Dewa Memasak – Bagian 53: Persimpangan (4)
Bab Sponsor!
8 poin. Jo Minjoon tercengang sejenak melihat skor itu. Dia tidak percaya. Dia pikir itu sulit dilakukan hingga saat ini. Dia bukan membuat hidangan yang familiar layaknya Hugo. Dia tidak familiar dan tidak suka dengan risotto. Namun Risotto buatannya mendapat 8 poin.
Akan aneh, jika kejadian itu hanya membuatnya bahagia. Tentu jantungnya terasa seperti meledak karena skor yang dia dapatkan pertama kali dalam hidupnya. Di saat yang sama, dia juga merasa ragu, bagaimana mungkin dia bisa mendapat 8 poin? Apakah dengan berkonsentrasi penuh cukup untuk melakukan itu?
“Baiklah, semuanya hentikan tangan kalian.”
Dia masih belum bisa mengatur kembali pikirannya, tapi Joseph sudah berteriak. Tentu tidak ada satu pun peserta yang gagal menyelesaikan hidangan mereka dalam satu jam karena 1 jam memang cukup untuk membuat risotto dan paella.
Saat dia perlahan memeriksa sekelilingnya, tatapannya jatuh pada hidangan Kaya. Dia terus menatap Kaya karena dia tahu bahwa Kaya sedang menunjukkan sikap tidak percaya diri. Maka dari itu, dia bertanya-tanya, skor masakan 8, dia bisa paham soal itu tapi…
‘Bawang merah dan bawang bombay dengan rasio 1-1, parmigiano dan regiano, kaldu kerang, anggur putih kering… Ini sangat mirip dengan risotto Alan.’
Hidangan yang Alan sajikan tadi dibuat lagi sama persis oleh Kaya. Apakah sebenarnya dia memang memasak seperti ini? Dia tidak ingat dengan jelas.
Melihat skornya mendapat 8 poin, berarti bahwa Kaya sukses menghasilkan cita rasa yang sama. Namun, apa dia tidak ingin berkreasi?
‘Itu bukan masalah yang perlu aku khawatirkan’
Jo Min Joon melihat-lihat. Dia membuat hidangan 8 poin untuk pertama kali dalam hidupnya. Bisa dikatakan itu sikap yang kejam, dalam hati dia ingin menikmati keajaiban ini, alih-alih mencemaskan sesuatu yang tidak terjadi.
Yang pertama dievaluasi oleh para juri adalah Carlos dan Marco. Keduanya tidak bisa membuat hidangan yang sempurna karena skor hidangan mereka berdua hanya 6 poin. Lalu Jo Minjoon dengan cepat melihat hidangan peserta yang lain dan hanya satu hidangan dengan skor 5 poin, yaitu hidangan Coney. Dari peserta yang ada, hanya dia satu-satunya yang berusia 40-an, dan dia adalah peserta yang paling pendiam. Dia membuat paella dengan jagung dan bawang bombay, sejujurnya meski pertama kali dilihat, sekilas itu tidak tampak lezat.
Dia berpikir bahwa salah satu yang akan terdiskualifikasi mungkin adalah Coney, jika tidak ada halangan. Namun, untuk tim risotto masih belum pasti, Anderson dan Hugo 7 poin, Kaya 8 poin, dan tiga orang sisanya hanya 6 poin. Tidak ada yang tahu siapa dari 3 orang itu yang akan terdiskualifikasi. Alan memakan sesendok risotto Carlos lalu membilas mulutnya dengan air. Kemudian membuka suara,
“Carlos, apa tema risotto ini?”
“Aku menggunakan aroma daun kemangi dan kacang pinus…”
“Bukan, aku tahu itu dengan jelas, tapi kenapa aku mengunyah lebih banyak kacang pinus dari pada bulir nasi? Bumbunya enak dan begitu juga dengan resepnya. Akan tetapi minyak dari kacang pinus menutupi semua cita rasa yang ada. Apa kau sudah mencicpinya?”
“Belum… Aku tidak sempat.”
“Apa kau berkata bahwa kau membuat risotto tanpa mencicipinya? Apa kau sangat mengenal risotto?”
Carlos menunduk. Evaluasi yang dilanjutkan oleh Emily dan Joseph pun tidak berbeda. Rata-rata mereka bilang enak, tapi masalahnya adalah kacang pinus yang menutupi semua cita rasa risotto. Pada akhirnya, Carlos menjadi kandidat terdiskualifikasi dan kembali ke meja masak.
Marco juga menerima evaluasi yang buruk. Dia membuat paella yang digoreng dan sari lemon, dengan roti baguette keras, udang, dan saffron. Namun, kaldu ikannya kurang terasa dan sedikit hangus. Jadi, akhirnya dia termasuk dalam kandidat terdiskualifikasi.
Setelah itu, giliran Kaya dan Coney. Saat para juri melihat paella Coney, mereka ragu-ragu, tapi mereka tetap menyendok paella dan memakannya, lalu mereka mengernyit. Emily menghela nafas berat dan berkata,
“Kau sadar kan kalau ini dimasak terlalu lama?
“…Iya.”
“Ada banyak kekurangan untuk disebut paella. Bulir berasnya lunak seperti keju, dan karena itu, firasatku mengatakan bahan-bahan lain juga akan terasa seperti itu. Coney, saat ini, kau adalah kandidat utama yang akan terdiskualifikasi.”
Setelah itu, giliran Kaya. Setelah Alan memakan sesendok risotto Kaya, dia berkata dengan santai,
“Sebelumnya, saat kau tengah menyiapkan ini, aku bertanya padamu, apa kau berencana akan meniru hidanganku? Sebenarnya, aku mengatakannya sedikit bergurau tapi ternyata kau sungguh melakukannya.”
“…Aku sudah bilang sebelumnya, satu-satunya risotto yang pernah aku makan adalah yang tadi aku coba.”
“Jika kau berkata begitu, maaf atas perkataanku, tapi aku harus mengatakan apa yang harus kukatakan. Apa kau tidak ingin mengembangkan sedikit dari hidanganku?”
“Apa kau bisa berlari sebelum bisa berjalan?”
Itu adalah cara paling tidak langsung yang Kaya bisa katakan. Joseph mengunyah risotto Kaya dengan seksama, lalu dia berkata dengan suara lembut seperti biasa.
“Seperti yang Alan bilang, ini kurang kreatifitas, karena ini sama persis dengan hidangan orang lain. Sehingga Alan berpikir bahwa kemampuan terbaikmu adalah menyalin resep orang. Apa benar begitu?”
“Aku sudah bilang bahwa aku berusaha keras untuk bisa berjalan.”
“Kau benar, Alan. Aku juga berpikir begitu. Itu hal yang buruk bagi chef, menguji pelanggan dengan kreatifitas yang bukan miliknya.”
Emily mengangguk dan berkata,
“Sebenarnya, seberapa banyak peserta yang menggunakan resepnya sendiri. Yang paling utama, ini bukan program seperti itu. Kau tidak memasak apa yang orang lain masak, tapi temanya adalah memasak makanan yang enak. Aku setuju pada poin bahwa dia telah melakukan yang terbaik yang dia bisa. Kekurangpahaman tentang risotto tentu menjadi kekurangannya, tapi setidaknya, sepertinya dia telah berusaha yang terbaik dengan caranya.”
Alan tidak membantah kata-kata mereka berdua karena menurutnya, kata-kata mereka ada benarnya. Para juri saling bertatapan memberi sinyal. Alan mengangguk dan membuka suara,
“Kaya, kami berpikir bahwa kami masih ingin melihatmu memasak. Hidanganmu hari ini sedikit mengecewakan karena tidak ada ciri khasmu, tapi masih enak. Kau harus mengekspresikan ciri khasmu seperti biasanya. Kau lolos.”
“…Terima kasih.”
Kaya kembali dengan wajah tidak senang tapi juga tidak kecewa. Setelah itu, giliran Jo Minjoon. Lebih tepatnya, giliran Jo Minjoon dan Chloe. Jo Minjoon melihat sekilas hidangan Chloe, kerang dan udang di letakkan dengan cantik di atas cangkangnya, sehingga tampak lebih mewah. Namun, mengupas kerang adalah hal yang jelas merepotkan.
7 poin, bukan skor yang buruk. Setidaknya, Chloe akan lolos hari ini. Setelah dia berpikir seperti itu, kepalanya penuh dengan evaluasi yang harus didengarnya. Ini adalah hasil terbaik dalam hidupnya. Jadi, wajar bagi Jo Minjoon menduga-duga bagaimana evaluasi yang akan dia terima.
Yang pertama di evaluasi adalah Jo Minjoon. Jo Minjoon tidak bisa berhenti tersenyum sedikit demi sedikit. Alan melihat hidangan itu dan membuka suara,
“Kau bilang kau tidak familiar dengan risotto, apa menurutmu kau telah membuatnya dengan baik?”
“Iya, aku sangat yakin lebih dari sebelumnya.”
Kata-kata yang penuh percaya diri itu membuat Alan tersentak sejenak. Alan mendongak melihat Jo Minjoon. Sebuah suara terdengar, bukan dari Alan, melainkan dari Emily.
“Minjoon, terakhir kau bilang bahwa kau punya sistem skor. Apa itu disebut skor masakan? Jadi, berapa skor hidanganmu? Jika kau percaya diri, mungkinkah 7 poin?”
Ada rumor di asrama Grand Chef bahwa Jo Minjoon memberi skor pada makanan. Dia pernah berkata bahwa usaha terbaiknya adalah membuat hidangan dengan skor 7 poin. Melihat Jo Minjoon percaya diri, tidak ada yang salah dengan mengatakan itu. Akan tetapi keanehan terjadi setelah itu, Jo Minjoon membalas sembari tersenyum ceria.
“Tidak. Ini 8 poin.”
“…8 poin? Bukankah kau mengatakan itu akan sulit dengan kemampuanmu saat ini?”
“Entahlah. Mungkin inilah yang disebut keajaiban.”
Kata-kata Jo Minjoon lebih baik dari biasanya. Itu bukan dimaksudkan untuk materi siaran. Semua juri, peserta, dan kru casting yang melihatnya merasa seperti itu. Joseph memasukkan risotto ke dalam mulutnya dengan cepat seolah-olah dia tidak bisa mengambil lagi. Dia menutup matanya berusaha merasakan bulir nasi satu persatu, segera setelah itu senyum yang sama tampak di wajah Joseph.
“Aku paham perkataanmu.”
Kebahagiaan yang tercermin dalam perkataanmu yang singkat sungguh terbukti. Alan dan Emily buru-buru mengambil sendok dan mencicipi risotto. Beberapa saat kemudian, mereka bisa mengerti kata-kata Joseph.
Risotto buah pir, sebenarnya bukan resep yang spesial. Kombinasi prosciutto dan buah pir telah banyak digunakan. Menggunakan daun sage pun bukan hal yang istimewa. karena itu herba yang biasa ditambahkan pada risotto.
Namun, cita rasa yang begitu sedap pada hidangan itu yang tidak biasa karena meskipun itu resep yang sama, cita rasanya akan berbeda, bergantung dedikasi serta investasi waktu dan usaha yang dicurahkan. Memasak adalah tentang itu. Memasak tidak mengkhianati waktu yang telah diinvestasikan. Hidangan mewah yang butuh waktu lama untuk dibuat juga bukan kebetulan.
Pada risotto buah pir Jo Minjoon, dedikasi dan investasi waktu jelas terlihat. Bahan-bahannya selaras dan elok satu sama lain, seolah-olah tidak ingin menghancurkan cita rasa keseluruhan meski sedikit. Tekstur bulir beras yang dikunyah terasa di gigi, ditambah lagi cita rasa kaldu dan wine sangat sempurna.
Alan membuka suara. Suara yang dipenuhi dengan kepuasan.
“Bagaimana kau membuat risotto seperti ini? Minjoon, risotto ini seharusnya tidak dibuat oleh orang yang tidak tahu tentang risotto. Katakanlah soal membumbuinya, karena itulah yang akan dirasakan, kau seharusnya bisa menangkap itu dengan mudah. Namun, bukan soal nasinya. Seharusnya tidak mudah untuk merebus kaldu hingga sesedap ini…”
“Aku tidak akan mengatakan bahwa itu semua karena keahlianku. Aku cenderung berpikir bahwa aku benar-benar beruntung.”
Meski demikian, itu tidak mengubah fakta bahwa hidangan ini enak. Meski itu kebetulan, para juri merasa senang telah melihat potensi Jo Minjoon. Joseph mengangguk dan berkata,
“Keajaiban datang pada orang yang telah siap menerimanya. Minjoon, ini adalah keberuntungan dan keahlianmu. Selamat! Jika ini memang 8 poin, itu berarti bahwa kau telah memanjat dinding untuk pertama kalinya. Sekali kau pernah memanjat dinding, maka seterusnya akan lebih mudah.”
“Terima kasih, Aku akan menyukainya jika benar begitu.”
Jo Minjoon tersenyum dan menjawab. Alan melihat sekilas pada juri yang lain tapi tidak perlu menanyakan pendapat mereka. Jo Minjoon sudah mengatakan bahwa hidangannya mendapat skor 8 poin dan para juri setuju. Itu adalah yang terbaik yang dia buat sejauh ini. Alan membuka suara.
“Minjoon, sekarang orang-orang akan fokus terhadap pengecapanmu, aku pun demikian. Namun, chef yang handal tidak selalu seorang epicurean yang handal. Meski jika kau tidak memiliki indera pengecap itu, seharusnya kau masih tetap bisa membuat hidangan yang luar biasa karena kau adalah orang yang bisa menuangkan semua perhatian ke dalam satu hal. Konsentrasi itu akan menjadi senjatamu.”
“Aku sangat setuju dengan Alan. Minjoon, jika kau menyajikan risotto ini di restoran manapun, kau tidak akan mendapat keluhan. Kau menyebut ini keajaiban, tapi, jika kau terus bekerja seperti ini, aku yakin bahwa hari-harimu akan dipenuhi dengan keajaiban. Aku menikmatinya.”
Emily melanjutkan setelah Alan. Dia tersenyum sangat lebar, mungkin karena risotto yang dia makan. Alan berdehem dan membuka suara,
“Pergilah dan obati tanganmu terlebih dahulu, Minjoon.”
“…Apa aku lolos?”
“Jawabannya ada di piring itu.”
Alan mengangkat jari dan menunjuk pada piring itu. Risotto. Bukan. Melainkan piring yang berisi risotto. Itu sangat jelas.
<Persimpangan (4)> Selesai.