Dewa Memasak – Bagian 63: Dampak (2)
Suara Jo Minjoon penuh keyakinan. Dia tidak tahu apakah hal itu normal terjadi di truk makanan, tapi yang jelas saat ini mereka tengah menjalani misi. Jika mereka menjual semuanya pada penggemar yang kaya, maka itu bukan menjadi kompetisi antar chef, melainkan antar peserta yang populer.
Jadi demi kejujuran, keputusan Jo Minjoon benar telah menolak lonceng emas dari Rachel.
Hasilnya, Rachel harus menunggu tim mereka selesai berjualan. Oleh karena itu, satu-satunya orang yang menjadi gugup adalah PD junior, Robert. Tokoh yang tidak bisa diabaikan dalam lingkaran bisnis di Amerika, bukan, melainkan di dunia, sedang tepat berada di samping mereka. Dalam situasi itu, seandainya Robert tidak meresa tertekan, maka hatinyalah yang menciut.
Rachel mengabaikan Robert dan memasukkan norimaki tuna alpukat ke dalam mulutnya. Rasanya enak karena lembar rumput laut yang digunakan untuk kimbap telah diproses berulang kali. Teksturnya tidak keras ataupun renyah. Dari tuna yang dicampur dengan mayones, terasa samar aroma cuka balsam dan olive oil. Di balik tekstur alpukat, aroma segar tersembunyi dan minyak alpukat terasa melimpah. Semuanya terasa seimbang.
Setiap kali dikunyah, rumput laut menempel di langit-langit mulut dan bulir nasi terasa enak menggelitik lidah. Aroma tuna terasa di seluruh bagian mulut, tidak hanya di lidah. Itu sedap. Nasinya terasa segar dan leza, mungkin karena dibumbui dengan air rumput laut kelp dan cuka. Rasa yang dihasilkan tidak membuatmu bosan meski telah dicampur dengan bahan-bahan yang lain.
Pada dasarnya, rasanya memang seperti itu. Menggunakan mayones balsam tentu seperti percobaan pertama, tapi bukan itu poin pentingnya. Poin pentingnya adalah mereka membuat sendiri mayonnaisenya. Mereka mencurahkan seluruh usaha dan dedikasi mereka pada norimaki kecil itu.
‘Mereka punya dasar hati seorang chef.’
Rachel melihat Jo Minjoon yang sedang berdiri di balik mesin kasir dengan tatapan yang hangat. Meski dilihat sekilas, wajah Jo Minjoon tampak sangat lelah, tapi saat itu dia tetap tersenyum pada pelanggan dengan tulus. Rachel menyukai itu.
“Um…Apa Anda ingin minum mojito?”
“Tidak, aku baik-baik saja. Teh hijau cukup untukku.”
Walaupun menurutnya teh hijau itu sedikit kental, tapi kesegaran dan rasa murni dari teh hijau dapat membilas lidah dan kerongkongannya. Rachel tersenyum karena dia merasa telah makan makanan yang sehat.
Sedangkan di dalam truk, penuh dengan kebingungan, walau tampak normal dari luar. Bukan karena mereka mendapat masalah saat berjualan, hanya saja, kehadiran Rachel Rose membuat mereka tidak bisa tenang. Bahkan Anderson, orang yang dingin dan selalu tenang, terlihat seperti penuh suka cita.
Jo Minjoon bertanya dengan nada bingung.
“Jadi siapa dia?”
“Kau…sungguh tidak tahu? Tidak ya. Oh benar. Itu dapat dipahami. Mungkin karena sudah lebih dari 10 tahun Rachel tidak muncul di TV. Apa kau tahu Rose Island?”
“Oh, sepertinya aku pernah mendengarnya. Itu restoran.”
“Bukan sembarang restoran. Itu tempat yang sangat diakui di dunia dan orang itu adalah pemiliknya.”
Anderson membalas dengan frustasi. Jo Minjoon tidak menjawab lagi dan terus menerima pesanan. Sejujurnya, dia tidak benar-benar tertarik dengan hal itu. Meski wanita itu pemilik salah satu restoran top, dia adalah orang yang tidak pernah dilihatnya. Seperti kata Anderson, penyebab utamanya adalah dia tidak lagi muncul di TV. Sebelumnya, Jo Minjoon telah melihat banyak video tentang memasak dari seluruh dunia, tapi kebanyakan itu video-video yang direkam baru-baru ini. Jika ada chef bintang, yang jauh dari masa lalu, Jo Minjoon tidak akan tahu karena dia mulai banyak menonton TV saat dia masih sekolah dasar.
Setelah berapa saat, Joanne, yang melihat Jo Minjoon tidak bereaksi sama sekali, berkata,
“Oh, benar. Jika aku mengatakan ini, kau pasti akan paham. Dia terkenal sebagai mentor Alan.”
“Iya, semuanya 4 Dollar. Terima kasih, …Alan yang kita tahu itu?”
“Iya. Itu hanya rumor, tapi sepertinya Martin pun sebenarnya ingin Rachel menjadi juri, bukannya Alan.”
Mendengar ucapan Joanne, Jo Minjoon mulai melihat wanita itu dari sudut pandang yang berbeda. Jo Minjoon melihat Rachel. Seketika itu, dia bergidik. Rachel terus menatap Jo Minjoon. Wajah rachel penuh dengan senyuman, tapi Jo Minjoon merasa ditatap oleh kepala sekolah seperti saat dia masih bersekolah.
Jo Minjoon bergumam pelan.
“Dia tidak akan membenciku karena aku tidak membiarkannya membeli semua makanan ini, bukan?”
–
Hari ini jualan berjalan cukup sibuk. Hanya untuk makan siang, dia harus memasak nasi 2 kali lebih banyak, dan hasilnya, norimaki yang dijual sebanyak lebih dari 700 iris. Itu adalah yang terbaik sejak mereka berjualan.
“…Sepertinya ini dampak dari indera pengecapmu yang mutlak.” kata Joanne.
Jo Minjoon mengangkat bahunya. Sesaat kemudian, orang yang menunggunya selama hampir 2 jam, berdiri dari tempat duduknya. Kemudian terdengar suara orang menelan ludah. Suara itu berasal dari Anderson. Wajahnya tampak gugup dan berkeringat dingin. Anderson mendekati Rachel.
“Halo, Guru. Saya Anderson Rousseau.”
“Rousseau? Sepertinya familiar…oh, mungkinkah kau putra Fabio dan Amelia?”
“Iya. Saya ingat pernah bertemu Anda saat saya masih kecil.”
“Benar. Aku juga ingat. Orang tuamu pastilah bahagia karena putranya telah tumbuh menjadi pemuda tampan.”
Rachel tersenyum lembut. Dengan mengatakan dia mengingat Anderson, sepertinya dia telah mempertimbangkannya. Anderson tidak bisa berhenti tersenyum karena itu.
Itu pertama kalinya anggota tim melihat Anderson sangat gembira seperti anak kecil. Sehingga Jo Minjoon semakin penasaran, betapa hebat Rachel Rose?
Rachel melangkahkan kaki. Kakinya berhenti di depan Jo Minjoon. Jo Minjoon bahkan tidak bisa membuka mulutnya dan melihat Rachel dengan wajah kikuk. Rachel berkata,
“Aku dengar kau punya kemampuan yang hebat.”
“…Terima kasih.”
“Mohon maaf karena aku datang tiba-tiba. Aku merasa harus bergegas dan tidak bisa menahannya.”
“Boleh saya tahu kenapa?
Rachel bergegas datang ke sini karena Jo Minjoon adalah seorang chef dengan kemampuan luar biasa. Rachel hendak berkata sesuatu, tapi kembali menutup mulut, lalu menghela nafas. Rachel melihat Jo Minjoon, lalu menatap dadanya. Rachel menutup mata dan menghela nafas lagi. Kemudian, perlahan Rachel melihat ke kamera di sekelilingnya.
“Tentunya, aku punya sesuatu yang harus dilakukan, tapi akan sulit, jika dilakukan di tempat umum. Aku hanya akan bertanya satu hal padamu hari ini. Aku tahu kau akan merasa sungkan, tapi bisakah kau menjawabnya?”
“…Jika bukan pertanyaan yang sulit saya akan menjawabnya.”
“Ini sederhana. Apa kau sungguh mempunyai indera pengecap yang mutlak?”
Mata Rachel berkilat, tatapannya serius. Jo Minjoon sangat terkejut. Sulit menjelaskan bahwa dia memiliki sistem, alih-alih indera pengecap yang mutlak. Namun itu juga bukan tidak benar bahwa dia memiliki indera pengecap yang mutlak. Jo Minjoon perlahan-lahan membuka mulutnya untuk menjawab. Diia tidak ingin menjadikan Rachel musuhnya, jadi, dia berusaha menjawab dengan bijak.
“Indera pengecap yang mutlak tidak pernah ada hingga saat ini. Jadi, saya tidak yakin dengan itu. Oleh karena itu, saya hanya harus berhati-hati saat seseorang bertanya pada saya. Saya hanya bisa merasakan komposisi bahan-bahan, sedikit lebih jelas. Itu adalah jawaban yang paling benar yang bisa saya katakan pada Anda.”
“…Baiklah. Kau benar. Aku paham apa yang kau bicarakan. Kalau begitu aku akan mengubah pertanyaannya. Mohon maaf. Setelah lanjut usia, pikiranku semakin lamban.”
Rachel tersenyum seolah-olah dia malu lalu melanjutkan berbicara,
“Saat kau makan, bagaimana perasaanmu?”
Berbanding terbalik dengan dugaan Jo Minjoon, Rachel menanyainya pertanyaan yang detail. Jo Minjoon tenggelam dalam pikirannya. Dia tidak tahu kenapa dia ingin memberikat jawaban yang paling benar pada senior di depannya ini. Mungkin, itu bukan jawaban yang dia harapkan, tapi setidaknya dia ingin menjawab dengan tulus saat ini.
“Pertama, saya menganalisa. Apa yang ada di dalamnya, bagaimana itu dimasak, rasa apa yang ditekankan. Baru kemudian saya menikmati cita rasanya.”
“…Jadi, kau bisa tahu semua bahan-bahan yang terkandung saat menganalisa makanan itu?
“Iya.”
Itu bukan kebohongan. Rachel melihat Jo Minjoon sekian lama dengan ekspresi wajah yang tidak bisa ditebak apa yang sedang dia pikirkan. Wajahnya tampak penuh dengan bermacam-macam emosi. Kebahagiaan, kesedihan, penyesalan, dan duka…terlihat sebanyak garis keriput di wajahnya. Emosi itu terlihat semakin jelas dan dalam. Dia tampak seperti ingin menangis dan hendak berkata, tapi menahannya. Tidak lama kemudian, dia berkata dengan suara pelan,
“…Benar. Jika itu kau, itu mungkin saja.”
“Ya?”
“Oh tidak, maafkan aku. Karena semakin tua, aku terus berbicara sendiri. Terima kasih atas jawabanmu. Teruslah berusaha hingga saatnya kau menjadi chef yang sesungguhnya. Kau mungkin akan menjadi chef yang baik.”
“Saya?”
Jo Minjoon membuka suara lalu menjilat bibirnya, setelah ragu-ragu dan bertanya dengan suara yang ragu-ragu.
“Dengan mengatakan saya akan menjadi chef yang baik, apakah itu karena indera pengecapan saya yang sensitif?”
Itu benar-benar pertanyaan penting bagi Jo Minjoon. Dia tidak senang saat orang-orang mendoakannya karena dia punya indera pengecap yang mutlak. Ada perbedaan besar antara kemampuan yang dipikirkan orang-orang dengan realitanya. Oleh karena itu, kalimat ‘Kau akan sukses karena kau punya indera pengecap yang mutlak.’ tidak berkesan baginya.
Rachel hanya memandang Jo Minjoon. Dibalik rambut pirangnya, ada banyak garis kerutan di bawah matanya.
“Aku sangat menikmati norimaki itu. Menurutku, itu adalah hidangan yang mengandung dedikasimu dan rekan timmu. Kalian semua suka memasak, bukan?”
Semua orang mengangguk tanpa sadar. Rachel berkata,
“Jika mencurahkan dedikasi seperti itu, kalian semua bisa menjadi chef yang baik. Sebab dunia ini tidak mengkhianati usaha keras.”
–
“….Si brengsek.”
Setelah mereka selesai berjualan pada malam hari, saat mereka sedang dalam perjalanan kembali ke Chicago, Anderson mengumpat. Jo Minjoon tidak membalasnya karena Anderson menggerutu tentang hal yang sama lebih dari 10 kali. Anderson sepertinya sangat iri karena Jo Minjoon mendapat perhatian Rachel. Jo Minjoon menghela nafas.
“Kau juga mengobrol lama dengannya.”
Meski Rachel telah selesai dengan urusannya, mereka berbincang-bincang cukup lama tentang beberapa hal. Tentu, Anderson merasa seperti itu karena Rachel peduli dengan Jo Minjoon, tapi meski begitu, Rachel bukan tipe orang yang mengabaikan pandangan pemuda yang berambisi memasak. Kelopak mata Jo Minjoon berat dan dia memejamkan matanya.
Dia sangat lelah. Ketertarikan orang-orang dan tanggung jawab sebagai ketua tim, semua itu terasa berat. Sejujurnya, saat dia mendapat tanggung jawab menjadi ketua tim, dia tidak pernah berpikir akan sedemikian berat.
Namun, mengungkapkannya di depan orang lain terasa begitu menyesakkan. Bukan. Bukan menyesakkan. Lebih jelasnya, itu terasa lebih tepat disebut ketidakleluasaan. Dia harus mengaturnya dengan baik, sehingga dia tidak akan menyalahkan rekan timnya, dia harus memilih lokasi yang tepat, merancang menu dengan baik, mencocokkan rasanya, dan mempopulerkan norimaki.
Jika kau melakukannya satu per satu, itu akan sederhana. Namun, saat dilakukan bersamaan, pikiran dan tanggung jawab yang dibebankan terasa semakin besar.
Sebenarnya, itu karena Jo Minjoon adalah tipe orang yang sangat bertanggung jawab. Normalnya, orang akan membiarkannya berjalan sesuai takdir dan melakukan sebatas yang dia bisa, kebanyakan berpikir seperti itu. Namun, Jo Minjoon ingin meraih takdir dengan kapal yang ditumpanginya bersama rekan timnya.
“Apa aku terlalu tamak?”
“Hah? “Apa?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
Pada pertanyaan Peter, Jo Minjoon menggelengkan kepalanya. Jo Minjoon melihat Peter. Sekarang yang Jo Minjoon lihat, bahkan belum satu minggu semenjak Peter takut diedit dalam siaran, tapi dibandingkan Peter saat itu, Peter tampak tenang saat ini. Mungkin sarannya yang asal-asalan menenangkan hatinya.
‘Aku hanya harus bangkit sendiri.’
Jo Minjoon menyeringai dan melihat ke luar jendela. Mereka meninggalkan Madison menuju Chicago. Tim Chloe dan tim Hugo juga sedang menuju Chicago saat ini. Pada hari terakhir, semua tim akan berjualan di tempat yang sama. Itu adalah rencana PD di hari ketujuh misi mereka.
‘Akankah aku bisa melihat Kaya lagi?’
Dia juga penasaran apa yang dilakukan Chloe dan Hugo. Apakah mereka juga sangat lelah sebagai ketua tim sama dengan dirinya? Beberapa saat kemudian, dia hampir tertidur. Ponselnya bergetar. Dia melihatnya. Ada sebuah pesan yang datang dari Kaya.
[Kaya: Kapan kau sampai? Kami sudah sampai.]
[ Aku: Sekitar sejam lagi.]
[Kaya: Aku tidak sabar karena aku akan membabat penggemar norikami.]
Pesan yang tidak lembut sama sekali itu membuat Kaya merasa sangat centil. Jo Minjoon merasa bebannya sedikit berkurang. Jo Minjoon menjawab dengan ceria.
[ Aku: Bukan norikami yaa, tapi norimaki.]
Balasannya segera datang.
[Kaya: Itu salah ketik.]
[Kaya: Bukannya aku tidak tahu ]
[Kaya: Sungguh!]
[Kaya: Apa menurutmu ada orang yang menyebutnya norikami bukannya norimaki? ]
[Kaya: Apa kau mengabaikanku sekarang?]
Jo Minjoon tidak membalas.
<Dampak (2)> Selesai