Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 225 <Kadang Teman, Kadang Musuh (1)>
Fajar di bulan Desember sangat dingin, bahkan di California. Anderson melirik sekilas dari kebun ke jendela kamar. Kamar Minjoon dan Kaya sudah gelap. Apakah sebaiknya Anderson menyelinap masuk berusaha untuk tidak mengganggu mereka ataukah dia masuk saja karena tahu kalau mereka tak akan bangun hanya karena sedikit suara.
Anderson masuk ke rumah bahkan sebelum dia memutuskan. Ini adalah hari yang melelahkan. Dia pikir pekerjaan akan lebih mudah jika restoran memutuskan untuk meniadakan makan siang, tetapi sama sekali tidak seperti itu yang terjadi. Ditambah lagi, mereka masih berakhir mengerjakan sesuatu selama jam makan siang. Anderson menyalakan lampu ruang tamu dan bergumam keras-keras.
“Orang-orang ini sangat membosankan, bahkan saat Natal. Bahkan mereka tidak melakukan…”
Anderson berhenti. Dia melihat sesuatu yang aneh dalam cahaya. Anderson berkedip beberapa kali sebelum menggosok-gosok matanya. Apakah dia hanya berhalusinasi? Tidak, sungguh ada sebuah kaus kaki tergantung di pintu mereka. Sebuah kaus kaki merah. Anderson terkikik setelah semenit.
“Norak sekali, kalian berdua.”
Dia tidak mendapat jawaban.
€
Minjoon tidak pernah begitu menginginkan pagi datang sebanyak hari ini. Pada saat yang sama, ini adalah pertama kali dirinya memiliki pagi yang hebat. Tempat tidur Kaya dan dirinya berdempetan, membuatnya tampak seperti tempat tidur ukuran Queen, dan selimut biru dan merah muda mereka sekilas tampak menyatu menjadi satu lembar selimut.
Minjoon membuka selimut yang menyelimuti dadanya. Dia menemukan Kaya mengernyit di balik cahaya yang masuk. Dia menenggelamkan wajahnya ke dada Minjoon. Sedikit gumaman tak jelas keluar dari mulutnya.
“Aghhhhh……..”
“Terlalu terang?”
“…Ahhhaagh.”
“Iya. Entah bagaimana aku paham itu semua.”
Kaya mengangkat wajahnya dan menyeringai. Dia mengerutkan wajahnya sejenak, sebelum berbalik dengan wajah lelah. Minjoon tersenyum.
“Sekarang kau sungguh tidak peduli untuk terlihat cantik di depanku, bukan?”
“…Aku memang tidak pernah peduli.”
“Oh, ucapanmu lebih jelas. Selamat. Sepuluh poin pada Grandfindor.”
Kaya hanya memeluk Minjoon lebih erat alih-alih mengatakan sesuatu. Apa ini yang dirasakan ibu kanguru melihat anaknya? Kaya bergumam pelan di bawah napasnya.
“Aku akan membunuhmu jika kau berselingkuh.”
“…Aku benci betapa jelasnya ucapanmu saat kau mengatakan hal-hal semacam itu.”
Minjoon menghela napas sebelum meraih ponselnya. Kemudian, Kaya menggigit pelan siku Minjoon. Minjoon mengernyit.
“Apa yang kau lakukan?”
“Kau sungguh ingin melihat ponselmu dengan aku di sebelahmu?”
“..Tapi kau juga melakukan itu sepanjang waktu.”
“Tapi tidak di tempat tidur.”
“Itu karena ini adalah pertama-tunggu. Kita sudah berada di tempat tidur yang sama beberapa kali.”
Minjoon mulai menghitung dengan jarinya. Tetapi kali ini, Kaya menggigit jari Minjoon yang sedang menghitung.
“Ang ough ah uhn.”
“…Baiklah, baiklah. Lepaskan saja. Aku tak percaya pacarku berubah jadi anjing semalaman.”
Kaya mengeluarkan tatapan marah.
“Apa kau mengejekku?”
“…Maksudku, bukan itu? Khususnya setelah ini?” ucap Minjoon, menunjukkan jarinya yang basah oleh liur pada Kaya. Kaya merespon dengan wajah bangga.
“Lidahku juga menderita, kau tahu? Kau terlalu asin.”
“Apa? Apa menurutmu seorang chef tidak akan asin sama sekali? Ah, sekarang aku harus beranjak dari tempat tidur cepat-cepat untuk membersihkan diriku. Aku mau mandi..atau kau mau duluan?”
“Tidak apa-apa. Aku harus pakai baju dulu.” ucap Kaya sambil membebatkan selimut ke badannya. Dia tampak benar-benar bangun. Minjoon melihatnya dalam diam, kemudian tiba-tiba menyerang dengan jarinya yang basah ke wajah Kaya. Kaya berteriak terkejut.
“Hei! Apa kau gila?!”
“Ini milikmu, aku hanya mengembalikannya.”
“Aku akan mengelapnya dengan selimutmu!”
“Tentu. Lagipula sudah waktunya dicuci.”
“Kau…!”
Minjoon menuju kamar mandi dengan seringai di wajahnya, meninggalkan wajah Kaya berasap di belakangnya. Segera setelah dia selesai mandi, dia menemukan Kaya berdiri di depan pintu. Dia melihat Minjoon dengan tatapan pembalasan berapi-api di matanya.
“…Tunggu pembalasanku nanti.”
“Kenapa tidak sekarang?”
“Aku tidak bisa. Setelah aku mandi…aku akan menunjukkan neraka padamu.” ucap Kaya sambil melangkah masuk ke kamar mandi.
Minjoon melihat pintu yang tertutup sejenak, mengangkat bahu kemudian menuju ruang tamu. Dia melihat Anderson sedang membaca koran, ada secangkir kopi dan kakinya tersilang. Anderson sedang memasukkan stroberi ke mulutnya saat dia menyadari kehadiran Minjoon. Minjoon tampak terkejut dengan penampilan pagi Anderson.
“Apa kau berusaha terlihat seperti pria British atau bagaimana? Apa-apaan ini?”
“Koran hari ini tidak menarik. Tidak ada yang bisa kuharapkan untuk dilihat.”
“Apa sih yang ingin kau lihat?”
“Syok. Sesuatu seperti …Arti dibalik kaus kaki natal di pintu Minjoon dan Kaya? Itu akan sangat bagus untuk digosipkan. Tidak banyak gosip yang menarik di restoran akhir-akhir ini.”
“Berhentilah menggoda.”
Minjoon melepas kaus kaki dengan pipi memerah. Mereka meletakkannya berharap Anderson akan tahu, tetapi Minjoon tidak menyadari betapa memalukannya hal itu sebenarnya. Minjoon menyadari bahwa kaus kaki itu lebih berat dari sebelumnya. Ada sesuatu di sana.
“Apa kau memasukkan sesuatu ke dalam sini?”
“Maksudku, siapa lagi di rumah ini yang akan melakukannya? Santa?”
Minjoon mengeluarkan kotak kecil dari dalam kaus kaki. Ada huruf China terukir di atasnya. Minjoon menoleh ke Anderson dengan tatapan bingung.
“Apa ini?”
“Itu obat dari orang tuaku. Katanya itu baik untuk teman.”
“Jadi kau memberikannya padaku?”
“Kenapa? Kau tidak suka”
“Jangan pernah katakan itu.”
Minjoon memasukkan hadiah itu ke sakunya dengan senyum. Anderson menyeringai.
“Jadi, bagaimana malammu? Asyik?”
“Sangat.”
“Bagus. Selamat Natal.”
“Selamat Natal.”
Setelah ucapan Selamat Natal yang tak terduga, Minjoon terkikik saat dia melihat ke bawah ke jarinya. Anderson mendecakkan lidahnya beberapa kali.
“Kau segembira itu?”
“Tidak. Hanya… Ini sungguh lucu, percakapan ini.”
“Kalian berdua mengejekku, bukan?”
Geraman berat menyela percakapan mereka. Itu adalah Kaya. Kaya membelalak pada mereka saat dia melingkarkan handuk di kepalanya. Anderson sedikit memucat.
“Sudah kubilang untuk mengeringkan rambutmu di kamar mandi, bukan? Setidaknya keringkan di dalam kamar demi kebahagiaan bersama. Apa kau berusaha membuat kekacauan di ruang tamu?”
“Kacau pantatku. Berhentilah terlalu dramatis. Kenapa kau sangat sensitif pada hal-hal seperti ini?”
“Itu namanya higinitas.”
“Minjoon, apa aku jorok?”
“…Kadang-kadang?”
Minjoon melirik jarinya lalu dengan cepat memalingkan muka dengan rasa bersalah. Kaya melihat Minjoon dengan tatapan terkhianati.
“Kau mengatakan ludahku kotor?”
“Bukan, tetapi bukan seperti aku bisa membasuh tanganku dengan itu juga.”
“Lalu kenapa kau menciumku? Apa kau menyerah dengan ludahku?”
Anderson menyela kemudian.
“Buatlah sarapan saja, sial. Giliranmu membuatnya hari ini, kan?”
“Itu hanya untuk Minjoon. Aku tidak mau membuat sarapan untukmu.”
“Iya, tepatnya itulah yang aku suruh untuk kau lakukan. Berhentilah mengacaukan Natal pagiku.”
“…Menjengkelkan sekali. Aku harap kau meludahi kopimu sendiri. Bodoh.”
Kaya berjalan ke dapur dengan wajah jengkel. Kenapa dirinya yang marah tampak sangat cantik bagi Minjoon? Minjoon sungguh tidak tahu. Saat Kaya sudah pergi ke dapur, Minjoon menoleh ke Anderson dengan tersenyum.
“Kau tidak di sini saat dini hari. Kau di mana?”
“Aku keluar.”
“…Kau tidak berencana menceritakannya, hah? Baiklah, baiklah. Aku akan pergi ke tempat Kaya.”
Minjoon berhenti sejenak setelah maju beberapa langkah.
“Pria atau wanita?”
Anderson membalik halaman berikutnya dari koran.. Penolakan yang gigih. Minjoon menggaruk kepalanya sebelum berjalam ke dapur. Begitu dia menemukan Kaya di sana, Minjoon memberinya pelukan dari belakang. Kaya tersentak karena terkejut.
“Ah, kau mengagetkanku! Kenapa kau di sini?”
“…Kau lebih mengejutkanku. Kenapa kau begitu terkejut? Apa kau melakukan sesuatu yang aneh?”
“Tentu saja tidak. Tidak ada apa-apa. Kau tidak perlu meminta maaf, pergilah.”
“Kau masih marah?”
“Tidak. Pergi saja. Pergilah. Aku akan marah jika kau tidak pergi.”
Kaya melihat Minjoon dengan tatapan sengit. Minjoon hampir tampak terluka.
“Anderson tidak menginginkanku. Ke mana sebaiknya aku pergi jika kau juga tidak menginginkanku?”
“…Kalau begitu duduklah di meja. Aku mau memasak.”
“Baiklah.”
Agak aneh bahwa dia begitu sibuk memasak hari ini, tapi Minjoon tidak keberatan. Dia hanya berpikir Kaya sangat ingin memasak hari ini.
Setelah beberapa saat, Kaya membawa hidangan dari dapur. Itu makanan yang sederhana. Sebuah burrito.
“Ada tiga. Apa kau membuat satu untuk Anderson?”
“Apa? Bukannya aku tidak akan pernah memasak untuknya.”
“Well, aku pikir kau tidak akan membuat sarapan untuknya setelah kau marah padanya.”
“Apa aku tampak sedingin itu menurutmu? Yo, Anderson, ayo sarapan. Aku membuat burito.”
Suara gemerisik kertas terdengar dari ruang tamu, dan Anderson datang tidak lama setelah itu.
“Tapi aku hanya punya buah.”
“Diamlah dan makan. Apa kau tidak menghormati chefnya?”
“…Kenapa kau bersikap sangat baik tiba-tiba?”
Anderson duduk sambil mengernyit. Kemudian, wajah Minjoon yang sedang mengunyah berubah aneh. Keju, daging, dan bawang bombay sangat sedap, tetapi…
“Ah! Huah! Woh! Burito sial apa ini? Apa sih yang kau masukkan ke dalam sampah ini?”
Minjoon meludahkan burito tanpa berkata apa-apa. Matanya berair. Kaya menatapnya dengan seringai.
“Sudah kubilang aku akan menunjukkan neraka padamu.”
‘..Aku sebaiknya melihat ke layar di awal.’
Dia tidak pernah berpikir dengan membuat sebuah kebiasaan tidak bergantung pada sistem akan menyebabkan kejadian seperti ini padanya. Minjoon melihat layar di depannya diam-diam.
[Anda menyantap burito yang berisi habaneros!] [Level pengecapan Anda turun dari kelumpuhan!]
€
“…Dia sungguh memasukkan banyak habaneros di situ?”
“Iya. Ini terasa lebih baik sekarang, tetapi aku sungguh tidak bisa merasakan apa-apa sesaat yang lalu.”
“Kupikir kau handal soal bumbu.”
“Itu bukan bumbu. …Itu sumber penyakit.”
“Dia sungguh mengerjaimu, bukan? Aku penasaran istri macam apa dia nanti.”
“Shshsh. Kau membuatku tertekan dengan hanya memikirkan tentang itu.”
Minjoon menundukkan kepalanya dengan wajah sedih. Maya tertawa. Kemudian, Javier berjalan dengan wajah prihatin.
“Hei, apa kalian sudah mendengar berita?”
“Apa? Berita apa?”
“Ada sebuah postingan tentang kita di blog penikmat makanan. Tetapi… Itu tidak bagus.”
Melihat betapa kakunya wajah Javier membuat Minjoon merasa sedikit penasaran. Javier biasanya berusaha untuk tetap menampilkan sesuatu yang positif pada semua hal. Dia yang tampak seperti ini, berarti…
“Boleh aku lihat?”
“Mm…mungkin lebih baik kau tidak melihatnya. Lagipula ini Natal.”
“Tunjukkan padaku.”
Javier menyerahkan ponselnya setelah beberapa menit ragu-ragu. Minjoon mulai membaca tanpa berkata apa-apa.
# Rose Island. Makanannya tidak semuanya dari Rachel Rose.
<Kadang Teman, Kadang Musuh (1)> Selesai.