Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 211: Kisah semua orang (1)
Rose Island milik Rachel Rose di Venice akhirnya buka. Aku mengingat-ingat berapa kali aku telah mengunjungi restoran itu hanya berusaha untuk memasukkan diriku ke dalamnya pada tanggal pembukaan. Hanya memikirkan tentang mampu mencicipi makanan dari masa lalu..membuat jantungku bersuka cita.
Sejujurnya, makanan di Rose Island yang baru sangat berbeda dari yang ada dalam kenanganku. Oh, aku tidak berkata itu tidak buruk. Sangat berkebalikan, nyatanya. Rose Island masih mempertahankan daya tariknya seperti yang dilakukannya bertahun-tahun yang lalu. Oh, Aku masih merasakan bahwa makanan dari kenanganku sedikit lebih baik dari yang aku santap di pembukaan, mau tidak mau. Lagipula, tidak ada cita rasa yang lebih baik dibanding yang dibumbui dengan kenangan manis. Pun makanan yang aku santap kali ini, akan dibumbui seperti itu juga setelah beberapa hari.
Kembali pada topik saat ini, jika aku harus memilih makanan mana yang paling aku sukai, aku selalu harus beralih ke makanan yang dibuat dengan gastronomi molekuler. Lagipula, gastronomi molekuler adalah sesuatu yang baru saja diluncurkan ketika restoran utama Rose Island tutup. Tetapi hidangan yang mereka sajikan dengan itu…tidak kekurangan kesempurnaan.
Aku telah mendengar bahwa Raphael Yoon, yang merupakan seorang master bila menyangkut soal gastronomi molekuler, telah bergabung dengan tim mereka, tetapi apakah hidangan pada kualitas ini merupakan sesuatu yang sungguh mungkin? Mungkinkah Rachel telah menghilang selama 10 tahun untuk belajar keahlian gastronomi molekuler? Itu terdengar bodoh, tetapi makanan yang aku santap di sana sempurna.
Jika aku harus memilih makanan yang paling berkesan, aku harus memilih sup kentang dengan busa bacon. Sup itu menerbangkan aku dan ekspektasi teman-temanku tentang restoran itu melambung jauh.
Ketika aku mengambil sesendok penuh dengan sedikit busa di atasnya, aku hampir berpikir bahwa aku mengunyah potongan bacon di mulutku, bukannya jamur. Sup itu memiliki cita rasa bacon yang sangat kuat hampir tidak mungkin untuk membuat itu hanya dengan busa. Singkatnya, aku merasa syok. Busa kecil itu mampu menunjukkan sesuatu yang unik dan tekstur ke restoran, dan juga membawaku kembali ke masa kecil.
(lewati)
Ketika sesi makan kita hampir berakhir, chef Rachel keluar ke aula untuk berterima kasih pada kami. Dia tidak banyak berkata-kata, aku tidak terlalu ingat apa yang dia katakan karena aku pun sudah tua. Alasan kenapa aku tetap memilih untuk mengatakan hal ini adalah karena kata-katanya masih bergema di hatiku. Lagipula, kata-katanya tidak akan ada artinya sama sekali jika akhirnya mereka gagal mendapatkan hati seseorang.
Dalam hal itu, pidatonya yang singkat adalah kesempurnaan mutlak. Dia mengungkapkan kebahagiaanya, kesedihannya, dan kecintaannya. Bagaimana dia menyampaikan perasaannya tidak masalah.
Setelah itu, dia datang untuk berbincang di meja kami selama beberapa menit. Kami mengobrol sedikit, aku mengingatnya. Aku mengatakan padanya bahwa sepuluh tahun hidupku tanpanya di Rose Island seolah kekurangan makanan selama sepuluh tahun. Rachel mengatakan padaku, “Kau sama sekali belum beranjak dewasa selama satu dekade, yaa Juan? Sebaiknya kau sungguh belajar untuk berhenti menjadi sangat pemilih.” Benar. Alasan kenapa aku menulis pos blog ini hanyalah karena satu kalimat yang dia katakan itu. Rachel masih mengingat namaku setelah sepuluh tahun!
Itu membuatku luar biasa bahagia. Ketika aku belajar bahwa dia menghargai pelanggan tetapnya sama seperti pelanggan tetapnya menghargai Rose Island, aku merasa hatiku dipenuhi dengan kegembiraan yang mutlak.
Rose Island. Nama itu akan jelas tetap terkenang sepanjang hidupku. Aku juga berharap aku mampu hidup cukup panjang untuk menyaksikan warisan mereka lebih lama.
“Dia sungguh tidak mengatakan hal yang buruk mengenai restoran.”
Gerrick menyeringai bangga, dan Maya mengangkat bahu tepat di sebelahnya.
“Tentu dia tidak memiliki hal buruk untuk dikatakan. Makanannya sempurna.”
“Kenapa kau bersikap seolah kau pemilik tempat ini sekarang? Kau bahkan tidak di posisi untuk bersikap bangga, bahkan tidak menyebut chef demi di sini.”
“Hmmm, tapi kurasa chef Minjoon memiliki hak untuk bersikap sangat angkuh. Dia adalah guru yang hebat dan juru masak yang menakjubkan. Dia tidak pernah mendapat keluhan satupun dari chef kepala, bahkan!”
“Hah, lihat dirimu membela chef demimu sekarang. Chef Anderson juga hampir tidak mendapat keluhan apapun, kau tahu?”
“Hampir tidak dan sama sekali tidak itu istilah yang berbeda. Kau sebaikanya paham perbedaannya itu sekarang.”
Karena tekanan antara Antonio dan Maya mulai meningkat, Fred menyela untuk memisahkan mereka.
“Hentikan. Tidak ada gunanya saling berkelahi. Tidakkah kau tahu betapa akrabnya chef Minjoon dan chef Anderson?”
“Mereka sangat berkebalikan, tetapi dengan anehnya mereka saling berhubungan baik.”
“Menurutku, itu karena Chef Minjoon baik, kau tahu…auranya…”
“Casanova?”
“…Bukan itu maksudku.”
Gerrick menghela napas saat dia memperhatikan Maya mengempis sedikit.
“Omong-omong, kalian berdua pasti benar-benar memiliki waktu yang baik sekarang. Chef Janet super menyeramkan. Jika kau membuat satu kesalahan, dia hanya akan melotot padaku lalu berkata ‘Apa yang baru saja kau lakukan?’, ‘Menurutmu kau melakukan hal yang benar di situ?’, ‘Jadi kau melakukan ini padahal tahu kau melakukan kesalahan?’. ‘Kesalahan? Jadi kau bahkan tidak memperhatikan?’ Dia terus menjatuhkanku seperti itu…aku tidak bisa menerimanya.”
“Aku tidak tahu aku seburuk itu.”
“Itu be..benar?!”
Wajah Gerrick sedikit tegang ketika dia berbalik. Ada Javier dan Janet di ruangan bersama mereka. Janet melotot dingin pada Gerrick.
“Kalian membahas ini setelah kalian membersihkan kaldu sup dengan benar, kan?”
“A-aku akan memeriksanya.”
“Biarkan aku bicara sebelum kau pergi. Apa masalahmu denganku? Aku hanya ingin tahu.”
“Eh… Eh… yaa…”
Gerrick memucat tanpa mampu menjawabnya. Javier tampaknya merasa sedikit kasihan pada Gerrick, dia meletakkan tangannya di pundak Janet untuk menghentikannya.
“Gerrick, tidak apa-apa. Pergilah memeriksa kaldu.”
“Tidak apa-apa bagaimana?” Dia punya masalah denganku.”
“Berhentilah. Kau akan membuatnya menangis.”
“…Bocah itu terlalu pengecut untuk menjadi chef. “
Janet menatap marah punggung Gerrick lalu menghela napas lelah.
“Aku harap aku mendapat chef yang baik di belakangku.”
“Mungkin sebaiknya kau berhenti bersikap seperti perfeksionis.”
“Apa? menurutmu aku perfeksionis? Aku hanya menunjukkan kesalahannya.”
“Aku mengatakan padamu untuk sedikit melunak saat kau melakukannya. Hei, Fred. Apa aku sama kerasnya seperti Janet pada Gerrick?”
“Alih-alih soal itu…Kau tampak sedikit terkejut. Lagipula, kesalahanku berakhir menjadi kesalahanmu.”
“…Haha, kau membuatku terdengar sangat lemah. “
Javier menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. Janet tersenyum mengejek padanya.
“Dan kau malah membuat dirimu terdengar seperti kacung besar.”
“Sialan, baiklah. Aku lemah. Tetapi tidak masalah memiliki seseorang seperti aku di dekat kalian. Bukankah nanti dapur akan menjadi terlalu intens dengan orang-orang sepertimu, Minjoon, atau Anderson.”
“Apa aku mengatakan sesuatu?”
“Tidak, tapi…”
Javier berhenti bicara dengan tenang. Janet berbalik.
“Maya, Fred.”
“I-iya!”
“Di mana Minjoon dan Anderson?”
“Oh, chef Anderson keluar menemui orang yang membuatkan kami mie.”
“Lalu, Minjoon?”
“Kudengar dia akan datang telat hari ini. Hari ini adalah hari minggu, jadi kukira ini bisa dimengerti.”
“…Apa? Minjoon bukan tipe orang yang datang telat. Apa ada alasan?”
Janet mengernyit, yang membuat respons Maya lebih pelan dari biasanya.
“Aku tidak tahu banyak…tapi kudengar ada seseorang yang sakit.”
€
“Iya, Bu. Jangan terlalu khawatir. Panasnya sudah jauh lebih turun sekarang.”
[Terima kasih, Minjoon. Aku merasa nyaman mengetahui kau selalu ada di sisinya.]
“Aku pacarnya, tentu aku selalu berada di sampingnya. Kuharap jangan terlalu khawatir. Tidak begitu serius.”
[hah…tidak ada yang bisa kukatakan pada Kaya. Semua ini salahku dia selalu mendapat masalah seperti ini…]
Minjoon bisa mendengar rasa sakit pada suara Grace di seberang. Dia menekan perasaan simpatinya dan berusaha mengumpulkan suara paling baik yang bisa dia buat.
“Grace, kau adalah ibu yang baik. Kau tidak menyerah pada Kaya apapun yang terjadi. Ada banyak sekali orang-orang di luar sana yang tidak bisa melakukannya. Kau harus kuat. Hanya dengan itu, Kaya bisa sembuh dengan cepat.”
[…Kaya sungguh bertemu dengan pria yang baik. Tidak seperti aku. Benar. Aku harus kuat. Tetaplah kuat juga, Minjoon. Jangan sakit, yaa? Aku akan tutup teleponnya sekarang.
“Terima kasih sudah menelpon, Grace. Aku akan menelponmu lagi nanti.”
Minjoon menatap layar dengan diam setelah mengakhiri teleponnya. Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga yang agak lebih baik, Minjoon tidak bisa sungguh mengerti rasa sakit dan luka yang dilalui keluarga Kaya tetapi dia masih mengerti. Lagipula, dia bisa melihatnya. Keluarga itu masih jelas terluka meski telah keluar dari kemiskinan.
‘Apa yang bisa kulakukan?’
Dia tidak bisa banyak berpikir. Saat ini, yang terbaik yang bisa dia lakukan adalah membuat sup kentang yang sempurna untuknya. Tidak jauh lebih buruk, karena itu adalah sesuatu yang dia buat dari dapur. Apa yang harus dia lakukan adalah membuat busa bacon. Dia telah melakukan ini beberapa kali setiap hari, jadi itu tidak terlalu merepotkan.
Ketika dia membawa sup ke kamar tidur, dia bisa merasakan kehangatan kamar menerpa wajahnya. Minjoon mengambil handuk basah dari dahi Kaya, lalu meletakkan tangannya di dahinya. Panas. Kaya tersenyum lemah.
“Maaf…aku sakit lagi.”
“Bukan salahmu kau sakit. Bangunlah sedikit. Cobalah sup ini.”
“…Bisakah aku berbaring saja sedikit lebih lama? Aku tidak mau makan.”
“Tidak. Jika kau tidak makan, kau akan tetap sakit. Sup ini enak. Cobalah.”
Minjoon meletakkan lengannya di punggung Kaya. Pakaiannya basah karena keringatnya, tetapi faktanya Minjoon tidak peduli hal itu dan terus menunjukkan betapa dia menyayanginya. Kaya bersandar di lengan Jo Minjoon lalu tersenyum.
“Ototmu semakin kencang.”
“Kau menyuruhku berolahraga, kan? Sampai aku menjadi seperti terminator.”
“Sejujurnya…itu terlalu berlebihan.”
“Bagus.”
Minjoon mengambil sesendok penuh sup. Kaya menyantapnya seolah mirip dengan bayi burung lalu tersenyum samar.
“Aku bisa melihat kenapa kau sangat percaya diri dengan cita rasanya. Bagaimana bisa ada citarasa bacon? Aku tidak berpikir ada bacon di situ.”
“Aku memasukkan busa bacon di atasnya.”
“Oh, jadi itu bukan hanya busa biasa, hah? Aku suka ini. Aku terkejut kau bisa mengatur untuk membuat sup kentang sesedap ini.”
“Apa kau terkejut bahwa makanan pasien bisa sesedap ini juga?”
“Tentu, iya. Kau akan membuatku jadi sangat ingin sakit sekarang.”
“Jangan mengatakan itu sekarang.. Bagaimana bisa badanmu lemah sekali? Kau bahkan bertahan di pasar sebelumnya.”
“Tetapi aku banyak bekerja sekarang dari pada waktu itu. Berusaha terbiasa dengan perbedaan waktu saat aku bepergian itu juga susah. Omong-omong, aku mau lagi. Ini sungguh enak.”
“Kau bilang kau tidak lapar.”
Minjoon mengambil lagi sesendok penuh sup sambil tersenyum. Kaya memakannya, lalu meletakkan kepalanya di dada Minjoon. Dia berkata dengan suara gugup.
“Kau tidak akan mengatakan apa pun soal mencuci rambutku, kan?”
“Kau pikir aku bodoh?”
“Biasanya iya.”
Minjoon mencium Kaya dengan seringai lebar. Kali ini, Minjoon menyantap sesuap supnya sendiri. Kaya menaikkan suaranya karena cemas.
“Hei! Tidak! Nanti kau sakit!”
“Tidak masalah, aku tak apa. Aku tidak sakit yang waktu itu.”
“Bukan berarti kau tidak akan sakit kali ini. Kau harus merawat dirimu sendiri, bodoh.”
“Kau mengkhawatirkan aku?”
“Tentu saja. Apa kau bermasalah dengan itu?”
“Tidak, aku suka.”
Segera setelah Kaya membuka mulut untuk berbicara, Minjoon menjejalkan sup ke mulut Kaya. Mata Kaya berkilat kesal saat dia menelan sup. Minjoon mencium dahinya singkat lalu gemetar jijik.
“Asin. Rasanya seperti keringat.”
“Kau mau mati?”
“Apa kau bahkan punya kekuatan untuk membunuhku?”
“Aku tidak butuh kekuatan untuk membunuh anak masa depanmu.”
“… Maaf.. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
Minjoon mundur dengan cepat. Kaya mencubit pipi Minjoon.
“Kau menelpon ibuku sebelumnya, kan?”
“Iya. Dia khawatir.”
“Dia bilang dia meminta maaf lagi, bukan?” Dia terus bersikap seperti seorang pendosa sepanjang waktu. Apa sih yang membuatnya berpikir dia salah?”
“Begitulah para orang tua. Mereka selalu menyesali diri karena tidak sempurna.”
“Tetapi dia sempurna. Dan dia akan selalu begitu.”
“Tentu saja.”
Minjoon mengusap pipi Kaya dengan tangannya. Mata Kaya menyipit karena kesal.
“Kau bersikap seolah memperlakukanku seperti anak kecil kadang-kadang.”
“Well, memang kau anak kecil. Kau masih remaja, kau tahu?”
“Duuh, terserah. Ayo kita bicara tentang ibu. Saat dia datang ke LA, aku harus…membuatnya bertemu ayah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”
“Dia pasti akan merasa bingung. Sama sepertimu.”
“Tidak masalah jika aku merasa seperti ini. Aku hanya harus berpura-pura tidak merasakannya. Aku hanya berharap ibuku mengerti bahwa kita tidak ditinggalkan. Aku akan merasa lebih baik jika sebenarnya kami berakhir menjadi orang yang ditinggalkan.”
“Aku tidak berpikir dia berbohong. Aku tidak mau menghakimi karakter seseorang setelah satu kali bertemu, tetapi dia tampak bukan tipe orang yang berbohong tentang hal-hal seperti ini.”
Minjoon merasa mengatakan sesuatu seperti ini akan membantu lebih menenangkan Kaya. Kaya menghela napas sebelum melihat Minjoon.
“Apa yang sungguh aku cemaskan adalah di mana aku akan mempertemukan mereka.”
“Restoran?”
“Restoran itu adalah masalahnya. Aku berpikir mengajak mereka ke tempatku awalnya, tetapi aku mau mereka bertemu di tempat lain, itu lebih baik. Lagipula, ini akan menjadi sorotan dalam hidupku.”
“Lebih baik? Apa maksudmu…”
“Ya?”
Kaya mengangguk.
“Rose Island. Restoran yang paling terkenal di dunia. Dan…Tempat di mana keluargaku bekerja sebagai chef. Tidak ada tempat lain untuk keluarga hancur sepertiku untuk bertemu.”
<Kisah semua orang (1)> Selesai.