Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 220 <Guru terbaik adalah rekan kerja (2)>
Hanya beberapa detik setelah Minjoon mengatakan pada Janet dan Javier tentang etos kerja, Anderson, pula. Minjoon melihat Anderson dengan wajah jengkel, tetapi Anderson tampak tidak terpengaruh.
“Kau tidak mau membantuku?”
“…Tunggu. Aku perlu berbicara dengan Janet dan Javier.”
“Kalau begitu, akan kudengarkan juga.”
Anderson berjalan melewati pasangan di depan Minjoon dengan santai, lalu menyilangkan lengannya. Janet tampak menahan tawa mengejek saat dia melihat Minjoon. Minjoon melihat ketiganya dengan wajah lelah.
Katakan padaku apa yang salah dengan hidanganmu. Kau tidak bisa beranggapan ini gagal karena kau tidak menggunakan gastronomi molekuler.”
“Tentu saja tidak. Banyak dari hidangan kita tidak menggunakan teknik dari gastronomi molekuler.”
Javier mengangguk. Janet melanjutkan.
“Hanya ada satu alasan kenapa kami ingin belajar gastronomi molekuler darimu. Rachel tidak akan berpikir banyak apakah iya atau tidak kami menggunakan gastronomi molekuler ataukah metode tradisional. Guru akan mencari kreativitas dan keahlian dari hidangan kami.”
“Jadi apa yang didapat dengan gastronomi molekuler?”
“Kreativitas.”respon Janet ketus. Saat Minjoon menyuruhnya untuk melanjutkan, Janet mengangkat bahu.
“Makanan tradisional berkembang selama beratus-ratus tahun. Pada titik ini, fusion satu-satunya cara untuk menambahkan kreatifitas nyata pada hidangan tradisional. Akan tetapi, seperti yang kau tahu, hidanganku bukan fusion sama sekali. Dengan berusaha menambahkan kreativitas lebih aku akan butuh menggunakan gastronomi molekuler. Kita pun tidak punya banyak waktu.”
“…Itu masuk akal. Tidak banyak waktu untuk menciptakan hidangan fusion yang baru. Javier, kau?”
“Sama seperti Janet. Aku juga merasa bahwa gastronomi molekuler akan sangat berguna untukku juga ke depannya,. Jadi aku memutuskan untuk mencoba belajar itu darimu.”
Mata Minjoon akhirnya berbelok ke Anderson.
“Aku hanya punya satu alasan. Aku butuh busa untuk resep yang sedang kupikirkan untuk membuatnya. Aku tidak mencoba untuk menjadi tanpa tujuan dan tanpa harapan seperti dua orang ini.”
Janet membelalak pada Anderson, yang hanya merespon dengan tersenyum.
“Bagaimana kalian berdua berpikiran menggunakan gastronomi molekuler dalam hidangan kalian, kalau begitu?”
“…Aku punya rencana.”
“Lihat? Kau bahkan tidak bisa jelas.”
“Berhentilah bertengkar, kalian berdua. Kalian hanya membuang-buang waktuku.”
Minjoon merendahkan suaranya dengan penuh ancaman. Janet tampak masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia cukup mengenal Minjoon, lebih baik tidak berkata lebih lanjut. Jika mereka sungguh mulai bertengkar, Minjoon hanya akan menyerah untuk mengajari mereka sepenuhnya.
“Baiklah. Mulai.”
“Guru.”
“…Eh?”
Jo Minjoon menyeringai.
“Panggil aku guru.”
€
Permainan Minjoon menjadi guru tidak hanya berakhir di sana. Banyak chef demi lain terus-menerus bertanya padanya tentang gastronomi molekuler selama waktu istirahat dan waktu lain.
Anderson tidak berbeda. Mungkin dia menyukai aktivitas kerajinan itu, atau mungkin dia menyadari betapa pentingnya hal itu baginya?
“Apa kau tahu ini akan terjadi saat kau memberikan peran ini pada Minjoon?”
Raphael bertanya saat dia melihat ke chef demi dengan tatapan penasaran. Peran Minjoon sebagai guru, sekarang, menjadi perbincangan di seluruh Rose Island.
“Bagaimana mungkin? Itu hanya…Aku tahu chef yang memiliki keterampilan serupa dapat menjadi guru bagi satu sama lain ketika mereka bersama.
“Tapi itu hanya Minjoon yang memakai mantel sebagai guru di sini.”
“Kadang-kadang, murid pun bisa menjadi guru. Kau tahu ini, Raphael.”
Raphael mengangguk paham, kemudian menoleh pada Rachel. Raphael seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Kenapa dengan ekspresimu? Apa kau ingin bertanya sesuatu? Aku tidak pernah melihatmu ragu untuk bertanya sesuatu sebelumnya.”
“Mm… Apa Guru berpikiran sama? Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang ide bahwa murid bisa menjadi guru.”
“Apa, kau ingin untuk mengambilku sebagai murid atau apa?”
“Aku akan merasa terhormat jika itu terjadi. Tapi aku memikirkan orang lain. Seseorang yang membuat chef keluar dari persembunyian selama satu dekade.”
Jelas siapa yang dibicarakan Raphael. Rachel tersenyum masam alih-alih merespon. Raphael lanjut dengan nada hati-hati.
“Apakah itu karena kau tidak benar-benar mengambil Minjoon sebagai murid, tetapi justru kau yang ingin dia jadi gurumu?”
“…Ada satu hal yang kau pelajari saat kau tahu sesuatu. Bahkan ada sebuah batu yang mungkin kau temukan di jalan yang dapat menjadi gurumu. Tidak ada alasan kenapa Minjoon tidak bisa menjadi guruku.”
“Itu agak berbeda, bukan? Kau tidak berusaha untuk mempelajari sesuatu dari Minjoon. Kau berharap lidah Minjoon dapat memberimu sesuatu yang tidak kau miliki.”
“Apa? Kenapa kau bicara begitu buruk?”
“Bukan begitu. Tetapi bagaimana jika lidahnya rusak? Papila di lidahnya tidak akan ada selamanya. Mereka akan melemah seiring berjalannya waktu. Apakah lidahnya akan menjadi sebuah pengecualian?”
“Itu tidak masalah. Mendapatkan rasa ‘dunianya itu’ … tidak akan terlupakan.”
Rachel menatap Jo Minjoon dengan lembut. Raphael masih lanjut untuk mendorongnya.
“Apa perlu bergantung padanya? Kau tidak bergantung padanya selama ini, tetapi kau bisa mengurus sendiri untuk menghidupkan Rose Island kembali. Semua kritikan mengarah padamu. Tidakkah itu cukup?”
“Kami baru saja menjulurkan kepala kami dari lubang persembunyian. Hal-hal mungkin berbeda ketika kita sepenuhnya membesarkan diri kita. Dan apa yang penting bukanlah kritikan. Melainkan percaya diri pada makanan kita. Apa yang kau bilang soal lidah itu benar. Kita tidak bisa mencicipi dengan baik saat kita menua. Jelas ada masa ketika aku gugup saat memasak.”
“…Kau mengatakan, dengan ada Minjoon menyantap makananmu itu menjadi bantuan besar untukmu dengan sendirinya?”
Rachel tersenyum lemah.
“Iya. Itu sebabnya dia sangat bergantung padaku sekarang. …Apa ini terdengar agak sedikit lemah?”
“…Aku paham. Tiap orang harus menghadapi secepatnya. Tetapi ini agak disayangkan. Aku berharap melihatmu sedikit lebih percaya diri. Lagipula, Rachel, kau adalah chef terbaik yang pernah aku temui dengan suka cita.”
Rachel berekspresi canggung.
“Kau adalah salah satu chef sous terbaik yang pernah kupunya juga”
“Tolonglah, kau hanya berusaha untuk sopan.”
“Iya, betul.”
Kemudian, Anderson berjalan menghampiri Rachel dengan semangkok penuh pasta.
“Aku sungguh percaya diri dengan hidangan ini kali ini, Rachel.”
“…Sejujurnya aku berpikir aku bertambah berat badan karenamu pada titik ini. Kau tahu orang lansia harus terus menjaga sedikit berat badannya sekarang.”
“Tidak perlu lagi khawatir akan menjadi gemuk karena aku. Ini seharusnya menjadi yang terakhir.”
“Bagus, bagus. Baiklah, aku akan mencicipinya.”
Rachel berdiri dengan senyum. Hal pertama yang dia periksa adalah bentuk pastanya. Itu tampak seperti mie soba Jepang. Tetapi berbeda. Pasta itu adalah ravioli, pertam-tama. Saus di atasnya tampak seperti semacam putih telur, tetapi itu sebenarnya adalah busa keju parmesan.
“Jadi kau memutuskan untuk menggunakan ravioli kali ini.”
“Iya. Terakhir kali Guru bilang padaku bahwa tidak cocok untuk menyajikan porsi dengan porsi besar…Jadi, aku justru hanya mengubah arah ke hidangan pembuka.”
“Benar. Seharusnya ini akan menaikkan selera makan orang dengan sangat baik. Kau berencana menamai ini apa?”
“Ravioli Karbonara dengan topping busa parmesan, itu yang sedang kupikirkan.”
“Bagaimana rasanya? Apa yang lain menyukainya?”
“Cicipilah, kumohon.”
Anderson berkata dengan percaya diri. Sebenarnya dia sensitif soal penolakan, jadi dia telah mendapat banyak sekali umpan balik dari rekan chef. Hasil kerjanya adalah ravioli ini.
Rachel meletakkan ravioli di sendokknya, lalu melahap semuanya.
Seperti yang diketahui oleh kebanyakan orang yang tertarik pada memasak, karbonara yang sesungguhnya sebenarnya tidak mengandung krim di dalamnya. Itu sesuatu yang terbuat hanya dari kuning telur dan keju.
Ravioli Anderson tidak memiliki saus sungguhan di atasanya, selain dari busa keju. Saus sesungguhnya, faktanya, semua berada di dalam. Kuning telur di dalamnya menyembur keluar segera setelah Rachel mengunyahnya. Kuning telur memiliki rasa yang mirip dengan bacon, dan di atasnya ada sedikit rasa parmesan … Citarasa hidangannya persis seperti hidangan asli, meskipun terlihat sangat berbeda.
“Daging babinya… Kau menggunakan guanciale?”
Guanciale. Itu adalah bacon Italia yang terbuat dari pipi babi. Anderson mengangguk sambil senyum.
“Iya. Aku berusaha mengeluarkan sedikit aspek tradisional.”
“Kerja bagus. Sebenarnya karbonara sangat sulit untuk cocok di restoran kelas atas, tetapi kau mengurusnya dengan sempurna. Bagaimana kau menjaga kuning telurnya sangat creamy dan lembut di dalam? Aku berpikir dimasak seperti kau mengukusnya.”
“Aku menggunakan suntikan.”
“Aah, kekuatan teknologi.”
Rachel mengangguk sambil tersenyum. Anderson melihat Rachel dengan tatapan gugup. Dia telah bekerja sangat keras untk hidangan ini. Bahkan Minjoon harus melakukan hal-hal untuk mencoba membantu Anderson tanpa mencampuri terlalu banyak.
Ide untuk ravioli muncul karena Minjoon mengatakan ‘Aku merasa menyantap spaghetti, hidangan ini menjadi terlalu fokus pada pasta.’ Minjoon mungkin ingin memberitahu Anderson untuk mengerjakan ravioli selanjutnya, tetapi kemungkinan besar dia menahan diri untuk tidak melakukannya. Setelah semuanya, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari membuat suatu hidangan dengan kemampuan sendiri.
Oleh karena itu, dia ingin hidangan ini lolos. Rachel, di sisi lain, mengabaikan Anderson saat dia menikmati citarasa ravioli yang masih tertinggal di mulutnya. Rachel menoleh melihat Raphael.
“Sudah kubilang sebelumnya, bukan? Selalu ada hal baru untuk dipelajari dari semuanya. Lihat. Aku baru saja sangat syok karena ravioli ini. Ini sangat baru, sangat modern, tapi…sangat tradisional. Terima kasih, Anderson. Aku telah belajar banyak.”
“Tidak, aku yang berterima kasih bahwa kau memikirkan itu untuk hidanganku. Tapi…”
Anderson melihat Rachel dengan gugup, yang tersenyum sebagai responnya.
“Apa nama hidangan ini, ulangi? Oh, benar. Ravioli karbonara dengan topping busa parmesan. Aku harus memberi tahu Isaac untuk memasukkannya ke dalam menu.”
“…Yessss!”
Anderson berteriak girang sambil melompatdari tempatnya duduk. Itu jauh dari karakter Anderson biasanya, tetapi itu hanya menunjukkan betapa bahagianya dia. Rachel tersenyum lagi.
“Teruslah bekerja seperti ini mulai sekarang. Kau tidak bisa memasak sendiri. Ini sesuatu yang bisa dilakukan hanya dengan beberapa orang bekerja sama. Kita bukan apa-apa tanpa pelanggan.”
“Iya, aku paham.”
Anderson meninggalkan meja dengan seringai lebar di wajahnya. Kebanyakan chef demi bisa mengatakan apa yang terjadi melalui ekspresi itu sendiri. Janet melihat Anderson dengan ekspresi rumit.
“Kau lolos?”
“Yap.”
Anderson meilhat Minjoon saat mengatakannya, yang mana Minjoon merespon dengan senyum.
“Selamat.”
“…Aku akan menciummu jika aku seorang gadis saat ini. Sama untuk sebaliknya juga.”
Minjoon tampak sedikit syok.
“Siapa bilang aku mau dicium?”
<Guru terbaik adalah rekan kerja (2)> Selesai.