Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 231 <Di Hadapan Pertarungan Nyata (3)>
“Yes!”
Javier bersorak gembira dengan tangan ke atas. Dia berbalik untuk memeluk Minjoon, yang mengernyit lalu mulai menggelitik Javier. Javier melepaskan pelukan dengan wajah pucat.
“Minta ijin Kaya dulu.”
“…Agh, repot sekali.”
“Apa maksudmu, repot? Kau harus mendapat izin dariku jika kau harus memeluk Kaya juga. Itu soal memberi dan menerima, kau tahu?”
“Kau pun tidak meminta izin untuk memeluk Ella.”
“Ella itu pengecualian. Anak-anak mendapat freepass.”
“Peraturan yang aneh sekali.” keluh Javier. Dia segera menyadari bahwa Rachel memperhatikan dirinya, dia lalu mengambil piring yang kosong. Minjoon harus berhenti dari membungkuk secara refleks pada chef Rachel, tersenyum malah lebih baik.
“Terima kasih, Guru.”
“Tidak perlu. Aku hanya memberi izin untuk makanan yang enak.
“Aku senang bahwa kami bisa mendapat izin untuk memulai. Khususnya dengan Javier.”
Javier memalingkan muka malu. Ini adalah momen yang penuh arti baginya dalam berbagai cara. Lagipula, ini adalah pertama kalinya dia mampu mendapat pengakuan dari Rachel. Tentunya, ini membutuhkan bantuan Minjoon, tetapi fakta itu sama sekali tidak menghilangkan rasa gembira atas pencapaiannya.
Chef di dapur bisa mengatakan apa yang terjadi segera setelah mereka berdua keluar dari kantor.
“Selamat.” Anderson berkata
“…Bagaimana kau tahu?”
“Semua orang bisa tahu lewat senyummu seperti itu.”
Javier menyeringai lebar sekali. Itu jelas bahwa dia luar biasa senang saat ini. Javier menoleh ke Janet, yang tersentak.
“Apa yang kau lihat?” tanya Janet.
“Aku tidak mendapat selamatmu?”
“Kau telat datang ke pesta lalu kau ingin mendapat selamat untuk itu?”
“Well, aku akhirnya melakukan ini, jadi aku pantas mendapatkannya, bukan?”
“Tidak, tidak akan.”
Janet mundur dengan tatapan waspada. Well, setidaknya responsnya sesuai dengan kepribadiannya. Minjoon melihat para chef demi dengan senyum.
“Haruskah kita mencoba membuatnya?”
“Apa? menu lengkapnya?”
“Apa lagi?”
“Kita belum punya ikan yang sudah dipreparasi.. Siapa yang akan melakukannya?”
“Yang punya idelah, jelas.”
Anderson menoleh ke Minjoon, yang mengangguk.
“Tentu. Kenapa sih kalian tidak suka menyiapkan bahan?”
“…Kaulah yang aneh karena menyukai hal semacam itu.”
Menyiapkan adalah salah satu hal yang luar biasa berat bagia siapa pun yang suka ikan. Itu lengket, bau, dan satu kesalahan saja dapat mengacaukan ikannya. Hal semacam itu bukan hal yang menyenangkan bagi siapa pun.
Bukan berarti Minjoon tidak menyukai itu. Minjoon tidak pernah memiliki momen seperti itu yang mana dia benci menyiapkan bahan-bahan.
Inilah kenapa tangannya yang menyentuh ikan tampak penuh dengan cinta dan kegembiraan.
‘Aku akan membuatmu terasa enak.’
Kata-kata itu luar biasa kejam bagi ikan, tetapi juga polos, hasrat tanpa dosa Minjoon.. Dia mengelap residu lengket di permukaan ikan.
Setelah itu adalah proses mengerik sisik ikan. Tetapi saat dia hendak memulai, dia menyadari Justin mendatanginya lalu berbicara padanya.
“Chef, seharusnya kau memberitahuku. Aku bisa melakukan ini…”
“Kau baik sekali. Kami hanya melakukan ini untuk kami sendiri. Ini bukan pekerjaan yang sesungguhnya, jadi kami tidak bisa merepotkan orang lain. Plus, kami tidak bisa membiarkan keahlian kami berkarat. Jadi jangan khawatir.”
“Tapi…”
Justin masih tampak tidak enak, tetapi Minjoon tidak tertarik untuk membiarkan pria itu mengambil alih. Ini asyik, kenapa dia membiarkan seseorang melakukannya?
Melepas sisik ikan satu per satu terasa menyenangkan. Mengontrol kekuatannya saat dia bekerja dengan ikan terasa menyenangkan. Yang lain munkin menyebut ini pekerjaan, tetapi ini permainan bagi Minjoon.
‘Orang bilang hobi tidak tetap menyenangkan apabila menjadi pekerjaan, bukan?’
Minjoon tidak memahami itu. Memasak itu menyenangkan. Itu membuatnya gembira. Dia menyukai itu hingga pada titik di mana dia akan menghadapi masalah jika seseorang bertanya apakah dia lebih suka memasak atau Kaya.
Dia mencabut sebagian besar sisik ikan dengan alat pembersih sisik, kemudian sisanya menggunakan pisau. Dia melepaskan insang dan ekor untuk mengeluarkan darah. Maya memalingkan muka saat Minjoo mengeluarkan jerohan dengan senyum.
“…Dia menemukan hal yang mengasyikkan, lho? Aku tidak pernah merasa gembira saat membersihkan ikan.” gumam Maya pada diri sendiri.
“Biarkan saja dia. Kau tahu betapa anehnya dia soal memasak.” jawab Justin.
“Aku penasaran apakah kita bisa berkembang seperti dia jika kita mengikutinya.”
“Mungkin tidak. Kau tidak melihat chef demi lain mengikutinya, kan?”
“Chef demi lain berlatih selama bertahun-tahun, dan chef Minjoon tidak. Dia yang paling muda di antara mereka, bukan?”
“Apa dia yang paling muda?”
“Well, dia pernah bilang bahwa dia masih di awal dua puluhan.”
Maya mengangkat bahu. Justin bergumam sendiri dalam kebingungan, bahkan tanpa melihat para chef demi itu.
“Yang terjadi, keahliannya dalam menggunakan pisau tampak fantastik. Bagaimana dia bisa sebagus itu di usia muda?”
Dia berkata jujur. Sudut pisau yang diambil Minjoon saat memotong insang dan gerakan halus tampak luar biasa mahir. Maya mengangguk setuju.
“Ini sangat menakjubkan, yaa. Sejauh yang kutahu, hal seperti itu terlatih selama periode masa percobaan, tetapi chef Minjoon tidak menjalani itu. Bisakah kau menjadi mahir memasak hanya dari rumah?”
“Itulah bakat, tidak ada penjelasan lain.”
“Itu bukan bakat.”
Raphael menyela pembicaraan. Dia melihat chef yang terkejut di dekatnya dengan tenang.
“Sulit lho menjadi sebagus itu hanya dengan bakat. Kau harus terluka karena persiapan dan yang lainnya untuk merasakan seperti apa sebenarnya pisau itu. Dan untuk semahir itu dalam membersihkan ikan… dia harus pernah melakukannya ribuan kali agar mahir.”
“Tetapi chef Minjoon tidak pernah bekerja di restoran, bukan? Tidak mungkin dia jadi semahir itu hanya dari rumah!”
“Siapa tahu. Mungkin dia berlatih dengan play-doh?”
Para chef semuanya secara bersamaan membayangkan adegan Minjoon memotong play-doh di dalam ruangan yang remang-remang. Ketika mereka semua berbalik untuk menatap minjoon dengan mata kasihan, mereka memperhatikan bahwa tangan pria itu telah berhenti. Tepat disebelahnya ada filet ikan banyak sekali.
“Itu tampak sangat bagus.”
Janet segera membalurnya dengan tepung. Mereka tidak perlu memasaknya sekarang. Apa yang penting adalah menyiapkan bahan untuk disajikan bersamanya. Sedangkan Minjoon mengeluarkan timun acar Persia. Saat Janet mulai menaburkan tepung ke atasnya, dia memasukkan kari hijau dan saus keju kambing di piring. Hidangan itu akan selesai ketika mereka menggoreng permukaan ikan lalu meletakkannya. Hanya membaui hidangan itu membuat Maya mengeluarkan liur.
“Pengkritik itu nanti akan merasakan neraka.”
€
Pengkritik itu tidak tampak gugup saat dia memasuki restoran. Dia tampak percaya diri. Mungkin senang. Dia menyeringai sambil mengelus dagunya yang gemuk.
“Aku merasa terhormat, dari semua orang, chef Rachel sendiri yang menantang diriku.”
“Well, aku memang mengundangmu, tetapi aku tidak akan menyebut itu sebuah tantangan.”
Mata Rachel beralih ke pria di sebelah Jasper saat dia mengatakan ini. Pria itu memegang ponsel, merekam mereka berdua. Jasper tertawa.
“Hahaha, ini adalah asistenku. Saya hanya ingin merekam acara ini. Lagipula, ini cukup spesial.”
“Kalau begitu, kita tidak perlu ponsel itu.”
“Apa?”
Jasper melihat Rachel penasaran. Alih-alih merespon, Rachel mendongak. Jasper mengikutinya, dan wajahnya spontan memucat. Ada dua pria sedang memegang banyak kamera dan salah satunya akan digunakan di stasiun TV.
“Hahaha… menakjubkan. Sepertinya nanti muncul di TV.” Jasper terdengar melunak daripada sebelumnya.
“Itu karena mereka.” respon Rachel.
“…Apa?”
Wajah Jasper semakin pucat. Rachel melanjutkan dengan santai.
“Dua dari murid-muridku akan syuting sesuatu hari ini. Sesuatu tentang hal terkini setelah Grand Chef musim ke-5. Mereka berdua bergegas kemari setelah kuberi tahu tentang dirimu. Kukira mereka berpikir ini akan mengasyikkan.”
“Aku paham.”
Jasper menenangkan dirinya sendiri agar tidak gagap. Untuk memikirkan bahwa dia akan muncul dalam program acara TV seperti itu saja, semua berkat Rachel…
Rachel bahkan tidak memberikan Jasper waktu untuk berpikir. Lagipula, dia bukan tamu sungguhan di sini.
“Kemarilah, aku akan memandu ke mejamu.”
“Tidak ada pelanggan di sini? Ini makan siang, bukan?”
Ini seharusnya semacam serangan, tetapi Rachel cukup menangkisnya.
“Kita tidak melayani makan siang lagi. Itu membuat para chef sangat tertekan. Aku merasa bersalah telah memberi mereka tugas yang tidak perlu sepanjang waktu.”
Dia bahkan tidak perlu menyebutkan bahwa yang dimaksud ‘tugas yang tidak perlu’ adalah ini. Wajah Jasper memerah karena marah tetapi dia tidak mampu menemukan kata-kata untuk membalasnya.
“Jasper, apa sebaiknya aku terus merekam?”
“Matikan. Jauhkan ponselnya.” jawab Jasper malu lalu dia duduk.
Dia membentangkan lap ke pangkuannya dalam gerakan mulus. Dia berpura-pura untuk terlihat sesantai mungkin.
“Satu set menu lengkap, betul kan?”
“Cobalah untuk memahami apakah kau bisa tahu siapa yang membuat masing-masing hidangan. Aku penasaran apakah kau bahkan bisa tahu.”
Rachel menyeringai. Kenapa seringai itu tampak sangat kejam baginya? Jasper menjernihkan kerongkongannya dengan gugup.
“Seperti yang kubilang, yang penting adalah fakta bahwa beberapa hidangan bukan buatanmu…”
“Makanannya …datang.”
Dua piring diletakkan di depannya seperti itu. Salah satu hidangan berisi potongan tipis tofu mengambang di semacam kaldu, bersama dengan sashimi, dengan tambahan kaviar, tendon, dan daun ketumbar di atasnya. Piring yang lain punya banyak sekali potongan kerang simping yang di atasnya ada semacam jeli. Roda gigi segera berputar di kepala Jasper.
‘Hidangan sashimi tidak mempunyai benda-benda gastronomi molekuler yang keren di atasnya…kalau begitu, apakah ini buatan chef Rachel? Iya, ini bukan seperti chef Rachel tahu banyak tentang di usianya saat ini. Ini pastilah miliknya. Jadi hidangan dengan jeli pastilah buatan chef demi. Jelas sekali,’
Segera setelah dia menyantap hidangan, dia menjadi semakin yakin. Tidak mungkin seseorang yang masih berumur du puluhan mampu membuat sesuatu yang sangat halus dan lezat. Jasper tersenyum percaya diri.
“Ini pasti buatanmu!”
“Alasannya?”
“Tidak mungkin chef demi… ah, tanpa bermaksud menyinggung, bisa membuat sesuatu yang sehalus dan selezat ini. Ini terasa sangat menarik bahkan tanpa bantuan gastronomi molekuler. Hanya seseorang seperti dirimu yang mampu membuatnya.”
Wajah Rachel kaku, yang mana membuat Jasper bahkan semakin yakin bahwa dia benar. Dia bahkan mulai berbicara dengan lebih cepat dan bersemangat.
“Inilah kenapa aku bilang semua hidangan di restoran ini harus dibuat oleh dirimu. Tentu, chef demi bisa membuat makanan yang enak, tetapi mereka jelas tidak bisa menirukan hidangan seperti ini! Apa kau paham kenapa aku berperan sebagai penjahat sekarang?”
“Tidak.”
“Haha, tentu kau… apa?”
“Aku tidak tahu kau bicara apa.”
Rachel menunjukkan hidangan itu.
“Aku tidak membuat hidangan itu.”
<Di Hadapan Pertarungan Nyata (3)> Selesai.