God of Cooking – Bagian 205 < Satu, Dua, Tiga (2) >
Translator : Hennay
Editor : MEIONOVEL.ID
“…Kau sungguh jahat akhir-akhir ini.”
“Kau salah paham.”
Kaya memalingkan muka dengan kesal. Jo Minjoon berpikir sambil menyantap sepotong daging. Dia bisa melihat Kaya berusaha keras untuk mempertahankan keyakinannya. Bisakah Minjoon mengatakan bahwa keyakinannya sungguh sebuah ‘keyakinan’? Bisakah dia mengatakan bahwa keinginannya untuk pergi ke restoran mewah hanya untuk menggunakan bahan-bahan yang bagus merupakan sebuah keyakinan? Mungkin dia hanya serakah.
Kaya, Anderson, dan Rachel bukanlah orang-orang yang bisa memberikan jawaban untuk itu. Tentunya mereka akan mampu memberikan nasihat. Tetapi itu tugas Jo Minjoon untuk membuat keputusan. Chloe menyantap potongan daging terakhirnya lalu berkata
“Jika dipikir-pikir, apa seorang selebriti datang ke restoranmu sebelumnya?”
“Selebriti? entahlah. Yaa, Hollywood tepat di sebelah kita jadi beberapa selebriti memang datang…tetapi tidak ada yang sangat terkenal kukira. Aku tidak bisa mengingatnya.”
“Selebriti yang kau tahu dan kau ingat hanyalah Arnold Schwarzenegger.”
“Tidakkah itu cukup?”
“Jujurlah. Siapa yang lebih seksi? Minjoon atau Arnold??”
Kaya berhenti dan tidak bisa menjawab selama beberapa saat. Keraguannya telah terjawab. Jo Minjoon bergumam dengan nada sedih.
“Sungguh aku harus fitnes.”
“Kau bilang sudah mulai waktu itu, apa kau berhenti lagi?”
“Yaa, aku sungguh sibuk. Tentu aku tidak bisa mengatakan itu di depan Lisa.”
“Lisa?”
“Lisa harus memanggang roti di tokonya setiap pagi, lalu memanggang lagi di Rose Island sepanjang hari. Sekarang kami masih bersiap-siap jadi dia bisa mengatasinya, tapi setelah kita mulai buka, aku yakin dia akan lelah. Di tambah lagi dia harus merawat Ella.”
Jo Minjoon bergumam prihatin. Meskipun Lisa bisa, tapi itu bukan pekerjaan mudah untuk mengurus semuanya. Saat pramusaji membereskan piring kosong, Kaya berbisik dengan nada pelan.
“Memikirkan Ella, si gadis genit itu, mengingatkanku pada masa kecilku.”
“Kenapa?”
“Karena aku juga tumbuh hanya dengan ibuku, dan dia juga selalu sibuk. Aku tahu bagaimana perasaan Ella…Apa aku sudah menceritakan ini sebelumnya? Ketika aku pergi ke kantor polisi saat aku kecil?”
“…Apa itu cerita menyeramkan?”
“Tidak juga. Karena aku tidak melakukan kesalahan apapun. Aku hanya lepas kendali saat aku kecil, jadi aku dibawa ke kantor polisi sekali. Tetapi petugas di sana sangat baik padaku. Mereka membuatkan aku coklat panas, dan memberiku biskuit…Dan membuatku menyukai tempat itu.”
Kaya mengangkat bahu. Dia tidak benar-benar serius tentang hal ini. Karena dia telah mengatasi itu semua. Hanya ada kenangan masa lalu yang sedikit menyedihkan.
“Ketika ibuku pergi bekerja setelahnya, aku pergi ke kantor polisi sendirian. Aku berjalan kaki selama satu jam ke sana. Aku masih 6 tahun. Betapa kesepiannya aku sepanjang jalan ke kantor polisi. Kukira aku ingin mencari petugas yang baik hati itu
“Tapi,yah…”
Kaya tersenyum dan melihat Jo Minjoon.
“Karena Ella punya ayah peri yang sangat baik, kukira itu akan berbeda bagi Ella. Itu melegakan.”
“Kau sungguh seperti orang dewasa yang bijak hari ini. Kau selalu dingin pada Ella.”
“Hei, itu lebih seperti berbicara pada level yang sama dengannya, bukan bertengkar sungguhan.”
“Yah, aku tidak yakin soal itu. Kau tampak seperti anak kecil juga…Aw!”
Jo Minjoon mengerang. Kaya mencupit paha Jo Minjoon. Dia membuat jempol dan telunjuknya seperti sepasang penjepit lalu membelalak pada Jo Minjoon.
“Jangan berani-berani membela wanita lain di depanku.
“…Apa kau mengatakan Ella adalah seorang wanita?”
“Lalu, apa dia pria?”
‘…berbicara pada level yang sama dengannya. Ha, yah benar.’
Jo Minjoon diam dan menghela napas. Hidangan penutup yang muncul adalah es krim affogato coklat. Itu tampak seperti sebongkah coklat, tetapi jika kau menuangkan espresso panas ke atasnya, coklatnya akan meleleh dan es krim di dalamnya menyembul. Mata Chloe berbinar bersuka cita lalu berkata,
“Wow···Ini cantik sekali.”
“Ini ide yang bagus juga untuk melamar, kau bisa meletakkan cincin di dalamnya.”
“Ah, tidak untukku. Kau memasukkan cincin yang dikubur dalam makanan…Itu sangat tidak romantis untuk momen yang paling romantis dalam hidupmu.”
Kaya menggelengkan badannya seolah berpikir itu hal yang buruk, lalu melihat Jo Minjoon.
“Saat kau melamarku, jangan lakukan hal itu padaku. Itu buruk sekali.”
“…Kenapa menurutmu sudah jelas aku akan melamarmu?”
“Apa kau berkencan denganku tanpa memikirkan soal itu? Serius?”
“Tidak······.”
Jo Minjoon semacam merasa ada dalam genggaman Kaya. Anderson menghela napas lalu berkata.
“Kalian bisa memikirkan cara melamar apa pun nanti, apa yang sungguh penting sekarang adalah, hidangan penutup ini sangat lezat. Bukan, menu set ini sendiri enak. Selamat. Kaya Lotus. Kau satu langkah ke depan. Tetapi aku tidak yakin kau akan terus aktif.”
“Jika kau akan memberiku pujian, buatlah yang sederhana. Tanpa ada kompetisi di bagian akhir.”
“Bukankah akan aneh jika kita saling memuji secara tulus?”
“Oke, aku menerimanya. Kau benar. Tetapi aku harus meluruskannya. Ini bukan karena hubungan kita yang buruk, melainkan kau yang brengsek.”
“Lalu kau sendiri tidak brengsek?”
“Minjoon, Apa aku brengsek?”
Secara tak sadar Kaya bertanya pada Jo Minjoon. Jo Minjoon tersenyum canggung dan menjawab,
“Tidak, kau tidak brengsek.”
Yah, mungkin sedikit.
€
“···Chef, Busanya runtuh.”
Maya mengernyit lalu menyodorkan sup. Itu adalah sup kentang busa yang sebelumnya sebelumnya ditunjukkan pada 36 chef. Lebih tepatnya, Janet yang membuat sup dan Jo Minjoon membuat busanya. Jo Minjoon melihat Maya dan berkata dengan nada santai.
“Tentu akan runtuh. Aku sudah bilang. Busa berbasis krim akan runtuh jika kena panas. Apa yang sudah kukatakan soal apa yang harus dilakukan untuk mencegah ini?”
“Oh! Kau menyuruhku memasukkan putih telur, pati, atau bahan semacam Belsa whip dan agar.”
“Bagus. Kau sudah tahu, jadi apa kau sudah tahu kan bagaiamana memperbaiki ini sekarang?”
“Iya. Aku akan melakukannya sekarang.”
Raphael mengangguk saat dia melihat Maya langsung menuju dapur.
“Pasti berat baginya untuk terbiasa dengan tempat ini, tetapi dia sudah berkembang sebagai juru masak. Bagus sekali Minjoon. Aku mengagumi kemampuan adaptasi itu.”
“Kami harus bekerja satu tim saat memasak. Meningkatkan keahlianku itu bagus tetapi kukira tidak ada solusi mendasar lainnnya selain meningkatkan keahlian para bawahanku. Tentunya, ini juga membantuku untuk tumbuh dan belajar.”
“Metode masak molekuler adalah gaya memasak yang mempunyai hubungan paling erat antara pengetahuan dan keahlian. Yang berarti kau bisa semakin baik bahkan hanya dengan berbincang bersama. Yah faktanya, dalam restoran besar kau harus berbicara bersama untuk melakukan sesuatu karena tidak mungkin chef kepala yang memasak semua hidangan yang keluar. Sebuah restoran sushi atau restoran mie mungkin memasukkan semua usahanya ke dalam setiap hidangan… tetapi pada dasarnya kita berbeda dari mereka. Kau paham apa yang kumaksud?”
“Iya. Aku paham.”
Jo Minjoon mengangguk. Dia paham dengan baik bahwa keahlian memasak seseorang dan kemampuan dalam memimpin dapur itu berbeda. Raphael berkata. Besok adalah hari pembukaan restoran. Bahkan Raphael yang tidak memiliki kekhawatiran tampak gugup. Suaranya dipenuhi ketegangan.
“Besok orang-orang akan berpikir bahwa Rose akan bersaksi. Bahwa sebuah legenda bukan hanya sebuah ilusi belaka dan bahwa ada hidangan seperti itu di dunia yang dapat membuat kita melupakan semua kesedihan. Mereka akan percaya bahwa kalian semua dapat membuktikan itu. Mereka akan berpikir bahwa di mana kita berdiri di situ ada karpet merah yang penuh dengan kehormatan dan sorakan.”
“Tetapi realitanya, ini adalah tempat yang keras, bukan? Jalan yang kasar tempat kau bisa saja jatuh ke bawah hanya dengan kesalahan kecil…apa kau gugup?”
“Bagaimana mungkin aku tidak gugup? Orang tua mana yang tidak takut saat melahirkan anaknya. Meskipun mereka tahu kebahagiaan akan datang, rasa sakit yang muncul jelas menakutkan. Pada satu titik kecemasan jika sesuatu mungkin berjalan salah…tidak, mereka akan selalu mencemaskan hal itu. Aku sama seperti mereka. Aku takut besok akan tiba. Tetapi pada saat yang sama, aku ingin besok segera tiba.”
“…Kukira Rachel pasti lebih gugup dari pada kita sekarang.”
“Raphael tidak mengatakan apapun dan hanya melihat ke depan pulau. Rachel sedang memperhatikan para chef memasak di dalam dapur. Tidak ada ketentraman atau kelegaan di kedua matanya. Seperti tali busur yang ditarik dengan sangat kencang dan penuh tekad, aura yang kuat keluar darinya. Jo Minjoon melihat Rafael lalu bertanya,
“Aku selalu ingin menanyakan soal ini. Ini agak pribadi, apa kau keberatan?”
“Silakan saja. Aku bukan anak gadis yang mengatakan ‘hormati privasiku’ atau apalah.”
“Kenapa Kau tidak bekerja menetap? Kau adalah chef di La Ghard di Hotel Arzou. Kudengar Kau akan menjadi chef kepala berikutnya, tetapi bagaimana mungkin Kau melepasnya dan memulai truk makanan? Tentu pada akhirnya, itu berakhir sukses, tetapi saat itu tentu tidak akan tahu apa yang akan terjadi.”
“Minjoon, Aku tidak menyangka kau menanyakan itu. Kau keluar juga, bukan? Dari Korea dan dari orang tuamu. Kudengar itu sulit bagi orang Asian untuk terbebas dari orang tua mereka.”
“Iya, benar… Itu karena aku dan orang tuaku punya pemikiran yang berbeda, jadi tidak ada pilihan. Tetapi tidakkah Kau punya visi yang sama dengan hotel? Bukan, jika tidak, Kau pasti sungguh bertekad dengan truk makanan kukira. Oleh karena itu, Kau keluar dari hotel dan memulai bisnis Kau. Bahkan jika itu tidak berhasil, Kau akan menemukan sesuatu dan mengubahnya menjadi gaya Kau.”
Jo Minjoon ingin tahu tentang pria ini, Raphael. Karena dia chef yang sangat inovatif dan unik di dunia chef. Dia yakin tidak ada chef di negara ini yang punya pemikiran unik semacam dia.
Tetapi dia tidak hanya unik dan inovatif. Raphael adalah seorang chef yang unggul. Alasan mengapa dia tampak unik adalah bukan karena dia aneh terhadap sesuatu tetapi karena dia bisa melihat hal lain yang orang lain tidak bisa melihatnya. Jo Minjoon bisa sedikit memahami Raphael karena dia juga melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa melihat. Tentunya, itu sedikit berbeda dengan Raphael.
Dia ingin dekat dengan Raphael. Jo Minjoon ingin mengerti dan menerima pemikiran Raphael, sudut pkaung, dan keseluruhan dunianya. Beruntungnya Raphael bukan orang yang menutup diri. Dia perlahan berkata,
“Menurutku, memasak adalah seni. Itu selalu berubah dan berkembang. Tentu tidak semua orang berpikir seperti itu. Dan aku pun tidak mengatakan aku benar. Itu hanya nilai-nilai yang kukejar.”
“Aku paham apa yang kau bicarakan. Beberapa restoran memberi kehangatan dan kepuasan dan yang lain memberi pengalaman mengejutkan. Kau lebih cenderung yang terakhir, bukan?”
“Yaa, mirip dengan itu.” Itulah kenapa aku tidak suka hotel. Di sana mengajariku apa itu makanan mewah tapi begitulah. Saat aku menjadi chef yang paling unggul, hal yang mereka bisa berikan hanya kenaikan gaji dan posisi chef kepala. Tetapi bukan itu yang kuinginkan. Aku menjadi chef karena aku ingin memasak hidangan yang artistik, bukan karena pendapatan tinggi dan pekerjaan yang stabil. Karena itulah aku kabur dari sana dan memulai truk makananku sendiri.”
“Aku sungguh penasaran tentang bagian itu. Kau telah membuat kesuksesan yang paling besar di antara pemilik truk makanan dengan makanan molekuler. Bagaimana mungkin kau melepas itu dan datang ke sini? Aku tahu kau memiliki cabang baru sehingga perusahaan akan tetap berjalan meskipun kau tidak bekerja untuk diri sendiri tetapi… Tidakkah Kau merindukannya? “
“Iya. Itu menyedihkan. Aku juga manusia. Bagaimana mungkin aku tidak merindukannya.”
Raphael menjawab dengan singkat dan melihat tangannya yang ada di atas meja. Tangannya tidak begitu indah karena ada bekas terpotong dan luka bakar. Tetapi itu adalah tangan yang membuat dia bangga. Raphael melihat kebanggaannya itu lalu lanjut berbicara.
“Minjoon, memiliki kehidupan yang layak itu sangat sederhana, yaitu hidup seperti yang dikatakan orang, pergi ke jalur yang mana semua orang berpikir itu baik. Setidaknya kau tidak akan mati kelaparan pada jalur itu.”
“Tetapi…hatiku tidak membiarkanku mengikuti jalur itu.”
“Iya. Sukses bukanlah yang kuinginkan. Aku tidak bisa menerima diriku jika aku hidup yang sama setiap hari. Bagi sebagian orang itu mungkin hidup yang damai dan bahagia, tetapi bagiku itu seperti hidup di neraka.
“Aku sudah bilang. Menurutku, memasak adalah seni. Aku seorang seniman. Kehidupan yang tidak ada perubahan…meski aku punya emas dan permata, itu tidak berarti apa-apa bagiku.”
“Aku paham apa yang kaumaksud?”
Raphael menjawab Jo Minjoon dengan senyum lalu bertanya.
“Aku sudah banyak bicara tentang diriku, tetapi tidak mendengar kisahmu. Minjoon, hidangan seperti apa yang ingin kau buat? Kau ingin menjadi chef seperti apa?”
“Aku······.”
Jo Minjoon berhenti beberapa saat. Tetapi tidak begitu lama. Jo Minjoon menjawab dengan senyum lembut. Raphael mengangkat alisnya seolah-olah dia kagum dengan jawaban Jo Minjoon, dan segera mengangguk dengan wajah serius.
“Iya. Itu juga impian yang bagus. Impianmu.”
“Terima kasih.”
Ada keheningan di antara mereka berdua. Suara wajan berderak, api yang menyala, daging yang dimasak, dan air yang mendidih mengubur bunyi jam berdetak. Tetapi bukan berarti waktu berhenti. Jelas waktu terus berjalan.
Rose Island, sehari sebelum pembukaan.
Bukan, 14 jam.
< Satu, Dua, Tiga (1) > Selesai.