Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 215 < Kisah semua orang (5) >
Jeli dan permen. Minjoon agak lebih tertarik ke permen. Cukup kuat untuk membangunkan dirinya sepenuhnya dari tidur.
Keinginannya untuk tidur hilang sama sekali, tetapi baru ketika Minjoon hendak berdiri, Ella mendongak padanya dengan ekspresi sedih.
“Apa Paman akan pergi?”
Dia bukan berusaha untuk menghentikan Minjoon. Toh, dia anak yang sangat cerdas untuk seumurannya.
Tetapi itulah yang justru membuat Jo Minjoon semakin ragu. Dia menatap Ella dalam diam selama sedetik. Dia tampak seperti akan sangat amat bosan tanpa dirinya. Minjoon tersenyum.
“Tidak, paman akan tetap bersamamu selama beberapa menit lagi.”
“Sungguh? Tidakkah kau lelah?”
“Ella juga lelah, kan? Kau selalu datang ke sini setelah pra sekolah, kau tidak punya banyak teman, dan ibu selalu sibuk, yaa kan?”
“Tetapi Ella tetap suka berada di sini. Ada dirimu, paman, ada ibu, dan ada makanan yang sungguh enak…”
“Kau akan gendut, kau tahu?”
“Ella tidak akan gendut.”
Ella berbicara seolah dia mengatakan sesuatu yang sangat teramat jelas. Dia tidak terlalu kurus, tetapi … Minjoon tidak repot-repot membicarakannya. Dia malah tersenyum saja. Gadis itu berguling di sofa beberapa kali sebelum memjamkan matanya di sofa.
Melihat dia seperti ini hanya membuat Minjoon merasa sedih. Ella tidak bermain ataupun berusaha bercanda dengannya. Dia hanya memejamkan mata di sebelahnya. Itu yang Ella inginkan, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan. Kesepian karena tidak memiliki seorang ayah. Dia tidak berusaha menunjukkannya, tetapi kesepiannya itu keluar dengan satu atau lain cara.
Minjoon ingin menepuk-nepuk kepala Ella, tetapi dia tidak ingin menyebabkan Ella sakit. Minjoon diam-diam melihat Ella tertidur.
“Ella, apa kau tidur?”
Tidak ada respon. Minjoon dengan hati-hati membaringkan kepalanya di sofa untuk berdiri, lalu melihat ke sekitar. Dia ingin memberinya semacam selimut, tetapi tidak menemukan satu pun. Dia menyelimutinya dengan apronnya lalu keluar ruangan. Segera setelah dia masuk ke dapur lagi, dia disapa dengan Maya yang sangat berkeringat.
“Ah, chef. Apa kau sudah beristirahat dengan baik?”
“Iya. Berkat kau. Bagaimana preparasinya?”
“Oh, benar. Tidak banyak perbedaan dengan sebelumnya. Aku sudah menyelesaikan jelinya padahal. Bisakah kau memeriksanya?”
“Tentu… Hmmm, kau semakin baik. Tetapi kau memotong jeli sea bream terlalu tebal di sini. Karena ini mempunyai semacam aroma boga laut yang kuat, pelanggan akan lebih menikmatinya jika kau memotongnya tipis seperti sashimi sungguhan.”
“Ahh… Aku berharap aku bisa menguasai semuanya setidaknya akhir musim ini.”
“Kau masih punya beberapa hari lagi. Kau bisa melakukannya.”
“Apa menurutmu begitu?”
“Tidak ada yang tidak mungkin. Ini hanya sulit saja. Aku percaya padamu. Apa kau tidak…”
Yakin pada dirimu sendiri? Minjoon tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Itu terasa familier baginya entah bagaimana. Dia menyadariucapannya itu adalah apa yang telah Maya katakan padanya beberapa saat yang lalu. Maya melihat Minjoon dengan ekspresi cemas.
“Chef? Apa kau baik-baik saja?”
“…Ah, iya. Tak apa. Aku hanya terpikir sesuatu. sampai di mana aku?”
“Kau bilang kau percaya padaku.”
“Iya. Aku tidak menaruh percaya pada semua orang, jadi bekerja keraslah.”
“Kau berusaha menghiburku atau apa?”
“Bukan. Kembalilah bekerja.”
“Ck.”
Maya melipat bibirnya dengan kecewa. Jo Minjoon melihat jam dinding. Tidak ada banyak waktu tersisa. Aula sudah penuh dengan pelanggan juga. Minjoon perlahan menuju ke posnya. Meskipun flu masih menguasai dirinya, cinta terbesarnya ada di depan mata. Memasak. Dengan itu, tidak ada yang terlalu sulit baginya untuk dilakukan.
€
Ternyata, dia benar-benar keliru dalam kemampuannya. Minjoon menundukkan kepala di posnya dengan wajah yang sangat lelah. Raphael mendecakkan lidahnya saat dia mengetahui keadaan Jo Minjoon.
“Kau seharusnya menjaga dirimu sendiri. Javier, bagaimana anak ini bisa sakit lagi?”
“Dia berciuman.”
“Ugh…seperti yang kuduga dari seseorang di usia 20an.”
Raphael menggelengkan kepalanya menghela napas.
“Minjoon, ada orang yang baru saja memohon untuk bertemu denganmu. Apa tidak masalah?”
“Oh, tentu. Haruskah aku pergi sekarang?”
“Iya, ikuti aku.”
Dia lelah, tetapi itu tidak seperti dia bisa menolak seorang penggemar. Plus, sesuatu seperti ini jarang terjadi. Saat dia tiba, dia disapa oleh seseorang yang sangat tidak dia duga untuk bertemu. Bukan seseorang yang dia kenal. Dia tidak pernah bertemu seseorang sejauh ini yang berpenampilan sangat kaya dalam hidupnya sebelumnya.
Wanita itu memakai kalung emas yang dengan mudah terlihat lebih mahal dari gaji tahunannya, dan hiasan kuteknya di kuku jarinya tampak tidak nyata. Dia bahkan memiliki selendang yang menutupi bahunya, membuatnya terlihat seperti seseorang yang langsung keluar dari drama.
“Oh, Chef Jo! Senang bertemu denganmu!”
Dia tampaknya orang China, setidaknya dari aksennya. Ini agak mengejutkan.
“Terima kasih untuk datang menemuiku, khususnya saat saya masih kurang banyak keahlian.
“Tidak, tidak. Aku sungguh ingin bertemu denganmu. Aku telah menontonmu semenjak Grand Chef. Maksudku, kita bahkan tidak bisa menyebut diri kita foodie yang sesungguhnya kecuali kita telah bertemu dengan makanan chef Minjoon, setelah semuanya!”
“…Hahaha. Tetapi makanan hari ini dibuat oleh chef kepala, Rachel, bukan saya.”
Jo Minjoon tersenyum canggung. Wanita itu sangat memuji Jo Minjoon. Sejujurnya itu agak membuat tidak nyaman. Suara wanita itu, di sisi lain, semakin lama semakin bersemangat.
“Tetapi kaulah yang membuat jeli-jeli dan saus bubuk hari ini, bukan? Jeli-jeli itu menakjubkan. Ah, namaku Delia. Delia Wi.”
“Ah, iya. Delia. Terima kasih sudah datang hari ini, dan terima kasih banyak atas pujiannya juga.”
“Kau bahkan akan menjadi lebih baik dari chef Rachel, aku tahu itu!”
“Delia, Anda harus berhenti.”
Wanita di sebelah Delia menghentikannya. Dia adalah orang yang tampak lebih tidak ramah daripada Delia. Wanita itu menghela napas sebelum menoleh ke Minjoon.
“Maaf. Gadis ini tidak bisa menutup mulutnya saat dia menyukai sesuatu. Dia tidak berusaha untuk menyakiti seseorang, jadi kumohon mengertilah kalau bisa.”
“Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?”
“Iya, kau mengatakannya. Jadi mundurlah sedetik.”
“O-ok. Terima kasih, Minjoon, makanannya enak sekali. Aku akan kembali!”
“Ah… iya. Terima kasih.”
Jo Minjoon tersenyum canggung. Dia tahu wanita itu hanya berusaha bersikap menyenangkan, tetapi pujiannya agak sedikit menjengkelkan. Kemudian, Janet melangkah mendekatinya entah dari mana.
“Berhati-hatilah darinya.”
“Hm? Kau mengenalnya?”
“Yeah, dia biasa datang ke restoranku yang sebelumnya.”
“…Dia pastilah sangat menarik bagimu hingga kau masih mengingatnya sampai sekarang.”
“Dia itu sungguh merepotkan. Mungkin dia terlihat menyenangkan sekarang, tetapi…dia akan menunjukkan padamu seberapa buruk yang bisa dilakukan seseorang.”
Minjoon sedikit mengernyit. Well, terserah. Itu bukan sesuatu yang harus dia pikirkan sekarang. Selain itu, dia harus mengerjakan sesuatu saat ini. Para chef di dapur semuanya membentuk wajah aneh saat mereka mengetahui bahwa Minjoon kembali ke posnya. Anderson berbicara sambil mengernyit.
“Apa yang kau lakukan?”
“Mencicipi resep.”
“Hei, ini sudah malam. Kita harus pulang. Kau pun sedang sakit. Kaya akan mengkhawatirkanmu, kau tahu?”
“Ini karena Kaya, aku melakukan ini. Aku ingin memberinya hadiah. Jika aku melakukannya di rumah, dia akan mengetahuinya.”
“Meski begitu,…tidak bisakah kau melakukannya besok?”
“Tidak bisa. Aku seharian memikirkan tentang ini.”
Anderson menatap Minjoon dengan wajah kesal. Setelah itu, Rachel berjalan ke dalam ruangan.
“Kenapa kalian semua berkumpul di sini? Kalian semua seharusnya bersiap-siap untuk pulang.”
“…Aah, Guru. Minjoon bilang dia ingin membuat sesuatu.”
Javier segera mengadukan Minjoon. Melihat Rachel sangat berfokus pada kesehatan pegawainya, Javier berharap Rachel akan mengatakan sesuatu.
Tetapi Rachel justru menatap Minjoon. Pria itu bekerja seharian meski terserang flu. Tetapi mengatakan bahwa dia masih ingin melakukan sesuatu meski begitu…itu tidak asing baginya. Dia hampir menyerupai seseorang yang dia kenal.
Minjoon, di sisi lain, tidak bisa menghadapi tatapan itu secara langsung. Dia mundur dari posnya.
“Resepmu tidak akan meninggalkanmu, Minjoon. Orangnya yang akan pergi. Jangan terlalu terburu-buru.”
“…Iya, Bu!”
“Aku juga tertarik. Apa sih yang membuatmu sangat bersemangat seperti ini? Kita bisa membicarakan itu di lain waktu lho. Paham?”
Siapa yang bisa mengatakan tidak? Minjoon pun tidak bisa, setidaknya. Dia terlalu menyayangi gurunya untuk berkata tidak. Dia tidak ingin menyakiti hatinya.
Plus, sama seperti yang dia katakan, meskipun dia membuat hidangan itu sekarang, itu tidak akan sempurna. Lagipula, resep itu belum sepenuhnya jadi di kepalanya. Tidak, apa yang membuat dia bersemangat adalah hal yang lain.
[Skor ekspektasi dari resep itu adalah 8 poin.]
Dia bahkan belum membuat penyesuaian apapun, tetapi sudah bernilai 8.
‘Jika aku bekerja sedikit lagi, mungkin aku bisa mendapat skor 9.’
Itu bukan pertama kalinya dia membuat hidangan bernilai 9 poin. Pernah sekali saat dia kembali ke Jepang. Tetapi fakta bahwa dia bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya di depan Kaya dan keluarganya…membuatnya bersemangat.
Minjoon sedang memikirkan tentang membuat hidangan penutup. Sebuah hidangan yang akan muncul setelah ketegangan antara keluarganya sedikit hilang…sebuah makanan yang akan melipur perasaan mereka yang terluka.
Bahan utamanya adalah delima. Sama seperti apel karamel yang pernah Ella bicarakan, hidangan dalam benak Minjoon juga akan semacam permen buah di stik.
Itu akan tampak seperti delima biasa. tetapi sebenarnya, kulitnya akan terbuat dari tofee yang mana terbuat dari gula, mentega, air, dan sari delima, dan yang menjadi daging buahnya adalah eskrim bubuk delima.
Saat pelanggan memecahkan buah itu, Minjoon akan menuangkan selai pomegranat hangat di atasnya. Bahkan saat dalam perjalanan pulang, Minjoon terus memikirkan hidangannya. Fakta bahwa dia bisa melihat skor ekspektasi berdasarkan bahan apa yang dia gunakan, itu sangat membantu.
‘Mungkin sistem skor awalnya dimaksudkan untuk digunakan di saat seperti ini?’
Gagasan terlintas di benaknya sejenak, tetapi resep itu dengan cepat mengambil alih kepalanya sekali lagi. Puluhan dari ribuan kombinasi yang berbeda melintasi kepalanya dalam perjalanannya, dan ketika dia sampai di depan pintu, dia berhenti. Anderson melihat ke belakang, ke arah Minjoon, dengan wajah bingung. Minjoon membeku di tempatnya. Dia tidak bisa bergerak.
[Skor ekspektasi dari resep itu adalah 9 poin.]
<Kisah semua orang (5)> Selesai.