Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 248 <Ambisi seorang chef tiada matinya (1)>
Minjoon terdiam melihat kunci mobil di depannya. Itu bukan kunci mobil biasa baginya saat itu. Kunci itu adalah simbol janji untuk dukungan finansial di masa depan. Terlepas dari seberapa mahal barang-barang yang akan didapat.
Beberapa hal terlintas di kepalanya setelah itu. Pada awalnya, dia memutuskan untuk tidak menerima uang agar memberikan arti spesial pada hidangan ini. Itu adalah hidangan pertamanya yang menarik perhatian internasional. Dia tidak mau menghubungkan hal itu dengan uang. Namun,…
“Tampaknya Anda berniat investasi pada saya, bukan pada hidangan saya.”
“Kau tidak akan dikaitkan pada apa pun meski kau menerima uang ini. Aku hanya ingin ada di sisi baikmu, itu saja.”
“Anda sebaiknya paham apa artinya membentuk kontrak dengan saya. Saya ini pemuda brengsek yang menyebalkan. Saya tidak akan bersikap baik pada Anda hanya karena Anda menjalankan pabrik.”
“Tentu saja. Itulah persisnya yang kita mau.”
Jefferson menjawab dengan senyuman saat dia mengulurkan kunci pada Minjoon sedikit lebih maju lagi. Minjoon mengambil kunci itu dengan seringai di wajahnya.
“Dan juga aku tidak punya SIM.”
€
Kehidupan Minjoon tidak banyak berubah meski setelah menandatangi kontrak. Namun, dia tidak menjalani kehidupan yang membosankan. Dia selalu bertemu dengan orang baru di Rose Island. Plus, dia memastikan bahwa dirinya punya waktu mengembangkan hidangan baru setiap hari.
“…Chef, ini sungguh menyebalkan.” keluh Maya.
Saat ini, tugasnya adalah mengekstrak kuning telur dari telur rebus (poached egg). Dia menusukkan sebuah jarum ke dalam telur dan menyedot isinya. Mungkin ini terdengar sangat mudah, tetapi sebenarnya agak sulit untuk tidak merusak bagian putih telur saat melakukannya. Minjoon tersenyum saat Maya merengek.
“Kau satu-satunya yang meminta bantuan. Terlalu terlambat untuk kembali sekarang.”
“Agh… Kenapa sih kau selalu membuat hidangan yang rumit? Kuharap ini tidak masuk di menu.”
Keluhannya sangat valid, terutama soal hidangan Minjoon yang sejauh ini memang semuanya membutuhkan perhatian khusus.
Ide hidangan Minjoon saat ini sederhana. Sebuah hidangan campuran yang tersusun dari scottish… yaitu, telur scotch, cassoulet Perancis, dan herbal Korea yang diletakkan di atasnya.
Telur scotch adalah daging berlapis telur dan tepung roti lalu digoreng. Cassoulet adalah hidangan yang secara mengejutkan mirip dengan buddae jigae di Korea. Rebusan kacang tanpa campuran lainnya.
Rebusan itu sungguh merupakan kumpulan dari segala bahan-bahan dan dimasukkan ke dalam panci. Rebusan yang dimasak untuk mengisi perut para tentara Perancis yang kelaparan. Lucunya, hidangan ini masih digandrungi di Perancis.
Banyak bahan-bahan yang perlu disiapkan, tetapi hidangan jawabannya ternyata sederhana. Kau hanya perlu merendam kacang dalam air garam selama setengah hari. Kemudian, kau harus memasukkan kaldu ayam ke dalam oven dengan sejumlah gelatin.
Lemak bebek meleleh dalam panci tungku. Kemudian, menggoreng daging babi asin di dalamnya sampai dagingnya renyah. Persis seperti yang dilakukan Minjoon sekarang. Maya mendengus beberapa kali lalu bertanya.
“Apakah hidangan ini akan terasa enak dengan banyak daging di dalamnya? Kudengar kau harus menggunakan hanya satu jenis daging ketika kau memasak suatu hidangan.”
“Itu jika kau tidak pandai memasak. Plus, inilah cara yang seharusnya untuk membuat cassoulet. Kau tak pernah mencobanya?”
“Tidak pernah. Makanan Perancis itu terlalu mahal. Aku sungguh tidak mampu membelinya.”
“Jadi, kalau begitu aku membuatkan cassoulet pertama untukmu. Aku merasa terhormat.”
“Kau akan memberiku juga?”
“Tentu saja. Kau pikir dirimu akan mengalami habis manis sepah dibuang?”
Maya menelan ludah. Hidangan Minjoon selalu sedap. Cita rasanya tidak meledak dengan berlebihan, tetapi chef Minjoon rupanya paham cara mengeluarkan cita rasa dengan baik. Makanannya cocok dengan selera semua chef demi lain.
“Ini janji.”
Maya mulai mengekstrak banyak kuning telur lebih cepat dari sebelumnya. Dia hampir terlihat seperti perawat di bawah sinar lampu itu. Minjoon kembali ke posnya dengan tersenyum. Menggunakan banyak bahan-bahan berarti dia harus tahu persis kapan saat menambahkan bahan tertentu. Juru masak harus mampu melihat gambaran besar saat memasak, sama seperti chef kepala. Alih-alih melihat semua orang, dia harus memperhatikan tangan dan waktunya.
Minjoon mengeluarkan daging babi dari panci tungku. Sekarang, giliran ayam.
Minjoon memasukkan ayam, bagian kulit masuk lebih dulu. Tidak perlu menambahkan minyak lagi. Kulit ayam akan menyediakan cukup minyak. Pada saat kulitnya menjadi renyah sempurna, Minjoon membaliknya lalu meyisihkannya bersama dengan daging babi. Pada saat dia selesai memasak sosis, tetes keringat terbentuk di dahinya. Maya mengusap dahinya dengan handuk di tangannya.
“Chef, bukankah kau bekerja sedikit terlalu keras? Ini hari minggu. Lebih kau beristirahat setidaknya di hari libur.”
“Jangan khawatir, ini asyik.”
“Kau akan sakit dengan begini.”
“Lalu apa sebaiknya aku berhenti?”
“Tidak, tapi…”
“Mari bicara setelah ini selesai. Seharusnya aku akan merasa lebih baik begitu aku membuat sesuatu yang lezat.”
Yaa, dia memang merasa sedikit lebih lelah akhir-akhir ini. Minjoon mulai bergerak lebih cepat. Dia mulai memotong bawang bombay seukuran dadu. Kemudian, Minjoon mengernyit.
“Chef!” teriak Maya.
“Ah…”
Minjoon mengerang. Dia melihat bawang bombay di depannya. tetes-tetes kecil darah tersebar di potongan-potongan sayuran. Justin berlari dengan membawa plester dan etanol.
Minjoon menyodorkan jarinya ke depan dengan ekspresi meminta maaf.
“Kukira aku sudah lulus dari luka teriris pisau. Kukira para hanya ditakdirkan memotong jarinya sendiri.”
“Sekarang kau bilang begitu? Sudah kubilang istirahat saja.”
“Baiklah. Setelah ini selesai yaa.”
Namun tampaknya, dia sungguh tidak mau berhenti sekarang. Kemudian saat Minjoon mengeluarkan bawang bombay baru untuk dipotong, Maya menghentikannya.
“Aku yang akan mengerjakannya. Lihat saja aku dari sini.”
“Aku baik-baik saja…”
“Tidak, kau tidak baik-baik saja. Plus, ini seharusnya pekerjaanku. Katakan saja apa yang harus kulakukan. Ini harus dipotong dadu?”
“Ya tolong. Terima kasih.”
Setelah memasak bawang bombay hingga menjadi agak transparan, kita harus menambahkan kacang, wortel, seledri, bawang putih, daun parsley, basil, cengkeh, dan kaldu. Rebusan mulai mengeluarkan bau semerbak yang intens. Sekarang, apa yang harus dilakukan hanyalah menunggu. Setelah sekitar 45 menit Minjoon mengeluarkan semua sayur dan bumbu.
“Maya, tambahkan daging yang di sana. Ah, dan pastikan kulit ayam menghadap ke atas, jangan ke bawah.”
“Oh, karena kau tidak mau kulitnya jadi lembek ya?”
“Iya. Sepertinya kau sudah belajar banyak, hah?”
“Itu hanya pelajaran dasar.”
Maya menyeringai pada Minjoon.. Minjoon memindahkan panci tungku ke dalam oven tanpa membukanya.
“Berapa lama lagi kita harus menunggu, chef?”
“Dua jam.”
“…Apa?”
“Kerak akan terbentuk dalam dua jam. Kita hanya perlu memecahkannya setiap 30 menit sebanyak enam kali.”
“Itu 4 jam setengah! Tunggu, tunggu. Ini tidak bisa. Apa kau sungguh berpikir akan memasukkan ini pada menu?”
“Siapa tahu. Itu terserah keputusan Rachel.”
“…Ya Tuhan, Aku benci itu. Kuharap ini ditolak.”
“Jangan khawatir, Maya. Bukan kau yang akan mengerjakan semuai ini.”
Maya menatap aneh kepada Minjoon, sehingga membuat Minjoon menyeringai.
“Bagian gastronomi molekulernya hanya di telur, sungguh. Lainnya hanya…”
“Pekerjaanku, hah?” komentar Janet dengan nada kesal. Minjoon memutar matanya sedikit.
“Kau membuatku agak punya banyak pekerjaan dengan resep yang kau kembangkan sebelumnya. Itu hanya karma, teman.”
“Kau mau mencoba menggangguku?”
Minjoon hanya merespon dengan tersenyum. Dengan mengabaikan mata membelalak Janet, dia berganti melihat jendela sistem di depannya.
‘Cassoulet: 8 point. Dengan telur… 9 point.’
Dia sungguh tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya, tetapi kombinasinya mungkin tidak terlalu buruk. Ada nilai untuk mencobanya dengan pasti.
Sekarang, hanya perlu menunggu permainan selesai. Aroma masakan cassoulet itu hampir menyiksa. Untuk berlanjut selama empat jam…bahkan Rachel akhirnya keluar dari ruangannya untuk memeriksa.
“Aromanya sungguh sesuatu. Apa ini…cassoulet?”
“Iya. Aku berencana membuat telur scotch dengan itu.”
“Telur scotch dengan cassoulet…”
Rachel terlihat kebingungan. Setelah mendengus untuk menghirup aroma selama beberapa detik, Rachel tersenyum pada Minjoon.
“Masih berapa lama lagi?”
“Ini hampir selesai.”
“Apa kau keberatan kalau aku menunggu di sini?”
“Tentu saja tidak.”
“Terima kasih. Sudah lama sejak terakhir aku tersenyum karena menghirup aroma makanan.”
Rachel berdiri di satu sisi dapur dengan tersenyum. Begitu cassoulet matang, teknisnya semuanya selesai. Minjoon mencampurkan sayur-sayuran yang ada dalam cassoulet ke dalam saus dan meletakkan dengan apik kuning telur di atasnya. Dia menyelimuti telur dengan daging rebusan lalu menggorengnya.
[Cassoulet telur scotch: 9 poin!]
‘Bagus.’
Dia tidak membuat kesalahan apa pun saat memasak. Setelah meletakkan telur pada hidangan, dia membawanya kepada Rachel. Rachel menatap balik Minjoon dengan ekspresi aneh. Kalimat yang diucapkan Rachel sama sekali tidak diduga oleh Minjoon.
“Bagaimana perasaanmu?”
“Apa?”
“Semua orang di dunia ini memperhatikanmu. Itu membuatku penasaran.”
“Ah,…perasaanku masih sama dengan sebelumnya. Sangat menarik bagaimana orang-orang di sekitarku berubah.”
“Itulah cara kerja dunia ini. Orang-orang suka memperhatikan pencapaianmu.” kata Rachel pelan. Minjoon hanya menghela napas untuk merespon.
“Apa yang harus dilakukan oleh kita para chef? Terkadang aku merasa chef yang profesional hanya akan fokus pada hidangannya, tetapi terkadang itu keras kepala namanya.”
“Tampaknya kau ingin jawaban dari hal semacam itu, tetapi aku sungguh tidak bisa memberikannya. Aku sendiri telah sering kali memikirkannya… Bagaimanapun, aku ingin mencoba menyantap ini.”
“Ah, iya.”
Rachel melihat ke telur scotchnya. Daging yang digunakan sangat menarik, dan melihat rebusan keluar mengalir di telur merupakan pengalaman yang menarik. Rachel menggigit separuh telur scotch. Sebuah senyuman terbentuk di wajahnya, tetapi dia berakhir meletakkan garpunya. Minjoon terkejut.
“Apa tidak enak?”
“Tidak, hanya tidak sesedap yang aku ekspektasikan. Itu bukan pencampuran yang buruk. Tetapi begitulah. Minjoon,…bisa kau ambilkan cassoulet buatnmu?”
“Cassoulet?”
Minjoon menuangkan rebusan ke piring. Dia menghias hidangan itu sebisanya, tetapi tetap saja itu rebusan. Dia tidak bisa membuatnya tampak berkelas.
“Cassoulet… Aku bukan orang Perancis, tetapi keluargaku sesekali menyantap hidangan ini. Ini sangat memakan waktu, bukan?”
“Iya, memang.”
“Ini salah satu hidangan favoritku. Bahkan sekarang, sungguh. Terkadang aku megidamkan makanan seperti ini lebih dari makanan berkelas. Bukan hanya karena kenangannya. Cita rasa makanan seperti ini sangat berkesan.”
“Benarkah?”
Rachel mengambil sesuap rebusan lagi dengan senyum hangat. Ekspresi gembira terlihat di wajahnya, yang jauh lebih besar daripada saat dia menyantap telur. Minjoon terkejut melihat Rachel. Telur scotch jelas mendapat skor lebih tinggi di sistem. Dia pun mencurahkan waktu dan usaha lebih untuk membuatnya. Namun,…
Rachel berkata,
“Telur scotchnya sedikit aneh. Tetapi ini… semacam karya seni.”
<Ambisi seorang chef tiada matinya (1)> Selesai.