Dewa Memasak – Bagian 65: Di akhir perjalanan (2)
Waktu bersantai berakhir dengan cepat. Meski sebelumnya, pukul 9 tepat, para peserta harus ke depan truk makanan, tapi tidak hari ini. Mereka bahkan tidak punya waktu luang untuk mengekspresikan bahwa mereka senang bisa bertemu lagi dengan yang lain setelah sekian lama. Setelah mereka memasang mic di pakaian mereka, para juri muncul. Mereka baru bertemu setelah satu minggu. Joseph membuka suara dengan wajah yang tenang.
“Apa kalian menjalani misi dengan baik selama sepekan terakhir?”
Para peserta tertawa masam. Wajah mereka mengatakan jawabannya. Joseph mengendurkan bibirnya seolah-olah dia paham.
“Itu pasti berat sekali. Kalian kurang tidur, lalu punggung dan leher kalian sakit, tapi melihat senyum para pelanggan, kalian pun tidak akan bisa mengatakan kalian lelah. Itulah kehidupan chef dan kehidupan kalian nantinya akan seperti itu. Selama sepekan terakhir, kalian bisa lihat apa yang harus kalian kerjakan berulang-ulang selama 70 tahun ke depan.
Mungkin, sekarang lebih nyaman karena truk makanan. Lagipula itu tidak umum, karena menjalankan truk makanan hanya demi memenangkan misi. Restoran biasanya lebih baik karena tidak perlu bergerak, tapi di sisi lain, ada hal-hal yang tidak mudah sama sekali.
Alan membuka suara.
“Nantinya, kalian akan lebih stress dari yang kalian hadapi sekarang. Itu tergantung pada siapa kau bekerja, tapi seperti yang kalian tahu karakter chef kepala atau chef wakil kepala semuanya buruk. Aku tidak melebih-lebihkan, mereka memang buruk dan kasar. Karena jika kau berbuat kesalahan sekecil apa pun, kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Apa yang kalian tempatkan di atas piring akan diperiksa dengan hati-hati oleh tangan para dokter. Dan…”
Alan melihat Emily.
“Jika epicurean datang dan memberi komentar di internet atau berita, dengan mengatakan hal-hal yang penuh omong kosong, kalian akan melupakan alasan kalian berada di jalan ini. Beberapa dari mereka menuliskan hal-hal yang tidak masuk akal dan hal-hal yang membuatmu bertanya-tanya tentang pemahaman mereka soal masakan.”
“…Yaa, meski aku hanya menghela nafas, saat melihat epicurean seperti mereka. Dan sepertinya kalian telah bertemu dengan epicurean gadungan di misi truk makanan.”
Yang dibicarakan Emily, bukanlah orang yang berkata buruk tentang masakan mereka karena itu adalah hak mereka. Namun, ada pula beberapa orang yang ingin mendapat perhatian dengan berbicara omong kosong. Mereka bilang bahwa cita rasa dari bahan-bahan yang ada tidak terasa begitu kuat, dan beberapa orang juga mengevaluasi dengan pendapat seperti itu padahal tidak mencobanya.
“Minjoon, Hugo, Chloe, karena kalian ketua tim, kalian harus kuat dan bertahan lebih dari anggota kalian. Bagaimana perasaan kalian?”
Jo Minjoon melihat Hugo. Mungkin Hugo terlalu memaksakan diri, dia tidak terlihat baik. Dia hanya bisa seperti itu, karena jika dia tidak berbohong mengenai keuntungannya, posisi terakhir akan ditempati oleh timnya. Hugo bukan tipe orang yang berbohong tentang hal ini karena dia adalah tipe orang yang sangat bertanggung jawab dalam situasi seperti ini.
Yang pertama menjawab adalah Chloe. Dia sepertinya terlihat nyaman. Suaranya tidak berat.
“Memang sulit, tapi memikirkan hal-hal yang akan dihadapi di masa depan, ini adalah pengalaman yang bagus.”
“Itu jawaban yang bagus. Minjoon?”
“Tanggung jawab ternyata lebih menyeramkan dari yang aku duga. Tentu aku tahu bahwa Anda memilihku sebagai ketua tim sebagai penghargaan menjadi yang terbaik di misi risotto, tapi rasanya seperti diberi sebuah tes.”
Dia tidak berencana untuk menggerutu, tapi apa yang Jo Minjoon utarakan terdengar seperti sedang berkeluh kesah. Alan menyeringai.
“Berpikirlah seolah-olah itu sebuah pengalaman. Memasak di posisi sebagai pemimpin adalah hal yang tidak mungkin dengan pengalamanmu sekarang.”
“Iya, aku tahu itu dengan sangat baik.”
“Hugo, bagaimana denganmu? Kau yang terlihat paling gugup di antara kalian bertiga.”
Hugo tersenyum kecut. Dia ragu-ragu sejenak dan perlahan membuka suara,
“Aku minta maaf pada rekan timku. Aku harus menjadi ketua tim yang baik, tapi aku terlalu banyak kekurangan,”
“…Entahlah. Aku dengar kau melakukannya dengan baik, jadi menurutku, kau tidak perlu merendahkan dirimu seperti itu.”
“Aku tidak merendahkan diri, aku merasa bersalah. Sepertinya aku terlalu gugup.”
“Bersemangatlah.”
Emily berkata dengan lembut. Selanjutnya Joseph. Dia menunjuk jam yang menempel di dinding dengan jari telunjuknya.
“Hari ini kalian akan berjualan hingga pukul 4:30. Dan keuntungan akan menjadi standard untuk dievaluasi. Hari ini, pemenang akan berkunjung ke restoran berbintang Michelin satu ‘Coconut Prime’…Tapi karena ada investor, rencana berubah, restoran yang akan kalian kunjungi hari ini adalah…”
Pada saat itu, Alan melihat Jo Minjoon sejenak, sebelum mereka memikirkan maksud dari tatapan itu, Alan lanjut berbicara,
“Rose Island di Chicago. Itu adalah restoran dengan 3 bintang Michelin.”
Mulut semua peserta terbuka sangat lebar. Pada saat itu, Jo Minjoon berhasrat penuh ingin menang. 3 bintang Michelin, artinya bukan restoran biasa. Mungkin…”
‘…Akankah di sana ada hidangan bernilai 10?
Jantungnya mulai berdegup kencang. Hanya selisih $50 dengan tim Chloe. Jika dia bekerja sangat keras, mungkin akan bisa melampauinya. Secara pribadi, setelah indera pengecapnya diketahui semua orang, memikirkan keuntungan kemarin yang lebih dari biasanya, mungkin saja hari ini juga mendapat hasil yang baik.
“Lakukan yang terbaik sebisa mungkin. Tidak semua orang bisa menang, tapi kalian semua bisa memuaskan pelanggan kalian. Aku harap kalian bisa melakukannya.”
Wajah Hugo membeku mendengar kata-kata itu. Sepertinya dia berjanji sesuatu dalam hati. Jo Minjoon berpikir sambil menenangkan semangatnya yang berkobar. Iya, yang paling penting adalah pelanggan. Kami tidak hanya berjualan, tapi membuat makanan yang memuaskan pelanggan. Dia tidak boleh melupakan itu meski sesaat.
Joseph berkata, “Pergilah, pelanggan akan menunggu kalian.”
–
Sekarang, mereka tidak perlu berlama-lama mencari bahan-bahan di pasar. Mereka sudah terbiasa, selain itu, mereka juga sudah pernah ke pasar di Chicago satu kali.
Mereka memutuskan untuk memasak nasi terlebih dahulu seperti biasanya. Dia sudah melakukan proses ini berulang kali, tapi ini adalah bagian paling penting dan sulit. Nasi adalah sajian yang sulit untuk dimasak dengan baik. Para ibu rumah tangga di Korea memasak nasi setiap hari, tapi hasilnya selalu bervariasi. Ada kalanya matang dengan sempurna, tapi kadang juga terlalu basah.
Mungkin mereka tidak bermasalah dengan itu karena mereka menggunakan penanak nasi otomatis. Jika tidak, entah bagaimana hasilnya. Kau akan terbiasa jika makan nasi setiap hari, tapi memasak nasi bukan hal yang mudah.
“Berapa banyak yang akan kita jual hari ini?”
Jo Minjoon mengangkat bahunya. Ini masih di Chicago, tapi tempat ini hanya 2 km jauhnya dari tempat sebelumnya. Jadi dia berpikir bahwa tidak akan ada banyak pelanggan yang akan datang dua kali. Meski mereka datang untuk yang kedua kalinya, itu berarti mereka datang untuk makan norimaki lagi.
Dan dia tidak bisa menghindari dampak dari indera pengecapnya yang mutlak. Setidaknya, dengan mempertimbangkan penjualan hari-hari sebelumnya, menurut mereka, tidak akan ada waktu mereka tidak punya pelanggan sama sekali. Masalahnya di situ. Seberapa cepat mereka membuat norimaki berdasarkan permintaan? Hari ini, tim yang lain juga memperpanjang jam kerja mereka.
“Misi berakhir pukul 4:30. Haruskah kita membuat 1500 potong?”
“…Mendengarnya saja sudah membuatku mual. Apa kau pikir akan terjual semua? Jika tidak, kita hanya membuang-buang bahan.”
“Jadi, kita harus bertindak sesuai dengan situasi. Tapi menurutku, jumlah pelanggan akan lebih tinggi dari biasanya karena antara ada 1 truk makanan dengan 3 truk makanan sekaligus ditempat yang sama, situasinya akan berbeda.”
Anderson mengangguk setuju. Jika hanya satu, orang-orang akan ragu untuk datang ke sini. Jika ada 3 sekaligus, kemungkinan mereka beranjak ke sini menjadi lebih tinggi.
Terlepas mereka membuat 1000 atau 2000 potong, pada akhirnya mereka hanya mmbuat 300 potong dalam sekali masak. Ini pekerjaan yang sama seperti biasanya, tapi Jo Minjoon merasa lebih nyaman. Mungkin karena apa yang dikatakan Hugo. Bukan, tentunya bukan karena itu, melainkan dia bisa tidur dengan nyenyak setelah sekian lama.
Saatnya membuat norimaki sesi pertama, Jo Minjoon segera mulai memasak nasi. Orang yang membuka pintu truk hari ini adalah Anderson. Dia, yang keluar lewat pintu belakang, sangat syok melihat kerumunan orang yang sangat banyak. Jika dibilang halamanya penuh orang, itu berlebihan. Tapi setidaknya, ada banyak sekali orang-orang berkumpul hingga tidak terlihat ujungnya. Ratusan mungkin lebih. Dia kembali masuk truk dan terengah-engah.
“…Kita benar-benar harus menjual ribuan iris norimaki. Ada banyak sekali orang-orang yang datang.”
“Benarkah?”
Yang pertama mulai berjualan jelas tim Chloe, karena mereka hanya perlu menyiapkan roti sebelumnya dan meletakkan itu di atas pemanggang atau menusuknya di atas kochi. Ada 3 varian dari masing-masing roti, daging, dan saus, yang bisa dipilih pelanggan. Sederhana, tapi metode ini bisa mendatangkan banyak pelanggan.
Harganya sekitar 4-6 Dollar. Memperhitungkan bahwa sayuran tidak disertakan secara terpisah, itu tidak murah, tapi jumlahnya tidak membuat orang-orang mengeluh.
Sayurannya tidak sebanyak norimaki, tapi meski begitu, norimaki adalah hidangan yang cukup cepat dimasak. Joanne berkata dengan iri.
“Kenapa mereka cepat sekali? Hasil panggangan Kaya memang sebuah karya seni. Bahkan dalam waktu singkat, tidak ada daging yang terlalu matang ataupun masih mentah.”
“Dia dari pasar, jadi dia punya banyak pengalaman.”
“Whow…menakutkan. Ayo melemaskan otot-otot kita.”
Jika tim Chloe meningkatkan kecepatan performa sebanyak itu, tim Hugo justru sebaliknya. Satu hal yang pasti, antrian mereka tidak cepat berkurang, meski jumlah antrian pelanggan mereka jauh lebih pendek dari pada antrian di tim Chloe dan Jo Minjoon. Sangat mengejutkan. Kopi dan kue. Biasanya, itu adalah menu yang lebih menarik minat wanita dari pada pria. Dan saat ini, orang-orang yang datang mengantri kebanyakan wanita. Sulit menemukan laki-laki di antara mereka.
Kehilangan pelanggan laki-laki bukanlah kesalahan dari menu. Pertama, poin tentang menambahkan hidangan penutup pada menu. Tentu tidak akan ada orang yang ingin kenyang dengan hanya makan kue, terlebih kue mereka berfokus pada kualitas bukan kuantitas. Harganya mahal tapi jumlahnya sedikit. Kualitasnya jelas enak karena Marco yang membuatnya, tapi sejujurnya, kau tidak akan tahu sebelum mencicipinya. Pada dasarnya, saat kau melihat menu, kau akan mengeluh dalam hati dan mundur perlahan.
Jo Minjoon menghirup nafas. Itu sangat disayangkan, tapi dia tidak punya waktu luang untuk memikirkan mereka. Jo Minjoon membuka suara,
“Tim Kaya…tidak. Tidak perlu memikirkan tim Chloe. Mereka juga merasa tertekan dengan melihat kita karena mereka tidak punya waktu untuk beristirahat. Oh, iya. Selamat datang. Silahkan pesan.”
“2 iris norimaki barbeque babi dan satu iris norimaki salmon. Aku menyimak siaran Grand Chef. Melihat kau menebak isi kantung tahu goreng, bulu kudukku jadi berdiri.”
“Terima kasih.”
Sejujurnya, dia telah mendengar kalimat itu berkali-kali. Namun, dia tidak bisa membalas tersenyum jika pelanggan itu mengatakannya seperti mengejeknya. Dia telah mendengar ucapan selamat, terima kasih, dan tawa yang sama. Spesialnya, dia tidak membenci percakapan itu diulang-ulang karena wajah mereka penuh dengan niat baik terhadap Jo Minjoon, dia tidak bisa kesal terhadap mereka.
Setelah membuat norimaki lalu berjualan, proses itu berlangsung terus menerus hingga hampir pukul 4:30. Hal yang melegakan adalah akhirnya sudah pukul 4:30, mereka bahkan tidak beristirahat sekali pun. Antrian di tim Hugo menghilang perlahan, dan kecepatan berjualan tim Kaya menurun… Mungkin, mereka sungguh…
‘Tidak, jangan menduga-duga dahulu.’
Namun, Jo Minjoon terus tersenyum tanpa henti. Ada kameramen yng sedang merekam wajah Jo Minjoon dengan sudut yang tepat. Barangkali, wajah itu akan disiarkan seolah-olah dia bergembira dengan pelanggan, dan sebuah senyuman chef.
Saat pelanggan banyak yang mulai pergi dari tempat itu, panjang antrian masing-masing tim dapat dibandingkan dengan jelas. Antrian yang paling panjang berada di depan truk tim Jo Minjoon. Sederhananya mereka ingin makan norimaki. Kebanyakan pelanggan yang melihat adegan indera pengecapan yang mutlak, merasa bahwa, episode itu membuat Jo Minjoon menjadi label merk yang unik. Martin mengusap dagunya dan berpikir.
‘Selain kemenangan, Minjoon mendapat sayap dipunggungnya.’
Meski dengan membuat makanan yang biasa, orang-orang yang menemukan cita rasa yang bahkan tidak ada di dalamnya, mendoakan mereka. Tentu, beberapa epicurean melebih-lebihkan itu seperti biasanya, tapi dengan memperhitungkan indera pengecap Jo Minjoon yang mutlak, tidak mudah untuk berkomentar buruk terhadap masakannya.
Apalagi saat keahlian memasak Jo Minjoon tidak buruk sama sekali dan yang paling utama, dia masih berusia 23 tahun. Sejujurnya, tidak akan ada yang tahu bagaimana dia akan tumbuh.
Pada pukul 4:30, tidak ada sisa norimaki lagi. Istilah lainnya, semua terjual habis. 7 yang tersisa, Jo Minjoon berikan pada pelanggan dengan gratis. Dia menggratiskan itu karena misi berjualan hanya sampai pada pukul 4:30. Kimbap yang mereka buat, terjual sebanyak 1.100. Itu jumlah yang sangat mengejutkan. Biasanya itu adalah jumlah total yang dia jual saat makan siang dan makan malam, meski jika mereka bekerja lebih lama dari biasanya, mereka menjual norimaki banyak sekali.
‘Dipotong minyak dan bahan-bahan.. Jumlahnya seribu Dollar lebih sedikit.’
Jika mereka bisa berjualan seperti ini setiap hari, semua chef akan menjadi pemilik truk makanan.
Para peserta kembali ke asrama Grand Chef. Mereka tidak bisa mengumumkan hasilnya karena banyak orang melihat. Tentu, truk makanan sudah memanjakan para penyintas, tapi itu keputusan yang tak terhindarkan karena misi. Jika bukan situasi itu, tidak perlu menunjukkan perkembangan tim mereka.
Di lobi, para juri berdiri seperti biasanya menunggu mereka. Alan membuka suara.
“Kita punya total laba masing-masing tim. Pemenang dan tim yang kalah sudah kami putuskan. Hal yang lucu adalah perbedaan laba juara pertama dan kedua. Berapa dollar selisihnya menurut kalian? Chloe, menurutmu berapa?”
“…Entahlah. Hmm, sekitar $10?”
“Ini separuhnya. Perbedaan pemenang juara satu dan dua hanya $5.”
Mendengar kata-kata Alan, semua orang saling berkomentar dengan wajah terkejut. Jo Minjoon merasa dadanya terbakar. Siapa pemenang 5 dollar itu? Dia? Ataukah Chloe?
Alan membuka suara.
“Namun, sebelum mengumumkan juara pertama, kami harus menyebutkan tim yang terdiskualifikasi. Ini adalah saat-saat yang tidak nyaman, tapi kami harus menyebutkannya. Aku tidak akan berbicara panjang lebar. Tim yang kalah mendapat keuntungan $5,643. Benar. Hugo! Itu adalah timmu.”
Hugo menggeleng dengan wajahnya yang berubah pucat. Alan tidak mengucapkan kata-kata penghiburan. Dia berkata dengan suara tegas.
“Ide menjalankan truk cafe adalah sebuah kesalahan. Pertama, keahlianmu membuat kopi belum cukup baik. Aku tidak mengerti kenapa kau memilih strategi itu. Yang kedua, kau harus memikirkan ukuran truk. Berapa banyak roti dan kopi yang kalian bisa buat setelah tahu ukuran truk hanya bisa muat 15 orang. Mungkin membuat toko roti keliling lebih baik dari pada kue. Menurut pendapatku, kau begitu terpesona dengan ide truk cafe sehingga sudut pandangmu menjadi sempit. Hugo, bagaimana menurut pendapatmu sendiri?”
“…Itu adalah kesalahanku. Aku tidak punya sesuatu untuk dikatakan.”
Marco menepuk pundak Hugo pelan. Joseph melihat mereka lalu berkata,
“Jika kau membuka restoran, kau harus memperhitungkan banyak hal. Tidak hanya barang atau masakan yang enak. Kau tidak bisa hanya mengandalkan itu. Itu adalah dasarnya. Dengan pertimbangan semua itu, tim yang lain melakukan dengan benar. Mereka menemukan lokasi dan kekhasan truk makanan mereka dan aku bisa melihat strategi yang mereka gunakan pada menu mereka.”
Joseph mengambil nafas sejenak. Lalu berkata,
“Juara pertama mendapt laba $6,771. Iya benar.”
Suasana menjadi hening. Saat Jo Minjoon mendengar jumlah itu, dia segera tahu hasilnya. Dia bisa melihat 3 bintang Michelin di depan matanya.
“Selamat, Minjoon. Timmu menang.”
<Di akhir perjalanan (2)> Selesai