Dewa Memasak – Bagian 56: Perjalanan, memasak, dan bisnis (2)
Para juri tidak membuang-buang waktu dan segera meninggalkan tempat. Jo Minjoon tertawa dan melihat rekan timnya. Dia membuat kontak mata dengan Kaya yang tidak berada di timnya, tapi saat tatapan mereka bertemu, Kaya memalingkan muka. Apa dia marah? Anderson yang mengikuti ke mana arah tatapan Jo Minjoon bertanya untuk menggodanya,
“Kenapa? Apa kau menyesal?”
“Tidak. Aku tidak menyesal. Aku hanya merasa bulu kudukku berdiri.”
“Lalu kenapa kau memilihku? Seperti bukan dirimu. Buatlah kisah cintamu seperti biasanya.”
“Aku memilihmu karena aku juga tidak menyukai itu, karena semakin sering mereka melihat kami bersama-sama, kami akan semakin lelah.”
“Kau berbicara begitu, seperti tidak terjadi apa-apa di antara kalian berdua.”
“Karena memang tidak.”
Jo Minjoon berkata dengan tegas. Itu adalah suara yang sama sekali tidak mengandung keraguan dan membuat Anderson tersentak.
“Apa benar tidak ada?”
Sejujurnya, Anderson berpikir bahwa siaran tidak sepenuhnya dibuat-buat. Meskipun dia tidak bisa melihat itu, hubungan mereka berdua tampaknya cukup erat.. untuk menyebutnya hanya seorang teman.
Walau begitu, sikap Jo Minjoon terlihat jelas. Joanne yang berada di sebelah mereka tertawa dan berkata,
“Jika dia berkata begitu maka benar begitu. Anderson, jangan banyak bertanya. Ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan orang-orang di sekitarnya yang terlalu bayak berpikir.”
“Karena kalian yang membuat kami tampak begitu, hingga semua menjadi seperti ini, dan juga siaran”
“Justru sebaliknya, Minjoon. Semua menjadi seperti ini bukan karena kita, tapi karena sikapmu yang seperti itu sehingga kita bereaksi seperti ini.”
Jo Minjoon berpikir untuk membalasnya tapi kemudian dia mengubah topik.
“Mari kita membicarakan kisah cinta aneh yang kau sebut-sebut itu lain kali, dan sekarang mari kita melihat truk kita.”
Saat dia mengatakan itu dan melangkahkan kaki, rekan timnya menyeringai lalu mengikuti di belakangnya.
Truk makanan terlihat sangat lebar sesuai penampakannya dari luar. Jo Minjoon melihat ke dalam truk dan merasa bingung seolah-olah dia baru saja pindah. Di dalamnya belum ada peralatan memasak. Sebelum tahu apa yang akan di masak oleh mereka, peralatan belum bisa dimasukkan.
Jo Minjoon berkata sambil duduk di kursi yang berada di samping dinding.
“Ini lebih luas dari yang aku pikirkan.”
“Ini lebih dari cukup untuk bisa memasak atau melakukan sesuatu.”
“Apa yang sebaiknya kita buat?”
“Entahlah… Sandwich? Itu terlalu biasa, kan?”
“Menu biasa adalah pilihan yang bagus tapi kita harus memikirkan tentang tema misi. Pada akhirnya, kita harus berjualan sesuatu yang paling banyak mendatangkan uang. Menurutku, itu akan kurang jika kita hanya menjual sandwich.”
Pada hal yang diutarakan Anderson, Jo Minjoon tenggelam dalam pikirannya tanpa berkata apa-apa. Ada dua poin, yaitu murah dan banyak, atau mahal tapi sedikit. Orang-orang biasanya mendatangi truk makanan bukan mengharapkan makanan mewah, dengan asumsi itu, dia berpikir sebaiknya timnya menjual makanan yang sudah ada.
“Ayo kita coba menjual makanan yang tidak mahal. Menurutku harga $5 cukup bagus dan kita hanya menjual satu jenis makanan.”
Berdasarkan apa yang dia ingat, tim yang menang adalah tim Anderson tapi dia juga terpikir itu adalah tim Kaya karena mereka berada dalam tim yang sama. Dan menunya…
‘Apa mereka membuat omelette ala spanyol? bukan, sepertinya makanan yang lain…’
Meskipun itu program yang banyak diulang, dia tetap mengingat-ngingat dengan samar bagaimana misi tim berlangsung. Apa yang dia ingat sebenarnya hanya menu yang memiliki cerita dibaliknya.
Sebetulnya, tidak patut untuk bertindak berdasarkan masa depan karena anggota timnya berbeda. Sekarang dia harus merancang menu berdasarkan rekan timnya yang sekarang.
Setelah berapa saat, Peter, yang memperhatikan sekelilingnya, membuka suara dengan santai,
“Bagaimana dengan stik?”
“Jika kau bicara tentang daging sapi, itu akan sulit. Harganya mahal. Nanti tidak ada orang yang mau membayar $10 untuk makan di truk makanan.”
“Bagaimana kalau menggunakan daging dada ayam dan dilengkapi salad?”
“Itu tidak buruk… Tapi masih kurang.”
Jo Minjoon terus memegangi dagunya yang bahkan tidak ditumbuhi janggut. Joanne mendengus dan berdehem.
“Pertama, apa yang kalian pikirkan saat melihat truk makanan? Kebab, takoyaki, hot dog, hamburger, sandwich…”
“Mmm. kadang juga ayam dan pizza. Tapi sejujurnya, menurutku 2 menu yang aku sebutkan, tidak akan memenangkan kompetisi karena kau bisa memesan pizza dan meminta di antar ke tempatmu. Kurasa mereka tidak akan tertarik untuk mendatangi truk makanan kita.”
“Jadi apakah kita memilih satu dari pilihan yang aku berikan? Apa ada yang lain?”
“Ayo kita pikirkan lagi.”
Mereka tidak perlu buru-buru memutuskan karena hari itu diberikan sebagai persiapan dan berjualan dimulai keesokan harinya.
Ivanna yang melamun dengan mulut tertutup, beberapa saat kemudian membuka suara. Dia, yang berambut pendek berwarna coklat keriting dan mempunyai bintik coklat di muka, berkata pelan hingga membuatmu bertanya-tanya apa yang sedang dia gumamkan.
“Es serut. Gelato. Aku suka itu.”
“Ini bulan April. Di daerah timur, cuaca musim dingin belum berlalu. Itu terlalu dini bagi orang-orang untuk makan sesuatu yang dingin.”
“Meski dingin, es krim tetap lezat.”
“Meskipun itu lezat tapi cukup merepotkan. Menurutku, lebih baik kita mengeluarkan opsi makanan dingin.”
Ivanna melamun kembali dan melihat ke lantai. Anderson berkata,
“Es krim memang sulit seperti yang kau katakan, tapi menurutku, seharusnya ada minuman untuk menemani makanan yang kita jual, misalnya koktail buah tanpa alkohol atau jus segar, atau teh juga bagus.”
“Minumannya harus menyesuaikan dengan makanannya”
Setelah berapa saat, terlintas satu makanan di kepala Jo Minjoon, makanan yang familiar baginya, tapi aneh bagi mereka. Jo Minjoon berkata dengan ragu-ragu.
“Bagaimana dengan kimbap?”
“Kimbap? Apa itu?”
“Mmm…Kau meletakkan nasi di atas lembaran rumput laut dan menambahkan bahan-bahan lain diatasnya, lalu menggulungnya.”
“Oh… Bukankah itu sushi? Jika kau pergi ke restoran jepang, kau akan melihat itu banyak sekali di sana.”
“Iya, itu norimaki. Jika kau tidak menggunakan cuka dan gula, tapi mencampurkan minyak wijen, maka jadilah kimbap. Itu hampir sama.”
Dia merasa sedih karena mereka tidak tahu tentang kimbap, tapi apa boleh buat. Mereka tidak bisa membedakan kimbap dengan sushi, itu tampak lucu bagi Jo Minjoon. Dia berpikir lagi lalu berkata,
“Selain harganya, menurutku tidak ada yang lebih menarik dari norimaki. Bagaimana menurut kalian? Joanne, apa kau tahu apa itu?”
“Iya, aku cukup sering makan itu karena aku sangat suka makanan Jepang. Hmm. Itu memang sederhana dan mudah untuk dijual. Menurutku, itu bukan ide yang buruk. Kau juga bisa membuat itu sebelumnya, cita rasanya pun tidak biasa. Aku tidak tahu jika ada orang-orang yang akan merasa itu tidak familiar, tapi jaman sekarang tidak ada orang yang belum pernah mencoba makan sushi. Bagaimana menurutmu?”
Joanne melihat Ivanna. Ivanna memutar bola matanya dan perlahan mengangguk.
“Menurutku itu bagus.”
“…Kalian tahu jenis makanan itu, kan?”
“Iya, temanku adalah orang Jepang.”
“Peter, bagaimana denganmu?”
“Aku belum pernah mencobanya. Aku tidak terlalu suka ikan.”
“Ini bukan sushi yang mengandung ikan. Ini dibuat dari nasi, rumput laut, dan bahan-bahan lain. Hmm. Itu oke menurutku karena mudah di jual setelah selesai disiapkan.”
Jo Minjoon mengangguk. Keuntungan terbesar kimbap dan sushi adalah keduanya bisa disantap meski sudah dingin. Apalagi setelah menyiapkan sebentar, tidak ada yang bisa dikontrol jika para pelanggan datang berbondong-bondong. Dengan membuat norimaki, separuh masalah sudah teratasi. Anderson membuka suara,
“Jadi ide utama telah diputuskan?”
“Iya, kita harus memikirkan tentang teh untuk melengkapinya. Teh lemon, teh sitron, teh hijau, atau teh hitam…Sepertinya bagus bila kita menyiapkan setidaknya 3 jenis teh dan mempersilakan pelanggan untuk memilih.”
“Kita akan pergi ke pasar untuk membelinya.”
“Baiklah, ayo.”
Jo Minjoon menoleh. Dia melihat area kosong di dalam truk.
“Sebelum itu, ayo kita memilih peralatan memasak.
–
[Kaya: Pengkhianat. Tidak setia kawan.]
Pada malam hari, saat dia membersihkan peralatan memasak dan memeriksanya, sebuah pesan muncul. Jo Minjoon tertawa dan melihat ke layar. Sementara Jo Minjoon berpikir bagaimana cara membalasnya agar Kaya semakin marah, Jo Minjoon terlihat kekanak-kanakan dan gembira berlebihan. Joanne tertawa jahat.
“Kau berkirim pesan lagi?”
“Jangan berkata begitu. Bukan aku yang pertama mengirim pesan. Lihatlah. Apakah semua ini akibat dari tindakan kita? Kalian yang membuatnya tampak seperti itu.”
“Entahlaaaah. Berkirim pesan juga bisa membuat situasi membingungkan. Lihatlah. Kita tidak berkirim pesan dengan rekan dari tim lain. Itu berlaku juga untukmu. Apa kau berkirim pesan pada orang lain selain Kaya?”
“…Tidak, tapi aku tidak berkirim pesan yang seperti itu. Lihatlah ke layar. ‘Pengkhianat. Tidak setia kawan.’ Tidak ada sesuatu yang romantis, kan?”
“Romantis itu bersifat subyektif. Menurut sudut pandangku, kalian tengah menjalaninya.”
Joanne memasang ekspresi jijik dan dia menepukkan telapak tangannya sementara kedua pergelangan tangannya saling menempel. Jo Minjoon menggelengkan kepala seolah-olah dia lelah.
“Cucilah wajan penggorengan ini. Ini masih kotor di dalamnya. Apa kau akan tetap bermalas-malasan?”
“Kau bertingkah sok tegas di situasi ini. Aku tidak akan bisa menggodamu lagi karena kau takut!”
“…Kau jelas menggodaku, kan?”
“Hmmm, lupakan.”
Joanne memalingkan kepalanya sembari bibirnya mencebik dan menyikat wajan penggorengan dengan keras. Beberapa saat kemudian, saat Jo Minjoon menghela nafas dan menoleh, suara ‘Ah!’ lalu berlanjut hening. Itu adalah suara Peter. Dia melihat tangannya sembari mengerutkan dahi. Jo Minjoon mengembalikan sikat gosok dan buru-buru mendatangi Peter.
“Ada apa Peter? Apa kau terluka?”
“Tidak, hanya sedikit.”
“Berikan tanganmu.”
Peter menghela nafas dan menyodorkan tangannya. Wajah Jo Minjoon menjadi serius. Luka di telapak tangannya cukup dalam, tapi tidak sedalam luka pada ibu jari Jo Minjoon, tapi itu 3x lebih panjang.
“Hei, ini bukan sedikit. Apa yang kau lakukan, segera pergi ke dokter. Tidak. Aku akan memanggil dokter ke sini.”
“Tu, Tunggu…”
Setelah mengabaikannya, dia melangkahkan kaki dengn terburu-buru dan mencari dokter. Dokter tercengang melihat Jo Minjoon.
“Kenapa kau mencariku? Apa lukamu terbuka?”
“Bukan, bukan aku, tapi rekan timku yang terluka. Dia teriris pisau.”
“Ya Tuhan, aku paham. Tunggu sebentar.”
Dokter segera mengambil peralatan medis. Saat dia mendatangi Peter, dia sedang memegangi telapak tangannya dengan kuat seolah-olah berusaha menahan pendarahan. Namun, telapak tangannya sudah penuh dengan darah. Saat dokter mengobati lukanya, Peter terus menunduk dengan raut sedih. Jo Minjoon juga merasa sedih melihat raut wajahnya. Sepertinya Peter berekspresi seperti itu bukan karena lukanya.
Setelah luka Peter diobati, dia beristirahat. Setelah Jo Minjoon selesai memeriksa daftar peralatan memasak, Jo Minjoon melihat ke luar truk, dia melihat Peter duduk melamun. Jo Minjoon duduk di sebelah Peter, tapi Peter tidak menatap balik Jo Minjoon. Jo Minjoon membuka suara karena dia merasa frustasi.
“Kenapa kau begitu sedih?”
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Bahkan dari suaramu, kau jelas sedang kalut. Jika kebetulan itu soal apa yang terjadi sekarang, jangan terlalu dipikirkan, karena memang tidak perlu. Itu sudah berlalu. Kau bisa membuat kesalahan saat memasak.”
“Aku seperti ini bukan karena itu.”
“Bahkan jika bukan karena itu, akhirnya kau mengakui bahwa kau sedang sedih, kan?”
Peter menggigit bibirnya. Seperti mayoritas orang India, dari wajahnya terlihat jika dia keras kepala. Jadi, Jo Minjoon agak kesal melihat wajah Peter karena dia tidak mau mengatakan apapun. Jo Minjoon memegang dahi Peter dan berkata,
“Tentang apa itu? Aku perlu tahu masalahmu sebagai ketua tim. Apa kau sungguh tidak ingin bercerita?”
“Aku hanya…”
Peter membuka mulutnya, tapi kemudian menutupnya lagi. Dia menghela nafas dengan ekspresi lelah, dan tetap diam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata dengan suara tertahan.
“Aku memikirkan apa yang sedang kulakukan saat ini. Jika adegan saat Kaya dan aku bertengkar ditayangkan, aku akan menjadi orang yang sangat brengsek dan mendapat banyak komentar negatif. Lalu tidak ada restoran manapun yang akan mau mempekerjakan chef seperti aku. Terlebih lagi… Aku tidak punya kepercayaan diri untuk bisa melakukan sesuatu di sini. Tidak hanya di sini, tapi ke mana pun aku pergi karena aku adalah orang yang hanya tahu bagaimana membuat masalah seperti hari itu.”
Jo Minjoon tidak berkata apa-apa. Itu bukan karena dia simpati terhadap Peter, juga bukan frustasi karena Peter. Yang paling utama adalah dia tidak telalu akrab dengan Peter. Namun, bagi Peter yang menceritakan tentang apa yang dia rasakan pada seseorang yang tidak akrab dengannya, itu berarti dia sedang sangat menderita saat ini. Itulah kenapa dia berkata,
“Meskipun aku menghiburmu saat ini, semua kata-kataku tidak akan banyak berpengaruh. Katak-kataku tidak akan begitu berarti bagimu. Karena aku ingin menjadi orang yang baik, aku akan menghiburmu, tentu jika kau ingin mendengarnya. Apa kau mau?”
“…Jika kau bertanyaa seperti itu, adakah orang yang menjawab mereka mau?”
“Aku bertanya karena aku tahu kau tidak mau. Aku tidak bisa menghiburmu dan aku tidak berniat begitu. Ah, jangan salah paham. Secara khusus, aku tidak membencimu. Aku tidak tahu tentang Kaya, tapi aku mengakhiri semua pada hari itu dengan apa yang aku katakan.”
Jo Minjoon mengambil nafas sejenak. Matahari mulai terbenam. Wajahnya memerah mirip dengan sinar matahari. Mungkin karena pantulan sinar matahari pada wajahnya atau karena dia sedang tertekan.
“Aku suka memasak dan karena itu aku jauh-jauh datang ke sini. Aku ingin mengambil langkah pertama yang baik di dunia ini. Oleh karena itu, saat ini aku lebih bahagia dari sebelumnya. Lalu bagaimana denganmu? Kau juga datang ke sini. Itu berarti kau juga suka memasak. Tapi kenapa kau ingin meninggalkan kesempatan yang datang sekali dalam hidupmu dan malah memikirkan tentang kepercayaan diri dan komentar buruk? Oh, benar. Aku paham. Penampilanmu akan buruk karena Martin bukan tipe orang yang akan mengedit itu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan soal itu, seharusnya yang paling penting, kau tidak melakukan kecelakaan itu.”
“Aku melakukan itu bukan karena aku ingin. A…Aku…, iya baiklah. Aku tidak punya kehidupan sosial. Karena temperamenku, aku dirundung di sekolah, dan tidak ada yang menganggapku teman. Di sini juga sama. Aku penyendiri. Semua orang yang aku temui tidak menyukaiku. Lalu sekarang, melalui TV semua orang di seluruh dunia akan mengenal aku. Mereka juga akan membenciku. Apa kau paham? Tidak hanya orang Amerika, tapi seluruh dunia akan membenciku!”
“Apa masalahnya?”
Jo Minjoon berkata sambil matanya mengejang. Peter melotot padanya seolah-olah dia marah, tapi dia hanya menggigit bibirnya. Jo Minjoon lanjut berbicara dengan suara tajam.
“Kenapa jika mereka membencimu? Hanya karena mereka membencimu, apa kau mau hidup sebagai orang buruk seperti yang mereka mau? Aku akan berkata jujur. Aku tidak paham posisimu karena aku tidak hidup dan berpikir seperti dirimu. Namun jika aku di posisimu, aku akan berjuang, bukan dengan tinju, tapi dengan memasak. Meski jika mereka membenciku, aku akan membuat mereka tidak bisa membenci masakanku, karena itulah yang bisa aku lakukan. Dan kau? Apa yang akan kau lakukan?? Karena semua orang membencimu, kau tidak punya teman, lalu kau akan menyerah? Lakukan saja. Aku tidak akan menahanmu.”
Peter memasang wajah seperti akan menangis. Tapi dia menahannya demi harga dirinya…
Dia berusia 24 tahun. Dia masih muda. Namun, seperti usia peter, mentalnya pun belum dewasa. Jo Minjoon menghela nafas.
“Jika kau tidak bisa menyerah, janganlah merajuk seperti ini. Aku tidak akan mengatakan padamu untuk tidak memikirkan komentar negatif karena aku pun juga tdak bisa. Namun hanya karena itu, jangan mencoba untuk menyerah pada mimpimu. Kau bertahan sampai di sini. Sepeti yang kau bilang, meski jika kau kurang bersosialisasi, setidaknya itu tidak berarti bahwa kau tidak tahu bagaimana cara memasak. Tapi tentu, hari itu kau membuat sedikit kesalahan.”
Jo Minjoon menyeringai dan menepuk keras punggung Peter. Jo Minjoon menyentuh punggungnya seolah-olah dia terkejut lalu beralih menatap kedua kakinya sambil sedikit tertawa. Keheningan menyelimuti, saat matahari telah terbenam, langit gelap pun muncul, Peter membuka suara dengan hati-hati,
“Apa aku bisa?”
“Kau bisa jika kau mau mencoba. Apa kau tidak tahu?”
“Kemenangan…akankah aku bisa meraihnya?”
“Tidak.”
Peter melihat Jo Minjoon dengan tatapan kosong, yang secara tak terduga bisa menuangkan air segar pada kesedihannya. Jo Minjoon berkata dengan suara tegas.
“Kemenangan adalah milikku.”
<Perjalanan, memasak, dan bisnis (2)> Selesai