Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 223 <Natal penuh kasih (2)>
Kaya orang yang sensitif secara umum. Hal ini semacam karena dia dibesarkan di lingkungan pasar yang menyedihkan, tetapi itu sendiri bukan alasan kuat.
Karena ini, Kaya sampai pada satu kesimpulan tunggal. Dia terlahir demikian. Dia punya kepribadian ini dari awal. Lalu…Pertannyaan yang berikutnya secara alami adalah: Dari siapa dia mewarisi itu?
Bukan Grace. Grace punya kepribadiannya sendiri, tetapi Grace lebih mirip seperti beruang, sementara Kaya lebih mirip dengan serigala. Kejahatan itu berbeda. Lalu… dari siapa dia mewarisi itu? Hanya ada satu jawaban.
‘…Aku tahu itu.’
Kaya akhirnya menemukan jawabannya saat dia mengamati Bruce membelalak pada semua orang di sekitarnya. Dia menyerupai ayahnya. Semua hal mulai dari cara menatap orang yang lewat dengan mata membelalak dalam gugup, hingga kekakuan demi berusaha untuk menyembunyikan kegugupan.
“Apa kau takut?”
“Tidak, Aku tidak… oh, kau tidak akan mempercayaiku, kan? Apa yang kau inginkan? Apa kau ingin aku tampak lebih percaya diri? Ataukah kau ingin aku jujur?”
“Kau sudah semacam menjawabnya.”
“Itu… benar.”
Bruce mengagguk dengan hela napas kecil. Kaya tersenyum.
“Aku pasti mewarisi kebodohan itu darimu.”
“…Aku ingin mengatakan sesuatu soal itu, tapi akan kutahan sekarang.”
Kaya sudah terluka terlalu dalam untuk mereka berdua bersikap seperti pasangan ayah dan putrinya yang normal lagi. Sementara Kaya memahami Bruce, dia tidak suka bagaimana Bruce terus bersikap seperti pendosa. Dia mengeluh singkat.
“Kau tidak di sana saat kami membutuhkan dirimu. Aku paham kenapa, tetapi menurutku, ini masih salahmu meninggalkan kami. Tapi…”
Kaya berhenti sejenak. Dia berpikir dia akan mampu mengatakan ini dengan percaya diri, jadi, kenapa dia ragu? Dia memalingkan wajah untuk melihat sesuatu yang lain saat dia lanjut dengan suara gemetar.
“Ah, hm. Kurasa aku butuh sedikit air… Omong-omong, berhentilah bersikap seperti pendosa. Aku tidak mengatakan ini untukmu. Hanya saja itu sungguh membuatku tertekan di dekatmu saat kau seperti itu. Tolong. …Ayah.”
Kaya penasaran apakah dia sungguh ingin menambahkan kata terakhir itu pada kalimatnya, tetapi itu berakhir keluar bahkan setelah dia bisa membuat keputusan. Bruce melihat Kaya dengan tatapan berterima kasih dan Kaya berusaha sebaik mungkin untuk mengabaikan tatapan itu.
“Kau memanggilku ayah…”
“Itu keluar begitu saja. Jadi jangan terlalu senang. Aku tidak pernah bilang padamu untuk bahagia.”
“Tentu, tentu.”
Bruce berusaha sebaik mungkin untuk menegang lagi, tetapi tidak mungkin menyembunyikan senyum dari wajahnya. Barulah kemudian Kaya sadar. Bagaimanapun, dia masih menyayangi ayahnya.
Bukan seperti dia tahu Bruce bukan orang yang buruk. Barangkali, kisah yang diceritakan Bruce itu palsu. Namun setelah itu, dia ingin mempercayainya. Dia ingin menyayanginya. Dia ingin disayangi.
Hal ini membuatnya gila memikirkan ini, tetapi itu kenyataannya. Dia tidak pernah melihat ayahnya dalam hidupnya. Dia berpikir dia akan mampu memberinya jari tengah dengan seringai besar di wajahnya. Dia berpikir dia akan mampu mengucapkan :oh, baiklah kalau begitu”, ketika dia mendengar berita kematian ayahnya. Tetapi ini tidak mungkin.
Bukan karena mereka terikat hubungan darah. Bukan karena Kaya lemah. Itu sederhana. Kaya ingin akhir yang bahagia pada hidupnya. Dia ingin hidupnya menjadi seperti sitkom keluarga di TV. Itu saja, sungguh.
“Sungguh kau harus menguatkan dirimu saat bertemu dengan ibu. Dia sangat marah.”
“…Tentu saja.”
“Jangan mengharap pengampunan. Tetapi jangan takut juga. Dia tidak punya pistol.”
“Hah, itu melegakan, kukira.”
Bruce berusaha terlihat biasa saja selama situasi yang terjadi, tetapi Kaya, mau tak mau mengetahui betapa dia gemetar. Kaya merasa sedikit puas saat dia melihat ini. Iya. Inilah yang ingin dia lihat. Ayahnya tidak melakukan apapun yang bagus. Melihatnya percaya diri hanya akan membuatnya marah.
Percakapan berhenti tepat setelah itu. Bruce hanya menatap dengan bodoh pada keramaian yang lalu lalang dengan gugup. Dia mungkin lupa bahkan untuk lanjut mengobrol dengan Kaya. Tetapi ironisnya, Kaya sebenarnya merasa lega melihat Bruce seperti ini. Jika dia sungguh tidak peduli dengannya atau ibunya, dia tidak akan sangat gugup. Melihatnya begitu emosional…semacam kepuasan tersendiri, sungguh.
‘Ini sungguh pemikiran yang kejam, bukan?’
Menyadari ini membuatnya agak kesal, tapi untungnya dia tidak perlu terlalu memikirkan hal itu. Lagipula Grace tidak muncul segera setelah dia memikirkan ini. Bruce dengan gugup berkata saat Grace melangkah maju.
“Grace, lama tak…”
Dia tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Ada tinju yang langsung melayang ke perutnya dan Bruce terjatuh ke lantai sambil terengah-engah. Grace berteriak padanya dengan aksen Inggris yang sangat kuat.
“Kau! Bedebah brengsek!”
Kaya menyeringai.
€
“Chef! Mereka di sini!”
Minjoon berbisik pada Minjoon dalam suka cita. Minjoon menoleh untuk melihat ke aula. Matanya bertemu dengan mata Kaya, dan dia segera kembali ke posnya.
“Itu saja?” tanya Maya dengan suara sedih.
“Maksudku, kau berharap aku melakukan apa? Lompat-lompat bergembira?”
“Tidak, tetapi… Itu sangat hambar. Sebelumnya, kau sangat bersemangat soal ini!”
“Itulah kenapa aku perlu berusaha sebaik mungkin hari ini. Aku tidak bisa mengacaukan hasil kerjaku karena kegembiraanku. Tapi kau tampak lebih gembira dari aku saat ini?”
“Kisah orang lain selalu lebih menyenangkan daripada cerita sendiri, kau tahu.”
“…Betul, itu. Tetap saja, fokuslah. Kita harus memuaskan orang-orang di aula dengan suatu cara atau apa pun. Kau punya sejumlah tanggung jawab tentang itu.”
“Iya, kau tahu. Kau perlu berhenti menggurui soal itu.”
Minjoon cemberut, yang mana membuat Minjoon hanya bisa menghela napas pelan.
“Permen wortel yuzu itu di sana. Apa kau mengeraskan ini dengan benar?”
“Tentu saja. Li…eh?”
“Tidakkah kau tahu lapisannya tidak akan menempel jika kau mengeraskannya secepat itu? Kau harus fokus.”
“…Iya.”
Minjoon melirik ke meja Kaya lagi. Itu adalah momen untuk dirayakan, tetapi Bruce tampak hampir mati di dalam, dan Grace tampak seolah dia sedang marah. Tetapi Minjoon tidak khawatir.
Dia yakin makanan Rose Island akan menenangkan mereka berdua. Dia yakin keluarga itu akan menemukan kedamaian. Lagipula, makanan hampir seperti sihir.
‘Aku akan menjadi seperti Gandalf, hanya untuk hari ini.’
Sihir sangat penting hari ini. Minjoon tidak pernah bersyukur lebih dari hari ini atas fakta bahwa dia bertanggung jawab pada gastronomi molekuler. Gastronomi molekuler selalu entah bagaimana selalu ada dalam tiap hidangan, yang mana itu berarti sentuhan tangan Minjoon ada di mana-mana.
Dia bisa melihat skor yang tak terhitung jumlahnya pada tiap-tiap hidangan, tetapi satu hal yang dia bisa sungguh fokus adalah masakan daging kalkun dalam mesin sous vide, atau jeli kaldu dingin di sebelahnya.
Tetapi apa yang paling dia sukai dalam set menu adalah hidangan penutup. Minjoon menoleh ke Maya.
“Jangan memindahkan barang yang aku siapkan untuk meja Kaya ke tempat lain, oke?”
“Aku tahu, jangan khawatir.”
Minjoon mulai mengunjungi meja-meja dengan hidangan penutup bersama dengan teko selai. Dia mulai bercakap sedikit saat dia menuangkan selai di atas hidangan penutup.
“Bagaimana makanannya?”
“Iya. Ini… Ah? Minjoon! Anda di sini secara langsung?”
“Iya. Saya hendak menyajikan teh spesial. Bisakah Anda memecahkan delimanya untukku?”
“Tetapi ini terlalu indah untuk dipecah…”
Pelanggan dengan enggan memecahkan permen, lalu bubuk delima dan jeli terlihat. Semua pelanggan wanita tertawa riang.
“Ini sangat menggemaskan. Chef Rachel sungguh sangat sesuatu dalam memunculkan hidangan yang cantik dan menggemaskan ini.”
“Sayangnya bagi chef Rachel, akulah yang membuat hidangan ini. Pria pun kadang-kadang perlu punya sedikit sisi feminin saat membuat karya seni.”
“Apa kau baru saja memanggil dirimu sendiri seniman?”
Minjoon tersenyum mendengar gurauan itu lalu menuangkan selai. Pelanggan menjadi bingung sejenak. Mengapa dia menuangkan teh di atas hidangan? Tetapi saat selai menyentuh es krim dan menciptakan asap, pelanggan paham kenapa. Aroma yang dihasilkan sangat manis dan menawan.
“Wow, ini…!”
“Nikmatilah. Lebih baik jika Anda segera menyantapnya.”
Pelanggan dengan cepat menyambar sendok mereka. Permen, es krim, selai, dan jeli, semuanya dimasukkan ke dalam sendok kecil mereka.
Segera setelah itu semua bercampur masuk ke dalam mulut mereka, mereka tidak mampu mengatakan apa pun. Ledakan rasa delima bercampur bersama membuat mereka tak bisa berkata apa-apa. Semua yang bisa mereka lakukan…adalah menikmati cita rasanya dalam kebahagiaan penuh.
‘Ini dibuat oleh Minjoon, bukan Rachel?’
Harga yang ditetapkan Rose Island tidak murah. Itu sangat luar biasa mahal, terutama bagi orang miskin. Oleh karena itu, banyak meja dipenuhi dengan para penikmat dan pengkritik makanan di sini, orang-orang yang tidak akan ragu untuk mengeluarkan uang untuk makanan.
Itulah kenapa mereka menyadari tepatnya betapa canggihnya hidangan ini. Ini sensual, revolusioner, dan penuh pengalaman.
‘Apakah Rachel adalaha seorang guru yang sebagus itu? Ataukah…’
Banyak orang memikirkan ini, tetapi tidak ada yang berani bertanya. Setelah melemparkan bom besar berupa hidangan penutup ke aula, Minjoon akhirnya menuju ke meja yang telah dia tunggu-tunggu untuk menyajikan selai. Kaya melihat Minjoon dengan senyum.
“Kau datang.”
“Selamat atas pertemuan kembali untuk Anda semua. Bagaimana makanannya?”
“Ini enak. Tetapi aku tidak bisa mengatakan aku menikmatinya, karena makan bersama orang ini.” kata Grace sambil melirik Bruce.
Jo Minjoon tersenyum kecut. Dia bisa merasakan hawa meja Kaya bahkan dari dapur. Itu tak terhindarkan, sungguh. Tidak seperti mereka bisa tersenyum satu sama lain setelah semua luka yang mereka alami.
“Aku ingin melakukan sesuatu untuk kalian, tetapi hal yang bisa kulakukan hanyalah memasak. Jadi aku menyiapkan sesuatu untukmu. Aku tidak bisa memberimu jawaban atas masalahmu, tetapi aku selalu bisa membantumu menyelesaikannya.”
Minjoon mengatakan ini saat dia meletakkan hidangan penutup di meja. Itu berbeda dengan yang ada di meja lain. Tofeenya bertuliskan “penderitaan”. Grace bertanya pada Minjoon dengan wajah kesal.
“Apa kau memintaku untuk menelan penderitaan ini?”
“Tidak, pecahkan. Ambil garpu Anda dan pukul itu.”
Grace ragu sebelum mengangkat garpunya. Dia tampak sedikit marah melihat kata itu. Dia memecahkan permen dengan tenaga lebih kuat dari yang Minjoon duga, kemudian tofee berserakan ke seluruh piring. Dan… kata baru muncul dari dalam. Jemma membaca ini dengan melongo.
“Keba… hagiaan…?”
Penderitaan telah berlalu.
Dan seperti semua penderitaan, kebahagiaan akan mengikuti setelahnya.
<Natal penuh kasih (2)> Selesai.