Dewa Memasak – Bagian 207: Langkah pertama (1)
Translator : Hennay
Editor : MEIONOVEL.ID
“Jadi akhirnya tibalah hari pembukaan ini. Ini juga hari di mana Jo Minjoon akhirnya debut sebagai seorang chef. Kau pasti merasa sangat tegang di dalam, Bagaimana perasaanmu tentang semua ini?”
– Aku tidak merasa terlalu tegang, sebenarnya. Aku juga tidak terlalu cemas.
“Aku tidak bertanya apa kau cemas lho? Kukira kau agak cemas?”
– … Hanya sedikit. Aku sangat senang bertemu pelanggan yang sedang menunggu restoran buka. Aku juga sedikit gugup untuk memenuhi ekspektasi mereka.
“Apa kau percaya diri?”
– Aku selalu percaya diri. Bukan kepercayaan diri dalam diriku. Ini kepercayaan diri pada Guru Rachel. Chef kepala kami adalah yang terbaik di dunia. Aku paham itu, aku bangga. Rekan timku juga adalah kartu As yang tidak akan lebih buruk dari siapa pun.
“Apa kau bangga pada dirimu sendiri? Ini adalah momen bersejarah. Kau mungkin bukan bintang pertunjukkan, tetapi kau juga tidak bisa mengatakan bahwa dirimu hanya berperan tambahan.”
– Takdapat dipercaya aku bangga pada diriku sendiri. Tapi ini bukan akhir bagiku. Hari ini akan terus berulang sendirinya bagiku setiap hari. Setiap hari dalam hidupku akan menjadi ujian untuk keahlianku. Aku akan sungguh berbangga diri setelah ujian itu berakhir.
“Tapi kau mengatakannya sendiri. Kau akan diuji setiap hari. Apa menurutmu hari saat ujian selesai sungguh akan datang?”
– Hari itu akan tiba..
“Kapan?”
– Well….
€
“Itu wawancara yang menarik.”
Maya memberikan pujian saat dia melihat Minjoon dari seberang dapur. Jo Minjoon tersenyum ceria.
“Apa aku tampak mengerikan atau bagaimana?”
“Ya, agaknya, tetapi itu adalah hal tentang chef, bukan? Menjadi semenyebalkan mungkin.”
“…Bukan seperti aku melakukannya dengan sengaja.”
Minjoon menunduk dengan ekspresi muram. Agak aneh untuk mengatakan ini pada anak ini, tetapi dia tampak agak menggemaskan seperti itu. Hampir seperti anak anjing.
‘Apa begitu cara dia menarik Kaya Lotus?’
Meski begitu, itu tidak seperti dia selalu sepolos dan semenggemaskan ini. kadang-kadang, dia bisa menjadi lebih galak dari chef demi lain yang pernah bekerja dengannya. Itulah yang terjadi ketika dia berada di posisinya. Dia tidak menghina seseorang yang kemampuan dan tekniknya payah.
Tetapi setiap kali Maya akan menyiapkan piring dengan berpikir “ini seharusnya cukup …”, Minjoon akan menyelinap di belakangnya lalu berkomentar dengan dinginnya.
‘Apa menurutmu itu sungguh yang terbaik?’
‘Mungkin menurutmu kau hanya berkompromi dengan kurangnya keterampilanmu. Tetapi tidak, kau itu berkompromi dengan hidanganmu. Kau berkompromi dengan hidupmu dan dengan pelangganmu sendiri’
‘Pelangganmu mutlak mempercayaimu. Apa yang kau sajikan di piring saat ini bukan hanya sebuah hidangan yang layak kau buat dengan sedikit kesalahan di atasnya..Ini adalah sebuah karya seni yang kau buat dengan seluruh pengalaman dan kerja semasa hidupmu. Itulah yang pelanggan pikirkan saat mereka melihat hidanganmu. Kau mengkhianati kepercayaan mereka.’
‘Kita adalah chef. Kita perlu dicintai pelanggan kita, dan kita harus mencintai pelanggan kita.’
‘Mari kita menjadi chef yang bangga pada dirinya, Maya. Tolong. Kau adalah tangan dan kakiku. Aku tidak hanya memperhatikanmu. Aku ingin meletakkan takdirku padamu. Kau paham, kan?’
Dia selalu merasakan sejumlah tekanan yang tak masuk akal jumlahnya setelah ceramahnya, tetapi ucapannya selalu membuatnya terkesan. Mungkin karena ucapannya itu tidak dimaksudkan hanya untuk menghukumnya, sehingga terkesan jujur atas kinerjanya?
‘..Chef demiku adalah yang terbaik.’
Maya tersenyum saat dia melihat Minjoon. Dia tidak punya banyak pengalaman di bawah chef demi lain, tetapi maya percaya diri bahwa Jo Minjoon adalah chef demi terbaik. Setelah semuanya, dia tidak pernah memperlihatkan kinerja asal-asalan pada Jo Minjoon. Tidak peduli betapa lelahnya dirinya, berada di sebelah Jo Minjoon membakar semangatnya entah bagaimana.
Dalam hal itu, Minjoon adalah guru dan senior yang sempurna. Jo Minjoon kadang-kadang agak tak tertahankan, tetapi dia selalu tahu apa yang dia lakukan. Minjoon melihat Maya dengan aneh.
“Kenapa kau tersenyum seperti itu?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya senang aku bisa bekerja dengan chef demi terbaik di dunia di restoran terbaik di dunia.”
“Ada apa dengamu dan pujian itu hari ini? Yaa, bukannya aku membenci itu.”
Minjoon tersenyum sedikit saat merespons. Dia mungkin mengerti kejujuran Maya dalam ucapannya. Minjoon mengalihkan pandangan dari Maya untuk mengawasi dapur. Rachel sedang mengawasi aula dengan syal merah melingkar di lehernya.
Punggungnya kecil. Lagipula, seberapa besar punggung wanita tua itu? Namun, tidak ada seorang pun di dapur yang merasa bahwa punggungnya kecil. Di punggunggnya tertumpu beban impian semua orang di dapur. Bukan itu saja, dia juga menangani semua harapan dari semua pelanggan restorannya sendiri.
Barangkali istilah “raksasa cilik” cocok untuk orang seperti dirinya. Apa yang Rachel pikirkan saat dia melihat pelanggan dengan sorot matanya itu? Seperti apa dunia yang tampak di matanya? Hanya memikirkan soal itu…Membuat perasaan Jo Minjoon berdebar kencang.
Ini hampir pukul sebelas. Dalam beberapa menit, restoran akan penuh dengan pelanggan. Semua orang di ruangan melihat dapur dengan penuh harapan. Rachel menoleh melihat mereka..
“Apa ada yang takut?”
“Tidak. Tidak ada yang ditakutkan dengan Chef ada di sini.”
“Jika kau berusaha membuatku merasa semakin terbebani, kau berhasil.”
Rachel tersenyum masam lalu menjadi serius lagi. Perlahan dia berkata.
“Aku tidak mau mengatakan apapun yang mengganggu, tetapi hari ini adalah hari penting. Berdasarkan bagaimana kita mengambil langkah pertama, jalan yang kita tempuh akan berubah secara dramatis. Itulah kenapa aku tidak akan membiarkan ada kesalahan sedikitpun. Aku ingin mengatakan pada kalian untuk menjadi setidaknya sedikit gugup, tetapi aku tahu dengan baik betapa buruknya rasa makanan yang dibuat dari tangan yang gugup. Kalian seharusnya tahu hal itu juga.”
Tidak semua orang tampak mengerti apa yang dibicarakan Rachel, tetapi semua chef demi menemukan diri mereka mengangguk setuju. Mereka tahu dengan sangat baik apa yang chef Rachel bicarakan. Rachel melanjutkan.
“Pikirkan itu sama seperti bermain. Bermain yang membuat semua orang bahagia. Tetapi, kita perlu berusaha yang terbaik. Jadi tidak ada satu orang pun yang merasa tidak puas. Mari kita bersenang-senang.”
Segera setelah ucapannya berakhir, mesin tiket mulai menyembulkan pesanan. Rachel merobeknya dari mesin dan menaikkan suaranya.
Meja 9, untuk dua orang! Satu dari mereka alergi terhadap boga laut, jadi pastikan untuk mengganti bagian itu dengan sayuran saja. Hidangan utamanya confit bebek dan daging pipi rebus. Kalian semua ingat bagaimana proses penggantiannya, kan?”
“Iya, chef!”
Meja 3, untuk 4 orang! Tidak ada permintaan spesial. Janet, apa amuse-bouchenya siap?”
“Iya. Aku sedang plating sekarang.”
Suara Rachel tidak berhenti. Rachel adalah orang yang sama. Meskipun hanya ada satu menu, banyak penyesuaian yang harus dibuat berdasarkan permintaan khusus atau alergi. Mereka kadang-kadang harus menyiapkan sebuah hidangan baru seluruhnya berdasarkan alergi mereka atau larangan makan. Tentunya, sangat amat jarang bagi orang-orang vegan datang ke Rose Island, jadi, sesuatu yang seperti ini jarang terjadi.
Hal pertama yang di raih Minjoon adalah wajan penggorengan. Dia perlu untuk membuat sebuah busa bacon. Tentunya, bukan seakan-akan dia hanya membuat itu selamanya. Minjoon menoleh ke Maya lalu berkata.
“Maya, keluarkan jelinya.”
“Iya, chef.”
Maya mengeluarkan jeli yang sudah di simpan lama dari lemari es. Minjoon memeriksa jeli dengan seksama. Itu 7 poin. Tetapi ada telalu banyak hal tentang gastronomi molekuler yang tidak bisa dilihat melalui poin memasak pure. Dia perlu melihat ketebalan jeli, dan harus memeriksa apakah rasa jeli sesuai dengan yang diinginkan.
‘Aku semacam terdorong ke dalamnya, tetapi aku tidak bisa bergantung pada sistem sekarang.’
Itu adalah hal yang bagus dalam jangka panjang. Sistem terlalu memanjakannya. Itu sama seperti milkshake di depan seseorang yang lelah setelah berolahraga. Dia akan mendapat banyak manfaat jika dia mengandalkan sepenuhnya pada sistem sekarang, tetapi dia akan kehilangan segalanya dalam jangka panjang. Akan banyak sekali manfaatnya jika dia belajar sendiri tekniknya
Apa yang tim gastronomi molekuler harus lakukan adalah plating. Setidaknya, ini yang terjadi dengan jeli. Kebanyakan jeli rasanya semakin baik setelah didiamkan sehari, jadi masuk akal bahwa jeli adalah satu hal yang mereka buat jauh sebelumnya. Jadi tugas mereka sebenarnya adalah memotong jeli dan menempatkannya.
“Bagaimana itu, Chef?”
“Rasanya oke. Ketebalannya juga baik. Kita hanya harus memotongnya dengan tepat pada titik ini. Kerjakan. Aku harus menyelesaikan membuat dasaran untuk busa bacon.”
“Iya, chef.”
Minjoon kembali fokus pada wajan. Tidak begitu sulit untuk membuat busa bacon. Dia hanya harus perlahan memasak bacon dan bawang dalam mentega. Kemudian, dia akan membakarnya dengan wine putih, mengurangi sedikit, dan menambahkan krim dengan sedikit air. Ini akan memberikan krim, rasa daging yang sedap.
Pada poin ini, dia hanya harus menambahkan beberapa gelatin, berapa mentega lagi, lalu mengubahnya menjadi busa. Proses itu sendiri agak sederhana. Jadi, membuat busa itu sendiri tidak begitu sulit. Apa yang penting adalah cita rasa.
Dia harus membuatnya melengkapi sup kentang dengan sempurna. Tetapi sup kentang bukan tanggung jawabnya, melainkan Janet. Untuk membuat dua hidangan yang saling melengkapi yang dibuat oleh dua orang berbeda hanya mungkin dilakukan ketika dua orang tersebut saling mengerti satu sama lain.
“Janet, coba busa ini. Icipi apakah ini enak.”
“Iya, enak. Ini pasti sempurna.”
“Bagus.”
Dia harus kembali ke jeli segera setelah dia menyelesaikan busa. Syukurlah, besok minggu. Biasanya, dia harus membuat kaldu untuk jeli esok harinya, tetapi karena Minggu adalah hari libur, dia bebas dari tanggung jawab.
Masih ada banyak sekali yang dilakukan selain itu. Dia harus mengasapi mentega dengan cengkeh, dia harus memeriksa sorbet, serta harus membuat kaviar palsu dengan kaldu ikan, gula aren, jeruk nipis, dan apelmint.
Pesanan terus datang. Rachel tidak lupa untuk memeriksa Minjoon sesekali saat dia mengawasi ke seluruh dapur. Chef demi lain membuat kesalahan di sana dan di sini, tetapi chef Rachel tidak ada yang dikatakan tentang kinerja Jo Minjoon.
‘…Memikirkan dia mampu menjaga performanya bahkan di luar latihan.’
Mau tak mau, Rachel memujinya atas keuletannya. Ini adalah hari pertamanya sebagai chef demi, tetapi Minjoon tampak seperti dia telah bekerja selama sepuluh tahun di posisinya.
‘Aku bisa bergantung padanya.’
Rachel melihat ke arah aula setelah tersenyum sedikit. Chef kepala punya banyak sekali yang dilakukan daripada hanya mengawasi dapur. Setidaknya, itu yang Rachel pikirkan. Dia harus mengawasi alur di aula, dan harus bersikap berdasarkan apa yang ingin di lihat pelanggan.
Saat ini, Rachel merasa bahwa aula penuh dengan getaran positif. Saat sup dengan busa bacon baru saja keluar, hawa suka cita terhembus. Dia tidak terkejut. Lagipula, meski chef pun berpikir bahwa sup itu sangat menakjubkan.
Rachel membunyikan bel setelah membersihkan piring-piring di depannya. Para pramusaji masuk untuk mengambil hidangan. Rachel, saat dia melihat pramusaji berjalan menjauh dengan membawa makanan, dia menyadari betapa berkeringat telapak tangannya. Dia berpikir apa yang Isaac katakan beberapa saat yang lalu di kantor.
“Tidak ada orang yang sempurna, hanya ada orang yang berusaha menjadi sempurna…’
“…Tidak ada yang lebih mengecewakan daripada bekerja tanpa mendapat hasil yang nyata.
Rachel mengepalkan tinjunya. Pertunjukan belum berakhir. Para pelangan menyunggingkan senyuman di wajahnya, tetapi tidak ada yang mengatakan kapan senyuman itu berubah menjadi kerutan di dahi. Jantungnya berdegup lebih cepat dari detik. Lalu, seketika menjadi tenang. Rachel mengawasi dapur seperti seorang jenderal yang galak. Dia berpikir interview Jo Minjoon sudah selesai beberapa saat yang lalu. Apa dia mengatakan tentang “Setiap hari adalah tempat ujian” lagi?
– Ketika kegugupan dan ketegangan di hati kita hilang. Ketika kita berpikir pekerjaan kita hanya “bersenang-senang”, Saya kira itu akan menjadi hari ketika kami akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaan kami.
Kata-kata itu berasal dari orang yang masih baru. Tetapi kata-kata itu memukulnya lebih keras dari apapun. Rachel berpikir tentang ucapan Jo Minjoon dengan seksama.
‘Aku sebaiknya selesai bekerja.’
<Langkah pertama (1)> Selesai.