Dewa Memasak – Bagian 60: Pelanggan dan pelanggan yang lain (2)
Malam di Chicago sedikit tidak memuaskan dibanding siang hari. Faktanya, hanya sedikit orang-orang yang mencari truk makanan pada malam hari dan para penggemar sudah datang pada siang hari. Tapi meski tidak banyak orang yang mendatangi truk makanan, 500 iris kimbap, yang mereka buat dua kali lebih banyak, terjual habis dalam waktu 3 jam.
Pukul 10, Jo Minjoon sedang mengatur buku keuangan di atas truk yang sedang berjalan. Dia tidak terbiasa dengan itu, tapi dia pikir, itu hanyalah tugas matematika, tidak sulit.
“Kita menghasilkan 1422 Dollar hari ini. Dipotong minyak dan harga bahan, kurang lebih kita mendapatkan 800 Dollar.”
“Aku tidak tahu apakah itu banyak atau sedikit.”
Joanne berbicara dengan wajah ambigu. Jo Minjoon menutup buku itu.
“Kita menghasilkan 160 Dollar masing-masing. Sehari penuh. Apa kau paham dengan yang kukatakan?”
“Berapa banyak jika dalam setahun? 160 kali 300, ditambah 160 kali 60, maka lima…”
“58.400 Dollar. Tapi tentu jika kau tidak mengambil hari libur. Jadi jika kau mengambil hari libur, kau bisa mendapat kuarang dari 50.000 Dollar.”
“…Kau cerdas.”
Jo Minjoon melihat anggota timnya. Mereka tampak begitu lelah. Mereka hanya mengangguk-angguk dan hampir tertidur. Beruntungnya mereka difasilitasi supir truk. Karena jika mereka harus menyetir malam hari, sejujurnya, mereka akan sangat kepayahan.
Truk menuju ke Chicago bagian utara saat ini, yaitu Waukegan. Normalnya, itu tempat yang berjarak satu jam dari Chicago. Waukegan adalah kota dengan populasi kurang dari seratus ribu jiwa, jadi, mereka tidak tahu berapa banyak uang seharusnya yang dihasilkan
“Jika sedang musim panas, akan baik pergi ke dekat pantai.”
“itu sungguh menyeramkan.”
Joanne memasang senyuman aneh. Jo Minjoon memikirkan apa yang dia maksud, kemudian berkata,
“..Bukan. Siapa bilang aku ingin pergi ke pantai?”
“Lalu apa?”
“Diamlah. Ayo tidur.”
Orang yang menghentikan gurauan Joanne adalah Anderson. Dia berkata sambil kepalanya bersandar pada lemari pendingin. Jo Minjoon berkata dengan sedih,
“Kau harus mencurahkan segala yang kau punya.”
“Kau akan diceramahi Kaya jika tertangkap berbicara denga gadis lain.”
“…Sepertinya kau sangat senang?”
Anderson tidak menjawab dan hanya menyunggingkan sebelah senyuman dengan tetap menutup mata. Jo Minjoon menjawab senyuman itu dengan helaan nafas. Ivanna sepertinya terbangun dan menggosok matanya. Wajahnya yang masih mengantuk tampak seperti bayi.
“Hoaahm…Di mana kita sekarang?”
“Aku tidak tahu. John, berapa lama lagi kita sampai?”
“20 menit lagi.” jawab supir truk dengan lantang.
Joanne melihat Ivanna. Ivanna memegang perutnya dan berkata dengan suara tertekan,
“Perutku sakit karena aku lapar.”
“Bertahanlah. Jika tidak, kau akan gendut.”
“Tiramisu. Hot dog. Pepperoni. Risotto. Spaghetti. Kebab……”
“Hentikan! Kenapa kau juga menggodaku?”
“Mereka bilang bahwa rasa sakitnya akan berkurang jika kau berbagi.”
“Normalnya kau mengatakan itu saat melihat orang yang menderita sendirian…”
Anderson menyemburkan tawa dengan mata tetap terpejam. Setelah dia selesai tertawa dan terbatuk, dia membuka mata. Joanne melihat Anderson dengan ekspresi aneh.
“Apa? Kenapa kau tertawa?”
“Tanyalah pada penonton saat siaran berakhir karena adegan barusan tentu akan disiarkan.”
“Apa kalian semua sudah bangun? Jika kita sampai di hotel, kita akan langsung tidur, jadi ayo bangunlah.”
Pada kata-kata itu, Anderson menggoyang-goyang badan Peter. Peter yang sedari tadi tidur tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dunia, terkejut dan memeriksa sekelilingnya dengan separuh mata terpejam.
“A, ada apa? Apa kita sudah sampai?”
“Belum. Tapi sebentar lagi, jadi bersiaplah.”
Saat mereka keluar dari bis, ada tumpukan salju di jendela, di atap, dan di atas mobil, seolah-olah salju baru saja turun. Anderson menangkupkan tangannya dengan wajah bingung. Lalu Anderson terkesima.
“Perasaan dan hawa ini… Ini mempesona.”
“Kenapa kau bertingkah seperti orang yang tidak pernah melihat salju?”
“Tidak ada salju di tempat tinggalku.”
“…Oh, kau bilang kau dari barat.”
Jo Minjoon mengangguk seolah-olah dia paham.
Tempat mereka menginap adalah di motel. Mereka harus menghemat uang yang mereka dapatkan sebisa mungkin. Mereka tidak punya uang untuk bersenang-senang dengan tidur di hotel. Dan ruanganpun tidak sendiri-sendiri, tapi 2 atau 3 orang dalam satu kamar. Tentunya, 1 kamar untuk laki-laki dan 1 kamar untuk perempuan. Sebelum mereka langsung menuju kamar mereka, Jo Minjoon berkata tanpa basa-basi,
“Jangan lupa kalian bertiga akan pergi ke pasar. Kalian mungkin harus pergi dari jam 5. Jadi tidurlah dengan nyenyak.”
Tapi berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan, dia tidak bisa tidur. Bukan karena Anderson dan Peter punya kebiasaan buruk saat tidur. Mereka tidak mendengkur ataupun menggeretakkan gigi. Hanya saja, dia mulai memikirkan banyak hal di kepalanya. Lebih tepatnya, memikirkan tentang apa yang bisa menaikkan pendapatan dan apa yang bisa mengurangi biaya pembuatan.
Dia telah memikirkan cukup banyak cara, dan bahkan jika dia semakin memikirkannya, dia tahu cara-cara itu tidak banyak mengubah apapun, lalu dia merasa semakin tidak nyaman. Posisi ketua tim memang seperti ini. Orang-orang yang tidak tahu, akan merasa bahwa posisi ini sangat keren dan terhormat, padahal justru sangat membebani.
‘Apa aku sudah menutup pintu?’
Jo Minjoon melangkah menuju pintu. Pintu sudah terkunci. Namun, melihat itu, dia tidak bisa berhenti ingin membukanya.
Dengan perasaan yang tidak nyaman dia kembali ke tempat tidur, dia tidak bisa tidur.
Dia telah membuat perhitungan pendapatan di kepalanya, dan dia juga berpikir tentang hal-hal yang mungkin terjadi dari sekarang, sehingga dia semakin tidak bisa tidur karena kepalanya masih bekerja. Jo Minjoon terus berpikir bahkan tentang hal-hal yang tidak dia ketahui.
Kemudian, alarm berdering.
Badannya terasa sangat berat seolah-olah ada batu menimpanya. Jo Minjoon perlahan-lahan membuka matanya. Dia berpikir bahwa waktu telah berlalu sangat cepat. Sepertinya dia baru saja tertidur, tapi tiba-tiba sekarang sudah waktunya dia bangun.
‘…Aku masih ingin tidur.’
Jo Minjoon susah payah berkedip dan melihat pria di sebelahnya. Di sebelahnya ada Anderson, dan di sebelahnya lagi ada Peter. Mereka sepertinya sudah bangun karena badan mereka sudah menggeliat, tapi mereka masih dalam keadaan linglung. Jo Minjoon menghela nafas. Setidaknya dia harus membangunkan mereka. Jo Minjoon menyalakan lampu dan mendekati Peter.
“Hei, bangun.”
“…Tidak, tunggu. Aku terpikir sesuatu.”
“Tentang apa itu? Kalian sangat mengantuk. Bangunlah. Kita harus ke pasar.”
Jo menyingkap selimut Peter seluruhnya. Peter meronta dan bangun dengan wajah linglung. Jo Minjoon menghela nafas.
“Jika aku jadi kau, aku akan segera pergi dan segera beristirahat.”
“…Oke. Aku akan bersiap.”
Dengan mengabaikan suara berisik air pancuran setelah Peter masuk kamar mandi, Jo Minjoon merebahkan badannya lagi di tempat tidur dan memejamkan mata. Dia harus beristirahat lagi sejenak karena dia harus memulihkan stamina sebisa mungkin sehingga dia bisa bertahan hari ini.
“Bagaimana jika aku tidak bisa tidur dengan benar?’
“Minjoon, bangun!”
Dan kebingungannya berakhir bersama dengan suara keras. Jo Minjoon melihat ke depan dengan linglung. Rambut Joanne yang berwarna pirang terang terlihat pertama kali. Dan wajahnya penuh dengan senyuman percaya diri.
“Aku membeli salmon yang sangat bagus dengan harga yang super murah! Aku bisa membelinya dengan harga yang hampir sama dengan harga barang yang telah diproses. Dengan ini, kita bisa membuat norimaki yang lebih lezat dari kemarin.”
“…Bukankah kau harus pergi sekarang? Kau sangat….”
“Apa yang sedang kau bicarakan?” Ini sudah pukul 8 pagi. Bangunlah. Anderson sedang mandi.”
Sinar matahari sangat cerah, secerah kata-kata Joanne. Ini sudah pagi. Dia merasa agak sedih. Sebenarnya kau tidak bisa mengingat apapun saat tidur, tapi saat ini, Jo Minjoon bahkan tidak merasa dia telah tertidur. Hanya sedetik yang lalu, ingatan tentang dia berusaha tidur dan memejamkan mata masih sangat jelas, tapi ternyata itu sudah berlalu 3 jam.
Namun, dia tidak boleh semakin terlambat. Jo Minjoon buru-buru mandi dan pergi ke truk. Bahan-bahan yang ada hampir persis dengan yang kemarin. Hanya salmon yang berbeda. Lemak perut salmon beku nampak bersinar terang di antara yang lain.
Meskipun kau akan berpikir bahwa bahan yang beku akan menurun kualitasnya, tapi salmon yang diolah untuk sushi maupun tataki, yang terbaik adalah salmon beku karena saat beku, semua parasit dan telurnya mati. Jo Minjoon perlahan melihat layar yang menampilkan salmon.
[Lemak perut salmon]
Kesegaran: 93%
Asal: Michigan
Kualitas: Tinggi
“…Ini bagus. Berapa harganya ini?”
6 Dollar per setengah kilo.”
“Itu lebih murah dari dugaanku.”
“Wanita pemilik toko mengaku bahwa dia penggemar Grand Chef dan dia juga mendukungmu dan Kaya…”
“Tidak, lupakan itu. Pertama, mari kita pisahkan apa yang akan kita gunakan untuk siang dan malam hari. Bagaimana dengan harga barang yang lain?”
“Yaa, kecuali salmon, mayoritas harganya sama.”
Joanne berkata seperti itu dan mengangkat bahunya. Jo Minjoon melihat salmon dan jatuh ke dalam pikirannya. Kemarin, mereka membeli satu pak salmon asap, setelah mengoleskan saus, mereka menggunakannya sebagai isian, tapi hari ini ceritanya berbeda. Jo Minjoon melihat salmon dengan wajah serius. Ivanna menelan ludah dan berkata,
“Aku ingin makan itu sebagai tataki.”
“…Aku hanya memikirkan soal itu.”
Lebih tepatnya, mereka tidak ingin makan tataki, tapi memasaknya menjadi tataki karena semakin baik kualitas salmon yang diolah menjadi tataki atau sushi, semakin enak rasanya. Tapi perbedaannya tentu tidak sebesar perbandingan itu, tapi sebenarnya, dalam dunia pengecapan, perbedaan kecil menentukan segalanya. Namun, Joanne melihat Jo Minjoon dengan wajah bertanya-tanya.
“Kau ingin memasukkan tataki ke dalam norimaki?”
“Jika kau ingin membuat tataki, lebih baik membuat sushi sekalian? Melihat reaksi pelanggan kemarin, mereka kecewa. Mereka berkata bahwa jika ada sushi akan lebih baik. Tidak buruk jika ingin menambahkannya sedikit. Ah, kalian tidak membeli telur landak laut, bukan?”
“Kemarin itu memang bermasalah. Sejujurnya aku kaget bahwa norimaki telur landak terjual habis. Tangan orang-orang cenderung tidak menunjuk menu itu.”
Tidak perlu fokus terhadap menu yang kurang laku. Kau tidak akan tahu jika kau tidak menemukan kesalahan dan memperbaikinya. Resep norimaki telur landak laut berarti belum selesai. Yang paling penting dari semuanya, bagaimana dia dapat mengimprovisasi resep itu yang bahkan mereka tidak suka.
Proses memasak berjalan seperti kemarin dengan pembagian tugas masing-masing. Lokasi berjualan ada di kota. Meskipun Waukegan adalah kota kecil, yang populasinya bahkan tidak mencapai 100 ribu jiwa, mereka berpikir bahwa mereka bisa mendapat keuntungan melalui truk makanan.
“Akankah banyak orang datang seperti kemarin?”
“Menurutku akan seperti kemarin malam. Jadi, kita masih bisa beristirahat di sela-sela waktu, jadi jangan gugup.”
Jo Minjoon menjawab demikian dan pergi membuka pintu belakang. Sesuai dugaan, ada beberapa pelanggan yang mengantri, tapi tidak sepanjang antrian di Chicago.
Jo Minjoon membuka pintu samping dan mendekati meja kasir. Nasi cadangan sudah siap.
“Apa ada menu rekomendasi dari chef?”
Itu adalah pertanyaan dari pelanggan pertama. Senyum orang itu tampak lebih tertarik pada reaksi Jo Minjoon, alih-alih menu rekomendasi darinya. Jo Minjoon meringis dan menjawab,
“Jika kau punya indera pengecap yang normal, aku merekomendasikanmu mencoba barbeque babi. Selain itu, norimaki ala Korea juga layak dicoba.”
“Oke. Aku akan membeli masing-masing 2.”
Sebagian besar pelanggan mempunyai niat baik terhadap tim mereka. Mayoritas pelanggan adalah penggemar Grand Chef, mungkin itu sudah pasti.
Namun, ada orang yang tentu hanya ingin makan norimaki, dan ada juga orang yang tidak paham sama sekali. Itu adalah tipe pelanggan yang mereka khawatirkan dan mereka tidak ingin pelanggan seperti itu datang.
“Ini…Aku ingin uangku dikembalikan.”
Orang yang berbicara seperti itu adalah seorang wanita Asia dengan logat China yang begitu kental. Saat itu, Jo Minjoon bisa mengontrol ekspresinya dan melihat wajah wanita itu dengan ekspresi aneh. Norimaki ditangannya hanya tersisa satu gigitan terakhir.
“Ada apa?”
“Aku ingin uangku dikembalikan.”
“…Apa ada sesuatu yang salah?”
“Ini tidak enak. Ini aneh. Rasa tunanya tidak ada. Di kota kelahiranku, jika kau menyajikan sesuatu seperti ini, kau harus segera menutup lapakmu.”
Barulah Jo Minjoon sadar ada yang salah. Pakaian wanita itu tampak cukup mahal dan berkelas, tapi suasana yang dia buat jauh dari berkelas. Meski masih berdiri, dia terhuyung-huyung seolah dia tidak bisa menyeimbangkan diri, matanya cekung dan caranya berbicara seperti orang mabuk. Terutama, apa yang dia pegang saat ini bukanlah norimaki tuna alpukat, melainkan norimaki ayam tandoori.
Apa dia mabuk, ataukah…
“Apa yang akan kita lakukan?”
Joanne berbisik di belakang Jo Minjoon. Jo Minjoon ragu-ragu sejenak. Dia pun pernah bekerja di restoran. Dia tahu dengan baik bagaimana harus bersikap pada semua jenis orang brengsek. Meskipun mereka melakukan sesuatu yang tidak adil, atau sesuatu yang tidak terkira, lebih baik untuk mundur.
Itu adalah realitanya karena saat pelanggan kembali pulang dan mengirimkan komentar di internet, penjualan akan turun seketika. Yang paling penting, lebih baik untuk membereskan situasi dengan cepat dari pada bertengkar dengan pelanggan hanya karena uang.
Namun, semua masalah memberikan teladan bagi yang lain. Mungkin, jika dia memberikan uang pengembalian sesuai yang dia minta, lalu ada pelanggan lain yang melakukan hal yang sama, mereka tidak bisa menolak. Mereka akan bilang, orang itu bisa, lalu kenapa aku tidak bisa? Maka tidak ada yang bisa dikatakan lagi. Tapi jumlah pelanggan yang demikian tentu tidak banyak…
Jo Minjoon menghirup nafas. Dia membuka suara.
“Mohon maaf”
<Pelanggan dan pelanggan yang lain (1)> Selesai