Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 242 <Tak biasa (2)>
10 poin. Mendapat poin penuh untuk pertama kali bukanlah prestasi yang berarti. Dia mencapai level yang mana chef siapa pun bisa mencapainya. Dia mampu membuat makanan yang diimpikan orang-orang. Dia akhirnya berkembang sampai bisa menyebut dirinya chef yang sebenarnya.
Jo Minjoon perlahan-lahan membuka matanya, Dia menjadi luar biasa terkejut dengan apa yang dia lihat di depannya. Dia melihat sesuatu pada wajah Rachel yang belum pernah dia impikan untuk dilihat.
Rachel sedang… menangis.
“A-apa kau baik-baik saja?”
Rachel tidak merespons. Dia terus menangis, meski tahu kamera masih merekamnya.
Minjoon tampaknya tidak menyadari bahwa konsep perbedaan rasa dari keju yang berbeda umurnya bukan sesuatu yang bisa dipikirkan oleh chef demi seumurannya. Bahkan seorang chef yang handal tidak memikirkan tentang ini dengan mudahnya.
‘Dia punya insting Daniel.’
Minjoon membandingkan perbedaan level kegurihan dari masing-masing keju, lalu membuat hidangan tiga dimensi dari itu. Itu adalah teknik yang Daniel tunjukkan beberapa kali di masa lalu. Metode Minjoon… sangat mirip sekali dengan metode Daniel.
Rachel berkata, suaranya hampir terdengar kelelahan setelah keheningan selama beberapa saat.
“Aku sungguh membuat keputusan yang tepat memilihmu.”
Minjoon tidak bertanya apa tujuan dia memilih dirinya. Dia tidak bertanya apa yang benar soal keputusannya. Sebelum itu semua, dia hanya bisa memikirkan tentang kenapa dia yang dipilih.
Lidahnya. Mungkin itu alasan Rachel memilihnya. Lagipula, dia selalu mengatakan bahwa pencicip super akan selalu melihat dunia dengan sedikit berbeda. Ekspektasi itu… selalu agak menekan Minjoon.
Tapi ternyata ini menjadi berkah terselubung… Karena ekspektasi Rachel, karena ekspektasi orag lain padanya, Minjoon harus mencoba lebih keras dari yang lain untuk menjadi “pencicip super”.
Dia sedag berjuang. Berjuang untuk tidak mengecewakan orang lain. Hal ini membuat Minjoon merasa kurang percaya diri dalam hati. Dirinya bukanlah pencicip super. Dia tidak memiliki kekuatan seperti yang dipikirkan orang lain.
Kebanyakan orang akan menyerah pada titik ini. Mereka akan kabur untuk bersembunyi dari tanggug jawab mereka. Akan tetapi Minjoon tidak bisa melakukan hal yang sama. Dia suka memasak. Cukup untuk membuatnya memikirkan bahwa itu adalah takdirnya. Tanpa memasak, hidupnya tidak akan sama baginya.
Jadi dia berlatih. Dia mencoba melatih lidahnya sampai pada level tidak bisa dibedakan dari supertaster. Dia terus menerus memposisikan dirinya sebagai pencicip super, untuk melihat bagaimana mereka mendekati hidangan. Baginya, pujian adalah cambuk, alih-alih penghargaan.
Karena itu…
“Jangan menangis… Guru.”
“Lalu kenapa kau menangis?”
Rachel menyeringai dengan mata memerah. Minjoon menyeka air mata di matanya juga. Rasanya dia sungguh mendapat pengakuan atas semua usahanya.
‘Rachel bilang… Dia membuat keputusan yang tepat.’
Akhirnya Minjoon memenuhi ekspektasi itu, ekspektasi sebagai pencicip super. Minjoon selalu merasa sangat tertekan dengan perlakuan Rachel padanya. Dia merasa membohongi Rachel. Itulah kenapa… setelah datang ke Rose Island, dia membuat satu harapan.
Membantu Rachel memenuhi impiannya.
Dia sungguh tidak tahu apa itu. Namun, dia ingin membantu Rachel meraih impiannya, dengan satu atau lain cara. Lagipula, tdak banyak hal lain yang bisa dia lakukan.
‘Wajah Rachel yang menangis…’
Kamerawan memikirkan Minjoon dengan ekspresi melongo. Apakah Rachel menangis karena ini akan tayang di televisi? Sebelum itu, makanan macam apa yang bisa membuatnya menangis seperti ini? Memikirkan itu membuatnya penasaran setengah mati.
Akan tetapi, dia tidak mendapat kesempatan untuk mencicipi hidangan itu. Rachel menyendok sampai habis hidangan itu. Dia gemetar karena syok. Sudah sangat lama sejak dia merasa seperti ini saat menyantap makanan.
“Ini… tidak kurang dari suatu karya seni. Aku ingin menangis begitu mencicipi sesuatu yang sehalus ini. Siapapun yang paham cita rasa akan menangis ketika mereka mencoba ini.”
“Terima kasih.”
“Apa aku sudah memberi tahumu? Tidak ada dari para muridku yang langsung lolos dalam percobaan pertama.”
“Iya, sudah.”
“Sepertinya kau akan jadi yang pertama, Minjoon.”
Rachel tersenyum. Wajahnya penuh harapan, kebahagiaan, dan ekspektasi. Sebelumnya, melihat ekspresi Rachel itu, akan membuatnya merasa bersalah. Dia masih merasa sedikit bersalah, tetapi jauh lebih sedikit dari sebelumnya.
Dia bisa membalas tersenyum sekarang. Dengan percaya diri. Dia tahu dia tidak akan mengecewakan Rachel.
Minjoon mendapatkan perhatian semua orang saat dia keluar dari dapur. Tanpa berkata apa pun, dia mengangkat piring kosong di depan mereka.
“…Guru menghabiskannya?” tanya Janet tercengang.
“Betul.”
“Apa sih yang kau buat? Aku ingin mencobanya.”
“Tentu. Tapi bayar 40 Dollar per orang yaa…”
Janet segera mengeluarkan dompetnya, tidak menyadari itu sebuah gurauan. Dia tampaknya penasaran dengan makanan itu. Lagi pula tidak ada seorang pun yang lolos pada uji coba pertama dengan Rachel.
“Ini, 40 Dollar.”
“Tak perlu, aku bercanda. Aku akan membuatkannya untukmu, tunggulah.”
Minjoon menuju posnya. Karena dia sudah punya bahan-bahannya, membuat hidangan itu tidak butuh waktu lama. Semua orang yang mencicipinya berakhir tercengang. Javier bergumam dalam syok.
“Ini…sama lezatnya dengan sup kentang dengan busa bacon yang waktu itu.”
“Kupikir akan terasa asin karena kejunya, tetapi tidak seperti itu. Aku bisa tahu kenapa kau membuat hidangan penutup dari ini. Apa kau menambahkan banyak gula?” tanya Janet.
Minjoon menggelengkan kepala.
“Tidak. Aku menambahkan hanya sedikit, rasa gurihnya berasal dari kejunya sendiri. Lagipula, aku banyak berfokus pada cita rasa kejunya.
“Aku penasaran betapa besarnya efek umur keju pada hidangan ini, menakjubkan sekali. Aku tahu kau memasak semuanya dengan cara yang berbeda, tetapi semua itu terasa berbeda.”
Minjoon hanya tersenyum mendengar kata-kata Janet. Anderson fokus mencicipi hidangan. Pria itu menoleh melihat Minjoon dengan kesal.
“Apa? Apa yang kau lihat?” kata Minjoon, dan sedikit mundur.
“…Ini enak. Terlalu enak.”
“Kalau begitu kenapa kau terdengar marah?”
“Karena aku. Apa yang sedang kau lakukan? Bagaimana caramu membuat ini?”
“Tenang. Aku hanya beruntung.”
Anderson masih terlihat geram. Itu dapat dipahami. Dia selalu berpikir bahwa diriya dan Minjoon berada pada level yang sama, tetapi makanan Minjoon kali ini jauh lebih baik dari apa pun yang dia buat. Anderson tidak memiliki gagasan tentang apa yang akan dia gunakan untuk membuat hidangan semacam ini.
Anderson mengembalikan piringnya pada Minjoon.”
“Beri aku satu lagi.” Dia berkata dengan nada kesal.
“..Bukannya kau sedang diet?”
“Aku perlu menganalisa ini. Selain itu, bagaimana kau memikirkan untuk membuat ini dengan keju? Kupikir kau tidak bisa memakan keju.”
“Hanya karena aku tidak bisa memakannya bukan berarti aku tidak menyukainya. Plus…”
Minjoon memakan sesuap souffle keju dengan seringai di wajahnya.
“Aku tidak mau menyerah pada suatu bahan hanya karena aku tidak bisa memakannya. “Aku tidak mau begitu.”
“Aneh.”
“Oh, kau mau atau tidak?”
“Kau tampaknya lupa siapa yang mengantarmu ke sini setiap hari.”
“Siap, Pak.”
Minjoon membuat adonan baru meringue dengan senyum lebar. Anderson melihat Minjoon dengan hidangan itu di tangannya. Minjoon mengemas sekedarnya hidangan itu sejumlah untuk tiga orang.
“Kau ingin memakannya di rumah?”
“Tidak, aku akan memberikan ini pada Kaya.”
“..oh iya tentu saja.”
“Ayo, aku ingin memberikan ini padanya.”
“Shsh. Aku belum selesai. Tunggulah di ruang istirahat. Atau pulanglah naik taksi.”
“Kau bercanda? aku tidak punya uang untuk membayar taksi. Aku akan menunggu.”
Minjoon menuju ruang istirahat dengan senyum tipis. Anderson melihat dirinya dengan wajah kesal, lalu menghela napas dan kembali bekerja.
Minjoon berpikir bahwa dirinya akan memiliki waktu sendiri di ruang istirahat, ternyata tidak. Ada seseorang di sana. Justin, pegawai magang, sedang mengunyah hidangan yang dia dapat dari Minjoon di sudut ruangan
“Justin?” tanya Mnjoon.
“Eh, ah, ah! Maaf, chef Minjoon. Aku tidak bermaksud membolos…”
“Tidak, tidak. Aku tidak akan menghukummu atau apa pun. Jangan khawatir.”
“Ah, iya.”
Mau tak mau dia tetap merasa gugup. Tidak hanya karena Minjoon adalah bosnya secara teknis, tetapi juga karena Minjoon sangat dihormatinya. Hanya karena hidangan itu membuat Justin semakin menghormatinya.
5 menit keheningan yang canggung berlalu kemudian Minjoon berbaring di sofa.
“Aku akan berbaring di sini sebentar, apa tidak masalah bagimu.”
“Tentu saja tak masalah, ini kan ruang istirahat.”
“Baiklah. Kawan, hari ini melelahkan.”
“Tapi kau lolos, jadi ini sebanding, bukan?
Minjoon hanya merespon dengan tersenyum. Justin menatap Minjoon dalam diam. Kenapa pria itu terlihat sangat keren saat ini? Dia ingin berbaring seperti itu suatu hari nanti. Berbaring di sofa setelah hari riset yang berat.
Justin membuka dan menutup mulutnya beberapa kali. Dia tidak ingin mengganggu Minjoon, tetapi dia sangat ingin bertanya pada Minjoon.
“Bisakah aku menjadi sepertimu suatu hari nanti?
Dia menyadari bahwa itu pertanyaan yang bodoh setelah menanyakannya. Minjoon melihat Justin dengan menyipitkan mata. Justin menggaruk-garuk kepala malu.
“Maaf, itu pertanyaan bodoh.”
“Tidak. Itu pertanyaan yang bagus, sebenarnya. Sangat membuatku percaya diri.”
“Well, lagipula kau sangat dihormati. Denganmu menjadi pencicip super, dan menjadi… murid favorit Rachel.”
“…Favorit itu sedikit melebih-lebihkan. Rachel punya banyak murid yang hebat. Jangan mengatakan dengan cara seperti itu.”
“Maaf.”
Justin segera menunduk, membuat Minjoon menghela napas.
“Ayo ubah pertanyaan menjadi ‘bagaimana aku bisa menjadi chef yang hebat?’ Itu lebih baik. tak masalah, kan?”
“Iya,”
“Ketika orang-orang menghadapi tujuan yang tidak mungkin, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Mereka yang menyebut impiannya itu adalah impian kanak-kanak dan mereka yang berpikir ‘aku pasti bisa melakukannya dengan satu atau lain cara.”
“Apa kau punya tujuan yang seperti itu, chef?”
Jo Minjoon mengangguk. Impiannya adalah memenuhi ekspektasi orang di sekitarnya. Karena dia berada di bawah ekspektasi itu, maka cukup sulit baginya.
“Memimpikannya atau menghadapi kenyataan… adalah masalah yang dihadapi banyak orang. Tetapi lihat, sebenarnya aku tak pernah menyelesaikan satu atau dua hal.”
Justin tampaknya sedikit bingung, tetapi Minjoon sungguh tidak berbohong. Dia dulu adalah seorang guru yang menghadapi kenyataan, dan dia berusaha mengejar impiannya dengan menjadi chef. Saat ini pun, dia masih mengejar impiannya.
“Dengan menghadapi kenyataan, membuatmu menemui banyak alasan. Yaitu bagaimana mimpi hanya akan menjadi mimpi sedangkan pilihan akan membuatmu stabil secara finansial. Tetapi ketika kau mengejar impianmu, kau hanya berpikir satu hal.”
“…Apa itu?”
“Bagaimana aku bisa melakukan ini?” jawab Minjoon dengan tenang. Suaranya penuh dengan gairah.
“Bagaimana aku bisa menjadi yang terbaik? Bagaimana aku bisa memasak lebih baik? Bagaimana aku bisa menjadi lebih cepat? Bagaimana aku bisa terlihat lebih baik di dapur? Terus menerus memikirkan itu pada akhirnya akan membimbingmu pada jawaban yang benar.”
“Benar…r.”
“Well, itulah yang aku pikirkan sebenarnya. Well, Justin, apa yang ingin kau lakukan? Apa kau ingin bermimpi, atau kau ingin menghadapi realita?”
“Aku…..”
Justin tidak ragu dalam waktu lama. Jawabannya sedikit mengejutkan Minjoon.
“Aku ingin melihatmu, chef.”
“…Aku?”
“Iya. Kupikir aku bisa melakukan itu jika kau memberitahuku aku bisa melakukannya. Kumohon.”
Minjoon tersenyum. Orang ini menaruh kepercayaan terlalu banyak pada Minjoon, rasanya seperti itu.
“Aku tidak berpikir aku bisa memberi tahumu bahwa kau sebenarnya bisa melakukannya. Tapi aku bisa memberi tahumu untuk bekerja dengan semangat itu bersama-sama denganku. Untuk sama-sama bermimpi.”
“…Terima kasih.”
“Kalau begitu aku akan tidur.”
“Ah, tunggu dulu.”
Justin memanggil Minjoon lagi sebelum dia terlelap. Saat dia melihat Minjoon, Justin melihat bingkisan itu, lalu berkata,
“Tampaknya kau punya lebihan makanan.. Boleh kuminta?”
Minjoon merespon dengan sangat tegas.
“Tidak, ini untuk istriku.”
<Tak biasa (2)> Selesai.