Dewa Memasak – Bagian 210: Langkah pertama (4)
Translator : Hennay
Editor : MEIONOVEL.ID
Profreader : CHGAI
10 poin. Bahkan Joseph, yang jarang terkejut soal ulasan makanan, menaikkan alisnya. Dia membuat wajah antusias saat dia mendongak pada Rachel.
“Oh, seperti yang kuduga. Jika aku ingat dengan benar, dia hanya memberi sekali sepuluh poin pada satu hidangan saat Dave menjalankan restoran. Sekarang aku penasaran berapa banyak hidangan yang berskor sepuluh bulat?”
“Aku sebenarnya agak penasaran juga…tetapi Minjoon tampak sedikit ragu membicarakan hal seperti ini. Aku hanya mendengar bahwa sup kentang mendapat sepuluh poin baginya, dan tidak ada yang lain.”
Sera melihat sekitar dengan bingung.
“Tunggu, kenapa? Aku yakin ada banyak sekali orang-orang yang menunggu skor Minjoon…Aku akan berusaha sangat keras untuk mendapatkan itu darinya, kau tahu?”
“Dia hanya sudah menyadari betapa berat beban kata yang dia ucapkan. Aku bangga padanya untuk menyadari itu dengan begitu cepat. Dia berusaha tetap rendah hati sebisa mungkin.”
“Aku merasa seolah memberikan stereotip padanya, tetapi aku merasa banyak orang Asia cenderung seperti itu. Sangat rendah hati sepanjang waktu. Tapi, kau bisa katakan juga bahwa mereka pengecut.”
“KAU yang memberikan stereotip padanya.”
Rachel menggelengkan kepala pada Jeremy. Dia melihat sekilas ke meja-meja di restoran lalu keluar ruangan.
“Kita harus mengakhiri pembicaraan sampai sini, sayang sekali. Aku akan kembali setelah berkeliling dapur sebentar. Kau bisa datang berkunjung ke dapur setelah pelanggan pergi, tentunya. Ah, apa ada yang ingin segera pergi?”
Hening di meja. Rachel mengangguk puas.
“Bagus. Aku yakin ada beberapa orang di dapur yang ingin menyapa kalian bertiga. Aku akan menemui kalian lagi.”
Setelah itu, Rachel pergi. Bahkan selama perjalanan pendeknya, Rachel harus berhenti ke beberapa meja yang berusaha memberikan tepuk tangan padanya. Ketika dia memasuki dapur lagi, wajahnya sangat kelelahan. Raphael tersenyum melihat wajah lelah Rachel..
“Kau tampak semakin tua setelah keluar dapur, hah? Kau tampak seperti bertambah 10 tahun yang baik.”
“Berhenti bercanda. Aku sudah cukup lelah.”
“Bagaimana itu?” Apa pelanggan pertamamu setelah satu dekakde layak disapa?”
Rachel berhenti sejenak. Beberapa detik kemudian, kira-kira saat Raphael mulai menyesali lah mengajukan pertanyaan itu, Rachel membuka bibirnya.
“Iya. Mereka layak. Mereka bahkan seindah bunga-bunga. Semuanya. Aku baru menyadari betapa membosankannya sepuluh tahun terakhir hidupku setelah melihat mereka.”
“Di mana ada kelaparan, di situ ada panen berlimpah. Segala sesuatu akan berjalan baik untukmu mulai dari sekarang.”
“Apa menurutmu begitu?”
“Siapa tahu? Tetapi menurutku, kau layak mendapatkan pujian.”
“…Kau agak buruk dalam memuji.”
“Yaa, aku lebih suka tidak membiarkan apapun terlalu sentimental terlalu lama.”
Raphael mengangkat bahu bercanda. Rachel memutuskan untuk mengabaikannya dan mengalihkan perhatiannya pada dapur. Anderson dan Janet dari bagian pasta dan hidangan pembuka sedang membersihkan pos mereka. Javier dari bagian hidangan utama baru akan membersihkan posnya. Yang sungguh sibuk saat ini hanyalah Minjoon. Dia tampak masih sibuk berkutat dengan plating. Mau tak mau, Janet menatap pekerjaan pria itu dari posnya.
“…Dia tampak sedang sangat bersenang-senang.”
“Siapa? Minjoon?”
“Iya. Sering kali dia tampak seperti tipe yang antusias kapanpun dia memasak, dia hampir terlihat terlalu bahagia. Hampir seperti dia menikmati setiap detik di tempat kerja … “
“Jangan sampai jatuh cinta padanya karena itu, yaa? Dia akan berakhir memberimu buuuanyaak masalah jika kau melakukannya.”
“Tak perlu cemas. Aku tidak tertarik dengan cinta. Apalagi dengan orang yang sudah punya kekasih.”
“Aku bercanda tahu?”
Janet melotot pada Anderson, yang berpura-pura mengabaikannya.
“Tidakkah dia banyak mengeluh soal mengerjakan gastronomi molekuler waktu itu?”
“Entahlah. Dia tidak mengeluh padaku.”
“…Kukira aku hanya terlihat terlalu mudah untuk semua orang, ya? Sial. Aku tidak pernah berpikir diperlakukan seperti ini di tempat lain.”
“Orang tuamu tampaknya juga menganggapmu sebagai target yang mudah.”
“Itu jelas bukan tempat lain yang kumaksud, yaa?”
Anderson menghela nafas. Kemudian, Janet tersenyum simpul lalu mengulurkan tangannya. Anderson melihat tangan Janet dengan ekspresi bingung.
“Apa ini?”
“Ayo berjabat tangan. Pertama kalinya yaa?”
“…Aku tidak pernah berpikir kau akan mengajak seseorang berjabat tangan.”
“Kenapa kau berpikir aku tidak akan berjabat tangan dengan orang?”
“Karena kau antisosial.”
“Kau tahu? kau seharusnya mencoba berlaku sebaliknya.” Berbaurlah.”
“Mungkin.”
Anderson tersenyum sedikit saat dia menjabat tangan Janet. Setelah satu-dua kali berayun, tangan mereka terlepas.
“Selamat, Anderson. Telah mampu berdiri di dapur untuk pertama kalinya. Ini pertama kalinya kau berada di luar genggaman orang tuamu, kan?”
“Aku tidak pernah membayangkan akan diberi selamat olehmu. Apa kau sakit atau kenapa?”
“Itu hanya soal memberi dan menerima. Ayolah, aku memberimu selamat, jadi sekarang kau harus memberiku selamat. Aku ingin merasa telah berhasil sesuatu.”
“…Memberimu selamat atas apa?”
“Untuk mampu membuktikan diriku sendiri. Katakan saja itu.”
Wajah Anderson seketika berkerut. Mengatakan sesuatu yang memalukan…? Dia lebih memilih mati dalam keadaan mengerikan daripada melakukan itu. Akan tetapi, setelah ragu-ragu sekian lama, bibirnya terbuka sedikit dan mengeluarkan suara pelan.
“Kerja bagus.”
“Apa-apaan itu?”
“Shshsh. Jika kau ingin pujian yang memalukan, mintalah pada anak yag di sebelah sana. Dia baik dalam memuji.”
“…Kau malu? melakukan ini?”
Janet menggelengkan kepala kecewa lalu kembali ke aula. Sungguh, tidak perlu mendapatkan pujian dari Anderson. Lagipula, pujian yang lebih baik mungkin adalah senyuman para pelanggan di aula. Semua senyuman mereka membisikkan hal-hal yang luar biasa di telinganya. Kerja bagus, Janet. Sangat baik sekali. Janet, selama sedetik, meletakkan satu tangan di atas tangan lainnya. Dia melepasnya saat ada rasa sakit membakar dadanya. Apa kebahagiaan besarnya terwujud dalam bentuk rasa sakit? Tepat ketika pikiran ini melewatinya, Rachel berjalan menghampirinya.
“Kerja bagus. Kita berakhir membuat langkah pertama yang lumayan bagus.”
“Terima kasih atas kerja keras Anda, Chef.”
Rachel tersenyum ceria. Kemudian, Minjoon mendekati kerumunan setelah membereskan posnya.
“Bagaimana, Guru? Apa Guru puas?”
“Iya. Sungguh puas. Tetapi ini belum selesai. Kita harus menjadi semakin baik setiap harinya. Restoran ini tidak akan menjadi lebih baik tanpa kalian semua menjadi lebih baik setiap harinya.”
“Apa bahkan ada ruang untuk kami berkembang? Aku tidak bisa membayangkan sebuah restoran yang lebih baik dari kita.”
“Bahkan para orang dewasa punya rambut yang tumbuh di kepala mereka. Jika masih ada ruang bagi kami untuk mengembangkan apapun, kami sebaiknya memanfaatkannya.”
“Iya, aku paham.”
Seperti biasa, Minjoon sekilas paham perkataan Rachel. Rachel selalu menyukai itu. Dia mengambil napas dalam-dalam lalu melihat ke aula sekali lagi. Para pelanggan hampir selesai. Beberapa dari mereka langsung pergi begitu mereka selesai, dan ada beberapa yang masih menikmati menit-menit terakhirnya bahkan setelah menyelesaikan makan. Beberapa orang melirik Rachel sekilas satu dua kali dari meja mereka. Mereka tampaknya ingin berbicara dengan Rachel, tetapi tampaknya ragu-ragu untuk melakukannya.
“Sepertinya aku masih perlu berbicara pada orang-orang. Aku akan kembali.”
Rachel berjalan ke aula terakhir kali. Minjoon memperhatikan punggung Rachel diam-diam. Semua perhatian orang di restoran tertuju padanya. Semua orang tampaknya membutuhkan perhatiannya.
Beberapa mungkin menyebutnya popularitas, tetapi Minjoon tidak setuju. Makanan Rachel sempurna. Semua hal dalam resepnya miliknya. Setiap kata-katanya punya cukup kekuatan untuk mengubah drastis kualitas hidangan dalam hitungan menit.
“Apa menurutmu dia tampak keren?”
“Oh, maaf Lisa. Apa kau mengatakan sesuatu?”
“Rachel. Apa menurutmu dia tampak keren?”
Minjoon tidak bisa menjawab. Jawabannya cukup mudah. Dia teramat sangat keren. Tetapi dia agak ragu untuk mengatakan itu di depan Lisa.
Syukurlah, Lisa tampaknya tidak mengharapkan jawaban darinya.
“Aku agak tidak suka wanita itu. Dia mengacaukan impian ayahku. Dia menghancurkannya menjadi berkeping-keping dengan tangannya sendiri. Tetapi meski begitu…Menurutku, dia tampak keren. Bukankah itu aneh?”
“Meski orang tua punya saat-saat ketika mereka membenci anak mereka sendiri. Tetapi di balik kemarahannya, selalu ada cinta yang bersembunyi.”
“…Kau selalu mengatakan hal aneh. Hampir seperti novel. Kau bilang kau ingin menjadi guru, bukan? Apa itu yang menjadikanmu seperti itu?”
“Maaf. Sepertinya aku orang yang membosankan, kukira.”
Jo Minjoon tersenyum canggung. Dia pun sungguh tidak ingin berkata dengan cara seperti itu. Itu murni kebiasaannya sekarang. Dia memang mempertimbangkan untuk mencoba memperbaikinya pada beberapa titik, tetapi menyerah setelah menyadari orang seperti apa dirinya. Lisa tersenyum samar padanya.
“Tetapi Ella tidak menilai kau orang yang membosankan, kau tahu?”
“Oh, apa yang sedang dilakukannya, omong-omong?”
“Tidur di kantor. Ini berkat dia punya ibu yang buruk. Dia seharusnya banyak bermain di luar saat ini…”
Lisa tidak tampak terlalu baik. Wajahnya menyiratkan kegelisahan. Minjoon sendiri merasa sangat prihatin dengan situasi ini, tapi benar-benar tidak banyak yang bisa dia lakukan.
“Apa terlalu sulit bagi Jack untuk menjaganya?”
“Dia anak kecil. Dia tidak akan suka tetap di rumah sepanjang hari. Dan tidak seakan-akan ayahnya akan membawanya jalan-jalan.”
“Betapa susahnya itu.”
“Memang. Kau sebaiknya benar-benar berhati-hati saat kau berakhir mengambil keputusan suatu hari nanti. Masa-masa sulit dapat memukulimu lebih buruk entah bagaimana.”
“Tetapi kita masih muda. Kita punya banyak waktu untuk memperbaiki sesuatu. Jangan terlalu tertekan. Oh, apa aku mengatakan hal yang membosankan lagi?”
“Jangan khawatir tentang itu. Terima kasih atas ucapanmu. Aku menghargainya.”
Saat mereka selesai berbincang, tiga orang dari aula memasuki dapur. Sera menyeringai lebar saat dia memeluk Minjoon dan Anderson.
“Lama tak jumpa dengan kalian berdua! Aku merindukan kalian setengah mati.”
“Kau sebaiknya menelpon.”
“Jangan bilang begitu. Aku akan berkirim pesan, kau tahu?”
“Aku hanya bercanda. Senang bertemu denganmu lagi. Apa kabarmu baik?”
“Ya, tetapi tidak lagi. Aku akan merindukan hidangan-hidangan di sini dalam waktu yang lama. Anderson, Minjoon, dan… mmm, kalian semua yang di sini, aku sangat iri. Kalian telah mengamankan diri kalian dengan sangat baik.”
“Aku baru menyadari kenapa semua chef kepala di restoran cabang Rose Island tidak pernah memutuskan untuk melepaskan diri. Ini nama yang patut dibanggakan.”
Joseph menyeringai.
“Senang bisa melihatmu melakukan pekerjaan dengan baik. Tetapi aku terkejut! Aku tidak pernah menyangka kau akan berakhir bekerja dengan gastronomi molekuler. Bagaimana kau menyukai itu?”
“Awalnya aku agak bingung. Dan lagi, aku belum pernah mengerjakannya. Tetapi akhir-akhir ini aku menyukainya.”
“Ini soal sup, kan?”
Mata Minjoon melebar.
“Bagaimana Anda bisa tahu?”
“Sup kentang lebih bernuansa kekeluargaan daripada menu restoran. Sesuatu yang seperti itu keluar sebagai hidangan pembuka di Rose Island dari segala tempat. Itu berakhir menjadi yang paling populer juga. Semua karena busa bacon. Plus, aku ingat betapa aku selalu mengganggumu dengan batasan antara makanan keluarga dan makanan mewah.”
“…Iya, Anda benar. Aku belajar banyak dari sup ini.”
“Contohnya?”
Sera menyela dengan wajah penasaran. Jo Minjoon tersenyum simpul.
“Bahwa dengan teknik memasak normal, makanan keluarga bisa sampai sejauh ini. Tetapi dengan ditambahkan gastronomi molekuler dalam perhitungan…”
Minjoon berhenti sejenak. Rasa suka citanya begitu membanjirinya.
“Kami bisa dengan mudah melompati batasan kami.”
<Langkah pertama (4)> Selesai.