Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 234 <Pria yang Mengupas Kastanya (1)>
Minjoon tidak bercanda. Marco tidak banyak memikirkan pembicaraan karena dia berpikir pria itu hanya bercanda, tetapi Minjoon sungguh mengirimi dia tiket pesawat. Berkat ini, Marco menyadari dirinya akan terbang ke LA dalam beberapa jam ke depan setelah pembicaraan usai.
‘Apa sih yang kulakukan?’ pikir Marco.
Dia tidak menduga hal semacam ini. LA? Sekarang? Membeli tiket entah dari mana seperti itu? Dia tidak paham apa yang terjadi sama sekali. Marco melihat kembali ke kamerawan di belakangnya.
“Muhammed, apa kau tahu berapa harga untuk pergi ke LA?”
“Oh iya, aku ingat. Itu dibayar kantor sekitar 395 dolar untuk tiketku.”
Marco tersentak kaget. 395 dolars? Itu bukan jumlah uang untuk berkunjung demi makan-makan. Dia melihat tiket di tangannya dengan wajah menangis. Dia bisa mengatakan betapa Minjoon peduli dengannya.
“Maaf, aku tampak seperti bocah, bukan?”
“Tidak, siapa pun akan bereaksi yang sama dalam situasimu. Jangan menekan dirimu terlalu berlebihan. Kau tidak melakukan hal yang salah.”
“Aku tidak yakin aku akan ditipu seperti ini sementara orang lain sukses pada karirnya masing-masing.”
Kata-kata dorongan hanya membuat Marco merasa lebih tertekan. Jadi kamerawan itu memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Tentunya, keheningan juga sungguh tidak membantu.
Berkat semua ini, Marco terbang seperti pasien yang sakit. Tidak mengherankan jika wanita yang duduk di sebelahnya menjadi kaku karena ketidaknyamanan. Atau mungkin dia menjadi kaku karena badan Marco yang terlalu besar.
Tidak lama kemudian, wanita itu mengetahui ada kamerawan tepat di belakang Marco. Tanda tanya melayang di atas wajahnya selama beberapa detik, yang dengan cepat berubah menjadi ekspresi menyadari sesuatu. Wanita itu menoleh ke Marco dengan suara gembira.
“Ah, apa kau Marco, kontestan Grand Chef?”
“Iya,”
“Wow! Aku menyukaimu di acara itu! Namaku Rebecca. Kenapa kau pergi ke LA hari ini?”
“Untuk makan malam.”
Marco menyadari betapa mewah dan kaya kata-katanya terdengar. Seolah seperti orang yang makan siang dengan pasta di Italia lalu makan malam eskargot di Perancis. Marco dengan cepat berusaha mengoreksi dirinya.
“Aku yang membelinya, sebenarnya.”
Dia membuatnya semakin aneh.
€
“Kau pikir, kau kaya atau bagaimana? Kau tidak bisa dengan gampangnya membelikan tiket pesawat pada orang yang mau tak mau, kau tahu.”
“Orang-orang butuh banyak berpikir sebelum membeli. Aku juga berpikir sedikit sebelum aku memutuskannya.”
“Itu bukan yang aku maksud dan kau tahu itu.”
“Bukan itu masalahnya di sini, bukan? Masalahnya adalah Marco ada dalam masalah. Bisakah kita menolongnya mengatasi itu?”
“Jadi kau mengosongkan dompetmu hanya untuk memberi semangat seseorang?? Kau perlu berpikir tentang caramu menghabiskan uang kecuali kau ingin berakhir dililit hutang.”
“Hutang? Kau tahu aku tidak pernah melewatkan jatuh tempo pembayaran kartu kreditku, bukan?”
“Aku beri tahu, jika kau terus menggunakan uangmu seperti ini, ini akan berubah menjadi kebiasaan. Apa kau tahu perampok di pasar menjadi seperti itu sedari awal? Mereka menjadi seperti itu hanya karena satu kesalahan. Jadi… mmmh.”
Kaya berhenti. Minjoon meletakkan jarinya di bibir Kaya.
“Ub ah ah?” Kaya berusaha mengatakan sesuatu sambil mengerutkan dahi.
“Hentikan. Kau tidak perlu berlebihan seperti ini.”
Kaya menepis tangan Jo Minjoon. Dia menatap Minjoon dengan ekspresi marah sejenak, lalu menghambur ke pintu. Anderson melihat Minjoon dengan wajah terkejut.
“Kau tidak mengikutinya?”
“Kita harus pergi kerja, bukan?”
“Kau dingin hari ini. apa kau berusaha terlihat keren di depan kamera?”
“Kau bertingkah seolah Kaya telah mengikatku atau semacamnya.”
“Karena memang iya.”
Anderson bahkan tidak ragu. Dia juga bisa tahu dari wajah Minjoon. Mata pria itu terus menerus melihat ke pintu dengan khawatir.
Minjoon berharap bahwa Kaya akan kembali sebelum dia pergi, tetapi itu tidak terjadi. Karena inilah, dia tampak sangat sedih saat dia pergi kerja. Hal itu cukup membuat Maya khawatir tentang Minjoon.
“Apa terjadi sesuatu, chef?”
“Ti, tidak ada.”
“Kau tampak sangat sedih.”
“Kalau begitu, kenapa kau tidak gembira?”
“Haha, Tidak bisa seperti itu.”
Melihat Maya tertawa membuat Minjoon merasa sedikit lebih baik. Kemudian, Ella datang meminta pelukan. Minjoon melihat gadis cilik itu dengan ekspresi gelisah.
“Ella, maaf. Aku harus memasak. Aku akan memelukmu nanti.”
“Ella tidak memintamu memeluknya. Ella ingin memberimu pelukan. Mendapat pelukan membuat seseorang merasa lebih baik.”
“…Bagaimana kau tahu hal seperti itu?”
“Ella bukan anak kecil, aku sudah gadis! Aku tahu semuanya sekarang.”
“Yaa, siapa tahu? Dan Ella, kau tahu, kau terlalu kecil jika sudah tidak tumbuh lagi. Kau perlu tumbuh beberapap senti lagi untuk menjadi seorang gadis.”
“Aku membicarakan soal isi kepala, bukan tinggi badan, paman.”
Ella menggelengkan kepala dengan hela napas dalam. Minjoon terkikik lalu berlutut di depan Ella, Ella menepuk punggungnya dengan lembut saat memeluk Minjoon.
“Anak baik.”
“…Apa aku anak-anak sekarang?”
“Sst. Ibu memberitahuku inilah caranya.”
Dia ingin memberi tahu gadis itu bahwa Lisa hanya mengatakan itu kepada putrinya, tetapi dia memutuskan untuk tidak melakukannya. Minjoon malah menepuk lembut kepala gadis itu.
“Kau baik sekali, Ella. Aku sungguh akan membenci suamimu saat kau menikah nanti.”
“Ella tidak akan menikah.”
“Kau tahu, seseorang yang mengatakan hal semacam itu biasanya malah menikah paling cepat.”
“Tetapi Ella sungguh tidak akan…”
Ella cemberut. Minjoon berdiri sambil tersenyum, yang membuatnya bertemu pandang dengan Lisa. Lisa tersenyum lelah pada Minjoon. Bekerja sendiri pasti membuatnya sangat kelelahan, bahkan meski restoran tidak melayani makan siang.
‘Andai Marco di sini…’
“Lisa, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentu. Apa itu?”
“Kau ingin patissiere yang bagus, bukan? Aku penasaran bagaimana kau menemukannya.”
“Entahlah. Audisi sedikit berlebihan bagiku, jadi aku penasaran apakah aku bisa meminta beberapa teman yang punya koneksi. …Kenapa kau bertanya?”
“Well…”
Tepat sebelum Minjoon dapat melanjutkan, Rachel melangkah masuk ke dapur lalu bertepuk tangan. Minjoon menoleh melihat Rachel, yang sedang melihat seisi dapur dengan senyum.
“Kalian semua bekerja keras hari ini. Aku datang dengan beberapa berita menarik hari ini. Tapi, entah apakah bagus juga bagi kalian”
“Apa itu?”
“Kalian semua harus tahu bahwa ini akan terjadi. Tapi bagaimanapun ini tetap menarik. Aku mendapat berita dari temanku. Rupanya, cepat atau lambat..beberapa teman kita akan datang.”
Rachel berhenti sejenaak untuk melihat ekspresi para chef.. Dia tampak seolah berada di pesta.
“Inspektor Michelin, itu dia.”
€
Kaya yang marah, situasi Marco, dan inspektur Michelin, kepalanya melakukan booting. Minjoon merasa seperti sedang dihujani banyak pekerjaan rumah entah dari mana. Hampir terasa seperti harus membuat 7 set makanan dalam 15 menit. Hal itu membuatnya sulit mempertahankan ketenangannya seperti biasa.
‘Kisahnya ternyata cukup bagus, sebenarnya.’ Kamerawan di sebelah Minjoon paham.
Dia sebenarnya mendengar dari Martin beberapa saat yang lalu. Orang-orang dari musim ke-3 itu, diberkahi Tuhan terlibat di TV atau semacamnya. Bahwa sesuatu yang menarik selalu terjadi di sekitar mereka. Mau tak mau, kamerawan setuju dengan Martin pada poin ini. Sesuatu yang menarik selalu terjadi di dekat mereka.
‘Kudengar orang Asia cukup sopan dari banyak orang, tetapi Minjoon sepertinya sedikit berbeda. Dia tidak hanya sopan, tetapi juga baik. Akan menyenangkan jika aku punya teman yang memberiku tiket pesawat ketika aku mengalami depresi.’
Kebanyakan orang yang menonton acara akan merasakan hal yang sama pastinya. Minjoon sungguh teman yang baik. Tindakannya begitu berlebihan hingga terkadang membuat seseorang bertanya-tanya apakah dia hanya melakukannya untuk TV.
Marco tiba sekitar tiga puluh menit setelahnya.. Dia melihat Minjoon dengan berbagai ekspresi. bingung, kesal, bahagia, dan rasa syukur. Bingung berasal dari fakta bahwa Minjoon tampak lebih kesal dari pada Marco sendiri.
“Hei Minjoon, Anderson. Sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?” tanya Marco.
“Bagus, bagus. Kami merasa sedih mendengar situasimu.” jawab Jo Minjoon.
“Perasaan Minjoon mungkin sungguh kacau saat ini. Kaya marah saat ini, dan ada kau dan situasimu juga, dan fakta bahwa inspektor michelin akan segera datang…”tambah Anderson.
“Kau tak perlu mencemaskan aku…Tunggu, tunggu. Michelin?!”
“Iya. Kami tidak tahu pastinya kapan, tapi kami tahu mereka akan datang. Kau tahu bagaimana mereka. Ini sebenarnya sangat menakjubkan bahwa kita tahu kalau mereka akan datang.”
“…seperti yang diharapkan dari Rose Island, kukira.”
Sebagian besar restoran normal tidak tahu ada kunjungan dari Michelin. Mau tak mau, Marco merasa sedikit di bawah mereka yang ada di depannya. Tepat setelah itu, Minjoon berkata.
“Jadi, apa yang kau rencanakan sekarang? Sudahkah kau mendapat ide tempat kerja lain?”
“Well, ada beberapa, tetapi…. Semuanya tidak terlalu bagus.”
“Kukira. Khususnya dengan orang-orang yang mulai lupa akan Grand Chef.”
“Iya, itulah kenapa akhir-akhir ini aku sedikit kacau. Aku ingin berhati-hati soal ini. Aku tidak boleh melakukan kesalahan.”
Marco berbicara dengan suara sedih. Minjoon jadi merasa sedih dengan teman dekatnya itu. Setelah berpikir selama beberapa saat, Minjoon memutuskan untuk mengatakan sesuatu yang telah ada di benaknya.
“Bolehkah aku memberimu penawaran?”
“Penawaran apa?”
“Kenapa kau tidak ke sini saja? Bukankah mahal hidup di New York? Tempat ini sedikit mahal juga, tetapi aku yakin kau bisa belajar banyak di sini.”
“Apa kau sedang membicarakan Rose Island?”
“Begitulah… Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang. Menurutku, kau bisa menjadi partner yang hebat untuknya.”
“Tentu saja. Aku paham. Tapi… Aku ingin kau tahu satu hal.”
Minjoon menyeringai dengan nakal.
“Tiket yang kuberikan padamu tidak termasuk tiket pulang.”
<Pria yang mengupas kastanya (2)> Selesai.