Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak – Bagian 212: <Kisah semua orang (2) >
Itu kalimat yang panjang, setidaknya, untuk standar Kaya. Restoran tempat keluarganya bekerja… Minjoon menatap wajah Kaya. Kaya bahkan tidak tampak merasakan sesuatu dari apa yang baru saja dia katakan. Itu hanya membuatnya tampak semakin menggemaskan.
“Boleh aku menciummu?”
“Aku sudah bilang tidak boleh. Berhentilah mengatakan hal seperti itu.”
“Ini lebih baik daripada tidak mengatakan apapun kan?”
“Terserah. Omong-omong, apa kau baik-baik saja bila keluargaku datang ke restoran?”
“Tidak ada tempat yang lebih baik. Plus, seperti yang kau bilang, ini penting untuk keee~luargamu.”
“Ada apa dengan caramu mengatakan keluarga?”
Barulah kemudian Kaya sedikit cemberut. Minjoon merespon dengan menutup bibir Kaya. Kaya berusaha mengatakan sesuatu, tetapi Minjoon memotongnya.
“Apa kau lelah? Bukan karena kau sedang sakit, melainan soal pekerjaanmu.”
“Pekerjaan macam apa yang tidak membuatmu lelah?”
“Setidaknya kau harus merasa senang saat bekerja.”
Kaya mendongak menatap Minjoon. Minjoon berpikir bahwa wajah Kaya tampak lebih cantik daripada apa pun di dunia. Nyaris menjadi dunia lain, sebenarnya.
Bayangan di hidungnya, kelopak matanya yang sedikit bengkak karena kelelahan, dan bahkan sedikit bintik-bintik yang jelas terlihat di pipinya yang merah. Itu semua tampak luar biasa pada dirinya. Kaya berkata,
“Awalnya aku senang. Aku merasa seperti aku sebenarnya melakukan sesuatu. Tetapi setelah aku menjadi anjing kecil setelah datang ke LA, aku merasa tidak berdaya lagi. Namun, dukungan darimu membantuku, lalu aku berakhir mendapatkan hidanganku muncul di menu. Setelah itu, aku mulai menikmatinya lagi.”
“Sama sepertiku, haha. Aku selalu merasa didukung olehmu, juga.”
“Jika iya, kenapa kau tidak berusaha membersihkan dan membuat sarapan juga, haha?”
“Bukankah kau bilang kau akan melakukan itu sendiri? Dan kau tidak mau menjadi seorang pecundang.”
“Bantulah aku meski aku membencinya. Peluk aku meski aku berusaha tampak kuat. Meski aku mengatakan aku baik-baik saja, aku tidak baik-baik saja sepanjang waktu. Aku tidak sekuat itu juga. Kau bilang itu pada dirimu sendiri, bukan? Aku masih remaja, tidak peduli apa yang kukatakan.”
“Iya, aku lupa sama sekali soal itu karena betapa kerennya kau terlihat.”
“Hentikan.”
Kaya menyundulkan kepalanya ke bahu Minjoon. Minjoon meletakkan mangkok sup yang sudah kosong sekarang, lalu dengan hati-hati memeluk Kaya. Badannya basah, bajunya yang berkeringat hampir menempel di kulit dan pakaiannya.
“Maaf karena aku pacar yang kurang berguna.”
“Apa yang kubilang soal menghina barangku lagi?”
“…Aku barangmu?”
“Tentu saja. Jadi waspadalah dengan apa yang kau katakan soal dirimu sendiri. Kau tidak bisa terus…”
Kaya mengulurkan jarinya untuk menyentuh bekas luka bakar di leher Minjoon. Wajahnya menjadi berselimut kesedihan selama sedetik.
“…menyakiti dirimu sendiri seperti itu. Ini semua kekayaan pribadi, kau tahu. Menghancurkan kekayaan pribadi itu ilegal.”
“Aku hanya merusaknya.”
“Sama saja.”
Kaya mengusapkan wajahnya di bekas luka Minjoon.
“Padahal kau baru saja berbicara tentang berusaha agar aku tidak terinfeksi juga …”
“Tidak masalah selama kita tidak berciuman, kan?”
“…Bahkan bernapas dalam ruangan yang sama itu berisiko.”
“Kau ingin aku menahan napas?”
“Terserah. Tidurlah. Aku akan pergi bekerja setelah melihatmu tidur.”
“Aku sungguh tidak ingin…”
Kaya mencoba untuk memberontak, tetapi dampak perut penuh dan tubuh hangat Minjoon terlalu besar baginya. Dalam beberapa menit, dia terdengar sudah tertidur.
Minjoon meletakkan selimut menutupi Kaya, kemudian mondar-mandir di dalam kamar selama satu menit sebelum menempatkan cangkir air dan obat di sebelahnya. Dia mempertimbangkan meredupkan pencahayaan sedikit, tetapi memutuskan untuk menyalakan lampu.
Karena Anderson tidak di sini kali ini, dia harus menggunakan bus untuk pergi bekerja kali ini. Setelah sampai di restoran dengan beberapa usaha, dia menemukan Maya sedang sangat bermasalah.
“Ah, chef, akhirnya. Aku lelah setengah mati mengukur ini semua sendiri.”
“Maaf. Apa semua bahan-bahannya oke?”
“Iya, menurutku begitu.”
Minjoon mengintip bahan-bahan dari dapur. Dia harus lebih memperhatikan bahan-bahan di sini. Lagipula, tidak ada simpanan jeli setelah digunakan semuanya. Minjoon memasukkan sedikit jeli ke dalam mulutnya. Seperti biasa, layar sistem muncul di depan matanya.
[Jeli Sea Bream simpanan] Kesegaran: 98%
Bahan Asal: (Tersembunyi karena mengandung terlalu banyak bahan-bahan)
Kualitas: Tinggi
Skor Masakan: 6/10
Minjoon mengambil sedikit sampel jeli buah dan beberapa es krim lalu mengangguk puas.
“…Mmm, ini baik. Ini masih akan bertambah rasanya, tetapi besok seharusnya akan enak. Kerja bagus, Maya. Kau jauh semakin baik.”
“Hee, terima kasih”
Maya akhirnya tampak sedikit lebih santai. Kemudian dia bertanya dengan nada penasaran.
“Bagaimana kau mencicipi semuanya seperti itu, bahakan dengan lidah yang mutlak?”
“Ini bukan soal aku punya lidah yang bagus. Chef lain juga bisa paham secara garis besar bagaimana keadaan makanan setelah mencicipinya. Ini hanya soal hal dasar.”
“Tetapi sangat susah sekali untuk mengetahui seberapa enak jeli-jeli ini.”
“Ini sulit, tapi bukan tidak mungkin. Kau pasti bisa melakukannya juga.”
“Baiklah. Aku akan bekerja lebih keras.”
Maya memompa tinjunya ke rambut. Saat Minjoon menyunggingkan senyum kecil, Janet muncul di belakangnya.
“Hei, kudengar pacarmu sakit?”
“Iya, beban kerjanya terlalu banyak untuk seumurannya. Badannya tidak bisa menerimanya.”
“Kau merawatnya?”
“Sangat. Oh, di mana Isaac? Aku perlu bertanya sesuatu.”
“Mungkin di kantor. Tetapi kau akan keluar lagi dari dapur secepat itu?”
“Aku akan segera kembali. Maya, kau sungguh melakukan pekerjaan yang hebat sekali pada jeli. Terima kasih sudah mau datang di hari libur dari semua hal. Kau bisa beristirahat sekarang.”
“Wow.”
Yang merespon Minjoon bukanlah Maya, tetapi Gerrick. Janet Perlahan menoleh untuk memberikan Gerrick pelototan singkat.
“Kenapa? Kau iri dia bisa beristirahat?”
“Ti, tidak. Tidak sama sekali.”
“Jujurlah sekarang. Ini melelahkan, bukan? Kita memutuskan bahwa hari minggu akan menjadi hari libur, tetapi beberapa dari kita masih harus datang untuk preparasi. Hidangan pembuka sebagian besar adalah makanan yang butuh masa penyimpanan juga. Ini super merepotkan, kan? Istirahatlah. Aku akan melakukan seeeeemuanya sendiri. Kau tidak mau bekerja seharian membantuku, kan?”
“Aku mencintai pekerjaanku. Aku tidak pernah merasa lebih baik.”
“Kalau begitu pergilah membuat sari jeruk nipis. Menurutmu, kita bisa membuat semua ceviche hari ini pada kecepatan sekian?”
“Iya, Bu!”
Gerrick bergegas ke lemari es tanpa berkata apa-apa. Maya melihat pria itu dengan wajah simpati. Minjoon terkikik lalu menoleh ke Maya.
“Kau menang dengan sangat baik melawan Gerrick, hah? Menurutmu, bagaimana nanti pekerjaanmu jika kau memilih Janet bukannya aku?”
“…Terima kasih sudah memperlakukanku dengan sangat baik, chef. Ah, aku akan meninggalkannya sedikit nanti. Aku ingin berlatih satu atau dua hal lagi di dapur.”
“Tentu, silakan.”
“Baik,Pak.”
Maya menyeringai. Janet menghela nafas berat.
“Kau mendapat chef yang bagus, hah? Serius, Gerrick itu….”
“Kau harus baik padanya. Dia akan menjadi lebih baik secepatnya.”
“Berhentilah berbicara seperti buku pelajaran. Aku tidak tertarik.”
“Omong-omong, aku pergi dulu menemui Isaac. Bekerja keraslah.”
Minjoon keluar dari dapur. Meski sebagai chef demi, dia pun juga tidak suka bekerja pada hari minggu. Itu sangat melelahkan, bahkan baginya. Itu adalah kunjungan yang relatif singkat di dapur, tapi … Itu masih menggerogoti dirinya sedikit.
‘Mereka bilang Rose Island sepuluh tahun yang lalu tidak memiliki hari libur.’
Maka masuk akal bila Daniel Rose pingsan saat bekerja. Rachel mungkin membuat hari libur bagi para staf untuk mencegah terjadinya hal seperti Daniel Rose.
Ketika Minjoon masuk ke kantor, dia disambut tidak hanya Isaac, tetapi juga Rachel. Minjoon tersenyum canggung.
“Anda semua di sini.”
“Yup. Apa kau butuh sesuatu?”
“Ah, aku ingin bertanya sesuatu pada Isaac.”
“Aku?”
“Mm…Aku tidak merasa nyaman mengatakan hal ini di depan Guru dan Jack, tetapi aku perlu membuat reservasi untuk empat orang di malam natal.”
“Reservasi seharusnya … sudah penuh.”
“Iya, aku akan menghargainya jika kau bisa memasukkan reservasiku saat ada yang membatalkan.”
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Rachel. Minjoon berhenti sejenak sebelum menjawab.
“Keluarga Kaya akan bertemu kembali untuk pertama kalinya, dan mereka ingin datang ke sini. Menurutku, bisa memasak makanan untuk keluarga Kaya…akan spesial bagi kita semua.”
“…Iya. Itu terdengar bagus. Isaac, apa belum ada pembatalan sama sekali?”
“Mungkin ada beberapa pembatalan di hari lain, tetapi di malam natal, …tidak ada satu pun pembatalan.”
“Kalau begitu, sederhana saja. Mungkin kita bisa memasukkan meja lain. Kita bisa mendapatkan empat kursi lagi. Letakkan di sebelah dapur, jadi Minjoon bisa melihat mereka juga.”
Itu keputusan yang sangat mendadak, tetapi sudah diduga Rachel. Alih-alih terkejut, Isaac memilih lanjut bertanya.
“Meja bulat atau persegi?”
“Minjoon?”
“…Oh, meja bulat sepertinya bagus. Menurutku, mereka tidak akan bisa duduk berdekatan dengan nyaman di meja persegi…Tapi apa Anda bisa memasukkan meja baru seperti itu?”
“Restoranku adalah dapurku. Aku bisa melakukan apa pun yang kumau.”
“Terima kasih, Guru.”
Minjoon tersenyum lebar. Dia tersenyum berulang kali saat bekerja, bahkan Rachel tidak pernah melihat Minjoon tersenyum selebar itu. Apa dia sunguh bahagia tentang orang-orang itu bertemu kembali? Bahwa dia orang yang akan menyajikan makanan pada mereka?
‘Betapa baiknya dia.’
Awalnya, Rachel hanya terkesima dengan lidah Minjoon. Tetapi sekarang, dia mulai melihat daya tarik yang lebih banyak pada Minjoon dari pada yang dia pikirkan di awal. Dia adalah murid yang baik. Dia juga orang yang baik. Jack sedikit mengeluh.
“Kepribadianmu terlalubaik untuk seseorang seperti Rachel.”
“Terima kasih. Tetapi Rachel tetap guru yang terbaik yang kupunya. Kepribadiannya juga…”
“Kepribadian pantatku!”
Jack tak akan mendengarkan itu. Dia pun berhak melakukannya. Minjoon melihat ke sekeliling ruangan sekali lagi sebelum melanjutkan.
“Haruskah aku pergi? Tampaknya kalian berdua punya banyak hal untuk dibicarakan.”
“Aku ingin bertaya sesuatu sebelum kau pergi.”
“Aku?”
“Seperti yang kau tahu, restoran mengganti menunya setiap 10 hari. Ketika pelangganmu datang nanti, saat itu kita punya menu baru. Jadi, aku ingin kau membuat sebuah hidangan, apa saja, untuk dimasukkan ke dalam menu pada hari itu.”
“…Apa?”
Minjoon bahkan tidak bisa merespon dengan benar. Bukannya dia tidak paham apa yang Rachel katakan. Tetapi apa yang baru saja dia katakan hampir terlalu bagus untuk menjadi nyata.
“Mereka adalah pelangganmu yang berharga. Tidakkah kau ingin menyajikan sesuatu pada mereka hidangan yang kau buat dari awal, oleh tanganmu sendiri?”
“Bisakah aku…melakukannya? Tidak, aku tidak bisa. Aku akan berakhir merusak menumu.”
“Jangan khawatir tentang itu. Aku tidak berencana memasukkan hidangan buruk pada menu kita. Jadi silakan dan cobalah. Pikirkan apa yang ingin kau sajikan pada mereka.”
“Bahkan nanti… Menurut Guru, aku bisa membuat resep yang cukup bagus untuk Rose Island hanya dalam satu bulan?”
Rachel menggelengkan kepala.
“Chefs adalah para petualang. Mereka berada di atas kapal tanpa tahu apakah ada pulau di seberang sana, tetapi mereka yakin ada. Minjoon, aku percaya padamu. Tidakkah kau percaya pada dirimu sendiri?”
Bibir Jo Minjoon bergetar. Dia melepaskan semua kesombongan dan kerendahan hati yang dia bawa bersama dirinya sendiri, dan menjawab.
“Aku…..”
<Kisah semua orang (1)> Selesai.