Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 218 < Cara menggambar mata naga (3) >
Bibir Minjoon naik untuk tersenyum dan dia mulai melirik dapur dengan panik. Melihat ibu jarinya berputar-putar di lututnya membuatnya hampir terasa sakit, jelas dia ingin memasak. Chloe tersenyum kecut.
“Pergilah.”
“Hmm?”
“Kau ingin memasak, bukan? Kau tampak seperti kau akan sakit jika kau tidak pergi sekarang. Pergi memasaklah.”
“..Apa sejelas itu?”
“Kau sungguh buruk dalam menyembunyikan sesuatu, kau tahu?”
Meskipun itu agak menjengkelkan bahwa dia bahkan tidak bisa mengatakan kebohongan untuk kebaikan. Saat Chloe menelan kata-katanya, Minjoon berdiri. Dia menatap Chloe dengan penuh maaf.
“Maaf sekali soal ini. Aku ingin ngobrol lagi, tetapi aku harus melakukan ini. Sebaiknya kita mengobrol lagi nanti. Aku akan membuat sesuatu yang sedikit lebih sempurna. Apa kau punya waktu?”
“Tidak seperti aku luang seharian tetapi …aku tidak bisa menghentikanmu ketika kau sangat terinspirasi. Pergilah, aku akan menunggu.”
Martin tersenyum. Menunggu tidak sebegitu sulit, khususnya saat Chloe sedang menunggu Minjoon dari semua orang. Minjoon telah memberinya banyak hal selama mengenalnya. Tentunya, Chloe sendiri telah banyak memberi sesuatu pada Minjoon, tetapi memperhitungkan semua itu tidak ada artinya.
“Kukira satu hal belum berubah sejak pertama kali aku bertemu denganmu, Minjoon. Cintamu pada memasak.”
Anderson mengangkat bahu. Dia ingin mengatakan bahwa Martin akan berubah pikiran saat melihat Minjoon dengan Kaya di rumah, tetapi dia tidak ingin mengatakan itu di depan Chloe. Chloe tersenyum dengan lembut.
“Kau tahu, menurutku orang-orang terlihat paling baik saat mereka melakukan sesuatu yang mereka cintai. Apa kau setuju?”
“Astaga, Chloe, kau sungguh tenggelam dalam hawa Hollywood. Kau mengatakan hal-hal seperti itu sekarang.”
“Berhentilah menggodaku. Aku hanya mencoba terlihat keren.”
“Jangan diambil hati.”
Martin menyeringai. Anderson melihat Chloe sejenak.
“Bagaimana kehidupan di TV, menurutmu?”
“Apa maksudmu?”
“Kau membicarakan itu saat kita bertemu di restoran Grand Chef waktu itu.”
“Oh, itu…”
Chloe tersenyum dengan canggung. Dia menepuk hidangan penutup di depannya, sedikit kehilangan pikirannya sendiri. Kepalanya menunduk sedikit, membuat rambutnya sedikit bergoyang. Matanya tertuju pada sudut meja.
“Aku berhasil mengikisnya bersamaan, dengan satu atau lain cara. Kaya benar waktu itu. Ada orang-orang yang menyukaiku dan menyayangiku. Plus, aku tidak membenci pekerjaanku. Sebenarnya aku seperti itu. Aku tidak berpikir itu benar bahwa aku menyerah pada pekerjaanku saat ini hanya untuk memasak.”
“…Ini pertama kalinya aku mendengar sesuatu seperti ini. Kau pasti sudah banyak memikirkan itu.”
Martin berbicara dengan serius. Chloe hampir merasa bahwa ini hanya membuatnya semakin canggung. Dia berusaha tersenyum dengan santai.
“Semua orang punya masalah mereka sendiri. Hanya saja bagi orang itu sendiri, masalahnya terasa hampir mematikan bagi mereka. Aku baru saja mengalaminya sendiri. Jangan khawatir soal itu.”
“Padahal kau baru saja mengatakan iti. Itu terasa hampir mati bagi orang itu sendiri. Itulah yang disebut ada alasan dibalik suatu masalah, kau tahu.”
“Aku sungguh tidak punya apapun untuk dikatakan saat kau mengatakan itu padaku. Tapi tidak masalah. Aku mendapat sebuah jawaban dengan satu dan lain cara, dan aku telah tumbuh lebih percaya diri sebagai hasilnya. Aku punya banyak sekali teman hebat di dekatku yang telah sukses, jadi tidak ada alasan bagiku untuk bersikap rendah diri.”
“Aku bersyukur bahwa kau mennceritakannya pada kita tetapi di antara kita semua, kaulah yang paling sukses, kau tahu?”
Jumlah penggemar Chloe sebenarnya tumbuh menyamai Kaya sekarang. Melihat bagaimana jumlah penggemarnya di akhir kompetisi yang mana agak disayangkan dibanding Kaya, pertumbuhannya sangat bagus.
Yaa, sangat bagus itu kata yang merendahkan. Banyak orang di internet sebenarnya mulai menyebut Chloe pemenang kompetisi yang tersembunyi.
‘Meskipun tidak sukses sebagai chef.’
Gagasan ini sendiri telah banyak mengganggu Chloe di masa lalu, tetapi dia tidak mau memikirkan itu sekarang. Lagipula, seperti yang Kaya bilang, beberapa chef ada di dapur, dan yang lain ada di Televisi.
Kaya, sahabatnya, adalah orang yang mengatakan itu padanya. Selama teman-temannya, Kaya, Anderson, dan Minjoon mengakui dirinya…Chloe merasa dia bisa bangga dengan pekerjaannya.
“Omong-omong, tidak ada masalah sekarang, jadi semuanya baik-baik saja. Terima kasih telah mengkhawatirkan aku, Anderson.”
Anderson tidak bisa berbicara. Dia merasa bibirnya naik untuk tersenyum, jadi dia justru memalingkan muka lalu terbatuk. Kemudian, Chloe menyadari seseorang di dapur memperhatikannya. Apa dia Janet?
Ketika mata keduanya bertemu, Janet segera mengalihkan pandangan. Saat Chloe duduk di sana berusaha untuk mengingat, Janet memutuskan untuk mulai mengobrol dengan Minjoon.
“Hei.”
“Apa?”
“Apakah Anderson tersenyum ketika dia bersama dengan kalian?”
“Dia kan bukan robot, kau tahu? Pria itu bisa tersenyum. Kenapa kau bertanya?”
“Well, menurutku aku melihat dia baru saja tersenyum, itu saja. Kupikir senyumnya tulus.”
“Kalau begitu, biarkan aku bertanya. Apa kau tersenyum? sebenarnya aku tidak pernah melihatmu tersenyum.”
“Seperti yang kau bilang, aku pun bukan robot.”
Janet memukulnya balik dengan kata bernada membosankan. Karena mereka berdua mengobrol tidak begitu keras, kapan pun mereka mengobrol, adegannya hampir terlihat seperti sebuah film kriminal serius. Minjoon menembakkan pertanyaan pada Janet.
“Kalau begitu kenapa kau tidak tersenyum?”
“Tidak ada waktu. Dapur adalah medan pertempuran. Aku akan terbunuh jika aku kalah. Aku…tidak mau mati.”
Minjoon tidak tahu harus mengatakan apa. Lagipula, dia tidak tahu masa lalunya. Hasilnya, dia hanya bisa membicarakan soal dirinya.
“Aku bahagia di sini. Aku tidak bisa mengatakan aku santai di area ini, tetapi aku bisa menemukan cinta bahkan di saat-saat genting di dalam dapur.
Minjoon sangat suka berdiri di dapur. Bahkan dia bersyukur dengan rasa sakit pada bahu dan pinggangnya. Ada masa di saat dia hanya mencuci piring di dapur. Ada masa di saat dia duduk di ruang kelas, memberitahu anak-anak untuk bermimpi di saat dia sendiri tidak bisa meraih impiannya sendiri.
“Sekarang, itu berbeda.”
Minjoon tersenyum. Dia punya pisau di tangannya, dan sebuah pena di tangan yang lain. Panas dapur menyelimutinya dan dia mengenakan pakaian chef. Ini mungkin fakta kehidupan sehari-hari bagi sebagian orang, tetapi Minjoon bersyukur bahwa dia bisa menjalani kehidupan yang dia lakukan lebih dari chef lainnya.
Dan hal ini terlihat dengan sangat jelas dalam pekerjaannya. Tidak masalah betapa susahnya itu, Minjoon bahagia bekerja sebagai chef. Hal itu mungkin dasar dari dasarnya seorang chef, tetapi Janet bisa mengatakan bahwa Minjoon hidup dengan sangat bahagia dalam hidupnya.
“Iya. Aku iri padamu kadang-kadang karena itu. Kejujuran itu, etos kerja itu, dan…”
Bakat itu. Hal terakhir itu tersangkut di kerongkongannya. Mengakui bakat seseorang adalah hal yang sulit. Khususnya mengakui hal itu dari partner kerjanya. Janet mengambil piringnya.
“Aku membuang-buang waktumu, bukan? Kembalilah bekerja. Aku akan pergi memeriksakan ini pada Rachel secepatnya.”
“Aku yakin ini akan lolos. Semoga berhasil.”
“….Bagaimana kau tahu? Kau bahkan belum mencicipinya. Apa kau mencicipinya dengan matamu untuk memeriksanya?”
Janet tertawa lalu berbalik. Minjoon melihatnya berjalan menjauh lalu berbalik lagi ke posnya. Maya berada di pojok membuat selai delima.
Ada empat solusi untuk masalah yang telah diketemukan Chloe. Yang pertama adalah hanya dengan mengurangi jumlah makanan di piring. Membuatnya hanya dua kali suap akan jadi sempurna. Tetapi solusi ini terlalu sederhana. Hampir satu dimensi.
Solusi yang kedua adalah dengan menambahkan hal lain ke dalam hidangan. Tetapi itu juga bukan solusi yang sangat bagus. Menambahkan seluruh biji delima berarti akan membuat para tamu meludahkan biji saat mereka menyantapnya, yang mana itu tidak bagus untuk makanan kelas atas. Tetapi mengeluarkan bijinya hanya akan berakhir membuat sesuatu yang mirip seperti selai.
Ketiga…Dia harus menyerah untuk membuat sesuatu hanya dengan delima. Lagipula, satu rasa mungkin hanya akan membuat hidangan membosankan. Dia bisa menambahkan sesuatu seperti tepung almond atau kacang merah, tetapi…itu tidak terasa sangat enak dipasangkan dengan selai. Sistem hampir menurunkan keseluruhan skor hidangan.
Terakhir, opsi yang keempat. Yaitu, menyajikan sesuatu yang baru ke meja, sembari tetap mempertahankan satu rasa dalam hidangan itu. Minjoon hanya bisa memikirkan satu cara menambahkan elemen ini pada hidangan.
‘…Orang-orang mungkin sungguh berpikir aku kecanduan jeli pada titik ini.’
Jeli delima. Dia sedang memikirkan membuat sebuah jeli agar-agar setelah mengeluarkan rasa manis dari sedikit sarinya. Dengan agar, dia bisa menciptakan sesuatu yang mempunyai tekstur seperti buah delima.
Jeli bukanlah satu-satunya yang berbeda. Selai yang dibuat Maya juga berbeda.
‘Membuat selai ala Inggris alih-alih ala Amerika juga akan lebih baik.’
Perbedaan keduanya adalah bahwa selai ala Amerika berfokus pada rasa manis, sedangkan selai ala Inggris berfokus pada cita rasa buah. Rasa manis akan tetap ada, syukurlah ada es krim, toffee, dan permen. Sedangkkan rasa manis akan hilang karena selai, faktor wow akan meningkat pesat dengan adanya citarasa buah.
Normal membiarkan selai didiamkan setidaknya selama satu hari, tetapi bukan ide yang buruk untuk menyajikannya segera setelah dimasak. Karena Chloe dan Martin tidak akan kembali esok hari, dia bahkan tidak akan punya waktu untuk mendiamkan selai. Minjoon berbicara pada Maya dengan nada meminta maaf.
“Maaf soal ini, Maya. Kau bahkan tidak bisa beristirahat karena aku.”
“Tidak, tidak. Inilah caraku belajar. Aku senang bisa belajar darimu.”
“Iya, kau sungguh bahagia kau kalah dalam suitmu sekarang, hah?”
“…Memangnya tidak boleh?”
“Baiklah, baiklah.”
Minjoon mengangkat tangan menyerah. Dia memperhatikan sari buah yang bercampur dengan agar-agar mengeras sedikit lalu langsung meletakkannya dalam lemari pendingin. Saat dia membuat toffee pomegranat lagi, Maya berkata sembari dia memasukkan selai yang telah selesai ke dalam wadah.
“Kau pun sungguh sesuatu. Bagaimana mungkin kau meninggalkan seorang tamu demi sebuah hidangan?”
“Bagaimana mungkin tidak? Jantungku berdebar terus karena menantikannya.”
“…Ya tuhan, jahatnya.”
Minjoon tersenyum dalam diam. Dia mengambil dua potong toffee, memotong jeli, lalu menyendok es krim. Saatnya penyajian. Minjoon segera berjalan menuju meja Chloe.
“Ini akan berbeda kali ini. Kau mungkin akan lelah menyantap hidangan yang sama dua kali tetap cicipilah ini.”
“Baiklah, apa itu?”
“Ah, ini untuk Rachel. Bisakah kau menunggu tiga menit?”
“Aku tidak punya daya untuk menghentikanmu. Pergilah.”
“Terima kasih, Martin.”
Minjoon bergerak menuju kantor dengan seringai. Rachel melihat Minjoon dengan ekspresi agak terkejut, tetapi kemudian segera berubah menjadi senyum hangat.
“Jadi kau telah menemukan jawabannya?”
“Iya. Kukira sudah.”
Sistem masih memberi hidangan itu skor 9 poin. Tetapi sebuah hidangan tidak bisa dinilai murni hanya dengan skornya. Tidak semua hidangan dengan skor 9 poin sama. Dia percaya diri bahwa hidangan ini lebih baik dari yang telah dia tunjukkan ke Rachel sebelumnya.
“Selai dan jelinya belum didiamkan. Apa itu tidak masalah?”
“Kau muncul dengan sebuah resep di sini, bukan berusaha menyajikannya padaku. Tidak masalah. Jangan khawatir. Aku masih bisa melihat seberapa enak hidangan ini jadinya nanti.”
Minjoon tersenyum, lalu mengetuk toffee delima. Cangkangnya pecah dan menunjukkan isi bagian dalam. Rachel berseru terkejut. Dia bisa mengatakan bahwa hidangan ini dibuat dengan hati. Setelah semuanya, masing-masing jeli di dalamnya tampak seperti delima. Hidangan ini sungguh tampak seperti delima sekarang.
Saat Minjoon menuangkan selai panas ke dalamnya, eskrim bubuk melelah bercampur dan menyatu dengan toffee dan jeli. Rachel mengambil sendok, lalu mengambil sesuap hidangan. Dia memejamkan mata untuk menikmati cita rasa sepenuhnya.
Ini jelas berbeda dari sebelumnya. Selainya mengeluarkan citarasa hidangan dengan sempurna, lalu es krim juga selaras dengan cita rasa selai. Saat Rachel mengunyahnya, dia bisa mengatakan bahwa bintang utama pertunjukan kali ini bukanlah es krim atau selai, melainkan jeli.
Sangat bagus menantikan mengunyah yang berikutnya setiap kali rasa jeli keluar. Ini jelas justru membuat hidangan sangat menarik.
Rachel melihat Jo Minjoon dengan senyum bangga.
“Jadi kau menyadari bagaimana hidangan yang dibutuhkan restoran ini.”
“Iya. Aku tidak akan bisa mengatakan ini sendiri. Menurutku, seperti yang kau bilang…seorang chef hanya bisa berkembang dengan membiarkan orang lain mencicipi hidangannya.”
“Ini hidangan yang manis. Barangkali ini hanya mungkin karena kau yang membuatnya. Minjoon, apa kau bahagia?”
“Iya, sungguh. Aku bahagia bahwa aku punya orang seperti Guru yang mengajariku dan ada pelanggan yang menikmati hidanganku.”
Minjoon tersenyum seperti anak-anak. Senyum yang polos dan penuh dengan hasrat. Rachel mengangguk.
“Benar. Seperti yang kukatakan sepanjang waktu, sebuah hidangan seorang chef membawa perasaan chef di dalamnya juga. Hidangan hanya bisa membuat orang bahagia.”
“Kalau begitu…”
Minjoon melihatnya Rachel dengan suka cita. Mau tak mau Rachel tertawa melihat matanya.
“Benar. Semestinya kita akan membutuhkan banyak delima saat Natal.”
<Cara menggambar mata naga (3)> Selesai.
belom lanjut lagi ne novel ??
Komen dlu, nyoba baca
Seru banget, cuma grand chef nya lama bet wkwk
Di tunggu chap selanjutnya
MANA NIH LAJUTANNYA???
Baguss bgtt. Jadi inget shokugeki no soma wkwk ?
Min add yg raw mtl dari website candemo
Next~ ty for the update~
semangat tlnya min
Up min?
Chapter 74 isinya sama kaya chapter 73
ty infonya dah udah di perbaiki gan
166 = 165
sudah di perbaiki ty infonya