Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 222 <Natal penuh kasih (1)>
Seringkali ada dua hal yang dipikirkan orang-orang tentang perayaan natal keluarga miskin. Pertama, gagasan tentang mereka yang akan memiliki natal yang lebih bahagia dari pada keluarga kaya. Kedua, gagasan tentang mereka akan iri pada keluarga kaya sementara mereka sendiri bahkan tak punya pohon natal.
Keduanya sama sekali bukan stigma yang sangat bagus. Setidaknya, Kaya tidak. Natal yang mereka habiskan dalam hidupnya tidak bersemangat ataupun tragis.
Normal saja. Tentu pohonnya palsu. Ayam kalkunnya kering. Bahkan buah-buahan tidak begitu manis. Namun, bukan berarti Kaya tidak bahagia. Keluarganya menikmati gaya hidup mereka yang sederhana.
Dengan gagasan itu dalam benaknya, natal kali ini adalah yang paling sulit yang pernah Kaya rencanakan. Kali ini mungkin menjadi Natal terburuk dalam hidupnya atau mungkin menjadi yang terbaik. Untuk pertama kalinya, keluarganya berkumpul. Mungkin itu terdengar bagus di atas kertas, tetapi semua itu sungguh membuat Kaya merasa takut.
Hal itu tak terhindarkan. Semakin dia bahagia, semakin dirinya takut menghadapi pertemuan itu. Kaya Lotus adalah tipe orang yang menolak orang lain jika dirinya dalam keadaan takut akan mengacaukan hubungan yang ada. Pemikiran pecundang semacam itu tertanam kuat dalam benaknya.
Apakah karena hal itu? Pukul lima pagi, ketika jendela masih buram karena kabut pagi, Kaya terbangun. Pandangannya yang kabur menjadi jelas dan dia menyadari Minjoon sedang menatapnya dengan cemas.
“Apa kau baik-baik saja? Aku membangunkanmu karena kau terus mengerang dalam tidurmu. Sepertinya kau sedang bermimpi buruk.”
“…Entahlah. Sepertinya begitu. Aku merasa sungguh buruk.”
Kaya perlahan bangun dari tempat tidur. Kausnya basah oleh keringat. Dengan hati-hati, Kaya menoleh untuk melihat Jo Minjoon.
“Aku bau keringat, yaa?”
“Memangnya kenapa? Kau bermimpi buruk.”
“Haruskah aku mandi?”
“Cobalah untuk tenang dulu. Kau masih tampak sangat terganggu. Kau tampak seakan kau akan pingsan di kamar mandi.”kata Jo Minjoon sembari keluar kamar.
Kaya melihat sinar lampu dapur masuk melalu pintu saat dia memikirkan sesuatu. Apa yang sebaiknya dia katakan ketika dia bertemu keluarganya? Siapa yang sebaiknya memimpin percakapan? Bagaimana jika…mereka bertengkar? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di benaknya, membuat hela napasnya tidak nyaman. Minjoon masuk ke kamar di saat dia menghela napas untuk ketiga kalinya.
“Ini. Teguklah air ini.”
“Terima kasih.”
Kaya mendekatkan gelas ke mulutnya dengan senyum tipis. Minjoon mengambil handuk basah dan mengusap wajah dan leher Kaya. Kaya merasa dirinya menyeringai tipis saat minum.
“Kenapa kau memperlakukanku seperti seorang pasien? Aku tidak sakit.”
“Sepertinya ini jadi kebiasaan. Aku sudah merawatmu sejak lama, kukira.”
“…Maaf. Aku tidak akan sakit lagi. Jadi kau juga jangan sakit, oke?”
“Kami punya ungkapan dalam bahasa Korea. Hidup, kita bersama. Mati pun, kita bersama.”
“Mati bersama pantatku. Mati saja sendiri. Aku mau berumur panjang.”
Minjoon tersenyum.
“Jika aku mati… Bukan, jika. Ini hanya seandainya. Berhentilah berekspresi seperti itu. Apa yang akan kau lakukan jika aku mati?”
“Bagaimana menurutmu? Aku hanya akan memikirkan tentang dirimu. Aku tidak bisa membunuh diriku sendiri karenamu.”
“Aku tidak menanyakan itu. Apa kau tidak berencana bertemu dengan pria lain?”
“Bagaimana denganmu?”
Mata Kaya menyipit seperti kucing. Minjoon berhenti di tengah menyeka lengan Kaya dan mulai berpikir. Butuh sesaat, tetapi jawabannya singkat.
“Aku tidak bisa.”
“Tidak mau?”
“Iya. Aku merasa seolah jika kau mencintai seseorang, cinta itu tidak akan musnah hanya karena orang itu mati. Iya, kau akan merasa kesepian, tetapi…”
Minjoon menggaruk-garuk hidungnya sedikit. Dia merasa wajahnya memanas. Setelah beberapa saat dihabiskan untuk merenung, akhirnya dia berbicara lagi.
“…Bahkan aku mungkin akan menikmati kesepian itu.”
“…Idiot.”
Kaya mengumpat hampir spontan. Kata-kata pria itu membuatnya meringis jijik. Kemudian, Kaya memeluk Minjoon. Minjoon bisa merasakan keringat di dada Kaya menyentuhnya tetapi dia sungguh tidak keberatan. Kaya melanjutkan. Kata-katanya meneteskan kesedihan.
“Ibuku tidak seperti itu. Dia tidak bisa menerima kesedihan.”
“Itu beda cerita. Ayahmu…”
“Iya. Dia kabur. Kabur dari hutang. Itulah mengapa aku memahami ibuku. Dan aku juga memahami…ayahku.”
“Lalu, apa masalahnya?”
“Apa masih ada cinta di antara mereka? Tidak, ayahku mungkin masih memikirkan ibuku, kadang-kadang. Kudengar ayahku tidak pernah berhubungan dengan orang lain. Tapi ibuku…Apa masih menyukai ayahku?”
“Siapa yang tahu? Kau harus memikirkan tentang memaafkan sebelum kau memikirkan tentang cinta pada kasus ini. Mereka bahkan tidak menikah lagi atau pun mencintai lagi. Mungkinkah…kau ingin mereka bersatu kembali?”
Kaya membuka mulutnya, tetapi tertutup lagi tanpa mengatakan apa-apa. Jo Minjoon paham. Semua anak mendambakan orang tua. Mereka ingin orang tuanya bersatu. Mereka menginginkan orang tua yang saling mencintai.
Kaya merasa seolah dirinya menjadi serakah, tetapi dia tidak bisa mengatakan ini. Dia menderita begitu lama. Menjauhkan sedikit keserakahannya akan terlalu menyakitkan baginya.
“Aku…berharap ayahku bukan orang yang buruk. Sungguh. Aku benar-benar berharap. Aku ingin menggenggam tangan ibuku di tangan kananku, dan tangan ayahku di tangan kiriku. Aku ingin berjalan seperti itu. Apakah itu…terlalu kekanak-kanakan?”
Minjoon dengan hati-hati melepas Kaya lalu memegang tangannya. Minjoon bisa merasakan luka kecil dan kapalan di tangan Kaya. Beberapa orang akan berpikir tangannya kuat dan penuh tenaga, tetapi Minjoon membelai tangan itu seolah itu tangan bayi.
“Kaya, kita ini orang dewasa. Aku akan memegang tanganmu. Sedangkan tangan mereka…serahkan saja pada mereka.”
Kaya tidak merespon, tetapi cengkeraman pada tangan Minjoon semakin erat. Minjoon penasaran apa yang Kaya rasakan ketika Kaya melepaskannya? Apakah itu pasrah, ataukah mengerti?
€
Ini adalah malam Natal dan Rose Island memutuskan untuk tidak menerima tamu pada saat makan siang. Malah, mereka mengambil waktu untuk berkumpul bersama dengan semua staf dan mengadakan pesta kecil. Mereka juga bertukar hadiah sederhana.
Minjoon menyiapkan sepasang sarung tangan dan dia menerima sebuah syal sebagai gantinya. Syal itu tidak terlalu tebal karena di California tidak terlalu dingin, dan Minjoon menyukainya. Tetapi hadiah yang sesungguhnya datang setelah itu. Rachel memegang sebuah kotak kecil untuk semua chef lalu tersenyum.
“Aku punya sebuah hadiah untuk kalian semua, aku merasa aku telah banyak mengeksploitasi kalian untuk bekerja. Aku seharusnya memberikan ini pada kalian pada saat Natal, tetapi sesungguhnya menurutku, kita tidak akan punya waktu besok.
“Terima kasih!”
Minjoon membuka hadiah dengan suka cita. Dia semacam punya firasat hadiah apa yang akan diterimanya, dan dugaannya benar.
Itu adalah sebuah pisau. Pegangannya terbuat dari kayu dan bilah pisaunya terbuat dari baja yang berwarna sama pucat dengan tulang. Di kedua sisinya ada ukiran mawar kecil dan pada tangkai bunga ada nama Minjoon. Minjoon melihat pisau dengan tatapan takjub. Rachel tersenyum.
“Aku memesannya pada pembuat pisau langgananku. Sayangnya, hanya chef demi dan atasannya yang mendapatkan pisau itu. Akan tetapi pisau lain yang aku berikan pada kalian pun tidak buruk. Jika kalian ingin pisau mawar…kalian harus cepat-cepat mendapat promosi. Paham?”
“Paham!”
Maya berteriak dengan suka cita. Dia tampak bahagia terlepas dari pisau apa yang akhirnya dia dapat. Minjoon tertawa sedikit sebelum menoleh untuk melihat lagi pisaunya. Ini terasa familier baginya.
Setelah bertukar hadiah, tibalah saatnya untuk mendekorasi pohon. Minjoon merasakan kedamaian saat dia mengangkat Ella ke puncak pohon. Dia bersama dengan orang-orang yang dia sayangi di tempat yang dia impikan. Jo Minjoon melihat Ella dan tersenyum.
“Ella, apa kau bersenang-senang?”
“Iya. Mmm, paman… Kau mau memakai ini juga?”
Ella menawarkan kaus kaki kepada Minjoon, hampir seolah dia memberikannya dengan kebaikan yang tak tertandingi. Minjoon tersenyum saat dia mengambil kaus kaki di tangannya.
“Terima kasih, Ella. Kau baik sekali.”
“Hehe. Mom bilang Santa meletakkan hadiah di dalam kaus kaki jika kau menggantungnya.”
“Apa kau ingin kebahagiaan ibumu ada dalam kaus kaki?”
“Mm…”
Ella meraba-raba sedikit jawaban dengan wajah terkejut Dia tampak bingung. Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya lagi.
“Aku mau kebahagiaan ibuku ada di suatu tempat selain di kaus kaki, dan di dalam kaus kaki ini aku mau permen, coklat, jeli, dan …sebuah boneka.”
“Santa akan memberikan semua itu padamu. Jangan khawatir.”
“Mm. Aku tidak sabar.”
Ella tersenyum gembira. Minjoon menepuk kepala gadis itu dan melihat ke sekeliling. Matanya berhenti pada Javier. Pria itu berakhir gagal memasukkan sebuah hidangan ke dalam menu musim ini.
Akan sedikit lebih baik jika beberapa yang lain juga gagal, tetapi Javier adalah satu-satunya dari chef demi yang gagal. Minjoon tidak bisa membayangkan betapa besar rasa kecewa yang dirasakan pria itu saat ini.
Minjoon berjalan menghampiri Javier setelah ragu-ragu, di saat dia mulai menyiapkan makan malam. Dia tidak ingin membicarakan tentang hidangan dengannya tetapi pria itu tampak sangat sedih.
Hampir seolah pria itu akan membuat kesalahan saat memasak dengan dirinya sangat sedih seperti itu.
“Javier.”
“Mm? Ah, Minjoon.”
Javier tersenyum. Tetapi matanya tidak tersenyum sama sekali. Minjoon meraih bahu Javier dengan kuat.
“Pelari tidak menang karena mereka cepat. Jangan terlalu khawatir. Aku percaya padamu. Kau itu chef yang bagus.”
“…Apa kau berusaha membuatku merasa lebih baik?”
“Maaf, kalau kau merasa aku mencampuri urusanmu.”
“…Tidak, terima kasih. Aku perlu mendengar itu.”
“Sebagian besar orang membutuhkannya. Jadi tolong semangati aku jika aku sedih. Oke? Lagipula, kita adalah teman.”
Mata Javier agak bergetar. Dia berbicara dengan nada jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Iya, kita teman.”
“Jadi bisakah kau menyemangatiku sekarang? Mungkin akan sangat sulit bagiku kalau besok.”
“Ah, ibu dan ayah mertuamu?”
“…Aku bahan belum menikah, kau tahu?”
“Sama saja. Tetapi mereka masalahnya, kan?”
“Ini akan sangat spesial kali ini. Aku membuat makanan untuk momen paling penting dalam hidup seseorang. Aku sungguh bahagia, tetapi aku juga benar-benar takut.”
Minjoon berkeringat. Jelas betapa dia sangat gugup. Javier tersenyum.
“Dapur adalah tempat yang sulit untuk berdiri bagi siapa pun, hah.”
“Rachel bilang padaku dia pun masih berpikir memasak itu berat. Apalagi bagi kita…”
Itu sungguh berat. Kali ini, momen yang paling spesial bagi seseorang dipertaruhkan. Dia ingin membuat makanan yang akan membuat semua luka dalam keluarganya terhapuskan. Dia ingin memberikan hadiah pada mereka sebuah momen yang berharga. Itulah hal yang bisa dia lakukan.
Memasak. Hadiah satu-satunya yang bisa dia berikan pada mereka adalah makanan.
<Natal penuh kasih (1)> Selesai.