Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 226 <Kadang Teman, Kadang Musuh (2)>
Semua yang ada di dunia ini kehilangan nilainya jika menjadi terlalu umum. Jika ada berlian yang berguling-guling di jalanan dan di mana-mana, siapa yang akan menganggapnya sebagai komoditas berharga? Siapa tahu? Menurutku, tidak ada orang yang mau.
Dari segi itu, saya ingin memuji Rose Island apa adanya. Ini sungguh sesuatu yang agak spesial bahkan setelah memiliki 10 cabang restoran.
Alasan di balik hal ini mungkin karena Rachel Rose memberikan banyak pekerjaan dalam mendidik muridnya. Lagipula, setiap chef kepala dari tiap-tiap cabang restoran dibesarkan secara pribadi oleh Rachel. Dia tidak hanya juru masak yang hebat tetapi juga seorang guru yang hebat. Siapapun tidak bisa menyangkal ini.
“…Maksudku, ini tampak tidak masalah?”
“Teruskan baca. Kau akan paham.”
Javier mengangkat bahu lalu Minjoon lanjut membaca. Dia sampai pada bagian masalahnya dalam beberapa saat kemudian.
Alasan kenapa aku menuliskan bahwa ‘tidak semua hidangan dibuat oleh Rachel’ dalam judul sebenarnya sangat sederhana. Kemarin, saat malam Natal, aku berkunjung ke Rose Island untuk makan malam. Penyaji di sana memberitahuku ada tiga hidangan yang dibuat sendri oleh chef demi.
Sejujurnya, hidangan-hidangan itu sempurna. Jika tidak ada yang memberitahuku, aku akan berpikir ‘seperti yang diharapkan dari Rachel Rose’ dalam kepalaku.
Aku bersyukur penyaji itu menghentikan aku dari pemikiran bodoh semacam itu, tetapi pada saat yang sama, aku sedikit menyesal. Kenanganku pada hari itu akan sempurna bila aku tidak tahu. Aku harus menikmati makanan chef demi dengan keraguan di benakku, dan itu tidak nyaman bagiku. Beberapa orang mungkin memberitahuku bahwa hal ini disebabkan aku yang berharap terlalu jauh pada bagaimana seharusnya suatu restoran, tetapi… Apakah aku salah jika berpikir bahwa makanan di suatu restoran dibuat sendiri oleh chef kepala?
Tentunya, aku tidak berpikir untuk mengubah ini menjadi masalah besar. Jika iya, ini akan dengan cepat teratasi. Aku hanya ingin bertanya pada chef Rachel. Jika Anda memikirkan pelanggan, tidak bisakah Anda sendiri yang membuat semua hidangan? Lagipula, Apa yang kita mau bukan hidangan muridmu, tetapi hidangan buatanmu.
“Hah, aku tidak tahu harus berkata apa.”
Minjoon mengernyit. Dia tidak akan merasa kesal jika dia sendiri yang dihina. Penulis blog itu menyerang Rachel, bukan Jo Minjoon. Dengan mengetahui bahwa penulis itu mengatakan Rachel hampir tidak bertanggung jawab dengan melakukan hal itu membuat Minjoon luar biasa geram.
Pixie Goulding: Aku terkejut si Jasper ini punya kredibilitas di internet. Bagaimana mungkin seseorang dengan pengalaman memasak semuanya bahkan mengatakan sesuatu seperti ini? Apa dia berpikir semua restoran berjalan dengan chef kepala membuat sendiri semua hidangannya?
└ Abraham Dunkin: Ini bukan seperti sulit dipahami, bukan? entah dengan restoran lain, tetapi jika seseorang datang ke Rose Island di Venice… Mereka akan mencari cita rasa hidangan Rachel Rose.
└ Pixie Goulding: @Abraham Dunkin, hanya karena pelanggan menginginkanya, kau harus mengabaikan bagaimana restoran bekerja? Menurutku itu omong kosong.
└ Abraham Dunkin: @Pixie Goulding Itu tidak seperti mereka berusaha melayani pelanggan sehingga merekalah yang akan mendapat kepuasan. Mereka melayani pelanggan untuk memuaskan pelanggan.
└ Daniel Hornes: @Abraham Dunkin Sebuah restoran adalah suatu negara. Chef kepala adalah raja. Pekerjaan chef kepala bukan terjun ke dalam medan pertempuran, dia memilih jenderal yang bagus dan membantunya bekerja lebih baik. Dia tidak harus membuat semua strategi itu sendiri.
Joseph Moodie: Menurutku dia hanya menghina Rose Island untuk mendapat perhatian. Ini jelas akan mendapat perhatian besar.
└ Oberyn Martell: Aku juga berpikir sama. Lagipula, bahkan Rose Island yang dulu tidak seperti yang dibicarakannya. Ini terlalu berlebihan.
“Bagian komentar ada di sana juga.”
“Syukurlah, semua orang tampak berpikir ini sangat konyol.”
“Tentu saja. Rachel hanya mengeluarkan hidangan-hidangan yang menurutnya sempurna. Bantuannya pada kita dengan hidangan kita sudah … Ah, sial ini membuatku geram. Boleh aku mengunggah komentar?”
“Dengan namamu?”
Minjoon tidak merespon, tetapi sorot matanya membuat apa yang dia ingin lakukan tampak jelas. Minjoon bukan tipe orang yang bersembunyi di balik sebuah akun. Javier menghela napas.
“Jangan. Kau hanya akan membuat hal ini lebih buruk. Kau sebaiknya melewatkannya.”
“…Siapa tahu, menurut pengalamanku, hal seperti ini hanya akan semakin buruk.”
“Setidaknya mintalah izin Rachel dulu. Kau seorang karyawan, bukan bos.”
Minjoon tidak bisa mengatakan apapun soal itu. Minjoon mengembalikan ponsel Javier sebelum menjatuhkan diri ke kursi. Saat Javier menghela napas lagi, seseorang masuk ke ruangan.
“Ada apa sih dengan anak itu? Kursi itu tampak akan patah dengannya duduk di atas kursi seperti itu.”
“Ah, Janet. Kau … sudah datang.”
Javier menoleh menyambut Janet. Minjoon mengerutkan dahi saat dia melirik Janet.
“Apa kau baru minum?”
“Dini hari tadi, sedikit.”
“Aku bisa mencium baunya dari sini.”
“Ini karena aku kurus. Aku hanya punya sedikit bir. Baunya akan hilang dalam sejam. Oh, Anderson, terima kasih untuk tadi malam.”
Janet menuju ruang ganti setelah menyambutnya. Kepala Minjoon dan Javier tersentak menghadap ke Anderson. Suara Minjoon gemetar.
“Anderson, jadi tadi malam…”
“…Sejak kapan?”
“Diamlah. Bukan seperti itu.”
Anderson memberengut. Minjoon masih tampak terkejut.
“Jadi seperti ini yang kalian berdua rasakan ketika aku membantah hubunganku dengan Kaya.”
“Bukan. Bartender menelponku malam-malam memberitahuku dia mabuk.”
“Kenapa dia menelponmu?”
“Namaku dimulai dengan huruf A, jadi aku orang pertama yang ada di kontaknya.”
Cukup adil. Hal itu tidak membuat kecurigaan Minjoon berkurang.
“Tapi kenapa kau tidak mau mengatakan itu siapa?”
“Karena reaksimu jelas akan menyesakkan? Kalian berdua sudah selesai? Kita harus bersiap-siap.”
“Baiklah.”
Minjoon mengangkat bahu sebelum menuju posnya. Syukurlah ada basa-basi itu, dia bisa melupakan insiden penulis blog itu. Minjoon bergumam dalam hati.
‘Pengkritik makanan…Kukira mereka adalah temanku.’
Semua kritikan yang Minjoon dapat sejauh ini berkesan positif. Lagipula tidak ada alasan nyata bagi mereka untuk menyerangnya. Bukan orang ini tetapi. Bukan seperti orang itu mengarahkan kemarahannya pada Minjoon secara khusus, tetapi ini pertama kalinya Minjoon merasakan sesuatu seperti ini.
‘…Aku bisa menjadi sebuah bagasi untuk guruku.’
€
“Chef Minjoon tampaknya sangat marah.”
Antonio bergumam sendiri. Anderson menatap balik Minjoon. Pria itu mencerminkan seorang tentara yang hendak berperang. Anderson mengeluarkan bacon dari oven dengan wajah marah.
“Apa-apaan ini? Ini terlalu matang.”
“Benarkah? Kukira seperti ini yang kau inginkan.”
“Siapa yang menyuruhmu membuat kripik? Menyantap ini dengan kripik pun akan mengacaukan segalanya. Buat lagi!”
“…Lalu bagaimana dengan ini?”
“Kau yang makan. Aku akan membunuhmu bila ada yang tersisa.”
Antonio menyisihkan bacon dengan wajah cemberut. Anderson kembali dengan menghela napas, lalu mundur terkejut. Rachel melihatnya dengan seringai di wajahya.
“Sekarang kau jadi chef yang bagus, bukan?”
“…Apa Guru berusaha memberitahuku untuk lebih sabar?”
“Tidak, tidak. Kau tahu aku bukan orang seperti itu. Aku jujur. Semua chef yang bagus punya temperamen yang sangat buruk.”
“Aku tidak paham. Lagipula kau punya temperamen yang bagus ternyata.”
“Haha, kau semakin baik dalam memuji, aku paham. Tetapi omong-omong…”
Rachel melirik Minjoon. Dia tampak agak bingung.
“Apa terjadi sesuatu semalam? Dia tampak marah.”
“Sesuatu baru saja terjadi. Beberapa pengkritik menghina Rose Island. Kau tahu betapa buruknya dia dengan kecaman.”
Minjon adalah satu-satunya chef di Grand Chef yang tidak mendapat banyak komentar buruk. Dia mendapat serangan kritik sedikit tetapi kecaman itu selalu mudah untuk diabaikan.
Kali ini pasti menyakitkan. Lagipula, tidak ada yang bercanda soal makananya sebelumnya. Sebuah serangan dari seseorang yang dia anggap sebagai teman pastilah menyakitkan.
“Postingan di blog itu… Boleh aku melihatnya?”
“Menurutku lebh baik Guru tidak melihatnya.”
“Haha, kau pikir siapa aku? Aku telah mendengar pujian dan kritikan selama beberapa dekade. Aku bisa menanganinya.”
Anderson tidak punya alasan untuk menyembunyikan itu dari Rachel. Dia memberikan ponselnya dan mulai membaca. Setelah beberapa menit membaca postingan itu dan komentar-komentar, Rachel terkikik.
“Omong kosong sekali.”
“Memang.”
“Dia tidak memahami dinamika dapur sama sekali. Bukan, apa dia sengaja mengabaikannya? Aku tidak tahu. Menurutku dia hanya berusaha untuk membuat masalah.”
“Motifnya bukan sebesar itu tentunya. Jangan pedulikan dia.”
“Tak perlu cemas. Aku tidak geram. Aku tidak cukup lemah untuk tersakiti dengan hal-hal seperti ini.”
Anderson menghela napas lega. Sesuai dugaan, untuk seorang chef berpengalaman, dia tidak terganggu sama sekali.
Kemudian, Anderson menyadari Rachel sedang mengetik sesuatu.
“Guru…?”
“Hm? Ada apa?”
“Apa yang Guru lakukan?”
“Ah, bukan apa-apa. Aku hanya menulis sesuatu. Ini.”
Rachel mengembalikan ponselnya. Rahang Anderson menganga.
“Apa yang baru saja…Guru lakukan?”
“Aku tidak marah pada hal seperti ini. Aku telah bertemu dengan banyak sekali bocah gila selama bertahun-tahun.”
“Jadi kenapa…”
Rachel tersenyum.
“Aku tidak bisa tahan melihat anak-anakku terluka karena ini.”
Mata Rachel mengarah ke Minjoon. Dia tidak punya sesuatu untuk dikatakan. Kenapa Rachel tampak sngat mirip seperti Kaya saat ini?
‘…Yaa, dia memang mengatakan dia seperti Kaya di masa lalu.’
Anderson melihat kembali ke ponselnya. Ada komentar baru di situs.
Rachel Rose. Sepertinya kau berpikir kau cukup bagus dalam membuat kritikan untuk menilai bagaimana aku menjalankan dapurku. Kalau begitu kenapa kau tidak datang ke sini lagi? Coba dan lihat apakah kau bisa memberitahu hidanganku dari murid-muridku’.
<Kadang Teman, Kadang Musuh (2)> Selesai.