara ini, tetapi seluruh dunia. Dan restoran utama adalah harga diri kita semua para chef. Harga diri yang berakar di restoran terhebat di dunia. Semua itu sekarang ada di tanganmu. Tolong jangan lakukan apapun yang membuat kita tampak buruk. Ini lah cara bagimu untuk menengadahkan kepalamu tinggi-tinggi juga bahkan dengan lebih percaya diri dari pada sekarang.”
Janet menggigit bibirnya sebelum menganggukkan kepalanya. Debra lanjut berbicara terang-terangan, tanpa menghibur Janet sama sekali.
“Apa menurutmu hal terpenting bagi seorang chef wanita untuk bertahan di dapur?”
Janet hanya diam menatap Debra. Ekspresinya dengan cepat berubah melotot. Kemudian dia melontarkan jawaban.
“……Kebencian.”
“Dalam beberapa cara, mungkin kamu benar. Tetapi jika kedencian itu berakhir membuatmu lelah, tidak buruk untuk menyingkirkan itu. Stamina kita kurang daripada pria, dan kita berusaha bertarung dengan ketertiban atau kebersihan kita, tetapi di antara para chef, banyak dari chef pria memiliki cara yang sama, bahkan sampai-sampai mereka kelihatan seperti memiliki OCD. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah tidak puas. ‘Ini seharusnya cukup Ini sempurna.’ Kita tidak bisa puas dengan mudahnya. Carpaccio ini, apa kau puas dengan ini?”
Janet terdiam melihat carpaccionya lalu membuang semuanya ke dalam tempat sampah. Kemudian dia menjawab dengan suara yang sedikit lebih bertekad.
“Aku akan melakukannya lagi.”
“Silakan.”
Anderson mendengus tak percaya saat memperhatikan Janet. Pada saat itulah seseorang mulai berbicara kepadanya seolah-olah mereka mengolok-oloknya.
“Anderson, tampaknya kau sangat santai.. Kau bahkan punya waktu memperhatikan masakan orang lain.”
“Tidak ada alasan aku tidak seharusnya santai.”
Anderson merespon dengan singkat lalu mengisi pasta dengan campuran daging domba dan sayuran. Chef yang diam-diam memperhatikan Anderson bekerja perlahan mulai berkata.
“Kudengar kau adalah anak pasangan Russo dan kau belajar memasak dengan membantu di dapur sejak kau kecil.”
“Maaf, tapi tolong jangan bahas itu. Selain aku anak orang tuaku, aku juga seorang Anderson. Aku tidak nyaman diperlakukan seperti barang milik orang tuaku.”
“Hmm……masuk akal. Anak-anak selalu ingin terbebas dari orang tuanya. Anderson, caramu membentuk ravioli hebat. Apapun yang kau pikirkan, kau belajar itu dari orang tuamu, bukan?”
Anderson tidak merespon. Itu adalah caranya mengatakan bahwa dia tidak akan mengobrol jika chef itu membahas orang tuanya. Namun, chef itu tidak menyerah. Alasan dia membahas itu tidak hanya untuk mengganggu Anderson.
“Kau mungkin memasak di bawah orang tuamu, tapi mungkin kau tidak belajar bagaimana mengawasi orang-orang. Anderson, apa kau yakin tentang cita rasa isian yang dibuat asistenmu?”
“… Hah?”
“Aku bertanya padamu apakah menurutmu isian yang dibuat asistenmu sempurna?”
“Aku tidak bisa mencicipinya sekarang. Aku akan megetahuinya setelah memasaknya lalu mencicipinya.”
“Dan jika itu tidak tampak benar, kau akan membuang semua ravioli-ravioli ini?”
Wajah Anderson kaku lalu dia tidak bisa merespon. Fakta bahwa tangannya berhenti bergerak menunjukkan kegugupannya. Anderson perlahan menoleh menatap asistennya, Gerrick. Namun, Gerrick dengan cepat menggelengkan kepala.
“Aku mengikuti resep dengan sempurna. Tidak ada kesalahan.”
“Iya. Aku juga tidak mengatakan bahwa Gerrick membuat kesalahan. Situasi ini sepenuhnya kesalahanmu. Anderson, kau seharusnya belajar mempercayai mitra kerjamu. Namun, selain mitra kerja, Gerrick juga asistenmu. Dia adalah seseorang yang harus kau perhatikan dan kau bantu untuk berkembang. Kepercayaan semacam itu adalah sesuatu yang seharusnya kau miliki setelah memperhatikan semua yang dia lakukan dan memverifikasi bahwa dia dapat dipercaya. Tetapi berdasarkan apa yang kulihat, kau tidak pernah tampak memeriksa apakah Gerrick mengerjakan tugasnya dengan benar.”
“…Efisiensinya akan jatuh jika aku bekerja sembari memeriksa segala yang dia lakukan.”
“Iya. Aku tahu maksudmu. Namun, sesuatu seperti isian yang kau tidak akan tahu apakah itu benar atau salah hingga setelah kau memasaknya, seharusnya kau memastikan untuk memeriksanya selama pembuatannya. Melakukan itu sembari tidak membiarkan efisiensi turun adalah keahlian seorang chef demi.”
Faktanya, memang tidak ada masalah dengan isian yang dibuat Gerrick. Namun, chef itu mengatakan alih-alih hanya bergantung mempercayai Gerrick untuk mengerjakannya dengan benar, Anderson sebaiknya memastikan itu dikerjakan dengan benar. Anderson mengerti apa yang chef itu coba katakan. Dan…
‘Kukira hal-hal yang aku dapat dari orang tuaku merupakan satu-satunya hal yang kupunya pada akhirnya.’
Mau tak mau, dia terpikir hal semacam itu lagi. Keahlian memasaknya yang halus dan kompeten semua dipelajari di Glouto.
Bukannya Jo Minjoon terbebas dari tatapan chef kepala sembari semua chef demi dipilih. Faktanya, Jo Minjoon mungkin mendapat banyak tatapan. Tidak mungkin berbeda. Sangat jelas sekali bahwa Rachel punya level ketertarikan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Minjoon.
Beberapa orang melihatnya sebagai pesaing, yang lain melihatnya dengan ekspektasi, dan ada beberapa pula yang melihatnya dengan kebencian. Semua tatapan itu awalnya membebaninya, tetapi Jo Minjoon dengan cepat mampu menjauhkan kecemasan yang disebabkannya. Ini bukan pertama kalinya dia memasak di depan banyak orang.
Jo Minjoon membuat semua jenis hidangan gastronomi molekuler. Dia membuat espuma yang terbuat dari krim buah buatannya, bersama dengan es krim buatan sendiri, sorbet, dan jeli dari cetakan. Tentunya, Jo Minjoon tidak melakukan ini semua sendiri. Asistennya, Maya juga membantu mempersiapkan bahan-bahan dan mencampurnya bersama. Disitulah hal yang menarik terjadi.
“Minjoon, bukankah baru beberapa bulan saja dia menjadi chef demi? Bukankah mereka mengatakan dia tidak punya pengalaman sebelumnya?”
“Itu yang kudengar.”
“Kalau begitu, bagaimana dia bisa sebagus itu dalam memanfaatkan asistennya?
Chef kepala bergumam tidak percaya. Chef demi adalah seorang chef, tetapi sungguh butuh waktu bagi mereka untuk belajar. Menjadi chef demi adalah saatnya belajar untuk meningkatkan keahlian memasak tingkat lanjut dan memanfaatkan asisten dengan benar. Bukan salah mereka jika mereka kesulitan mencari kesalahan pada keahlian memasak Jo Minjoon. Itu karena mayoritas yang dibuat Jo Minjoon saat ini adalah gastronomi molekuler.
Tentunya, mereka akan bisa menemukan kesalahan jika mereka berfokus pada fondasi, misalnya merebus bahan-bahan untuk membuat saus. Namun, itu adalah saat mereka mengamati yang selevel chef kepala, bukan selevel chef demi. Meski begitu, mungkin mereka juga kesulitan, karena pada saat merebus saus, Jo Minjoon sudah jauh melampaui level chef demi. Dia bahkan bisa disebut sebagai spesialis saus pada poin ini.
“Tidak sia-sia dia bertanggung jawab pada bagian gastronomi molekuler.”
“Iya. Dia tampak ahli di bidang itu.”
“Aku bisa paham bahwa dia punya ketangkasan dan berbakat secara alami. Tapi bagaimana mungkin dia menggunakan asistennya dengan baik? Kukira itu sangat bergatung pada pengalaman.”
Masuk akal bagi mereka untuk merasademikian. Jo Minjoon tampak sangat sadar bagaimana Maya memasak. Buktinya jelas. Setiap kali mereka merasa seolah Maya membuat sebuah kesalahan atau hasilnya akan berbeda dari yang diperkirakan,…Jo Minjoon segera menaikkan suaranya untuk membimbing Maya.
Kadang-kadang, chef preparasi justru membuat chef demi lebih lelah. Bukan, mendapat asisten adalah alasan nomor satu chef demi merasa lelah. Karena mereka tidak melakukan semuanya dengan tangan mereka sendiri, sulit untuk menjabarkan diagram alir kerja di dalam kepala. Memikirkan apakah asisten melakukan kesalahan atau tidak serta perlunya memeriksa untuk memastikan kerja mereka, hal-hal itu membuat chef demi merasa seolah mereka punya lebih banyak hal untuk dilakukan karena punya tangan tambahan.
“…… Aku harap aku punya chef demi seperti dia di dapurku.. Tidak, pada levelnya, dia mungkin melakukannya dengan baik meski aku menjadikannya chef sous. Dia tidak membuat kesalahan sama sekali.”
Tidak mungkin ada kesalahan karena Jo Minjoon mampu melihat skor estimasi dari sebuah hidangan. Jika Maya membawakan sebuah saus dengan kesalahan pada komposisinya, Jo Minjoon dapat mengantisipasi bagaimana hasil akhirnya.
Terlebih, dia mampu secara instan memverifikasi kapanpun sebuah kesalahan terjadi. Dia mampu mengembangkan intuisi terlepas dari sistem untuk tahu kapan untuk memeriksa pekerjaan Maya dan cara terbaik untuk membimbingnya. Cara terbaik untuk mendeskripsikan itu mungkin karena dia berusaha untuk menjawab pertanyaan sembari mengetahui jawabannya, dia mampu dengan cepat menentukan metodenya.
Hidangan yang dibuat dengan perlakuan semacam itu pasti sedap secara alami. Hampir sempurna tanpa cacat.
Bukan berarti Jo Minjoon punya keahlian memasak lebih baik dari chef demi lain. Faktanya, jika soal keahlian dan efisiensi, Anderson atau Janet mungkin lebih baik. Tidak, mereka jelas lebih baik. Namun, bakat terhebat Jo Minjoon adalah bukan dalam hal memasak, tetapi dalam mengawasi. Dave mengerang lalu mulai bergumam.
“Berdasarkan apa yang aku lihat sejauh ini, dia mungkin yang terbaik di dunia ini jika soal bakat untuk menjadi chef sous. Tentu hanya jika dia bisa menunjukkan fokus dan pengawasan yang sama dengan banyak orang.”
“Jika demikian, bukankah gayanya lebih seperti Guru Rachel daripada Guru Daniel? Guru Daniel lebih baik dalam menciptakan hidangan dari pada mengawasi. Guru Rachel sangat berbakat sekali dalam pengawasan.”
Ada cacat dalam ucapanmu. Kita belum…melihat kreativitas dan intuisi apa yang dia punya dalam memasak.”
Ucapan Dave membuat chef lainnya menyerukan ‘ah’ lalu dia menutup mulut. Melihat betapa berbakatnya Jo Minjoon dalam menangani asistennya, para chef kepala secara alami berpikir bahwa tidak mungkin Jo Minjoon juga berbakat di aspek yang lain. Hal itu terlalu tidak adil jika ada seseorang di dunia memiliki semuanya. Dave bergumam dengan suara pelan.
‘Jika dia juga punya intuisi itu…’
Dave tidak melanjutkan ucapannya. Semua orang tanpa sadar memikirkan akhir kalimat Dave dalam pikiran mereka. Semua orang berpikir dengan cara yang berbeda dalam menyelesaikan kalimat Dave, tetapi isinya kurang lebih sama. Jika Jo Minjoon juga punya intuisi, tidak, jika dia bisa mengembangkan intuisinya, maka….
< Masa Penjajakan 36 orang (3)> Selesai