Dewa Memasak – Bagian 4: Kembali ke 7 tahun lalu (5)
Skor memasak hanya 5. Namun 6 poin untuk souffle lemon berarti cukup bagus untuk dijual. Dia berpikir jika dia mendapat skor 5 berarti hidangan itu cukup enak. Dia menyajikan Champong dengan dua harapan dan kekecewaan karena hanya mendapat skor 5.
“Ah, ayah harusnya juga di sini.”
Jo Ara berguman kecewa. Mereka bilang jika kau membicarakan singa di belakangnya maka singa itu akan datang (dongeng Korea. Hampir sama dengan membicarakan hantu). Terdengar suara pintu terbuka, Jo Su Yeob datang. Ketika orang tersebut memasuki rumah, dia mencium bau sesuatu dan berkata,
“Bau apa ini? Apakah kau memesan Champong?”
“Tidak. Oppa yang membuatnya. Ayah, kemarilah cepat.”
Jo Ara menarik lengan ayahnya tidak sabar ingin menunjukkan rasa bangga terhadap kakaknya. Jo Su Yeob tertawa melihat Champong yang sudah disajikan.
“Jo Minjoon membuat ini?”
“Aku membuatnya karena aku bosan.”
Jo Minjoon berkata seperti itu sambil menata sumpit. Jo Su Yeob duduk di kursi dengan ekspresi penuh teka-teki. Dia tidak percaya bahwa hidangan di depannya dibuat oleh Jo Minjoon.
Lee Hye Seon berkata sambil berjalan menuju ke meja.
“Sebelumnya dia juga membuat semacam kue. Apa itu namanya? Su…”
“Kue Souffle. Souffle lemon.”
“Iya itu. Aku menyisakannya untukmu. Tetapi hanya sedikit. Kapan-kapan minta Jo Minjoon membuatkan lagi.”
“Jika Ibu berkata begitu, aku siap membuatkan dengan senang hati.”
Jo Minjoon tepuk tangan.
“Oke sekarang waktunya makan. Mienya mulai dingin.”
“Benar. Ayo.”
Jo Su Yeob memejamkan mata dan menangkupkan kedua tangannya. Mereka adalah umat kristiani, mereka melakukan itu untuk berdoa sebelum makan. Jo Minjoon juga menangkupkan tangannya dan berdoa.
‘Buat lah hidangan ini lezat mengejutkan.’
Tentu saja dia telah mencurahkan usaha terbaiknya namun skor hidangan itu hanya 5. Bagaimanapun kebahagiaan seorang chef adalah mendengar pujian atas masakannya yang lezat.
Seolah-olah dikomando sebelumnya, mereka mengangkat sumpit hampir bersamaan dan meraih sejumput kwetau. Sejumput mie transparan yang pipih dan terbuat dari beras. Pada pandangan pertama itu tampak seperti pasta mie linguine. Pasta Champong. Pada saat berpikir hal itu, Jo Minjoon tertawa. Ada momen di mana kombinasi yang tak terbayangkan benar-benar populer.
Ketika masuk ke mulut, pertama kali yang dirasakan adalah rasa pedas berminyak dari lada. Lalu rasa asin dan manis lalu dan aroma spesial yang ditinggalkan dari daging babi. Ini enak. Ini cukup enak jika dibandingkan dengan Champong yang dijual di depot masakan China di kota.
Ketika Jo Minjoon melihat ekspresi keluarganya, dia berpikir apakah semuanya berpendapat yang sama. Sumpit mereka belum berhenti, Jo Su Yeob bahkan meminum habis kuah sup. Nampaknya mereka tidak sempat melihat ke arah yang lain. Sebelum Jo Minjoon bertanya, sebuah alarm muncul.
[Klien yang memakan Champong daging, puas!]
Memanggil mereka klien. Entah berasal darimana, tapi terdengar menyenangkan. Jo Minjoon tertawa dan berkata,
“Enak kan?”
“…Jangan bercanda. Aku pikir tidak perlu lagi menelpon depot masakan China.”
“Tapi rasanya sedikit berbeda? Tidak ada seafood, dan kurang pedas.”
Sejujurnya, untuk membuatnya lebih pedas bukan masalah besar. Itu adalah hasil dari saus yang memberikan cita rasa pedas. Tidak perlu membuatnya lebih pedas menggunakan api. Jika kau memanaskan gula dengan minyak goreng itu cukup membuat rasa pedas. Meski tampak seperti penipuan, tetapi itu adalah solusi yang berguna.
Namun membuat Champong membutuhkan waktu yang lama. Dibandingkan usaha ekstra untuk membuatnya, dari pada repot, lebih baik memesan Champong dari luar. Dengan pemikiran itu, Jo Minjoon menunjukkan bahwa dia sebenarnya tidak percaya diri. Jo Su Yeob berkata,
“Apakah masih ada lagi? Ayah sudah memakan semuanya.”
“Ada. Tunggu ya.”
Jo Minjoon mengambil wajan dan menyajikan Champong. Jo Su Yeob berkata sambil tertawa,
“Bagaimana bisa dia memasak lebih baik daripada kau, Bu? Minjoon ayah ini.”
“…Omong-omong. Bukankah terakhir kali kau bilang masakanku adalah yang terbaik?”
“Nah… Sebenarnya tidak. Masakanmu asin terkadang hambar. Salah satu dari itu. Tidak pernah di tengah-tengah. Pas.”
Jo Su Yeob tertawa soalah-olah mencibir istrinya. Lee Hye Seon marah tapi tidak dapat membalasnya. Dia tidak punya hobi memasak ataupun bakat memasak. Boleh dikatakan dia juru masak yang buruk oleh karena itu dia tidak bisa menentang perkataan suaminya. Lee Hye Seon malah memalingkan muka pada Jo Ara.
“Ara. Berhentilah makan. Kau mau jadi gendut?”
“Apa? Tidak mau. Sedikit lagi aku akan menjadi senior. Teorinya, ini usia di mana gadis menjadi gemuk!”
“Tapi bahkan kau tidak pernah belajar. Berhentilah makan. Tahukah kau berapa banyak lemak dalam Champong?
“Cukup. Aku bukan tipe gadis yang mudah gemuk. Jaga diri ibu saja. Tidakkah ibu tahu, kalau ibu mulai gemuk?”
Jo Minjoon menghela nafas.
“Babak penyisihan pada bulan Maret…”
Jo Minjoon melihat ke layar. Itu adalah babak penyisihan untuk Grand Chef. Omong-omong, dia tidak bisa mendaftar untuk periode pertama karena pada saat itu bersamaan dengan waktunya dia keluar dari wamil. Tidak ada lagi alasan dia tidak bisa pergi bahkan jika itu di bulan maret.
Jo Minjoon melengkapi formulir pengajuan dengan singkat dan mengirimkannya melalui email. Jika kompetisi hanya untuk orang amerika dia tidak punya harapan, tapi beruntungnya tidak seperti itu. Sekarang masalahnya adalah biayanya. Tiket pesawat dan biaya hidup. Jika masih ada waktu sebulan dia masih dapat mengusahakannya entah dari mana. Tapi jika dia berkesempatan masuk final…
Jika anda terpilih menjadi salah satu dari 100 koki terbaik, maka biaya hidup akan disediakan.
Sekarang dia memikirkan hal itu, masuk akal memang jika kau diberi biaya hidup ketika orang-orang dari seluruh dunia berkumpul dalam satu tempat. Tentunya, itu hanya didapatkan jika masuk final. Kau harus mengurus diri sendiri dahulu pada babak penyisihan.
Karena dia melihat ada sedikit harapan soal biaya hidup, lalu dia beristirat sebentar.
‘Sekarang aku harus berkata bahwa aku akan berpergian.’
Dia merasa tidak nyaman jika berbohong, tetapi memikirkan tentang itu, itu bukan kebohongan yang buruk. Paling tidak memang benar dia akan berpergian. Hanya saja tujuan berpergiannya sedikit berbeda dari apa yang harus dia katakan yang sebenarnya.
Dia merasa tidak enak tentang hal itu tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Jo Minjoon menatap tajam pada layar.
“Bahkan jika aku tidak bisa menang…,”
“Tidak…
“Ayo memenangkannya. Aku harus menang.”
Dia tidak bisa terus berpikir tentang kehilangan yang tidak mungkin dihindari. Tatapan Jo Minjoon semakin tajam.