Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 243 <Tak biasa (3)>
Justin menyerah begitu cepat. Lagipula, dia tahu betapa keras kepalanya Minjoon.
Napas Minjoon mulai semakin tenang, hampir seperti orang mati. Justin penasaran sendiri betapa lelahnya Minjoon.
‘Dia pandai memasak, tetapi juga seorang pembicara yang luar biasa.’
Apa dia berlatih saat waktu luang? Justin tidak tahu. Tetapi Justin tahu bahwa dirinya sungguh ingin seperti Minjoon.
Anderson masuk ke ruang istirahat pada saat Minjoon tertidur pulas.
“Ah, Chef. Chef Minjoon sedang tidur saat ini…”
“Memangnya kenapa kalau dia tidur? Ini kan bukan rumahnya. Bangunkan dia.”
“Tidak…”
Anderson memelototi Justin. Justin mulai menggoyang-goyangkan badan Minjoon untuk membangunkannya.
“Bangun, chef! Bangun!”
Namun, Minjoon tidak merespon. Jo Minjoon malah mengerang pelan dalam tidurnya. Anderson mengambil makanan Minjoon lalu berkata.
“Hei, aku akan memakan ini jika kau tidak bangun.”
“Tidak, itu untuk Kaya.”
Minjoon segera bangun, hampir seolah dia tidak tertidur sebelumnya. Anderson menghela napas dalam hati lalu berbalik.
“Ayo! 5 menit lagi kalau kau tertidur lagi aku tinggal.”
“Baiklah, baiklah. Berhentilah menakutiku seperti itu.”
Minjoon bersiap untuk bangun dengan cepat. Dia menepuk bahu Justin dengan senyum.
“Bekerja keras, oke!”
“Siap, Pak”
Justin menjawab dengan mata berbinar. Pada saat Minjoon dan Anderson masuk ke dalam mobil, Anderson mulai berkata lagi.
“Justin sangat mengagumimu.”
“Itu tak terhindarkan. Aku memang sangat tampan.”
“Apa kau sedang sakit? Apa akhirnya Kaya menularkan penyakitnya?”
Minjoon tersenyum tanpa berkata apa-apa. Anderson tidak berbicara lagi sampai mereka hampir tiba di rumah.
“Terkadang, aku iri padamu.”
“Apa lagi sih?”
“Aku tahu kau bekerja keras. Aku tahu kau bekerja lebih keras dari kebanyakan orang di sana. Tetapi aku tetap merasa iri. Kau selalu bisa mendapatkan hasil yang mencerminkan jumlah usaha yang kau curahkan.”
“Menurutmu kau tidak?”
Anderson tidak bisa merespon. Kadang-kadang, setiap kali dia merasa lemah, pemikirannya akan kacau. Dan setiap kali sesatu menjadi sulit… Dia ingin mengungkapkan perasaannya. Seperti sekarang, contohnya.
“Apa aku akan selalu di belakangmu?”
“Dia bahkan tidak benar-benar memikirkan apa yang baru saja dia ucapkan. Tetapi ketulusan itu membuat Minjoon bertanya lebih serius. Minjoon melihat Anderson dengan tatapan khawatir. Anderson tidak balas menatap, bukan karena dia sedang menyertir. Mereka sedang berhenti di lampu merah. Anderson merasa takut untuk melihat Minjoon. Dia merasa seolah dirinya akan terlihat menyedihkan apabila dia membalas tatapan Minjoon.
“Maaf, Seharusnya aku tidak mengatakan itu.”
“…Kenapa kau berpikir kau ada di belakangku?”
“Entahlah. keluar saja dari mulutku. Maaf. Aku tidak bersungguh-sungguh.”
Lampu hijau menyala. Mobil mereka melaju lagi, dan angin mulai berhembus. Angin membuat hawa di mobil menjadi dingin tiba-tiba. Minjoon menutup jendela, dan tiba-tiba di dalam mobil terasa hening.
“Aku juga merasa ada di belakangmu.”
Anderson tidak menjawab. Keheningan yang canggung di antara mereka berlanjut sampai mereka tiba di rumah. Kaya menghambur keluar dari pintu begitu mendengar mobil parkir.
“Apa terjadi sesuatu?”
“Tidak. Aku lelah. Aku mau tidur.”
Anderson masuk ke kamarnya setelah menjawab singkat. Kaya hanya menunjuk ke pintunya dengan wajah terkejut. Minjoon mengecup pipi Kaya dengan senyum.
“Ayo masuk dulu.”
Kaya tidak bertanya lagi. Kesabarannya berlanjut sampai Minjoon selesai mandi. Kaya melihat Minjoon dengan lengan tersilang dari atas tempat tidurnya.
“Ceritakan padaku. Kenapa kalian bertengkar?”
“Kami tidak bertengkar… Ini, cobalah.”
Minjoon mengeluarkan hidangan parmesannya dari restoran. Kaya melihat Minjoon dengan wajah terkejut.
“Apa ini?”
“Aku lolos dengan hidangan ini. Aku menyimpan sedikit agar kau bisa mencicipinya.”
“Oh, yang itu?”
“Iya, aku memasak masing-masing keju dengan cara yang berbeda berdasarkan umurnya. Ini hidangan terbaik yang aku buat sejauh ini. Aku yakin kau akan menyukainya.”
Suaranya jelas penuh percaya diri. Ini sebenarnya pertama kalinya Kaya melihat Minjoon sangat percaya diri di depannya.
Beberapa saat kemudian, sendok Kaya berisi galette, gelembung, busa, souffle dan saus. Kaya mengernyit melihat Minjoon.
“Tapi aku sudah gosok gigi.”
“Tidak ada ruginya gosok gigi lagi. Percayalah, ini sebanding.”
“Oh, sungguh kau…”
Kaya mencicipi dengan ekspresi curiga. Dengan cepat dia menyadari kenapa Minjoon bersikap sangat percaya diri. Siapa pun yang tidak menjadi percaya diri dengan hidangan seenak ini pastilah seorang idiot.
Kaya mengambil sesuap lagi. Satu suap, dua suap. Dia memeluk Minjoon dengan wajah sedih.
“Kerja bagus.”
“Ada apa? Kau tampak seperti mau menangis.”
“Tidak. Kenapa aku harus menangisi ini? Ini sangat enak. Tapi… entahlah. Aku senang kau bisa membuat ini, aku bangga, dan aku sungguh iri. Aku bisa tahu kenapa Anderson seperti itu.”
Jika seseorang memberi tahu Kaya untuk membuat hidangan seperti ini. Dia tidak akan tahu dari mana akan memulai. Ini tidak mungkin hanya bakat. Kaya tidak bisa membuat ini tanpa inspiirasi luar biasa.
Tentunya, bukan Kaya mengatakan bahwa dari semua hal yang diperlukan untuk membuat ini hanyalah keberuntungan. Siapa pun bisa mendapat keberuntungan. Akan tetapi, seseorang yang berusaha keras untuk memanfaatkan keberuntungan nantinya akan mendapatkan juga.
Berapa lama Minjoon harus menunggu dan memikirkan untuk membuat hidangan seperti ini? Kaya memeluk Minjoon lebih erat.
“Oh sayang, kukira aku jatuh cinta padamu.”
“…sebelumnya tidak?”
“Aku jatuh cinta padamu lagi dan lagi. Kerja bagus.”
Kaya mencium Minjoon, lalu menepuknya pelan. Minjoon melihat Kaya dengan ekspresi terkejut. Kaya menunduk melihat ke piringnya dengan ekspresi sedih.
“Aku ingin sekali ibu dan Jemma mencicipi ini.”
“Sekarang makanlah dulu. Aku akan mengundang mereka kapan-kapan.”
“Benarkah?”
“Kenapa aku harus berbohong untuk hal seperti ini? Jangan khawatir. Omong-omong, itu tiga porsi.”
“Aku merasa diriku bisa menghabiskan 10 porsi… Ini sangat lezat…! Aah, aku juga mau membuat hidangan seperti ini.”
“Jangan khawatir. Kau masih sangat muda! Kau bisa melakukannya dengan lebih baik ketika kau benar-benar membentangkan sayapmu. Aku yakin padamu.”
Kaya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Tidak butuh waktu lama hidangan itu habis. Setelah menghabiskannya, Kaya sedih menatap piringnya.
“…Aku merasa sungguh kesal jika hidangan seperti ini menjadi hidangan penutup.”
“Itu karena kau punya banyak sekali hidangan penutup. Seharusnya memang diakhiri sesuatu yang nikmat setelah makanan utama.”
“Yaa, menurutku tidak. Ini bukan jenis makanan yang digunakan untuk menutup sesi makan. Ini seharusnya ada di depan. Aku tidak berpikir ada orang yang mau berhenti makan ini, begitu mereka mulai menyantapnya.”
“Hal itu membuatku penasaran. Ada banyak orang licik yang bekerja sebagai pencicip. Seperti orang yang waktu itu. Jasper, namanya kan? Yaitu orang-orang yang berpikir ada perbedaan jelas antara hasil kerja chef Rachel dan hasil kerja chef demi. Apa menurutmu mereka masih kritis terhadap makananku?”
Tidak mungkin hanya Jasper yang merasa demikian tentang makanan chef demi. Tidak banyak orang yang berterus terang, tetapi jelas mereka meyakini itu.
Minjoon ingin mengubah pemikiran mereka. Dia ingin menunjukkan pada mereka kemampuannya. Kaya meraih tangan Minjoon.
“Jangan gugup. Kau dan aku tahu bahwa kau akan menjadi chef terbaik kedua di dunia.”
“Dan yang terbaik pertama adalah dirimu, kutebak?”
Kaya menyeringai.
“Betul.”
€
Tidak butuh lama untuk Minjoon mendapat jawaban atas pertanyaannya. Lagipula, sejauh ini kritikus adalah orang yang paling mudah ditemui di Rose Island.
Ada satu orang yang berpendapat bahwa makanan Rachel lebih baik dari apapun di sini. Akira adalah seorang kritikus dari Jepang. Dia selalu menyisakan sedikit makanan buatan chef demi di piringnya, sebagai cara untuk mengeluh.
‘Aku di sini karena aku menginginkan makanan chef Rachel.’
Itulah yang dipikirkan Akira. Tentunya, makanan buatan chef demi sedap. Makanan-makanan itu dibuat di bawah pengawasan Rachel, jadi bagaimana mungkin tidak enak? Hanya dengan mengetahui bahwa Rachel tidak terlibat dalam membuat hidangan ini membuatnya merasa sedikit kurang senang.
‘Syukurlah, hanya hidangan Minjoon yang muncul di menu kali ini.’
Kali ini, hanya hidangan Minjoon yang dimasukkan ke menu karena chef yang lain masih belum lolos. Dia bisa menerima ini. Lagi pula hanya satu hidangan dari keseluruhan menu.
“Mari kita lihat seberapa enak hidanganmu…”
Akira mengambil sendoknya sambil menghela napas. Penyaji menjelaskan padanya bahwa hidangan itu dibuat dari parmigiano reggiano yang berbeda-beda jenis.
Ketika dia menyantap suapan pertama, dia berakhir bingung. Akira menunduk menatap hidangan itu. Dia tidak tahu lagi apa yang baru saja dia cicipi. Dia mengangkat sendoknya lagi, sangat tidak menyadari bahwa para chef di dapur sedang memperhatikan dirinya.
‘Dia bisa membuat sesuatu seperti ini.. hanya dengan keju?’
Ini bukan percampuran cita rasa yang berbeda seperti kebanyakan hidangan. Ini hanya satu cita rasa keju. Namun, tiap elemen hidangan terasa mulus satu sama lain hingga mulutnya diserang dengan segudang rasa yang berbeda. Raphael menonton wajah syok Akira dari dapur dan bergumam sendiri.
“Jika kau bisa mengubah keyakinan orang lain tentang makanan, kau bisa menjadi chef yang sesungguhnya.”
“Apa? Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?”
Kamerawan menoleh ke Raphael. Raphael bahkan tidak melihat ke arah kamera saat mengulang perkataannya.
“Seringkali sebagai koki, seseorang harus berurusan dengan prasangka. Tidak peduli seberapa bagus restoran itu, jika ada rumor buruk tentangnya… pelanggan akan berpikir ‘Ya, makanannya memang aneh.’ Pertarungan Minjoon adalah melawan prasangka, ‘Makanan Rachel adalah yang terbaik. Kalau hanya seorang chef demi saja, tidak mungkin bisa menyamai makanan chef Rachel.”
“Itu berarti.. chef Minjoon akan menjadi seorang chef yang akan memenuhi ekspektasi chef Rachel ketika dia bisa mematahkan prasangka itu?”
“Lebih dari itu. Dia harus mengungguli chef Rachel jika dia ingin mematahkan prasangka itu.”
“Apa menurutmu dia bisa melakukannya?”
Raphael tidak merespon. Justru, dia memperhatikan meja Akira. Kamerawan mengikuti arah pandangan itu dengan kameranya. Piring Akira kosong. Raphael menggenggam erat meja di bawahnya.
“Sekarang dia chef sejati.”
<Tak biasa (3)> Selesai.