Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 238 <Kehidupan di luar jendela (3)>
Lisa memanggil Marco, yang sungguh mengabaikan wajah tercengang Minjoon. Marco melihat Lisa dengan gugup.
“Apa aku salah mengatakan itu?” tanya Marco.
“Tidak. Jangan khawatir soal itu.”
“Aku tidak ma…”
“Aku bercanda. Jangan terlalu dibuat serius, sekarang.”
“Oh, bercanda. Aku paham.”
Marco menghela napas lega. Pria itu punya hati yang lembut untuk seseorang yang tampak seperti seorang pengawal. Lisa tersenyum lalu berjalan masuk ke dapur. Marco masuk dengan gugup, dan Minjoon mengikuti di belakangnya. Lisa melihat Minjoon dengan bingung.
“Kenapa kau ikut ke sini?”
“Hanya sebagai penonton. Plus, aku memfasilitasi ini semua dimulai. Aku punya hak untuk menonton.”
“…Well, baiklah. Marco, apa kau bisa membuat sesuatu untukku?”
“Sesuatu semacam?”
“Yang dasar saja. Bagaimana kalau kau tunjukkan cara membuat ciabatta?”
“Ciabatta?” ulang Marco.
Sejauh ini, Marco hanya membuat roti mewah yang disajikan di toko roti kelas atas. Semacam panini, choux, atau kroisan. Marco sedikit terkejut mendengar bahwa Lisa ingin sesuatu yang lebih sederhana.
Tapi dia paham mengapa. Lagipula, ciabatta buatan wanita itu adalah yang terbaik yang dia rasakan selama ini.
‘Aku, membuat sesuatu seperti itu…?’
“Aku akan memberitahumu resepnya.” tambah Lisa.
“Apa? Apa boleh? Bukankah ini tes… Bukan, sebelum itu, bukankah resepnya sungguh berharga?”
“Memang. Dari semuanya, itu yang paling laris di toko. Tapi nantinya, kau pasti akan tahu saat kau datang ke sini. Plus, resep itu akan menjadi salah satu dari yang akan kau otak-atik sepanjang waktu nantinya.”
“Otak-atik… Kau bilang.”
“Kudengar kau sedang mengalami musibah di tempat kerjamu? Aku akan jujur padamu. Akan sangat sulit memasukkan resep apapun ke menu. Tentunya, bukan berarti aku akan langsung mengabaikan semua resepmu. Tetapi kita menerapkan standar tinggi di sini. Oh, tentu bukan berarti bekerja di sini menyebalkan. Ada satu keuntungan besar bekerja di sini.”
“Keuntungan apa itu?”
Marco merasa jantunganya berdebar karena suka cita. Lisa tersenyum saat dia melanjutkan.
“Kau bilang kau ingin menjadi pembuat roti terbaik di dunia. Orang seperti itu jelas akan bekerja di toko roti terbaik di dunia. Tempat itu ada di sini.”
Kata-kata Lisa penuh percaya diri. Dia tahu segalanya tentang toko roti ini. Semua sejarahnya, dan semua insiden terkait. Dia tahu nilai toko roti itu. Tidak mengejutkan, maka dari itu, kata-katanya sama yakinnya dan sama kuatnya dengan kata-kata seorang jenderal.
“Apa kau ingin menjadi yang terbaik?”
“Yes.” jawab Marco. Lisa mengangguk merespon.
“Kalau begitu, kau harus lolos tes.”
€
‘…Mungkin aku sebaiknya belajar membuat roti juga.’
Minjoon memikirkan itu saat dia menonton Marco bekerja. Pria itu tampak sangat berbeda dari biasanya. Kegugupannya sudah sirna. Apa yang tersisa adalah karisma seorang pembuat roti yang sedang menguleni adonan dengan sekuat tenaga.
Aku bisa tahu betapa bagusnya dia jika aku mengerti soal membuat roti.
Teknik Marco tidak tampak spesial bagi Minjoon. Tetapi tidak bagi Lisa. Dia bisa mengatakan bahwa Marco menguleni setiap bagian adonan secara merata.
‘Dia juga menuangkan air dengan lihai.’
Mengontrol air dengan cara yang tidak akan membuat kantong air dalam adonan adalah keterampilan yang membutuhkan sedikit pengalaman.
“Bagaimana dia?”
“Oh, ya ampun kalian membuatku terkejut.”
Minjoon melonjak kaget. Kaya dan Anderson sedang melihat ke dapur dari belakang.
“Menurutku, dia melakukannya dengan baik, tapi aku tidak tahu. Mereka berdua tidak mengatakan apapun…” bisik Minjoon.
“Itu berarti Marco tidak melakukan kesalahan sejauh ini. Barangkali begitu.” kata Kaya.
“Atau mungkin dia berusaha untuk tidak menginterupsinya. Siapa tahu?” bantah Anderson.
Kaya melotot ke Anderson. Minjoon tersenyum.
“Hati-hati, Anderson. Kau akan kalah jika bertarung dengannya.”
“Kumohon, bisakah kau tidak membahas itu? Dia akan mulai berpikir bahwa dia akan menang.”
“Kurang ajar. Kaulah sebenarnya yang berpikir bisa menang melawanku. Kau mau tahu mana yang benar?”
Kaya mengepalakan tinjunya dalam kemarahan. Anderson hanya menghela napas.
“Memang salahku bergaul dengan kalian.”
“Terserah. Ayo pergi. Dia butuh beberapa jam setidaknya. Kita tidak punya waktu untuk menunggu.”
“Haruskah kita pergi?”
“Itu akan mengganggu mereka. Kita harus pergi bekerja!”
Minjoon berpikir sejenak lalu berbalik badan. Marco tampak mengecil baginya untuk beberapa alasan ketika dia berbalik badan.
€
“Jadi, kau mengenalkan seorang teman pada Lisa?”
“Iya. Dia jelas akan direkrut jika Lisa cukup menyukainya. Meski aku tidak yakin apakah dia bekerja di sini atau di sana… Well, di mana pun itu bagus untuk Marco. Aku mulai sedikit memikirkan tentang keputusan sekarang…”
“Wah, apa itu?”
“Aku penasaran apakah aku sungguh melakukan hal yang benar. Aku merasa seolah telah banyak memberikan pengaruh pada kehidupan pria itu.”
“Menurutmu, sebenarnya berapa banyak sih orang yang bisa membuat keputusan sendiri? Jika kau merasa bisa membantu, bantu saja. Sebenarnya menerima bantuan pun adalah sebuah pilihan.”
Rachel tersenyum. Minjoon balas tersenyum lalu lanjut dengan nada cemas.
“Aku juga penasaran apakah ini cara yang baik menghubungkan dua orang itu bersama-sama. Aku merasa seolah mendorong Marco pada Lisa.”
“Itu masalah Lisa. Kau tidak perlu khawatir. Selain itu, apa kau tidak mendengar tentang kedatangan orang-orang dari Michelin? Apa kau punya ide hidangan yang akan kau sajikan?”
“Iya, aku punya.”
“Oh, apa itu?
Minjoon hanya merespon dengan tersenyum. Rachel menghela napas.
“Kau tidak akan memberitahuku, hah?”
“Maaf. Aku sungguh percaya diri dengan ini, jadi aku tidak mau menunjukkan padamu sampai aku selesai.”
“Baiklah. Aku akan menunggu. Tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama. Orang tua itu tidak sabaran. Bahkan aku mungkin akan mengintip jika aku bisa.”
“Akan kuselesaikan dengan cepat, aku janji.”
Mata Minjoon berkilat dengan percaya diri. Rachel suka dengan sorot mata itu. Sorot mata itu bukan sesuatu yang berasal dari jiwa muda. Itu adalah hasil dari harapan, percaya diri, dan bakat.
‘Dia berusaha membantu temannya meski dia sedang kepikiran banyak hal tentang hidangan …’
Sebenarnya dia sangat menghargai apa yang dilakukan Minjoon. Plus, hal itu membuat Rachel bersemangat.
Lagipula, dapur tidak hanya berjalan di bawah kendali chef kepala. Chef kepala perlu membentuk koneksi yang baik, tidak hanya antara staf dapur, tetapi juga antara pedagang tempat dia membeli bahan-bahan makanan.
Jika Minjoon lanjut di jalannya mengembangkan koneksi yang bagus…
‘Dia akan menjadi chef kepala yang dicintai semua orang.’
Tentunya, semua orang berarti juga termasuk pelanggan. Malam itu, ada banyak sekali pelanggan yang mencari Minjoon. Bahkan Rachel juga. Bukan karena makanan, tentu saja. Mereka ingin mendengar apa yang terjadi dengan Kaya.
“Kau punya pacar yang menakjubkan, Minjoon!”
“Ahaha… Terima kasih.”
“Tidak, sungguh. Ya Tuhan, seorang pacar yang menghajar penguntit… Aku ingin bertemu gadis seperti itu.”
“Pasangan Anda tepat di sebelah Anda lho.”
“Ah, Bella, ini salah paham. Ini…”
Malam itu berlalu seperti itu. Kebanyakan orang biasanya tidak akan tertarik. tetapi tak terhindarkan betapa terkenalnya Minjoon.
Ada pula wanita yang perlu diwaspadai oleh Minjoon kata Janet. Delia. Tapi Minjoon tidak bisa melakukan apapun padanya, apalagi saat wanita itu bahkan belum melakukan apapun padanya.
“Halo, kita sudah sering bertemu.”
“Tentu saja. Menunya berubah setiap kali aku datang. Kudengar hidangan penutup delima ini buatanmu?”
“Iya. Apa kau menyukainya?”
“Astaga… Bagaimana mungkin kau membuat sesuatu yang sangat artistik? Aku akan merasa takjub jika aku menyantapnya di hari Natal. Bahkan lebih baik jika ada yang menaruh cincin untuk melamar.”
“Oh, pacarku membenci hal semacam itu, sayangnya.”
“Oh, aku jelas memahami itu. Dia berasal dari daerah kumuh, bukan? Itu bisa dipahami.”
Minjoon hanya merespon dengan tersenyum. Dia tidak tahu apakah dia mengatakan itu dengan niat buruk, tetapi Minjoon tidak mau sepakat dengan seseorang yang menjatuhkan pacarnya.
Wanita di sebelah Delia tampaknya mengetahui perasaan Minjoon, syukurlah.
“Maaf sekali soal ini. Dia hanya tidak mengerti.”
“Apa? Apa yang sudah kulakukan kali ini?”
“Untuk sekarang kau diam saja.”
“Agh… selalu aku yang salah.”
Delia menggelengkan kepala kesal, lalu tersenyum lagi. Senyum Delia pada Minjoon tampak luar biasa palsu untuk beberapa alasan.
“Omong-omong, aku penggemar berat pria sepertimu. Bukan, itu menjadikannya salah paham. Chef-chef sepertimu? Bukan. chef-chef pria sepertimu. Aku tidak suka chef wanita. Mereka menyebalkan. Kami biasanya menggunakan chef kepala wanita di hotel kami, tetapi wanita itu sangat menyebalkan. Dan juga tidak bisa memasak.”
“…Lagi pula, chef pun punya sudut pandang sendiri terhadap dunia. Mungkin mereka berusaha melindungi kehidupannya. Menurutku, akan bagus jika Ms. Delia berusaha mendapat pemahaman.”
Biasanya, Minjoon tidak akan berusaha mengatakan sesuatu semacam ini. Akan tetapi, memikirkan tentang semua penghinaan yang harus dilalui oleh koki tanpa nama itu …membuat Minjoon cukup marah. Lagipula, dia juga seorang chef. Dia berharap Delia segera mengernyit, tetapi pada akhirnya itu tidak terjadi. Dia malah tersenyum lebar pada Minjoon.
“Wow, kau ingat namaku. Bagus! Bisakah kau menyebut namaku lagi, Minjoon?”
“…Tentu, Ms. Delia.”
“Oh, keren. Ini bagus sekali. Namaku disebut oleh idolaku. Aku harap kau bisa menyebut namaku setiap hari. Ah, kau bisa datang ke dapurku. Minjoon, berapa banyak kau dibayar di sini?”
Dia sungguh tidak menduga yang itu. Minjoon membeku di tempat karena syok. Delia mulai tertawa.
“Ah, aku tidak perlu tahu. Itu rahasia, benar, benar. Aku hanya akan memintamu ini. Aku akan memberimu gaji sebanyak yang kau dapat sekarang.”
Delia menjulurkan dua jari. Minjoon menghela nafas.
“Ms. Delia, aku tidak bekerja untuk mengejar uang. Meskipun kau bilang kau akan memberiku dua kali lipat, aku belajar hal-hal yang berharga lebih banyak di sini.”
“Wow, menakjubkan. Benar, sesuatu yang sungguh tdak bisa dibeli dengan uang. Tapi Minjoon, kau tampaknya salah memahami sesuatu.”
Suara wanita itu merayap di lehernya seperti ular.
“Aku bilang dua puluh kalinya, bukan dua. Apa kau masih… tidak ingin bekerja untukku?”
<Kehidupan di luar jendela (3)> Selesai.