Dewa Memasak: Bagian 214 < Kisah semua orang (3) >
Translator : Hennay
Editor : MEIONOVEL.ID
Profreader : CHGAI
“…Maksudnya?”
Javier melihat Minjoon dengan wajah bodoh. Mata Minjoon melengkung ke atas dengan nakal. Maya, yang melihatnya, cukup menghela nafas panjang.
“Kau bercanda dengan serius tentang ini saat ini? Aku berakhir melakukan pekerjaanmu untukmu hari ini.”
“Kau mengerjakannya dengan baik. Kerja bagus, Maya.”
“Hanya itu yang kau katakan padaku setelah semuai ini?”
“…Kau terdengar cukup memberontak hari ini?”
“Lihatlah.”
Maya mengulurkan tangannya padanya. Tangannya yang kecil gemetar, seolah dia memegang sesuatu.
“Sekarang kau lihat kan betapa lelahnya aku?”
“Oh kawan, kau pasti sangat lelah. Bagaimana kalau kau pergi ke RS? Kau tidak perlu mengkhawatirkan dapur. Kita selalu bisa mencari pelamar baru.”
“Ugh, apa kau sungguh harus merespon seperti itu?”
“Aku sungguh hebat dalam berdebat dengan orang, kau tahu? Jadi berhentilah mencoba untuk memulai perkelahian dan kembalilah ke jeli-jeli itu.”
“Tidakkah kita bekerja dengan banyak sekali jeli di sini? Ini hampir seperti aku berada di pabrik jeli.”
“Seperti itulah gastronomi molekuler. Apa kau bosan?”
“…Kau akan membuat pidato lain, jika aku mengatakan iya, kan? Baiklah, aku akan kembali bekerja.”
Maya cemberut lalu kembali ke posnya. Anderson menonton semua ini dengan ekspresi sedikit jengkel.
“Apakah kamu tidak terlalu lemah padanya?”
“Apa? Apa maksudmu?”
“Dia terlalu santai di dekatmu.”
“Kita adalah keluarga di dapur. Lebih baik merasa santai di antara kita.”
“Kukira keluarga Asia ketat?”
“Tergantung, uhuk, situasinya. Keluarga kita tidak ketat.”
Minjoon terbatuk beberapa kali saat berbicara. Anderson melihatnya dengan wajah khawatir.
“Apa kau sungguh baik-baik saja? Kau yakin kau tidak butuh istirahat?”
“Aku baik. Aku sudah memberi terlalu banyak pekerjaan pada hal menyedihkan dengan menjadi sakit. Jangan khawatirkan aku.”
“Bagaimana mungkin tidak? Kaya pun akan merawatmu begitu kau kembali. Dengan memikirkan kau sakit tepat setelah Kaya…ya Tuhan, kalian berdua memang terlahir untuk bersama.”
“Dan di sini, aku berpikir kalian menjadi baik sekali…”
Minjoon menggelengkan kepala kesal. Javier memberinya olahan kepiting.
“Orang bilang kepiting baik untuk flu.”
“Benarkah?”
“Tidak. Sebenarnya aku tidak tahu. Tetapi makanan selalu baik untuk flu, kau tahu?”
Minjoon membiarkan mulutnya mencicipi olahan kepiting. Dengan cepat, dia menggelengkan kepala. 6 poin. Jelas gagal.
“Olahan kepiting itu sendiri sudah dibuat dengan baik, tetapi salsanya kurang. Ini tomat dan pomegranat, kan?”
“Iya. Apa itu aneh?”
“Saat ini, iya. Aku tidak bisa merasakan pomegranat. Agak tidak ada artinya sebagai saus. “
“Sip. Terima kasih. Aku akan memikirkannya lagi.”
Javier kembali ke posnya untuk bekerja. Hanya saat istirahat para chef bisa menghabiskan waktu pada resep mereka. Minjoon perlahan mulai berpikir tentang kemana arah makanannya akan dia bawa.
‘Keluarga Kaya punya banyak sekali luka. Tetapi mereka bahkan tidak punya kenangan yang sungguh akan mengikat mereka bersama pula. Apa yang sebaiknya aku lakukan untuk mengisi ruang di antara semua itu?’
Hal pertama yang dia pikirkan adalah sesuatu yang erat dengan rumah. Tetapi dengan keahlian Minjoon, sulit baginya untuk menciptakan sesuatu yang pas untuk restoran kelas atas melalui makanan rumahan. Plus, dia tidak pernah beruntung dengan itu bahkan selama kompetisi. Bahkan Chloe, gagal dalam kompetisi saat mencobanya. Sungguh tidak mengherankan bila dia merasa agak ragu-ragu.
‘Ada pula hidangan kalkun aneh itu.’
Turducken. Itu adalah sebuah hidangan yang terbuat dari ayam kalkun, bebek, dan ayam. Suatu hidangan yang memasukkan bebek ke dalam ayam kalkun, ayam dalam bebek, dan memasaknya dalam oven. Hidangan itu sesuai dengan kecintaan orang Amerika terhadap daging.
‘Pertama kali keluarga bertemu adalah saat natal…’
Chef demi lain hanya harus membuat makanan yang akan cocok dengan tema liburan, tetapi Minjoon harus membuat keluarga Kaya bahagia utamanya. Itu membuat pekerjaan Minjoon lebih sulit, tetapi Minjoon tidak keberatan.
Sebuah tema. Secara teknis ini pertama kalinya setelah kompetisi dia harus bekerja sesuai dengan tema. Semua makanan lain yang dia buat setelah kompetisi sungguh tidak punya tema apa pun selain ‘membuat pelanggan senang’. Janet berjalan mendekatinya setelah itu.
“Woi, coba ini.”
“…Kalian pikir aku semacam alat untuk mengukur level kekuatan makanan?”
“Memangnya bukan?
Janet melihat Minjoon seolah dia telah mengatakan sesuatu yang luar biasa aneh. Minjoon menghela napas dan memperhatikan hidangan Janet. Ada cukup banyak bahan dalam hidangan. Sepotong daging ayam kalkun yang kulitnya berlapis madu. Cannelloni yang berisi udang dan beberapa potong daging ungkep. Siapa yang berpikir untuk memasukkan ketiganya dalam satu hidangan? Masalahnya adalah…
[Skor harmoni dari asparagus bakar, ayam kalkun bakar, cannelloni udang and daging ungkep adalah 10.]
Hidangan itu mendapat skor tinggi padahal perpaduannya aneh. Skor makanannya pun 9. Mungkin itulah yang terbaik yang bisa Janet lakukan untuk sekarang. Minjoon mengambil garpu.
“Apa ada urutan yang harus aku ikuti untuk menyantapnya?”
“Coba cannelloni dulu. Aku memasukkan udang ke dalamnya. Seharusnya itu akan membuat liurmu mengalir keluar. Lalu coba dagingnya, asparagus, dan yang terakhir ayam kalkun. Dengan urutan itu, maka akan meninggalkan citarasa nyaman di lidah.”
“Sip.”
Minjoon memasukkan cannelloni ke dalam mulutnya. Cannelloni merupakan semacam pasta berbentuk pipa. Tampaknya pasta itu telah dipanggang di oven dilihat dari teksturnya yang renyah. Udang di dalamnya melengkapinya dengan baik. Dan aromanya…
“Kau menggunakan saffron, hah? Kau berencana mendapat perhatian pelanggan dengan ini?”
“Kau bisa tahu?”
“Tentu saja. Kau terlalu jelas soal itu. Aku suka. Ini sungguh enak.”
Dia mengangguk dan memasukkan bahan-bahan lain ke dalam mulutnya. Keempukan daging dan aroma vanila dengan seksama menyelimuti cita rasa akhir udang. Dia membilas itu semua dengan sedikit asparagus, lalu memasukkan daging kalkun ke mulutnya. Minjoon tanpa sadar mengangguk saat dia melakukannya.
“Kupikir madu di kulit tidak akan terlalu berlebihan, tetapi ini sungguh banyak. Madu itu membuatmu mengeluarkan liur sedikit lagi, dan membuatmu merasa sedikit kenyang juga. Ini mengagumkan. …Kenapa kau bekerja sebagai chef demi? Kau mungkin juga bisa menjadi chef sous dengan keahlianmu.”
“Hmph, berhentilah memuji yang tak berguna begitu.”
“Tidak, aku serius.”
Minjoon bukan tipe orang yang berbohong untuk hal-hal yang dimulai seperti ini. Janet juga tahu soal itu. Wajahnya tersenyum samar karenanya. Yang setara dengan seringai yang sangat amat lebar untuk orang normal lainnya. Janet batuk sedikit sebelum lanjut berbicara.
“Jadi, menurutmu Rachel akan berkata apa?”
“Aku bukan dirinya, tapi… jika aku seorang juri…”
Jo Minjoon tersenyum ceria.
“Aku akan menggagalkannya.”
“…Kau tahu wajahmu sangat berbeda dengan yang kau katakan?”
“Tapi orang-orang tersenyum kan saat menyantap sesuatu yang sedap.”
“Ini enak tapi tidak bernilai untuk menu?”
“Kau tahu itu juga, bukan? Hidangan ini mungkin akan menakjubkan di restoran lain. lagipula, ini sedap, dan ini baru. Tetapi bagaimana yaa aku mengatakannya… Hidangan itu tidak memiliki keuletan. Hanya membuatku berpikir ‘wow, perpaduan itu berhasil?’ dan yang lainnya. Dan…”
Minjoon berhenti sejenak. Dia meletakkan tangannya di dahinya, dan memasang maskernya kembali. Dengan cepat dia batuk-batuk lagi.
“Maaf. Aku hampir mengenaimu.”
“Tidak apa-apa. Teruskan.”
“Tidak ada yang spesial. Aku hanya ingin kau ingat bahwa makanan di Rose Island adalah makanan Rachel. Jika kau akan membuat sesuatu, itu harus sesuatu yang sama bagusnya dengan apa yang akan Rachel buat. Jadi…Uhuk. Mm. Kepalaku sakit.”
“Baiklah. Aku paham, jadi beristirahatlah. Kau tampak seperti mau pingsan.”
“Menjadi sakit agak menyenangkan, hah? Aku baru melihat Janet sebenarnya mencemaskan seseorang.”
Minjoon sedikit menggoda wanita itu. Dia tahu hal itu sedikit aneh, melihat Janet mencemaskan seseorang seperti ini. Hampir seperti melihat Kaya sekian waktu yang lalu. Tetapi Janet berbeda. Kaya akan bersikap marah sedangkan Janet hanya berbicara dengan suara pelan.
“Aku tahu orang seperti itu. Seseorang yang berakhir sangat menderita karena dia terus bekerja sangat keras.”
“Menderita?”
“…Bukan apa-apa. Omong-omong, kau perlu menjaga dirimu sendiri. Hidupmu mungkin akan hancur dalam sekejap. Terima kasih telah mencicipi makananku.”
Janet meninggalkan pos Minjoon segera setelah itu. Minjoon memutuskan untuk meninggalkan posnya juga. Dia beralih ke Maya untuk meminta bantuan.
“Maya, maaf, tapi kupikir aku perlu tidur sebentar selama 30 menit. Bisakah kau membangunkanku nanti jika aku tidak kembali? Aku akan ada di ruang istirahat.”
“Yap, tentu. Kuharap kau merasa lebih baik setelahnya.”
Maya merespon dengan suara cemas. Minjoon berbalik lalu berjalan menuju ruang istirahat dengan wajah lelah. Saat dia hendak berbaring di tempat tidur, dia malah berhenti. Ada orang di sana sebelum dia.
“Paman Minjoon!”
Ella melambaikan tangan padanya dengan senyuman. Di sebelahnya ada Lisa, tertidur mendengkur di kasur. Saat Minjoon duduk di sofa, Ella berusaha duduk di sebelahnya. Minjoon dengan cepat menyuruhnya menjauh dengan suara pelan.
“Jangan. Nanti kau sakit!”
“Aku hanya sakit setahun sekali. Aku sudah sakit tahun ini, jadi semua akan baik-baik saja!”
“Kapan terakhir kau sakit?”
“Mmm… Januari?”
“Itu hampir satu tahun. Jangan.”
“Awhh…”
Ella bersandar di sebelah bayangan Minjoon dengan wajah sedih. Minjoon melirik Lisa. Melihat Lisa bahkan tidak bangun saat mereka berbicara, dia pasti tertidur lelap.
Lisa adalah orang yang paling menderita di dapur. Setelah semuanya, tidak hanya harus menjalankan toko kue, dia juga harus bekerja di Rose Island penuh waktu sebagai pemanggang kue juga. Inilah waktu yang dia punya dalam satu hari untuk beristirahat… Hal ini membuat Minjoon merasa kasihan padanya.
“Dulu, aku bisa bermain dengan ibu tapi sekarang, dia hanya tidur terus.”
“Tapi kau pintar dengan tidak membangunkannya.”
“Dia lelah. Aku tidak mau mengganggunya.”
“Ella, apa yang kau inginkan dari Santa pada Natal ini?”
Ella mulai berpikir selama sedetik. Dia menyeringai gembira saat dia membuat jawaban.
“Aku ingin melihat senyum ibu.”
“…Mmm?”
Itu jawaban yang tak terduga, setidaknya untuk diutarakan. Minjoon menduga sesuatu yang sedikit lebih kekanak-kanakan. Sesuatu seperti makanan, atau boneka, atau bahkan gaun.
“Ibu tidak tertawa lagi. TV mengatakan bahwa tertawa membuat orang hidup lebih lama. Aku ingin hidup dengan ibu selamanya.”
“Jadi kau ingin dia tertawa?”
“Ya.”
“Aku harap Santa membantumu.
“…Mungkin tidak. Aku banyak menangis tahun ini.”
“Tak apa, Ella. Aku bisa bicara pada Santa. Aku akan mengatakan padanya kau adalah anak yang baik.”
“Benarkah?”
“Iya, sungguh.”
“Terima kasih, Paman. Kau yang terbaik.”
Ella mendongak pada Minjoon dengan mata berbinar, lalu berbaring di pangkuannya. Minjoon mengangkat tangannya dengan wajah panik. Dia khawatir Ella mungkin akan sakit, tetapi mungkin sejauh ini tak masalah. Minjoon perlahan memejamkan mata.
‘Natal…’
“Ella, apa kau ingin sesuatu yang ingin kau santap saat Natal?”
“Mm… Permen! Dan Jeli!”
“Itu lebih untuk Halloween daripada …”
Mata Minjoon kemudian kehilangan fokusnya. Dia telah memikirkan sebuah resep. Dia bisa melihat ke mana dia harus pergi dengan hidangan ini.
‘Benar, dengan ini…!’
<Kisah semua orang (4)> Selesai.