God of Cooking – Bagian 206 < Satu, Dua, Tiga (2) >
Translator : Hennay
Editor : MEIONOVEL.ID
Hari pembukaan Rose Island
Segera setelah Kaya bangun, dia melihat ke seberang tempat tidurnya. Seperti biasa, dia berharap melihat Jo Minjoon berbaring di sana tetapi dia tidak ada. Kaya berkata dengan nada mengantuk.
“Minjoon…… Kau di sini……?”
Suaranya yang lembut dan pelan terdengar seolah meninabobokkan. Dia memejamkan matanya lalu membukanya lagi. Mungkin butuh waktu tetapi Jo Minjoon tetap tidak terlihat. Kaya, yang masih terlelap dalam tidurnya, berpikir sejenak. Jika dia pergi ke kamar mandi seharusnya dia di sini sekarang.
Saat dia mulai berpikir lurus, Kaya menyadari ini terlalu terang untuk pukul 7 pagi. Dengan gugup dia melihat ponselnya. Dan dia mengernyit. Ini sudah lewat pukul 7.
“Bagaimana? Kenapa alarmnya mati?”
Tidak ada gunanya marah sekarang. Kaya menghela napas, bangun dari tempat tidur, lalu keluar kamar. Dia menyilangkan lengannya dan bersandar di daun pintu. Seperti dugaan, Jo Minjoon ada di dapur. Penampilannya dalam kemeja putih dengan spatula sangat menawan secara mengejutkan.
Kaya ragu, takkan ada momen bahagia lain seperti hari ini. Hanya dengan melihat Jo Minjoon sudah cukup. Meskipunwaktu berhenti tepat pada momen ini. Setelah itu, tanpa berbalik, Jo Minjoon berkata.
“Jika kau sudah bangun, segeralah mandi. Aku akan membuat sarapan hari ini.”
Kaya cemberut lalu masuk ke kamar mandi, setelah mandi dengan cepat dia pergi ke belakang Jo Minjoon, memeluknya dan meletakkan tangannya di perut Jo Minjoon. Dia mengeluarkan suara seperti seorang pria lalu berkata pelan.
“Bayi kami di dalam sini, sayang”
“…Lelucon macam apa itu?”
“Jangan, jangan. Jangan berbalik. Wajahku masih bengkak. Kau akan terkejut melihatku seperti ini kecuali kau mengantuk.”
“Aku sering melihatmu seperti itu saat aku tidak tidur.”
“Kalau begitu lupakan semuaya karena itu bukan aku. Apa yang kau buat?”
Dia meletakkan kepalanya di bahu Jo Minjoon lalu bergumam. Jo Minjoon menjawab dengan tenang.
“Omurice, nasinya sudah matang, aku hanya perlu memasak telur.”
“Aku makan banyak omelette saat kecil. Telur goreng terasa sedikit, jadi aku makan banyak dulu.”
“Kau tidak akan menyukai telur setelah itu, kan.”
“Tidak. Tidak juga. Itu bukan kenangan buruk. Tapi tentu, aku tidak akan pernah ingin kembali ke masa itu lagi.”
Kaya menatap omelette Jo Minjoon dengan wajah sedih. Dia bisa melihat bahwa Jo Minjoon berfokus pada panas yang digunakan. Omelettenya tidak berlubang ataupun gosong. Dia sangat ahli dalam membuat telur yang sempurna. Kaya berkata,
“Waktu itu, aku melihat beberapa chef di acara TV mencoba membuat omelette untuk sarapan dan mereka gagal melakukannya.
“Yah, jika kau tidak memasak selama beberapa waktu, meskipun kau adalah seorang chef kau bisa membuat kesalahan. Dan sejujurnya, banyak chef demi yang tangannya lebih bagus dari pada chef kepala karena chef kepala tidak sering memasak.”
“Aku tidak mau seperti itu. Aku suka chef yang bekerja dengan tangannya bukan dengan mulutnya.”
“Aku juga berpikir seperti itu tapi…aku berubah pikiran setelah melihat chef Rachel. Ah, semuanya selesai.”
Jo Minjoon meletakkan omelette yang kedua di atas nasi putih, dan meletkakan dua piring di meja. Kaya melihat sekeliling dan duduk di sebelah Jo Minjoon.
“Di mana Anderson?”
“Katanya dia berolah raga pagi dan makan hamburger di luar.”
“Haa! Dia baik kalo soal ini. Aku sungguh ingin berduaan denganmu.”
“Aku tidak berpikir dia keluar demi kita. Dia pasti gugup lebih dari aku karena impiannya adalah bekerja untuk Rachel. Momen ini sangat berarti baginya.”
“Iya benar. Itu hari ini. Apa kau juga gugup?”
“Lebih ke suka cita…daripada gugup. Ini pertama kalinya aku bekerja sebagai chef yang sesungguhnya. Bukannya sebagai partisipan kontes melainkan sebagai seorang chef di dapur. Demi pelanggan.”
“Menyebalkan sekali. Aku sungguh ingin pergi ke restoran hari ini. Lalu aku akan menjadi pelanggan pertamamu, benar?”
“Kau tidak perlu selalu denganku di setiap momen. Kau sudah memiliki jabatan paling penting dalam hidupku.”
Kemudian Kaya tersenyum lalu mencium pipi Jo Minjoon.
“Iya. Setidaknya tidak akan ada seseorang yang terkena luka bakar.”
“…Itu agak aneh untuk dimasukkan ke dalam jabatan penting itu.”
“Ini penting. Bagaimana mana mungkin itu tidak penting? Itu berarti kau peduli padaku bahkan sampai terkena luka bakar.”
“Kukira kejadian itu sangat berarti bagimu.”
“Karena itu adalah pertama kalinya ada seseorang yang bersedia terluka untukku. Mungkin itulah awal semua ini. Awal menjadi jujur padamu.”
Segera setelah dia menyelesaikan kata-katanya, Jo Minjoon mencium Kaya. Ada orang-orang yang membuatmu bahagia hanya dengan bersama mereka. Bagi Kaya itu adalah Jo Minjoon dan bagi Jo Minjoon itu adalah Kaya. Bibir mereka terpisah lalu Kaya, agak merona, berbisik pada Jo Minjoon.
“Pergi dan tunjukkan pada pelanggan siapa dirimu. Janji?”
“Iya. Janji.”
Jo Minjoon menjawab.
“Aku akan menunjukkan pada mereka siapa diriku.
€
Rachel mengintip melalui tirai. Masih ada 2 jam sampai acara pembukaan. Tetapi orang-orang sudah menunggu di sekitar restoran. Tampaknya di sana lebih banyak reporter daripada pelanggan…
‘Akhirnya hari ini datang.’
Dia menghela napas. Ini menegangkan ataukah ini menyenangkan? Atau mungkin menakutkan? Akan tetapi tidak ada ketakutan. Semuanya sempurna dan mereka siap terhadap perubahan. Tidak, Rachel sendiri telah berubah sangat banyak.
“Isaac, jam berapa ini?”
“Pukul 10:20. Kita masih punya 40 menit tersisa.”
“Oke. Baik.”
Rachel diam melihat ke luar jendela lagi. Isaac tetap diam. Dia tidak menenangkannya ataupun menguatkannya. Akhirnya Rachel berbicara duluan.
“Terima kasih, Isaac, untuk membantu wanita tidak pengertian ini sampai hari ini.”
“Aku tidak pernah membantu. Aku hanya berada di sisimu, itu saja.”
“Jika dipikir-pikir, Isaac, kau juga telah memberikan semuanya pada Rose Island. Kau mungkin lebih marah daripada Jack. Tapi kenapa kau tidak marah?”
“Karena ada orang lain yang yang lebih marah daripada aku.”
“Dan siapa itu?”
Alih-alih menjawab, Isaac menatap Rachel. Rachel sedang menunggu sebuah jawaban sampai dia menyadari arti tatapan Isaac. Dia berkata dengan sedikit gemetar pada nada suaranya.
“Maksudmu Aku lebih marah pada diriku sendiri?”
“Itulah kenapa kau memberi hukuman pada dirimu sendiri. Bukankah kau tetap diam selama 10 tahun? Seseorang seperti dirimu mengabdikan 10 tahun berada di rumah. Apa menurutmu itu logis?”
Ada satu hal yang orang-orang salah paham tentang Rachel, yaitu bahwa dia sangat introvert atau bahwa dia punya kepribadian yang aneh. Tetapi tidak. Iya, dia agak dingin dan kasar…Tetapi dia bukan orang yang aneh.
Rachel menghabiskan 10 tahun sendirian. Dia tidak melakukannya karena dia suka. Itu adalah waktu yang suram, sakit, dan menderita. Waktu dan kesendirian memukulinya seperti palu. Semakin dia menghabiskan waktu sendirian, rasa sakit Rachel semakin besar. Isaac berkata.
“Kau tidak pernah mau menyerah. Kau ingin bangkit hanya saja kau tidak cukup percaya diri. Mungkin aku sebaiknya keras padamu kalau begitu. Tetapi…Kau tampak terlalu lelah untuk melakukannya.”
“Terima kasih, Issac. Kau hadiah terbaik yang tersisa.”
“Sudah lama sejak terakhir kau memujiku.”
“…Kukira juga begitu. Tetapi ini bukan karena aku tidak berterima kasih. Ini karena aku selalu merasa seolah kau selalu berada di sisiku. Orang bilang anak yang bodoh tidak tahu cara berterima kasih pada orang tuanya.”
“Jadi kau mengatakan bahwa kau bodoh sampai saat ini?”
“Aku harus menjadi dewasa sekarang. Aku sudah 60 tahun sekarang.”
Di luar, orang-orang mulai berkumpul di sekitar restoran. Masih ada waktu hingga bisnis dimulai tetapi layak ditunggu. Rachel melepaskan tangannya dari tirai. Isaac mulai berkata dengan nada suara tenang.
“Itu membuatku berpikir tentang saat-saat chef Daniel di sini. Ada banyak sekali orang-orang sama seperti hari ini.”
“Anak itu tidak gemetar sedikit pun. Tidak hanya sangat ahli tetapi dia orang yang dingin. Setiap hari seperti neraka tetapi dia menyukainya.”
“Hanya satu kecemasan…Boleh aku mengatakan apa itu?”
“Aku tidak ingin mendengar kecemasan apapun saat ini. Tetapi baiklah, Isaac. Jika itu akan menjadi sesuatu yang aku perlukan. Apa itu?”
“Jangan terlalu mengenang Chef Daniel. Meski kalian berdua yang membangun tempat ini, itu tidak akan selamanya berada di tanganmu. Pada akhirnya, seorang chef kepala akan datang dan mereka akan membuat tempat ini berbeda.”
Sebuah kejutan Isaac mengatakan hal seperti ini. Dia selalu menghormati gagasan Rachel. Mata Rachel melebar. Namun, dia segera mengangguk seolah paham perkataan Isaac.
“Jika kau berkata begitu kukira aku terlalu terpaku pada Daniel.”
“Kau akan mengatasinya. Dan kau harus mengatasinya.”
“Seorang chef yang hanya berpura-pura menjadi orang lain tidak akan bisa maju pada akhirnya…aku tahu itu dengan baik. Tetapi kukira aku masih mencintainya, melihat diriku tidak membiarkannya pergi Aku merasa diriku idiot tetapi aku tidak merasa menjadi idiot itu buruk.”
Saat Rachel mengatakan itu, Isaac tersenyum lelah. Rachel tersenyum dan melihat Isaac.
“Akan bagus bagimu untuk memiliki seseorang juga. Lalu wajah yang keras itu mungkin akan sedikit melunak, kan?”
“Aku belajar banyak sekali dari kalian berdua. Ada lebih banyak perjuangan daripada hal-hal baik saat kalian bersama. Dan…belahan jiwaku adalah pekerjaanku. Rose Island adalah segalanya bagiku.”
“Iya. Hari ini akan sangat berarti bagimu juga. Aku janji. Aku tidak akan mengacaukan tempat ini.”
“Sekarang ayo berdiri. Saatnya menuju dapur. Pergilah dan beri salam pada pelanggan. Mereka akan menyukainya. Khususnya pada hari spesial seperti sekarang.”
“Tentu.”
Rachel bediri. Dia hendak menggapai kenop pintu. Isaac dengan cepat berkata saat dia baru saja memikirkan sesuatu.
“Satu lagi, ada satu hal yang kau salah paham.”
“Salah paham?”
“Dia akan membenciku jika aku mengatakan ini…tetapi tetap saja. Chef Daniel juga gugup. Dia selalu tegang dan takut apa yang di katakan orang lain. Akan tetapi dia hanya tidak ingin kau tahu soal itu. Jadi, dia akan mengatakan kesulitannya hanya padaku. Dia juga…bukan seorang pahlawan. Dia adalah seorang suami yang ingin menjadi seorag pahlawan. Tidak ada orang yang sempurna. Hanya ada orang-orang yang mengejar kesempurnaan.”
Rachel tidak mengatakan apapun ataupun bergerak. Dia tampak sedih, senang, dan marah sekaligus. Kemudian perlahan dia menjawab dengan nada tenang.
“Aku paham.”
Rachel menghirup nafas dalam-dalam. Satu, dua, tiga.
Pintu terbuka.
< Satu, Dua, Tiga (1) > Selesai.