Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 241 <Tak biasa (1)>
Kebanyakan orang di dunia berpikir bahwa mereka spesial tetapi juga biasa saja pada saat bersamaan. Jika ada orang yang bertanya apakah ini yang dipikirkan Minjoon, dia akan menjawab tidak. Minjoon adalah orang yang berpikir bahwa dirinya biasa saja. Biasanya, Dia juga bahagia dengan fakta ini. Lagipula, Korea menyukai orang yang biasa, yaitu orang yang bisa berbaur. Menjadi biasa saja sama sekali bukan masalah.
Dia mulai merasakan sedikit tidak biasa akhir-akhir ini.
‘Level memasak… 7.’
Kaya dan Anderson, level keduanya 8 saat ini, tetapi hal itu tidak membuat dirinya merasa buruk. Mulanya, dia bahkan tidak tahu kapan mereka menjadi level 7. Tidak mungkin baginya untuk benar-benar membandingkan perkembangannya terhadap yang lain.
‘Aku naik dua level dalam setahun.’
Ada banyak alasan untuk itu. Pertama, dia punya banyak sekali poin pengalaman bekerja selama bertahun-tahun, ketika dulu dia bekerja di dapur, sebagai guru, dan bahkan saat masih sekolah… Dia pun selalu berlatih.
Tentunya, dia tidak bisa berkembang dengan baik tanpa seorang guru, tetapi begitulah pengalaman.
Plus, ada Grand Chef. Minjoon bisa bekerja sama dengan sesama chef dalam banyak misi. Semua pengalaman itu akhirnya dapat diandalkan selama kompetisi.
Mungkin sebenarnya, level memasaknya tidak naik selama kompetisi. Mungkin semua pengalamannya itu akhirnya berguna dengan baik untuk pertama kalinya.
Dan saat ini, Minjoon tahu dengan pasti bahwa hidangan yang saat ini dia buat…akan menjadi yang terbaik sepanjang karirnya.
‘Lima rasa parmigiano reggiano.’
Tidak hanya lima rasa. Dia berencana memasak 5 jenis keju berbeda-beda. Tetapi akhirnya…
“Chef, kau akan mati pada kecepatan ini. Apa kau berencana hanya makan keju untuk makan malam?”
“…Aku perlu mencicipinya sedikit lagi.”
Ini bukan hanya lima rasa yang berbeda dari lima jenis parmigiano reggiano. Masing-masing bagian dari potongan kecil keju terasa berbeda. Kulitnya, tengahnya, semuanya.
‘Ini…akan terasa lebih enak sebagai busa. Dan ini…’
Maya mendecakkan lidahnya dari dalam saat dia menonton Minjoon bekerja. Dia tahu pria itu aneh, tetapi menontonnya saat sedang membuat sesuatu semacam ini membuat Maya sedikit ketakutan dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang bisa fokus dalam satu hal begitu lama? Hal itu hampir membuat Maya mengkhawatirkannya.
Tetapi sebaliknya, Minjoon sedang menikmati waktunya sendiri. Dia menyadari bahwa dia tidak biasa saja. Bukan, dia menyadari bahwa dia tidak harus bertingkah biasa saja. Seorang chef harus spesial. Imaginatif. Seorang chef harus menjadi seseorang yang dapat membuat makanan yang diimpikan kebanyakan orang.
‘Aku tidak bisa memuaskan siapa pun…jika aku biasa saja.’
Minjoon mulai membuat kaldu dari kulit keju. Saat Maya mendekat untuk membantu, kamerawan memanggilnya.
“Ms. Maya, boleh aku mewawancaraimu sebentar?”
“Sekarang? ….Baiklah.”
“Kemarilah, lewat sini.”
Kamerawan mengajak Maya ke ruang istirahat di belakang. Syukurlah, tidak ada siapa pun di sana. Kamerawan segera bertanya begitu mereka duduk.
“Bagaimana Minjoon menurutmu?”
“Sebagai chef, atau sebagai Minjoon?”
“Secara umum.”
“Dia sedikit … sulit. Bukan tentang aku susah bekerja sama dengannya, melainkan dia susah diprediksi. Terkadang dia seperti bocah, di lain waktu, dia seperti orang dewasa. Kadang-kadang dia luar biasa tenang dan berwibawa, dan di lain waktu dia panas karena gelora yang aneh.”
“Yaa, aku paham itu. Aku penasaran apakah dia seorang jenius?”
Maya tidak bisa merespon itu. Apa dia memang jenius? Ada rumor di kalangan chef tentang itu, sebenarnya. Minjoon masih 21, bukan 22 sekarang. Menjadi seorang chef demi di usia muda…itu tidak umum, sebenarnya. Beberapa chef kepala yang ada yang mendapat bintang michelin di usianya.
Tetapi sebutan jenius mengandung daya tarik. Itu membuatnya ragu untuk menggunakannya.
“Menurutku, Kaya yang jenius. Chef Minjoon setidaknya berlatih dengan bahan-bahan yang dia inginkan. Tetapi Kaya berakhir memenangkan kompetisi bahkan tanpa berlatih. Menurutku, sebutan jenius milik orang-orang seperti dia.”
“Jadi, kalau begitu Minjoon tidak jenius?”
“Aku tidak yakin. Lagipula, lidahnya sudah mendunia. Dia harus berbeda lewat satu atau lain cara. Aku memang melihat sisi jeniusnya kadang-kadang. Apalagi dengan hidangan penutup yang waktu itu.”
“…Lalu apa?”
“Entahlah. Chef Minjoon sendiri pun tidak tahu. Dia tipe orang yang membuat semua orang di dapur memikirkannya sejenak. Itulah kenapa aku menyukainya. Dia tampak jauh lebih mudah didekati daripada seseorang seperti Kaya.”
Sedikit rumit, tetapi masih dapat dipahami. Maya tersenyum.
“Mungkin aku menyukainya karena dia tidak jenius. Lagipula, kami adalah orang biasa. Kami menyukai hal-hal yang tidak sempurna, setidaknya. Plus, selain itu semua, … sebagai manusia, dia adalah yang terbaik yang pernah kulihat.”
“Kau sedikit menyukainya, hah?”
“Aku kan tidak bisa mengatakan kejelekan bosku, apalagi di televisi.”
Maya menyeringai.
Minjoon masih sibuk memasak ketika mereka kembali. Dia melihat Maya dengan senyum meminta maaf.
“Maaf, Maya. Aku menahanmu sepanjang malam.”
“Tidak, kau sedang bereksperimen. Aku suka bisa membantu. Plus…”
Maya melihat ke sekeliling dapur. Jelas semua orang masih di dapur. Alasannya sederhana. Mereka semua sedang fokus dalam mengembangkan resep mereka sendiri.
“Apa kau mengatakan sesuatu tentang bekerja sama waktu itu?” tanya kamerawan dengan nada bingung.
“Tentu saja. Tetapi orang-orang yang datang kali ini dari Michelin sendiri. Semua orang menjadi ambisius. Mereka ingin memamerkan resep mereka sendiri.”
Javier adalah yang paling ambisius di antara semuanya.. Dia tidak lupa pentingnya bekerja sama, tentunya, tetapi dia masih ingin menyelesaikan sesuatu sendiri.
“Kau selalu bilang bahwa sebaiknya tidak meluapkan ambisius pada makanan yang kita buat. Perasaan yang buruk akan menghasilkan makanan yang buruk.” Kata Kamerawan.
“Ambisius tidak selalu buruk. Membuat makanan dengan pemikiran ‘aku akan mengosongkan dompet seseorang’ itu yang jahat… Ini lebih seperti impian. Impian menjadi seorang chef. Impian membuat makanan yang luar biasa.”
“…Jawaban yang bagus sekali. Jadi, menurutmu, apa kau merasakan pentingnya bekerja?”
Minjoon tersenyum percaya diri.
“Aku sudah mendapat jawaban untuk itu. Kau akan melihat hasil kerjaku segera.”
“Hidangan pembuka, kan?”
“Iya, tapi aku telah menukarnya menjadi hidangan penutup.”
“Hm? Kenapa?”
“Menurutku rasa asin keju akan terasa enak sebagai hidangan penutup, tapi…”
Minjoon menarik napas berat. Dia tampak hampir tidak bisa menutupi kegembiraannya.
“Aku akan segera melihatnya.”
Minjoon mulai beranjak. Langkah pertama adalah membuat saus busa. Udara dan busa. Hal pertama yang dia buat adalah udara. Dia mengambil kaldu yang terbuat dari kulit keju yang berumur 40 bulan, menggerusnya bersama dengan kulit keju yang berusia 50 bulan. Kemudian,m dia menyaring semuanya dengan penyaring kopi, kemudian mencampur semuanya dengan lesitin. Dengan begitu saus selesai.
Busanya bahkan lebih sederhana. Dia akan merebus kaldu ayam dalam thermomix, kemudian menambhakan keju parmesan 30 bulan ke dalamnya. Dia akan membuat busa dari itu dalan sifon setelahnya.
Kemudian membuat galette. Dia membuat adonan menggunakan pati jagung, keju, dan mentega leleh. Dia menebarkan adonan di atas alas silpat sesudahnya. Setelah memasaknya selama 2 menit dalam oven, galet selesai.
Tinggal dua hal yang tersisa. Pertama, saus keju yang dia buat sebelum dengan krim, kaldu ayam, garam, dan keju yang berumur 36 bulan. Minjoon membentuk dasar hidangan dengan saus itu.
Berikutnya adalah kue souffle. Dia mengambil ricotta asap, parmigiano reggiano, dan krim dan mencampur semuanya. Dia aduk lipat dalam meringue, kemudian memanggangnya dalam oven. Dia meletakkan shouffle di atas saus, kemudian d atasnya lagi di beri busa dan udara. Kemudian dia memasukkan galette di antara busa dan souffle tersebut.
“Wow…”
Semua orang yang menonton di dapur memperlihatkan wajah terpesona. Hidangan itu tampak menakjubkan, jauh dari sederhana.
Penglihatan Minjoon hampir dikaburkan dengan layar-layar yang tak terhitung jumlahnya, tetapi dia mengabaikan semua itu. Saat ini, dia tidak mau melihat apa pun selain hidangannya.
“Aku akan kembali.”
Minjoon mengambil hidangan itu lalu berjalan. Jelas pada siapa dia ingin menunjukkannya. Maya menelan ludah, kemudian mencicipi sedikit saus yang tertinggal di thermomix. Wajahnya berubah gembira. Orang-orang yang ada di dapur berkerumun mendekati thermomix, Minjoon mengetuk pintu kantor.
“Masuklah.”
Dia mendengar suara Rachel dari sisi lain. Perasaan gugup menghampirinya, sama seperti waktu itu. Namun, dia percaya diri. Percaya bahwa dia akan lolos. Rachel tampaknya mengetahui hal itu.
“Kau tampak percaya diri hari ini.”
“Iya, betul. Aku percaya diri bahwa siapa pun yang mencicipi ini akan menyukainya.”
“Oh, Kau membuatku sangat bersemangat. Apa kau tahu, omong-omong, tidak ada muridku yang langsung lolos dalam percobaan pertama.”
“Aku akan menjadi yang pertama. Itu bagus.”
“Siapa tahu? Aku harus mencicipinya dulu.”
Rachel mengangkat sendoknya. Saus, galette, dan souffle berkilau di bawah cahaya lampu seperti permata. Setidaknya, itu permata di momen yang tepat. Sebuah permata yang akan menghilang dengan cepat saat muncul.
Mulut Rachel terbuka. Minjoon memejamkan mata saat dia melihat sendok masuk. Dalam kegelapan, satu baris berkilau terang di depannya.
[Skor 5 rasa, 5 tekstur parmigiano reggiano 10 poin!]
<Tak biasa (1)> Selesai.