Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 240 <Kehidupan di luar jendela (5)>
Ella meraih tangan Minjoon dan Lisa dengan wajah takut. Marco menghentikan langkahnya sejenak. Dia melambaikan tangannya pada gadis itu dengan hati-hati.
“Halo.”
“Mmm….”
Ella tampak semakin takut. Minjoon tersenyum dengan lembut pada Ella.
“Tak apa, Ella. Dia temanku. Dia bukan orang jahat.”
“…Benarkah?”
“Apa kau pernah melihat aku berbohong? Sini, ayo bersalaman dengannya.”
Ella melihat Marco dengan gugup. Tetapi dia hampir menangis lalu segera memeluk Minjoon lagi. Minjoon menatap Marco meminta maaf.
“Barangkali pencahayaannya yang membuatnya takut.”
“…Anak-anak sangat mudah takut melihatku. Tak masalah.”
Marco menjawab dengan ekspresi sedih. Lisa mengangkat bahu.
“Bagaimana dengan ciabattanya? Apa sudah selesai?”
“Iya. Baru saja selesai. Kau mau mencobanya?”
“Tentu. Aku sangat lapar, sebenarya.”
“Aku juga mau mencobanya, Bu.”
Ella akhirnya mendapatkan perhatian dari ibunya dan Marco, yang membuatnya menjerit lagi. Minjoon menarik napas ketika dia tahu cengkeraman gadis itu semakin erat pada tangan Minjoon.
‘Anak yang menggemaskan sepertinya selalu takut padaku.’
Itu adalah pemikiran yang sedikit serius, tapi memang seperti itu adanya. Marco mengeluakan roti dari oven. Minjoon menatap roti itu dengan hati-hati.
[Ciabatta] Kesegaran: 93%
Bahan Asal: (Tersembunyi. Mengandung banyak bahan)
Kualitas: Tinggi
Skor: 7/10
‘7 poin untuk ciabatta termasuk bagus.’
Ciabatta pasti enak tidak peduli siapa yang membuatnya. Lisa memasukkan sepotong ciabatta ke dalam mulutnya lalu menghela napas. Dia mengambil sepotong lagi lalu diberikan pada Minjoon.
“Ini, cobalah.”
“Ah, tentu.”
“Bu! Ella mau juga.”
“Baiklah, ini.”
Ella tersenyum gembira dengan roti di mulutnya. Jo Minjoon sangat terkejut. Hampir tidak ada perbedaan dengan roti Lisa. Bahkan Ella sangat menikmatinya.
“Maaf. Aku mengacau.” kata Marco.
Suara pria bertubuh besar itu membingungkan Minjoon. Namun, apa yang semakin membuatnya bingung adalah Lisa tidak mengoreksinya.
“Apa kau tahu salahmu di mana?” tanya Lisa.
“Iya. Teksturnya tidak ada. Menurutku, roti itu seharusnya sedikit lebih kenyal.”
“…Rasanya sangat enak buat aku. Apa yang salah dengan itu?”
“Memang bagus. Masalahnya adalah hal seperti ini akan terasa ketika kau membuat roti dalam jumlah besar.”
“Iya. Akan semakin sulit untuk fokus pada hal kecil ketika kita membuatnya dalam jumlah besar. Hal itu mungkin berbeda jika Marco berlatih, tapi…”
Marco menyimak nasihat Lisa dengan kepala menunduk. Lisa meliriknya sekilas dengan antusias. Umumnya, orang-orang akan marah atau membela diri ketika mereka diceramahi, tetapi Marco tidak.
‘Dia punya kepribadian bagus.’
Tidak ada yang suka diceramahi, tetapi orang-orang di bidang ini akan cepat marah pada hal-hal seperti ini. Akan tetapi, perbedaan antara seni dan memasak adalah sangat mudah melihat titik kesalahan dalam memasak. Tidak ada gunanya bagi juru masak untuk menjadi keras kepala seperti seniman.
“Maaf, seharusnya tidak perlu menceramahimu seperti itu. Seharusnya aku iri. Kerja bagus. bersikap baiklah padaku mulai sekarang.”
“A-apa?”
“Artinya kau lolos audisi.”
Wajah Marco berubah luar biasa rumit kemudian. Dia gembira, tetapi dia sungguh tidak punya pilihan untuk datang ke sini sekarang. Dia juga bingung apakah dia sungguh lolos dengan roti seperti itu. Semua emosinya jelas tergambar di wajahnya.
Kemudian, perlahan Ella mendekati Marco. Dia berhati-hati, sangat jelas dia masih takut pada pria bertubuh besar itu. Saat Marco melihat gadis itu dengan bingung, Ella melambaikan lengannya ke atas dan ke bawah. Minjoon berkata ketika kebingungan di wajah Marco tidak segera lenyap.
“Dia memintamu merunduk.”
“Ah, iya.”
Marco berusaha menurunkan badannya sedikit, kemudian dia berakhir jatuh terjengkang. Ella menepuk kepala pria itu dengan kaki berjinjit.
“Selamat, Mr. Bear.”
€
“Wuaah, benarkah? Ini sungguhan?”
Chloe melihat ke semuanya dengan mata terbuka lebar di tempat Minjoon. Marco mengangguk dengan senyum gugup.
“Iya. Hal ini akhirnya terjadi.”
“Wow… menakjubkan sekali! Kita semua berlima semuanya tinggal di LA?”
“Kurasa tidak ada tempat yang lebih baik. Selama kita mengabaikan biaya hidup.”
Anderson mengangkat bahu. Senyum Chloe masih bertahan di wajahnya. Dia tidak menyangka ada berita baik ketika dia datang untuk menyapa Marco.
“Dan tiga orang dari kita bekerja di tempat yang sama juga.”
“Well, kita tidak bisa benar-benar mengatakan bagian Marco di Rose Island…tapi kukira iya.”
“Jadi di mana Marco tinggal saat ini? Apa dia sudah punya rumah?”
“Dia ada di tempat kita sekarang.”
“Bukankah kalian hanya punya dua kamar? Di mana dia tidur?”
“Di sini”
Marco menunjuk sofa tempat mereka duduk, lalu melirik Anderson. Awalnya, seharusnya dia tidur di sofa Anderson, tetapi ternyata, klaim Marco bahwa dirinya tidak mendengkur semuanya bohong. Bahkan Minjoon dan Kaya bisa mendengar dengkuran Marco. Anderson mendecakkan lidahnya kesal.
“Tidak mungkin pria seperti dia tidak mendengkur. Seharusnya aku tahu.”
“Maaf. Aku sungguh tidak tahu.”
“Kebanyakan orang tidak menyadari mereka mendengkur. Jangan terlalu marah, Anderson. Omong-omong, sofa ini mungkin terlalu kecil untukmu Marco…Kenapa kau tidak datang ke tempatku saja? Aku punya rumah kedua yang bisa kau tinggali.”
Kaya tersedak air minumnya kemudian. Dia melihat Chloe dengan ekspresi terkejut.
“Rumah ke-kedua?”
“Tidak besar. Pemilik sebelumnya mengubah sebuah gudang menjadi kamar studio…dan di sana ada kamar mandi dapur dan segalanya. Aku biasanya menggunakannya sebagai tempat syuting video. Tetapi agak sedikit jauh dari Rose Island. Setidaknya butuh 40 menit?”
“…Boleh?”
“Jangan khawatir. Aku masih menyewa. Aku akan alih sewakan padamu dengan harga bagus. Bagaimana? Juga ada banyak sekali restoran dan bar di sekitarnya.”
Marco menelan ludah. Kaya bergumam sendiri saat dirinya menonton mereka berdua berbicara.
“Chloe, sekarang kau kaya, lho?”
“Apa? Aku tidak kaya. Ini semua berkata agenku.”
“…Kenapa agenku tidak melakukan hal seperti itu padaku?”
“Kau tidak tampil di TV setelah setahun, Kaya. Kenapa dia harus bekerja keras untukmu?”
Minjoon menepuk Kaya dengan penuh kasih saat berkomentar. Namun, Kaya masih terlihat sedih.
“Dia tidak akan melihatku lagi setelah setahun. Dia seharusnya memperlakukanku dengan baik selama masih bisa. bukan?”
“Tidakkah kau bahagia dengan 300ribu?”
“Tidak ada sisanya setelah aku membelikan rumah untuk ibuku.”
“Hei, berarti kau juga punya rumah. Itu bagus.”
“Jangan khawatir, Kaya. Setidaknya, kau punya pacar hebat seperti Minjoon.”
Chloe tersenyum. Minjoon berpaling dengan gugup tanpa bisa mengatakan apa pun. Kaya meraih pipi Minjoon lalu menariknya kembali menghadap teman-temannya.
“Hebat? Kau pasti bercanda, dia sangat kekanak-kanakan.”
“…Aku tidak mengira akan mendengar itu darimu.”
“Terserah. Omong-omong, Chloe, apa kau tidak berencana bertemu seseorang? Rasanya ada banyak sekali orang yang bisa kau pilih.”
“Yaaa… entahlah. Aku lebih suka pekerjaanku sekarang.”
Chloe merespon dengan senyum tipis. Sebelum Kaya melanjutkan pembicaraan, Chloe buru-buru mengubah topik.
“Omong-omong soal orang kaya, kudengar kau terlibat isu dengan seseorang yang aneh, yaa Minjoon?”
“Ah, dia? Dia benar-benar sesuatu. Dia berusaha membeli pacar orang dengan uang? Apa-apaan itu? Kenapa dia tidak menemuiku?”
“…Kenapa dia harus menemuimu?”
“Karena properti intelektualmu milikku, pastinya.”
“Menurutku, ini bukan tempat yang benar untuk menggunakan kata itu…”
“Terserah. Apa dia masih pergi ke sana?”
“Entahlah…” kata Minjoon. Delia tidak pernah datang lagi setelah itu. Temannya, Terry, juga berbeda. Dia terus bertemu wanita itu di mana-mana. Misal di taman tempat dia jogging, atau di pasar. Dia menggigil tanpa sadar saat memikirkannya.
“Aku sungguh tidak mau memikirkan tentang mereka.”
“Apa wanita bernama Delia itu cantik?” tanya Chloe.
Minjoon menatap Chloe tak percaya.
“Kalian kenapa sih malah bertanya hal semacam itu? Kaya pun menanyakan hal yang sama.”
“Well, jadi bagaimana dia? Aku penasaran.”
“Dia bilang Della cantik. Sebenarnya dia berkata Della tidak terlalu buruk, tetapi bukankah itu berarti della cantik?”
Kaya mencebik kesal. Minjoon menghela nafas.
“…Bisakah kita tidak membicarakan bagaimana pelampilan pelangganku? Aku tidak bisa menyebut mereka jelek atau semacamnya. Tetapi menyebut mereka cantik akan membuatmu marah.”
“Aku tidak bilang aku akan marah.”
“Kau lebih cantik.”
“Kau mengatakan itu dengan suara sangat lelah, kau tahu?”
Bibir Kaya manyun. Mungkin beginilah rasanya membesarkan anak kecil. Kaya sering kali bersikap sangat tidak dewasa.
“Aku lelah karena berusaha memikirkan resep baru.. pergi sana.”
“Ah, karena Michelin itu?”
Mata Chloe berkilat senang. Minjoon menggelengkan kepala.
“Bukan. selain Michelin, aku senang karena aku bisa membuat hidanganku sendiri masuk di menu. Rachel berakhir membuat ribuan hidangan menakjubkan hampir setiap hari, tetapi aku berakhir lelah karena membuat satu hidangan dalam sebulan.”
“Berapa banyak yang kau buat sejauh ini?”
“Untuk hidangan yang kubuat sendiri…hanya satu. Hidangan penutup itu.”
“Oh, yang itu? Apa yang akan kau buat kali ini?”
Minjoon berpikir sejenak. Dia punya masalah dalam menjelaskannya. Dia perlahan berkata,
“Hidangan yang waktu itu sebenarnya sangat susah dibuat. Aku harus simulasi dengan banyak sekali cita rasa. Tetapi sebenarnya, itulah yang membuatnya menarik. Jadi, hidangan seperti itu yang akan aku buat kali ini.”
“Hidangan penutup?”
“Bukan. Hidangan pembuka. Aku akan mengeluarkan 5 cita rasa dari satu bahan.”
“….Lima? Apa itu mungkin?”
Minjoon hanya tersenyum. Resep itu belum selesai. Tetapi dia yakin bahwa hidangan itu akan membuat orang melayang ketika selesai nanti. Lagipula…
[skor ekspektasi dari resep itu adalah 9 poin.]
<Kehidupan di luar jendela (5)> Selesai.