Dewa Memasak – Bagian 59: Pelanggan dan pelanggan yang lain (1)
Pada saat itu, ekspresi Joanne menyebar pada wajah yang lain seolah-olah itu menular. Mereka tidak bisa menghentikannya. Selama sebulan terakhir, mereka tidak pernah melihat Chloe marah. Namun sekarang, Chloe semarah itu?
Jo Minjoon berkata dengan wajah tidak mengerti. Betapa terkejutnya dia hingga suaranya bergetar.
“Lalu dia bertengkar dengan siapa? Rekan timnya? Ataukah…pelanggan?”
“Sepertinya dengan pelanggan… Kalian juga lihatlah.”
Pada kata-kata Joanne itu, mereka baru menyadari bahwa mereka masing-masing juga punya ponsel. Jo Minjoon melihat tautan di layar tanpa berkata apa-apa.
Elly Dean : Mereka bilang ada skandal di truk makanan Grand Chef. Mereka bilang, pelanggan dan Chloe bertengkar dan saling berteriak.
ㄴ CRJ : Aku berada di sana tadi, tapi Chloe tidak berteriak. Memang benar dia meninggikan suaranya, tapi dibandingkan suara pelanggan, suar Chloe tidak ada apa-apanya.
ㄴ Elly Dean : @CRJ Kenapa? Apa yang dia lakukan?
ㄴ CRJ: @Elly Dean Aku tidak tahu kenapa mereka bertengkar, tapi yang aku dengar dari orang-orang saat itu, awalnya, entah Chloe berencana untuk mengambil uang dari menjual kochi sial itu. Tapi lucunya, Chloe bahkan tidak mendapat uang itu. Jadi, itu berarti bahwa orang itu bahkan belum memakannya.
Samantha Croft : Itu bukan adegan yang bagus untuk dilihat. Aku tahu itu tidak mudah mengatasinya, tapi Chloe harus menghadapinya.
ㄴ Rhianna Pratchet : Ada situasi yang kau tidak bisa menahannya. Kau bisa dengan mudah mengatakan bahwa kau harus menghadapinya apapun masalahnya karena kalian tidak berada dalam situasi itu.
ㄴ Samantha Croft : Sekarang, jika kau mengatakan bahwa aku mengatakannya dengan begitu mudah, aku tidak bisa membalas apa-apa. Namun, realitanya demikian. Meski itu keras dan melelahkan, jika kau mempertimbangan pelanggan, seharusnya kau tidak membesar-besarkan masalahnya.
Tidak ada komentar yang menjelaskan situasinya dengan detail, tapi kesimpulannya hanya satu, yaitu Chloe bertengkar dengan pelanggan. Namun alasannya tidak tertulis. Yaa, sebuah pertengkaran terjadi setelahnya, saat mereka tengah bercakap-cakap di antara mereka yang dekat dengan meja kasir. Jadi, sulit bagi orang-orang didekatnya untuk tahu alasan pertengkaran mereka.
Mereka ingin mengirimkan pesan bertanya apa yang terjadi, tapi dalam situasi seperti ini, Chloe tidak akan menerima dengan baik penghiburan apapun. Anderson berkata dengan suara datar,
“Orang itu pastilah orang yang benar-benar brengsek karena Chloe bukanlah tipe orang yang mudah marah.”
“…Itu menakjubkan. Dari mulutmu keluar kata-kata mengumpat orang lain seperti itu.”
“Aku tidak suka pada orang yang suka mengumpat.”
“Bukan itu, tapi aku tidak pernah melihatmu memuji seseorang.”
“Aku tidak memuji. Aku hanya mengevaluasi apa adanya. Chloe bukan tipe orang yang mudah marah.”
Anderson memasukkan ponsel ke dalam sakunya dengan ekspresi tersinggung.
“Jangan terlalu dimaskkan hati. Kita juga akan mengalami itu setidaknya sekali. Dunia ini luas dan ada banyak orang brengsek. Saat itu terjadi, cobalah untuk tidak membuatnya berakhir seperti ini karena apa yang mereka inginkan adalah kita semua jatuh ke dalam lumpur. Dan tentunya, bagaimana kita keluar dari lumpur akan menjadi tanggungan kita.”
Sepertinya dia telah mengalaminya beberapa kali karena dia berbicara seperti orang yang sudah pengalaman. Jo Minjoon menepukkan tangannya perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik.
“Baiklah, mari berkonsentrasi sembari beristirahat. Kita akan beristirahat selama satu setengah jam dan setelah membeli bahan-bahan, mari kita memasak lagi. Saat ini sudah jam 2 lewat… Jadi, ayo beristirahat samapi pukul 3:30 dan segera pergi menyiapkan bahan-bahan.”
“Tapi tidak perlu kita berlima yang pergi untuk menyiapkan bahan-bahan, bukan?”
Peter bertanya. Secara tak terduga, itu kata-kata yang memang benar. Peter melihat dengan hati-hati dan perlahan membuka suara,
“Haruskah kita mengundi dengan batu, gunting kertas?”
–
“Hati-hati di jalan!”
Di depan pintu masuk pasar, Joanne menyeringai dan melambaikan tangan. Meski Anderson melotot padanya, itu tidak ada gunanya. Jo Minjoon mengangkat bahunya dan berkata,
“Ayo, Tidak ada waktu.”
“..Ckk.”
“Kenapa? Itu bagus, karena mereka memilih sendiri untuk bersih-bersih. Sama saja.”
“Aku tidak suka pasar.” Kata Anderson.
Jo Minjoon melihat Anderson seolah-olah itu tidak terduga. Pasar adalah satu-satunya tempat yang harus sering didatangi oleh chef. Selain kebutuhan, ada banyak barang lain di pasar, itu tempat yang menarik seperti games bagi chef.
Anderson menatap Jo Minjoon. Keraguan di mata Jo Minjoon sangat jelas. Anderson tidak menyadarinya. Anderson mengangkat tangan untuk menutup hidungnya.
“Aku tidak suka pasar sejak aku kecil, karena aku pernah terpisah dari orang tuaku. Meski begitu, ini waktunya untuk mengubah pandanganku?”
“Mereka bilang bahwa kebiasaan dari kecil bertahan hingga dewasa. Jadi, kau bisa membenci apa yang biasa kamu benci sejak kecil selamanya. Katakan saja apa yang harus kita beli. Apa yang perlu kita beli?”
“Kasarannya kau perlu membuat 30 gulung dengan 1kg beras.. Jadi ayo kita beli 20kg beras karena pelanggan juga bisa datang berbondong-bondong saat malam hari. Kita sudah punya paha ayam yang akan digunakan untuk ayam tandoori, jadi kita harus membeli sedikit lebih banyak dada ayam dan alpukat untuk karaage dan beberapa salmon asap. Bukan. Memikirkan tentang tandoori yang akan kita buat besok, kita harus membeli paha ayam sebelumnya. Kita memutuskan untuk menghilangkan telur landak laut dalam menu, jadi kita tidak perlu membelinya. Kita juga harus membeli isian untuk kimbap dan hamburger.”
Sejujurnya, telur landak laut adalah menu yang tidak begitu laku. Bahkan setelah masuk di internet, komentar tentang norimaki telur landak laut tidak begitu bagus.
Di sisi lain, kimbap banyak diminati dibanding norimaki lain yang tidak mengandung cuka maupun air rumput laut kelp, tapi ada beberapa orang yang menyukai cita rasanya yang ringan. Anderson membawa troli dan berkata,
“Jika kita tidak mempunyai troli, kita tidak akan bisa membawa ini semua. Maka dari itu, aku mengatakan padamu bahwa tiga orang yang harus datang.”
“Sekarang lakukan saja, jika memang sulit, kita bisa belanja bertiga setelah ini. Tapi bukankah kau sudah biasa? Kau bilang kau sering melakukan ini untuk membantu orang tuamu.”
“Hanya karena aku terbiasa dengan ini bukan berarti ini tidak sulit.”
Itu adalah kata-kata yang tidak mudah dimengerti. Bahkan saat dia bekerja di restoran sebagai yang paling junior, terbiasa dengan itu dan tidak menjadi sulit adalah dua hal yang berbeda.
“Meski begitu, kita beruntung dengan menjual norimaki karena bahan-bahannya sederhana.”
“Itu bukan sederhana, ada banyak sekali menu pilihan. Selain itu, membuat nasi beberapa kali itu sungguh merepotkan. Menurutku, tim Chloe sepertinya membuat yang lebih mudah, karena mereka hanya harus menyiapkan daging dan roti.”
“Menurutku, itu tergantung dari apakah mereka membuat sendiri adonan roti atau tidak.”
Anderson malah masuk ke lapak penjual daging, alih-alih menjawab. Jo Minjoon melihat punggung Anderson tanpa berkata apapun, lalu dia melangkahkan kaki.
Dia menuju ke lapak tumbuk padi. Oksigenasi dimulai saat beras terlepas dari kulitnya setelah ditumbuk. Semakin baru beras hasil tumbukan, semakin lezat rasanya. Dia melihat dengan seksama, bagaimana si penjual harus menderita dari waktu ke waktu menumbuk sendiri padi mereka, demi kepuasan pelanggan.
‘…Menurutku beda beberapa jam tidak akan membuat perbedaan rasa yang begitu banyak.’
Sejujurnya, berbelanja setelah makan, cukup susah dilakukan. Semua anggota tim setuju untuk menyajikan bahan-bahan yang lebih segar pada pelanggan. Namun sepertinya, mereka baru menyadari bahwa itu ide yang bodoh.
Kita bisa mengaturnya pelan-pelan. Jo Minjoon berpikir seperti itu dan berkata,
“Saya beli 20kg beras.”
“Kau rajin sekali, bahkan tadi pagi kau juga datang. Kau bilang kau menjual norimaki, bukan?”
“Iya, kami menjual itu di sebelah timur pasar, di truk makanan.”
“Jika aku bisa meninggalkan toko, aku juga ingin pergi dan makan itu…”
Pemilik lapak berambut hitam dan memakai kaca mata. Dia berkata dengan suara kecewa. Jika di lihat pertama kali sekilas, pemilik lapak yang merupakan orang Korea ini berusia sekitar 30-an. Lebih tepatnya, dia orang Korea-Amerika. Namun, dia tidak bisa berbahasa Korea.
Dia tidak merasa dia orang Korea, meski begitu, sepertinya dia sedikit menginginkannya. Selain itu, dia tampak seperti penggemar Grand Chef. Pemilik toko lanjut berbicara,
“Bagaimana perasaanmu setelah meninggalkan Korea? Kau juga makan makanan peserta lain bukan? Bagaimana rasanya?”
“Ini berbeda dari waktu ke waktu. Sebenarnya, aku membuat makanan yang bumbunya tidak terlalu kental, jadi aku lebih sering membuatnya terasa asin, tapi tetap lezat.”
“Baiklah. Seorang chef yang bagus bisa membuat makanan enak di mana pun dan bagaimana pun. Gunakanlah berasku dengan baik.”
Orang itu berbicara seperti dia adalah petani yang memanen sendiri berasnya. Namun, Jo Minjoon tidak secara khusus mengutarakannya.
Tidak lama kemudian dia meninggalkan toko itu. Ponselnya berdering. Jo Minjoon memegang karung beras dengan satu tangan dan mengeluarkan ponselnya. Dia menduga panggilan itu dari Anderson, tapi nama yang tertera di layar bukanlah orang yang dia duga. Jo Minjoon mendekatkan ponselnya ke telinganya.
“Hallo?”
[…Kau sedang apa?]
“Aku baru saja membeli beras dan akan kembali setelah ini.”
[Kenapa kau beli beras sekarang? Bukankah kau sudah membelinya tadi pagi?]
“Aku ingin membeli beras secukupnya untuk satu kali berjualan. Apa itu berlebihan?”
[Iyalah.]
“Benarkah?”
Setelah itu, mereka berdua sama-sama diam sejenak. Mereka bukan tidak punya hal untuk diutarakan, melainkan sebenarnya mereka hanya tidak ingin mengutarakannya. Pada akhirnya, orang yang berbicara pertama kali adalah Jo Minjoon.
“Apa semuanya baik-baik saja?”
[Apa?]
“Suasana dalam tim. Mereka bilang bahwa Chloe bertengkar dengan pelanggan.”
[… … …]
Tidak ada suara yang terdengar. Jo Minjoon tidak menekannya. Kaya berbicara dengan suara segan.
[Itu karena aku, hingga Chloe bertengkar.]
Jo Minjoon tidak terkejut, karena dia berpikir kasusnya pastilah seperti itu. Chloe bukanlah tipe orang yang menantang pelangan hanya karena dia mendapat hinaan apalagi jika dia sedang di tengah misi tim, tidak ada hal lain. Seandainya Chloe yang menyebabkan masalah, itu tidak akan demi kebahagiaannya sendiri, tapi orang lain.
Dan orang itu adalah Kaya. Oleh karena itu, awalnya justru terasa sedikit aneh daripada sedehana, karena Kaya yang biasanya membuat masalah. Namun, tidak ada yang perlu dikatakan dengan mulutnya sendiri. Jo Minjoon tidak mengatakan apapun dan mendengarkan Kaya. Suara yang dalam dan kasar. Suaranya yang seperti sedang terserang batuk, terdengar lebih serak dari biasanya.
[Orang itu melihatku dan berkata, bahwa aku tampak lezat. Yaa, meski tatapannya tertuju padaku, mungkin yang dia maksud adalah kochi…]
“Tunggu. Apa? Apa yang dia bilang?”
[Aku sudah bilang. Bahwa aku nampak le…]
“Bukan, hentikan. Tidak perlu mengulanginya. Jadi, Chloe marah padanya?”
[Bukan. Benar bahwa dia bertengkar demi aku, tapi ceritanya sedikit berbeda. Kau tahu temperamenku. Aku kasar dan … dan mulutku kotor. Aku bukan orang yang hanya diam setelah mendengar itu.]
Jo Minjoon bingung. Ada banyak komentar di internet yang menyebutkan bahwa itu tidak ada hubungannya dengan Kaya. Namun, tidak lama kemudian dia segera tahu alasannya. Jo Minjoon memaksa diri tertawa.
“Chloe tidak bertengkar karena dia marah. Dia melindungimu.”
[…Benar.]
Kaya menjawab dengan suara yang penuh tekanan. Karena Chloe yang melangkah maju, pertengkaran menjadi lebih besar dari seharusnya dan perhatian semua orang tertuju pada Chloe.
Mungkin, lebih baik seperti ini. Citra Kaya dan Chloe, ada perbedaanbesar di antara keduanya. Jika Kaya bersikap seperti itu pada situasi yang sama, ada banyak orang yang akan berkata bahwa memang seperti itu kelakuannya. Namun, berbeda dengan kejadian ini. Siaran Grand Chef hanya menampilkan citra baik Chloe, karena memang dia adalah orang yang hanya berpikir seperti itu.
Namun, kemungkinan bahwa Chloe mempertimbangkan semua itu dalam sekejap tentu sangat rendah. Mungkin dia hanya ingin melindungi Kaya, tapi yang pasti, dia ingin melindungi Kaya dengan cara menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.
[Aku…kenapa aku seperti ini? Kenapa aku selalu menyebabkan masalah?]
“Itu bukan salahmu.”
[salah atau tidak, aku hanya merasa bersalah melihat wajah Chloe.]
Jo Minjoon paham perasaan Kaya, betapa frustasinya Kaya, hingga gadis yang selalu menggerutu ini menelponnya. Jo Minjoon tidak bisa berkata-kata dalam beberapa saat. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Lalu akhirnya, dia berkata,
“Kita bisa memilih pelanggan.”
Itu saja. Kaya tidak menjawab. Hanya terdengar suara desahan nafas Kaya.
“Jika kau tidak memilih, maka kau juga tidak punya tanggung jawab maupun kesalahan.”
[Kau berusaha menghiburku dengan kata-kata tanpa basa-basi itu, yaa?]
“Jadi, kau merasa terhibur?”
[…Aku akan membatalkannya.]
Pada kata-kata Kaya, Jo Minjoon memutar bola matanya. Dia tidak mengerti apa yang Kaya batalkan.
“Apa yang batal?”
[Kau mengacaukannya, aku batal terhibur. Aku sibuk. Aku harus mulai bekerja. ]
“Tapi kau menelponku dul…”
Jo Minjoon berhenti, lalu menatap layar ponselnya. Panggilan sudah terputus. Jo Minjoon melihat ponselnya dengan wajah tidak mengerti, kemudian komat-kamit dengan wajah masam.
“Pelanggan…”
Kata-kata itu tidak semanis yang dia pikirkan.
<Pelanggan dan pelanggan yang lain (1)> Selesai