Dewa Memasak – Bagian 61: Pelanggan dan pelanggan yang lain (3)
Di saat Jo Minjoon berbicara tentang uang pada pelanggan itu. Pelanggan yang lain mencemooh dan mencibir. Wanita itu marah melihat mereka.
“Memang kalian siapa? Orang yang makan benda seperti ini menhinaku? Aku merasa tercekik.”
“Bu,”
Jo Minjoon berkata dengan nada rendah. Saat wanita itu menoleh, dia tersentak sejenak. Bagaimana mungkin Jo Minjoon mengekspresikannya? Bukan. Tidak ada cara untuk mengekspresikan itu dengan sempurna. Tatapan wanita itu begitu dingin. Kemarahan yang wanita itu akumulasikan selama hidupnya tersirat dalam tatapan itu.
“Kami berterima kasih pada Anda karena telah memesan dan percaya pada kami, para chef amatir. Kami juga mohon maaf karena kami tidak bisa memuaskan Anda sesuai ekspektasi Anda. Akan tetapi, Anda tidak boleh mengekspresikan kekecewaan Anda pada pelanggan yang lain.”
“…Haaa, hahaha … Apa kau sedang mengguruiku?”
“Saya tidak menggurui, Menurut saya, tidak ada seorang pun yang tidak tahu tentang ini dan saya pikir Anda juga pasti tahu itu dengan baik. Apa Anda…”
Jo Minjoon belum menyelesaikan perkataannya. Wanita itu melempar norimaki seperti melempar kertas. Jo Minjoon mengambilnya dan menghentikan staf keamanan yang berlari mendatanginya dengan tatapan isyarat. Kemudian Jo Minjoon memasukkan sisa norimaki itu ke dalam mulutnya.
Orang-orang yang melihatnya terbelalak. Mereka tidak mengira apa yang Jo Minjoon coba lakukan. Jo Minjoon berkata dengan suara tenang.
“Aku tidak merasakan tuna sama sekali karena ini norimaki ayam tandoori.”
“Tandoori! Aku benci India! Itu bukan makan. Itu sajian yang menjijikan.”
Pada tahap ini, Jo Minjoon bahkan masi belum marah. Jo Minjoon menghela nafas dan mengeluarkan uang dari mesin kasir. Lalu dia berkata,
“Ini 2 Dollar yang Anda inginkan. Ambillah.”
Suasana menjadi canggung. Wanita itu tentu meneriakkan kata-kata yang buruk dan Jo Minjoon sebaiknya mengembalikan uang wanita itu. Dia tidak punya pilihan lain. Akan tetapi, sepertinya Jo Minjoon menahan dirinya untuk tidak menyerahkan uang pada wanita itu. Orang-orang di baris antrian merekam kejadian itu dengan ponselnya. Mungkin, puluhan rekaman video ini sudah diunggah ke internet.
Wanita itu ragu-ragu dan meraih uang itu. Jo Minjoon menundukkan kepalanya dengan hormat.
“Mohon maaf atas kekurangan kami.”
Seseorang bertepuk tangan. Dari satu orang itu, kemudian banyak orang pun ikut bertepuk tangan. Wanita itu menyeringai dan pergi melewati orang-orang dengan tatapan gelisah. Jo Minjoon meminta maaf pada pria yang memesan berikutnya.
“Saya minta maaf. Saya membuat Anda terganggu dengan pelanggan sebelumnya.”
“Ada banyak orang mabuk di sekitar sini. Sebagai penduduk di sini, aku yang lebih ingin minta maaf.”
Jo Minjoon tersenyum lebar. Itu bukan senyuman demi pekerjaan. Tapi senyuman biasa.
“Apa yang ingin Anda pesan?”
–
“Kau ingat pelanggan 4 hari yag lalu, bukan? Itu menjadi topik hangat di internet.”
Pada perkataan PD junior, Jo Minjoon mengangkat bahunya. Dia juga tahu bahwa itu pasti akan menjadi topik yang hangat.
“Ada banyak kejadian buruk di negara yang luas ini. Jadi, menjadi topik hangat gara-gara bermasalah dengan satu pelanggan membuatku merasa takjub.”
“Itu karena kau adalah bintang. Minjoon, setidaknya kau akan menjadi nomor satu di Grand Chef. Setelah itu… tentu akan bergantung dengan kemampuanmu.”
PD yang paling junior, Robert Banks, berbicara demikian. Jo Minjoon mengangguk tanpa berkata apa-apa. Robert tidak membiarkan Jo Minjoon beristirahat sama sekali. Ini adalah wawancara pertamanya sebagai PD dan sepertinya dia agak bingung karena itu. Dia memasang ekspresi penuh semangat sampai saat ini.
‘Tapi aku lelah.’
Setelah truk makanan mulai dan selama 5 hari berikutnya, Jo Minjoon selalu tidur hanya sebentar. Dia tidak sepenuhya pulih dan karena itu badannya terasa berat. Dia pikir bahwa dia tidak akan merasa terganggu, tapi sepertinya ada kegelisahan jauh di lubuk hatinya. Baru kemudian Robert menyadari bahwa mata Jo Minjoon cekung dan kulitya kasar. Dia bertanya dengan hati-hati.
“Apa kau sedang tidak enak badan?”
“…Aku sedikit lelah.”
“Bersemangatlah. Bertahanlah 2 hari lagi, setelah itu kau bisa beristirahat dengan nyaman.
Itu adalah kata-kata penghiburan yang formal. Jo Minjoon tersenyum masam dan menggosok-gosok jarinya. Bagian jarinya yang dijahit tidak biasanya terasa sakit, tapi saat dia lelah seperti saat ini, dia merasa bagian itu sakit seperti ada jarum yang menusuknya.
“Menurut pendapatmu, tim siapa yang terbaik? Aku tidak mengevaluasimu sebagai ketua tim, jadi jawablah dengan santai.”
“…Entahlah. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi aku berpikir bahwa tim kami yang paling berpotensi menang. Aku dengar bahwa tim Hugo membuat truk cafe. Ada batas maksimal yang bisa dipanggang di dalam truk. Jadi, meski mereka punya strategi yang bagus, tapi melihat reaksi di internet kau bisa tahu poin yang pasti, yaitu ada banyak orang yang mengeluhkan bahwa harganya terlalu mahal. Mereka menghancurkan ekspektasi pelanggan bahwa harganya akan murah. Menurutku itu langkah yang buruk.”
“Melihat bahwa kau menjawab dengan begitu lancar, sepertinya kau telah banyak memikirkan hal ini. Lalu bagaimana dengan tim Chloe? Kenapa kau pikir kau bisa mengalahkan tim mereka?”
Jo Minjoon tersenyum dengan wajah lelah.
“Alasannya sama. Mereka bilang bahwa tim mereka menjual kochi panggang atau sandwich. Itu adalah makanan yang sulit dibuat dari pada kimbap. Saat badanmu mulai lelah, kau tidak bisa menjual itu seharian. Yaa, itu sama dengan menu kami… tapi dilihat dari siapa penjualnya, menurutku tim kami lebih baik.”
“Jadi kesimpulannya, kau percaya diri untuk menang. ………Oke, Minjoon. Kau bisa pergi sekarang. Melihat wajahmu aku tidak bisa melanjutkan wawancara. Istirahatlah sebentar. Oh, memikirkan itu, sepertinya sulit untuk beristirahat saat ini.”
Sesuai dengan apa yang dia katakan, Jo minjoon tidak bisa beristirahat sekarang karena episode keenam akan segera tayang. Meskipun dia lelah, dia harus melihatnya. Bukan hanya Jo Minjoon, semua peserta yang lain pun tidak akan melewatkannya.
Begitu dia sampai di kamar motel, selain kameramen semua anggota tim berkumpul.
“Apa sudah mulai?”
“Sebentar lagi.”
Anderson menjawab dengan santai. Jo Minjoon duduk di kasur dan melihat layar TV.
Episode keenam menayangkan misi vegan. Itu adalah misi yang mengirimnya masuk ke misi diskualifikasi sekaligus, episode yang mengumumkan indera pengecapnya yang mutlak.
“Menurutku reaksi orang-orang akan serius.”
Joanne berkata seolah-olah dia sudah menduganya. Jo Minjoon tidak membalas dan hanya menatap layar. Sebelum Jo Minjoon tahu, siaran sudah mulai.
Sepertinya PD memutuskan membuat Jo Minjoon sebagai fokus utama episode kali ini. Wajahnya muncul begitu lama dalam adegan yang disiarkan. Dia, di dalam layar TV, sedang berbicara dengan suara yang jelas.
[Sejak kecil, aku berpikir bahwa chef sangat keren. Mungkin karena aku masih terlalu muda, saat aku tumbuh besar aku tidak bisa menghadapi tantangan itu karena impian masa kecilmu terasa sangat remeh dan kekanak-kanakan. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku ingin menjadi chef karena aku tidak tahu realita dan aku belum cukup dewasa. Tapi bukan karena itu. Itu bukan impian yang remeh ataupun kekanak-kanakan. Itu adalah jalan satu-satunya yang bisa aku lewati sendiri.]
Bersama dengan kata-kata itu, gambaran masakan Jo Minjoon ditampilkan. Rebusan bakso ikan lele, ikan panggang, foie gras yang dia buat bersama Kaya, dan tahu agedashi yang dia buat saat misi menu set lengkap. Anderson menelan ludah. Siaran itu tidak sederhana bukan karena hidangan di layar tampak lezat, melainkan musik latar belakang yang membuat siaran itu terasa begitu menarik.
Setelah pengumuman misi vegan, kamera fokus hanya merekam masakan Jo Minjoon. Meski tampak terlalu berlebihan, akan tetapi jika mempertimbangkan adegan selanjutnya, itu bisa dimengerti. Anderson bahkan menyadari apa yang terjadi hari itu karena dia pun sangat tercengang menontonnya.
[Menurut pendapatku, Minjoon bukan membuat satu hidangan, melainkan menu lengkap ala Korea. ]
[Akankah kau punya cukup waktu untuk membuat menu lengkap?]
Jo Minjoon berkonsentrasi pada masakannya hingga dia tidak menjawab pertanyaan para juri yang terlihat cukup serius. Jo Minjoon terkejut karena dia tidak tahu bahwa para juri sedang bertanya padanya saat itu. Joanne membuka suara,
“Betapa beraninya kau tidak menjawab pertanyaan para juri.”
“…Aku terlalu berkonsentrasi hingga aku tidak menyadari bahwa mereka menghampiriku.”
“Kau begitu berkonsentrasi, tapi kenapa kau malah membuat miyeokguk dan bibimbap? Dilihat pertama kali, meski sekilas, itu hidangan yang sulit untuk lolos?”
Jo Minjoon tidak membalas dan hanya menatap layar. Joanne menggerutu.
“Sekarang, dia juga mengabaikan aku.”
Peter yang memperhatikan percakapan mereka, berkata dengan suara rendah,
“Mungkin itu lebih baik.”
“Apa? Apa kau bilang?”
“Yang telah terjadi adalah yang terbaik karena dia didiskualifikasi pada saat yang tepat, yaitu saat dia bisa menunjukkan kemampuan indera pengecapnya. Jika itu tidak terjadi, dia tidak akan punya kesempatan untuk melakukannya…”
“Perkataanmu memang benar.”
“Sssst. Diamlah.”
Anderson melotot pada mereka berdua dengan sorot mata yang tajam. Evaluasi dimulai. Setelah para juri mengevalusi satu orang lagi setelah Chloe, tibalah giliran Jo Minjoon.
Semua orang tentu tahu hasilnya. Para juri, yang sudah mencicipi hidangannya, sedang berdiskusi di antara mereka dengan wajah yang murung. Peter melihat ponselnya dan melihat reaksi penonton. Mayoritas mereka sedang melihat langsung episode itu, jadi tidak banyak yang mengirimkan komentar. Mereka sangat optimis karena mereka tahu bahwa Jo Minjoon masih ada di misi truk makanan. Jadi apapun yang terjadi, dia tidak terdiskualifikasi, sehingga mereka berhenti mencemaskanya, sepertinya itulah yang mereka pikirkan.
‘tapi bom sebenarnya bukanlah itu.’
Meskipun Jo Minjoon tidak benar-benar memiliki indera pengecap yang mutlak, dia merasa cukup terhibur saat memikirkan reaksi orang-orang begitu tahu kemampuannya disiarkan.
Akan tetapi bukan hanya Peter yang seperti itu, secara tak terduga, jantung Joanne dan Anderson pun berdegup sangat kencang. Ivanna yang sedang melamum, duduk seperti biasa, normalnya meskipun itu bukan kisahmu, seharusnya kau tetap merasa bingung.
Mereka seperti itu lalu bagaimana perasaan orang yang bersangkutan? Anderson melihat Jo Minjoon saat memikirkan itu, tapi wajah Jo Minjoon cukup tenang. Tidak. Alih-alih menyebutnya tenang, ekspresinya lebit tepat disebut lelah. Dia memang cukup lelah beberapa hari terakhir, tapi itu sikap yang tidak wajar diekspresikan saat dia berada di klimaks terbaik dalam hidupnya. Beberapa saat kemudian, mata Anderson penuh dengan kekhawatiran.
[Maaf, kau termasuk kandidat terdiskualifikasi.]
Pada suara Joseph, Anderson menoleh. Evaluasi berlanjut. Kemudian 8 orang kandidat terdiskualifikasi segera berkumpul.
Pada misi yang harus menebak isi dari kantong tahu goreng, dengan menyebutkan 5 bahan saja, itu sudah baik. Mereka terhenti setelah menyebutkan 5 bahan dengan benar. Beberapa saat kemudian, giliran peserta ketujuh, Dany. Dia menyebutkan 11 bahan dengan benar dan mendapat begitu banyak sorakan.
Kemudian, giliran Jo Minjoon tiba.
Kata-kata yang dia ucapkan sebelumnya diperdengarkan kembali. Lalu para juri dan peserta yang lain membicarakan hal baik tentang Jo Minjoon. Kemudian, Jo Minjoon tidak ragu dan menyebutkan bahan-bahan satu per satu.
Hasilnya, seperti yang mereka tahu, ke-20 bahan yang disebutkan Jo Minjoon benar. Wajah syok para juri terlihat di layar dan mungkin semua penonton juga berekspresi yang sama. Anderson menyalakan ponselnya barangkali saat itu di portal utama pencarian Y, Jo Minjoon dengan indera pengecapnya yang mutlak seketika naik menjadi topik utama pencarian.
Bagaimana wajah Jo Minjoon? Memikirkan itu, Anderson menatap Jo Minjoon lagi. Lalu dia menyeringai.
Jo Minjoon sedang tertidur…
–
Rose Island adalah tempat yang harus didatangi dalam lingkaran bisnis saat kau mencari kesempatan besar. Dilihat pertama kali, meski sekilas, restoran itu tampak sesuai dengan namanya. Hanya saja, ada alasan mengapa disebut kesempatan besar dibanding restoran yang lain. Rose Island mempunyai 37 restoran di seluruh dunia, dan jika seluruh bintang Michelin yang restoran itu dapatkan digabungkan, jumlahnya adalah 27.
Pemilik Rose Island, Rachel Rose, dirumorkan bahwa dia sangat aneh. Ada rumor yang mengatakan bahwa dia terkadang ramah, terkadang mudah tersinggung, dan terkadang bersikap tenang. Bintang utama dari semua rumor itu adalah wanita tua yang sedang menitikkan air mata yang sedang duduk di kursi berlengan.
Berusia sekitar enam puluhan, badannya terlalu tua untuk menitikkan air mata. Meskipun dia tidak pernah memikirkan dirinya menjadi tua, dia tahu dengan baik bahwa dia tidak sepatutnya bersikap seperti seorang gadis. Beberapa saat kemudian, dia merasa frustasi seperti anak kecil. Matanya melihat ke layar TV di depannya. Di dalam layar, Jo Minjoon sedang menatap kamera setelah menyebutkan 20 bahan.
“……..Isaac, Isaac!”
“Ya, chef kepala.”
“Berhenti memanggilku chef kepala. Bukankah aku sudah meninggalkan dapur?”
“Meski begitu, Anda tetap chef kepala bagi saya.”
Rachel melihat sekretarisnya yang usianya hampir sama, dengan wajah kecewa. Isaac melihat wanita tua itu dengan wajah curiga. Dia telah bersamanya selama 40 tahun, tapi ini pertama kali dia mengekspresikan perasaannya setelah kematian suaminya. Jadi, dia agak senang karena wanita tua itu sepertinya menemukan energi setelah sekian lama. Lalu Isaac tersenyum ceria.
“Apa Anda ingin mengatakan sesuatu pada saya?”
“Kau harus menghubungi PD Grand Chef. Tidak, bukan kau. Aku sendiri yang akan menelponnya.”
“Apa ada alasan tiba-tiba Anda tertarik dengan itu?”
“Kita akan membicarakan tentang itu nanti. Isaac, hal yang paling penting adalah aku harus bertemu dengan pemuda itu secepat mungkin.”
“Baik, saya akan segera mencari kontaknya.”
Isaac menjawab dengan hormat dan meninggalkan ruangan. Rachel hanya diam dan melihat ke layar. Kemudian, terus menyebutkan nama peserta yang dia lihat saat ini berulang kali.
“Min……Joon.”
<Pelanggan dan pelanggan yang lain (3)> Selesai