Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 251 <Ambisi seorang chef tiada matinya (4)>
“Tidak akan mau jadi pelanggan tetap…”
Dia tidak menduga apa pun yang baik, tetapi ini bahkan lebih buruk dari yang dia pikirkan. Kata ‘pelanggan tetap’ menusuknya dengan brutal di hatinya.
Makanannya bahkan tidak cukup enak untuk seseorang berpikir ingin datang kembali. Itu hanya cukup bagus untuk sekali makan. Mudah sekali bosan dengan hidangan itu. Tidak ada yang sungguh spesial…
Semua pemikirannya itu berputar-putar di kepalanya seperti angin topan. Tetapi Deborah tidak limbung. Dia sudah melalui ini berulang kali. Dia pun tidak selemah itu untuk tersinggung oleh kata-kata seperti itu.
“Kenapa?”
Oleh karena itu, dia bisa menanggapi dengan sangat santai. Minjoon mengetuk hidangan itu dengan garpunya.
“Ini bukan hidangan untuk pelanggan. Ini hidangan untuk kritikus. Itu adalah sebuah hidangan yang hanya akan mendapat poin dalam majalah.”
“Kenapa?”
“Ini terlalu rumit.”
Minjoon melihat hidangan itu dengan ekspresi rumit. Dia tidak nyaman soal ini. Saran yang dia berikan pada Deborah juga berlaku untuk dirinya sendiri. Dia bertanya-tanya sesaat apakah dia sungguh punya hak untuk mengatakan ini padanya. Namun, jika itu untuk Deborah, dia akan melakukannya.
“Krim kentang-jahe dan jahe madu. Keduanya terasa sangat berbeda meski sama-sama terbuat dari jahe. Aku tidak yakin menyebut ini harmoni ataukah kekacauan. Lidahku jadi bingung ketika mencicipi untuk menganalisanya.”
“Maka dari itu, kupikir kekacauan itu akan ternetralkan oleh daging babi. Aku juga mendapat ulasan yang bagus. Tapi bagaimana hidangan ini menurut para kritikus?”
Minjoon menutup mulutnya. Sulit untuk dikatakan, bahkan bagi dirinya. Meskipun itu untuk kebaikan Deborah.
“Ini kosong.”
“…Kosong?”
“Hanya di atasnya. Sedap, jelas. Hidangan ini membuatmu berpikir ‘ah, ini hidangan yang rumit’. Bahkan kritikus tidak akan mampu mengetahui tepatnya hidangan apa ini.”
“Dan kau bisa tahu?”
“…Hah. Sekarang karena kau telah mengatakannya, aku bisa. Aku peasaran kenapa?”
Minjoon bertanya dengan ekspresi bingung. Ekspresi Deborah mengatakan ‘tentu saja kau bisa’, tetapi Minjoon tahu lebih baik dari siapa pun bahwa sebenarnya dirinya bukan seorang pencicip super.
‘…Apakah ini karena aku selalu memikirkan hal-hal seperti ini?’
Dia harus meluangkan waktu untuk memikirkan soal ini sejenak, tetapi saat ini dia tidak bisa membuat Deborah menunggu.
“Beberapa pelanggan mungkin kembali berusaha menemukan bagaimana seharusnya cita rasa ini. Mereka kemudian menyadari betapa tidak ada inti dari hidangan ini sama sekali. Untuk mengatakan bahwa inti dari hidangan ini adalah jahe agaknya… Kau telah mengembangkan telalu jauh… Orang-orang akan menyadari bahwa hidangan ini sebenarnya tidak punya inti, dan…”
“Tu-tunggu. Tunggu. Kau menjelaskan terlalu cepat sekarang. Bisakah kita beristirahat?” tanya Deborah dengan ekspresi sedih. Minjoon hanya tersenyum lelah padanya.
“Hanya satu kalimat lagi. Tapi kita bisa beristirahat kalau kau mau.”
“Jika hanya satu… Baiklah, teruskan.”
“Orang biasa yang tidak terlalu peduli untuk menemukan citarasa itu tidak akan pernah datang lagi ke restoranmu. Dengan kata lain, hidanganmu tidak menarik orang sama sekali. Hidanganmu hanya mewah saja. Aku merasa seolah kau tidak berusaha menjadi restoran berbintang Michelin, tetapi berusaha mmembuat imitasinya.”
“…Itu tidak satu kalimat.”
“Maaf, bahasa Inggrisku buruk” jawab Minjoon menyeringai.
Deborah hanya menunduk kesal. Sesungguhnya dia tidak marah pada Minjoon. Dia hanya marah pada fakta bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa karena dia setuju dengan Minjoon.
“Aku akan menunjukkan ini pada Rachel dan meminta bantuannya…”
“Kau akan dipukul oleh guru.”
“Kau masih ingin bercanda denganku?”
“Di negaraku, kita mengatakan sesuatu yang pahit biasanya baik untukmu.”
“Kata-katamu tidak pahit. Tapi menyakitkan.” teriak Deborah dengan nada sedih.
Tanpa berkata apa-apa Minjoon menyantap daging pada hidangan itu. Kenapa suara Minjoon mengunyah daging itu terdengar nyaman di telinga Deborah saat itu? Kenapa terasa seolah Minjoon sangat menghargai nilai dari hidangannya saat itu?
“Ini sedikit pedas dan pahit. Mungkin karena jahenya?”
“Apa maksudmu? Aku lebih suka kau mengatakannya lagsung saat ini.”
“Aku mengatakan bahwa bahkan hidangan ini bisa menjadi obat bagimu.”
“Apa…”
Saat Deborah hendak mengatakan sesuatu bel di aula berbunyi. Itu akhir dari waktu istirahat. Jo Minjoon menoleh melihat Deborah.
“Orang luar dilarang masuk dapur selama jam kerja. Aku akan menemuimu lagi nanti.”
Deborah akhirnya keluar dari dapur dengan ekspresi terkejut. Dia melihat kembali ke dapur dengan wajah kesal dari luar.
“Aku bukan orang luar lho…”
€ € € € € € € €
Sayangnya, Minjoon tidak bisa mengobrol dengan Deborah lagi sampai hari berikutnya. Deborah menghela napas di dalam mobil Minjoon.
“Aku benci duduk di sebelah sopir pemula.”
“Hei, Aku tidak bisa memberikan saranku dengan gratis. Tapi omong-omong, bukankah Amerika ini aneh? Kenapa kau harus punya mobil sendiri untuk menjalani ujian SIM?”
“Menurutku, karena kau akan mengemudikan mobil itu nantinya. Jadi, mungkin itu juga dites.”
“Tapi kenapa kau ingin mendapatkan SIM jika kau tidak punya mobil?”
“Kau paham intinya.”
Setelah lolos ujian tertulis, seseorang harus membawa mobilnya sendiri ke area tes untuk tes mengemudi dengan seseorang berusia 25 tahun yang duduk di sebelah sopir di depan. Minjoon tidak bisa menemukan orang seperti itu di sekitarnya, yang aman bagi orang seperti Rachel. Kemudian Deborah datang.
“Mungkin alasan kenapa kau datang ke sini awalnya adalah untuk membantuku mendapatkan SIM.”
“…Kau mengatakan kalau diriku berkarakter semacam itu?”
“Kau bukan ekstra. SIM itu penting! Plus, aku mendapatkannya sekarang berkat dirimu.”
“Berkat aku? Sebenarnya aku hanya duduk di sini. Kau yang melakukannya dengan baik. Apa kau bisa mengemudi di Korea?”
“Sering sekali.
Sebenarnya berkat pengalamanya dari saat dia berumur 30-an tahun, tetapi dia tidak perlu menceritakan itu. Minjoon melirik Deborah. Pipinya bengkak. Wanita itu jelas menangis tadi malam.
“Jangan sering-sering menatapku. Kau akan jatuh hati padaku.”
“Lagipula Kaya lebih cantik.”
“Menurutmu suami para model berselingkuh karena mereka menemukan wanita yang lebih cantik? Selain itu, apa yang membuat dia lebih cantik dari aku?”
“Kaya terpilih sebagai chef tercantik kedua di Amerika. Kau peringkat ke berapa, Deborah?”
“…Itu hanya berlaku untuk selebriti chef.”
“Bukan berarti itu kurang kredibel.”
Deborah terkikik. Minjoon memutuskan untuk mengubah topik.
“Rachel terlihat menakutkan tadi malam. Apa yang kalian bicarakan?”
“Aku diomeli. Tentang aku tidak berkembang meski telah bekerja di bawahnya sekian lama.”
“Aku paham.”
Jo Minjoon menutup mulutnya . Deborah ingin dia mengatakan sesuatu, tetapi ternyata tidak.
“Guru mengatakan bahwa aku kehilangan semangat.”
“…Aku paham.”
“Sungguh tanggapan yang hangat.”
“Maaf. Aku tidak tahu apakah aku sungguh bisa bereaksi yang benar dengan aku sedang menjalani tes mengemudi dan lainnya.”
Dia sangat baik dalam mengemudi untuk ukuran pertama kali. Deborah membelalak pada Minjoon sedikit lalu menarik napas. Lalu Minjoon bertanya pada Deborah.
“Jadi? Menurutmu, apa kau sudah kehilangan itu?”
“Entahlah. Aku jelas sudah jadi pengecut terhadap kritikus.”
“Bukankah fakta bahwa kau memikirkan ini berarti setidaknya kau perhatian pada pelanggan?”
“Siapa tahu. Aku bahkan tidak tahu apa aku melakukan ini karena perhatian, atau karena pendapatanku berkurang. Ada meja di restoranku yang tetap kosong seharian akhir-akhir ini.”
“…Tapi kau kan punya bintang. dan meski begitu masih ada meja kosong?”
“Pembatalan. Selain itu, tidak semua restoran berbintang selalu penuh. terutama jika itu bukan area turis. Ketika orang-orang di area itu menyedari ‘Sial. Michelin tidak sebagus yang kukira…’ Lalu segalanya mulai menurun dengan sangat tajam.”
Suara Deborah terdengar semakin pelan saat dia berbicara. Ketika suaranya hampir hilang, Minjoon menghentikan moobilnya. Deborah melihat ke sekelilig agak penasaran.
“Di mana kita?”
“Galeri seni modern.”
“Kenapa?”
“Untuk PR yang diberikan Rachel padaku. Dia menyuruhku datang ke sini denganmu.”
“…Ke sini?”
Minjoon turun tanpa berkata apa-apa. Deborah mengikutinya.
Ketika mereka memasuki aula pertama galeri, mereka disambut oleh lukisan-lukisan. Minjoon berhenti pada sebuah lukisan. Itu adalah lukisan papan catur yang diisi dengan lapisan-lapisan lingkaran berwarna berbeda. Tiap kotak juga diwarnai berbeda..
“Apa kau menyukainya?” tanya Deborah.
“Kupikir sesaat tadi lingkaran-lingkaran ini seperti hidangan.”
“Aku tidak paham apa yang kau bicarakan. Apa kau suka seni? Kau paham apa yang terjadi di sana?”
“Entahlah. Aku tidak tahu apa artinya lingkaran-lingkaran itu. Tapi tahukah kau, itu memang memunculkan semacam emosi.”
Deborah juga berusaha memperhatikan gambar itu. Ini tetap akan aneh baginya. Rasanya seperti itu seharusnya menimbulkan beberapa perasaan, tetapi ternyata tidak. Hampir seperti hidangannya.
“Aku bertanya-tanya apakah makananku seperti ini?”
“Tidak sama sekali. Makananmu tidak menimbulkan emosi apa pun.”
“…Kau berlebihan, bukan? Kau tidak perlu sejelas itu”
“Kau yang memulai duluan ingin tahu apa masalahya. Pikirkanlah. Bagaimana jika aku pergi ke seniman pembuat lukisan ini dan memintanya mengubah banyak hal? Seperti warna lingkarannya, atau ukuran kotaknya… Jika senimannya mendengarkan, menurutmu, lukisan itu akan menimbulkan emosi yang sama bagiku?”
“…Jadi kau menyarankan agar aku lebih gigih dengan masakanku.”
“Gigih itu bagus. Kau tidak bisa membuat semua orang bahagia, jadi kenapa mencobanya? Bahkan Lincoln menderita banyak luka tembak ketika dia membebaskan para budak. Tetapi dia bertahan.”
“Aku bahkan tak tahu aku harus gigih dalam hal apa.”
Deborah menghela napas dengan lelah. Minjoon berpindah. Kali ini, dia mendekati toilet emas. Ada seorang pria berotot dengan pakaian compang-camping duduk di atasnya. Entah bagaimana, ini mengingatkan Minjoon pada hidangannya.
Toilet itu akan baik-baik saja sebagai toilet. Dengan dicat emas,…justru terlihat aneh. Sama seperti hidangan cassouletnya.
‘Memikirkan tentang hidangan nyata, hah…’
Minjoon melamun menatap toilet itu selama beberapa menit. Atau mungkin beberapa puluh menit? Pada akhirnya, Deborah berusaha mengatakan sesuatu kepada Minjoon.
“Kau baik-baik saja?”
“…Oh, maaf. Aku sedang berpikir.”
“Baiklah. Aku melihat-lihat ke sekeliling juga. Apa kau sedang memikirkan resep?”
“Tidak mungkin. Meski iya, aku tak akan mau menyajikannya pada orang-orang.”
“Sungguh? Sejauh yang kutahu, kebanyakan orang mendapat inspirasinya di toilet.”
Minjoon mengangkat bahu dengan tersenyum. Deborah mencoba menatap patung pria di atas toilet itu. Pria itu menatap ke dalam kehampaan tanpa pernah mengalihkan pandangannya kepada mereka.
“Aku benci mengatakan ini sebagai chef kepala, tetapi aku iri padamu, Minjoon.”
“…Sungguh? Kenapa?”
“Kau selalu tampak penuh inspirasi. Kau tampak seperti anak-anak yang selalu berkembang apa pun yang terjadi.”
“Aku biasa saja. Aku hanya terpikir banyak hal tentang makanan.”
“Itu saja sudah membuatmu aneh.”
“Menurutku, aku sungguh tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.”
“Maka dari itu, aku bisa melihat persisnya kenapa Rachel memilihmu sebagai pewarisnya.”
Minjoon terbatuk terkejut.
“Bahkan kau juga, Deborah? Kau tahu kan dia belum mengatakan apa pun.”
“Tetapi kau seharusnya bisa melihat dengan jelas bahwa dia punya ekspektasi besar terhadap dirimu. Aku tidak pernah melihat Rachel sangat fokus pada seseorang sepanjang hidupku. Kau bisa mendapat keuntungan dari itu, kau tahu? Apa kau tidak merasa ambisius?”
Minjoon pergi tanpa berkata apa-apa. Berpindah ke patung orang yang memakai kalung mutiara raksasa. Namun, orang itu berkepala babi. Minjoon berkata saat dia menatap hidung babi.
“Tentu aku berambisi. Bagaimana mungkin tidak?”
“Sama.”
“Tapi aku sangat takut lebih dari apa pun. Pada akhirnya, aku sebenarnya tidak cocok untuk itu. Aku hanya akan terlihat konyol. Aku ingin menjadi seseorang yang… tampak hebat dengan peranku. Itulah yang aku inginkan.”
“…Bagaimana caranya?”
Deborah terdengar hampir putus asa. Dia pun ingin tahu jawaban pertanyaan itu. Dia ingin menjadi orang yang berharga di posisinya. Seseorang yang sungguh bisa menikmati kehidupannya. Jo Minjoon menjawab.
“Dengan berusaha keras?”
“…Kau terlihat minta dihajar saat ini.”
“Tapi itulah jawabannya. Melakukan itu adalah jawabannya. Jadi itulah yang akan kulakukan. Hingga aku mencapai puncak gunung keahlianku.”
Jo Minjoon mengulurkan tangannya.
“Ayo. Kau tak perlu mencemaskan tentang keahlian mengemudiku atau apapun. Kita bahkan tidak bisa mengemudi ke sana. Setidaknya kita punya Rachel yang membukakan jalan untuk kita.”
Deborah meraih tangannya dengan senyum mengejek.
“Apa kau bisa menggendongku jika aku lelah?”
Minjoon mengangkat bahu.
“Hanya jika kau mendapat ijin dari Kaya dulu.”
<Ambisi seorang chef tiada matinya (4)> Selesai.