Dewa Memasak – Bagian 68: Rayuan 3 bintang (3)
Biasanya Jo Minjoon terlena karena pemberitahuan di layar sistem, tapi kali ini, bukan karena angka, melainkan emosi yang begitu dalam setelah lidahnya merasakan cita rasa yang begitu jelas dan nikmat.
Jo Minjoon meraih red wine bread lalu mengoleskan saus yang tersisa di piring di permukaannya. Menghabiskan hidangan hingga tak tersisa sedikit pun merupakan pujian yang lebih indah dari sekedar kata-kata. Elly mengambil piring kosong itu dengan senyum di wajahnya.
Hidangan utama selesai. Kemudian sensasi pencapaian dan realita muncul bersamaan. Jo Minjoon tertawa malu-malu. Fakta bahwa dia menangis karena makanan yang begitu lezat, cukup memalukan. Anderson berkata dengan suara tenang,
“Jika kau membayar dengan air matamu setelah makan hidangan yang lezat, itu sedikit murahan.”
“…Tapi kita yang bayar. Jangan biarkan staff yang membayar untuk kita?”
“Sok bertingkahlah seperti orang tua…Ambilah itu sebagai tip, tip air mata.”
Saat dia hendak membalas Anderson, penyaji datang. Piring yang dibawanya berbentuk bulat dengan bagian sisi lebih tinggi, seperti mangkok sup. Dan di dalamnya, terdapat cranberry beku, cranberry yang dikaramelisasi, remah roti rye panggang, dan meringue panggang dengan sage di atasnya. Mereka berpikir ini terlalu berat sebagai hidangan penutup, tapi saat itu, penyaji lainnya datang dengan membawa 2 piring di tangannya.
Ada daun pinus tersebar di piring, dan diatasnya ada es serut. Penyaji meletakkan es di setiap piring. Sejujurnya, tidak perlu memikirkan adakah perbedaan meletakkan es sebelum dan sesudahnya, karena itu hanya masalah pelayanan. Melihat hidangan diselesaikan tepat di depan mata adalah hal yang menarik.
Rasanya tidak jauh berbeda dengan apa yang kau lihat dari luar. Poin yang sedikit menarik adalah aroma daun pinus yang terasa di dalam es. Hidangan yang baru dia coba terasa begitu lezat hingga dia sangat takjub. Takjub karena menu lengkap ini bisa mengorganisir cita rasa yang begitu jelas dan nikmat di mulut.
Saat mereka telah mengosongkan piringya, es kopi muncul bersama dengan buah pir rebus. Di dalamnya ada ganache yang dicampur dengan krim, cardamom renyah, elderflower, dan sari buah asam Jawa. Karena ada bumbu India cardamomo dan buah asam Jawa, seluruh cita rasanya berkarakter Asia.
“…Ini juga lezat.”
Jo Minjoon tertawa, tidak ada satu kesalahan pun dalam menu lengkap ini. Bukan. Melainkan di dalam hatinya yang tidak ada kesalahan. Semua hidangan ini sungguh lezat sekali. Kehati-hatian dan keberanian chef kepala terasa jelas dalam setiap hidangan.
‘Suatu hari, aku juga…’
Sebuah komposisi apik yang membuatmu berpikir demikian.
Hidangan selanjutnya adalah sudachi karamel. Di Korea, buah sudachi disebut juga jeruk yeong (영귤) yang seluruhnya berwarna kuning. Di bagian bawah hidangan, ada dadih sudachi encer dan jernih, yang terasa lebih lembut dari krim.
Bahan-bahan yang ada di atas sudachi adalah kacang mede, pir Asia, nastrium, jeli apel hijau, dan seledri.
Aroma sudachi menjadi intinya dan tidak berlebihan. Kacang mede dan rasa manis dari jeli dan buah pir begitu lezat, terlebih lagi, mereka dipadukan dengan kesegaran custard sudachi, sehingga terasa cukup mewah.
Hidangan penutup datang lagi, yaitu lemon mint dan bubuk kastanye beku; krim vanila dan susu kental; dan purée kastanye bersama dengan pastri rasa coklat. Mereka dikelilingi oleh cangkang coklat dan di dalamnya ada popcorn karamel. Ada cabang dan obat kering di piring itu. Setelah memakan habis coklat satu per satu, hidangan penutup berakhir.
Makan malam berlangsung selama dua setengah jam. Jumlah hidangannya tidak banyak. Namun karena dia memakan itu semua secara kontan dalam selang waktu yang lama, perutnya terasa cukup penuh. Rasanya sama dengan setelah makan 3 pak ramen dalam sekali makan.
Saat Jo Minjoon melihat yang lain, mereka juga dalam keadaan yang sama. Peter kesulitan menghirup udara. Sebenarnya, bagi Peter yang badannya kurus dan kerongkongannya yang pendek, memakan semua hidangan dalam menu lengkap ini tidaklah mudah.
“Sekarang, meskipun mereka mengatakan bahwa setiap piring seharga seribu Dollar, aku tidak akan memakannya. Tidak, aku tidak bisa.”
“…Benarkah? Jika hidangan itu muncul, kau pasti akan memakannya. Anderson, kau terlihat tenang-tenang saja.”
“Jumlah makanan ini tidak banyak. Perutmu saja yang terlalu kecil.”
Jo Minjoon tidak mengelak. Itu sesuai dengan yang Anderson katakan. Dia bukanlah orang yang banyak makan. Beberapa saat kemudian, Martin melihat Jo Minjoon dan bertanya,
“Sekarang, semestinya kau punya banyak waktu untuk memanjakan diri, jadi bagaimana perasaanmu? Apa masih sulit melakukan wawancara?”
“Ayo kita lakukan. Apa yang membuatmu penasaran? Tidak, memikirkan itu, itu tidak perlu ditanyakan. Hanya ada satu hidangan dengan skor 10 poin.. Meskipun hanya satu, tapi cukup menjadi sebuah hidangan terbaik yang pernah aku coba dalam hidupku.”
“…Apa itu?”
Martin terkejut seolah-olah tidak menyangka. Sejujurnya, dia berpikir bahwa skor terbaik adalah 9. Meskipun di restoran bintang 3 dan memperhitungkan indera pengecap Jo Minjoon yang telah ditunjukkan pada mereka, menurutnya hidangan 10 poin adalah hidangan yang jauh melampaui batas akal manusia.
10 poin hanya sekedar angka, tapi itu adalah skor teratas bagi Jo Minjoon untuk hidangan yang bahkan dia tidak perlu memberikan skor. Tidak mudah baginya memikirkan bahwa hidangan seperi itu ada di dunia ini. Namun, tidak tampak keraguan sedikit pun di wajahnya. Martin bertanya dengan suara bersemangat,
“Hidangan yang mana? Ah, tidak. …tidak perlu. Aku pikir aku tahu. Yang itu bukan? Hidangan ikan teri putih dan daging pipi sapi muda?”
Tidak perlu menebaknya karena itu adalah satu-satunya hidangan yang membuat Jo Minjoon sampai menangis. Jo Minjoon mengangguk. Martin berkata dengan ceria,
“hidangan itu bahkan tentu punya reputasi yang bagus di mata para epicurean. Itu adalah hidangan terbaik yang membuat resotaran ini meraih 3 bintang Michelin…”
“Hidangan seperti itu, … Aku sudah mengatakan bahwa itu hidangan 10 poin, tapi juga bernilai100 poin karena sangat sempurna hingga tidak perlu memberikan skor. Oleh karena itu, aku jadi ingin pergi ke Perancis untuk belajar.”
Jo Minjoon berkata dengan wajah serius tanpa tertawa sedikit pun. Martin bisa melihat dari wajah Jo Minjoon betapa dia begitu terstimulasi. Martin melihat ke 4 orang yang lain.
“Apa kalian setuju?”
“Aku tidak bisa memberikan skor, tapi aku setuju dengan poin bahwa tidak ada kekurangan dalam hidangan itu. Setidaknya menurutku, hidangan itu sudah dibuat dengan semaksimal mungkin yang chef bisa lakukan.”
Anderson berkata dengan suara berat. Hingga beberapa saat kemudian, Martin sedang berpikir bagaimana menggunakan adegan ini. Seorang pria tinggi dan berotot berjalan menghampiri mereka. Pria itu adalah Dave. Dia terlihat berusia pertengahan 30-an. Karena rambutnya yang panjang dan berwarna coklat terikat di belakang, wajahnya bisa terlihat dengan jelas. Dia seperti selebriti. Dave melihat Jo Minjoon, lalu menatap semua orang.
“Apakah ini cocok dengan selera kalian?”
“Iya, ini sangat enak.”
“Yang terbaik dalam hidupku.”
Mendengar pujian itu, Dave tersenyum. Dia perlahan berkata,
“Saat aku ditelepon master Rachel, aku sangat terkejut karena dia tidak pernah sekali pun memintaku untuk melakukan ini. Tapi…”
Dave menatap lekat mata Jo Minjoon. Jo Minjoon tidak menghindari tatapan itu. Matanya justru berkilat dan menatap lekat Dave. Seorang pria muda yang bahkan belum berusia 40 tahun, dan bisa membuat hidangan 10 poin. Dia harus menghormatinya. Selain itu, level memasaknya 9, itu berarti sama dengan level memasak Joseph. Akan tetapi, meski level mereka sama, tentu ada perbedaan…
“Jadi pemuda di program siaran yang punya indera pengecap yang mutlak adalah kau. Sebenarnya, aku tidak banyak menonton TV, tapi aku telah mendengar banyak cerita tentangmu dan tentang indera pengecapmu. Aku juga menonton videonya. Senang bertemu denganmu, Minjoon.”
“Tidak, justru saya yang senang bertemu Anda. Hidangan Anda benar-benar enak. Hidangan terbaik yang pernah saya makan dalam hidup saya. Terima kasih.”
Jo Minjoon menjabat tangan Dave dengan erat. Ujung bibir Dave naik.
“Apa ada hidangan yang bernilai 10 poin?”
“Iya, daging pipi sapi muda bernilai 10 poin dan itu juga pertama kalinya bagi saya.”
“…Bagus. Aku merasa seperti sudah diakui oleh master Rachel.”
Mendengar kata-kata Dave, Jo Minjoon tertawa canggung. Dia justru merasa terbebani mendapat pujian dari chef Dave yang seperti penghormatan tinggi, tapi sejujurnya, dia tidak membencinya. Jo Minjoon berkata,
“Suatu saat nanti…saya juga akan menunjukkan pada Anda hidangan seperti ini.”
“Kau pasti bisa. Karena di dunia ini, rasa lebih penting dari pada apapun yang kau pikirkan. Kemampuan yang kau miliki, aku harap kau menggunakannya dengan baik.”
Jo Minjoon hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa.
–
Di dalam mobil van yang kembali mengantar mereka ke asrama Grand Chef, suasananya hening. Tidak ada alasan khusus. Mereka berempat tertidur. Jo Minjoon menutup mata dan mulai memikirkan menu yang dia makan hari ini.
“Jika aku menirunya…Akankah aku bisa membuat rasanya lebih baik?’
Sejujurnya, itu sulit dilakukan jika tidak membaca resepnya. Sejak level mengecapnya menjadi 8, dia bisa membaca resep hidangan 8 poin. Akan tetapi, untuk hidangan 9 poin, hidangan yang belum bisa dia capai, dia hanya bisa membaca bahan-bahannya. Dia hanya bisa melihat resep hidangan yang levelnya sama atau dibawah level pengecapannya.
Perbedaan satu tetes saus, meski hanya sebentar berada di atas api, bisa mengubah seluruh rasa. Apa yang dia alami hari ini dengan hidangan-hidangan itu adalah buktinya. Bagaimana itu mungkin? Pada saat itu, tiba-tiba dia terpikir wajah Kaya.
‘Kaya pasti juga menyukainya jika dia mencoba hidangan itu.’
Mungkin, kaya akan lebih menyukai hidangan itu dari pada Jo Minjoon. Meskipun Jo Minjoon tidak punya kemampuan itu dari lahir, dalam lingkungan Kaya, sulit memakan sesuatu yang luar biasa. Mungkin, makanan terbaik yang bisa dia makan hanyalah masakan buatannya.
Dia punya level mengecap 10 dan lidahnya sangat sensitif dan halus, tapi dia tumbuh dewasa hanya memakan masakannya. Mungkin, jika dia makan masakan Dave… dia akan syok karena sangat takjub dengan rasanya.
Jo Minjoon menyalakan ponselnya. Dia ingin menelponnya, tapi mungkin mereka masih di tengah misi diskualifikasi. Pada akhirnya, dia hanya bisa berkirim pesan. Saat dia mengirim pesan singkat ‘Apa yang sedang kau lakukan?’ balasan dari Kaya setelah beberapa saat kemudian adalah
[Kaya: Di tengah misi diskualifikasi.]
[Aku: Apa misinya?]
[Kaya: Pai apel. Dari adonan hingga penyajian.]
[Kaya: Mereka sedang mengevaluasi. Sekarang, giliran pai Marco.]
Dia tidak perlu mencemaskan Marco dan pai apel buatannya dalam misi itu. Jo Minjoon mengirim pesan lagi.
[Aku: Makanannya sungguh lezat. Akan bagus jika kau ikut.]
[Kaya: Kau mengejekku?]
[Aku: Karena sangat disayangkan. Apa sebaiknya aku membuat tiruan kecil dan mengajarimu rasanya?]
[Kaya: Kau mau aku mengajarimu rasa dari peluru?]
Jo Minjoon tidak bermaksud mengejek, tapi sepertinya Kaya sungguh marah terlihat dari perkataannya soal rasa dari peluru, walau skala ancaman itu berbeda, jika di Amerika Serikat. Jo Minjoon tersenyum kecut. Dia hanya melihat ponselnya beberapa saat, lalu sebuah pesan dari Kaya muncul.
[Kaya: Bukannya aku akan menembakmu. Kau tidak sebodoh itu kan untuk salah paham dengan hal ini?]
Jelas terlihat bahwa pesan ini dikirim untuk mengetahui apakah Jo Minjoon salah paham. Awalnya, Kaya adalah anak pemilih yang hanya tahu mengumpat pada orang, tapi seiring berjalannya waktu, dia semakin terlihat kekanak-kanakan. Dia juga terus bertanya pada Jo Minjoon karena dia berpikir Jo Minjoon mengabaikannya soal salah ketik Norimaki. Jika Jo Minjoon asal menjawab, Kaya akan berakhir tersinggung lagi.
[Aku: Kenapa kau bertingkah malu-malu? Jika kau bertingkah sok kuat, maka kuatlah setiap saat sampai akhir. Kenapa kau bertingkah seperti itu? Seperti bukan dirimu.]
[Kaya: Itu karena kau biasanya bertingkah sangat sensitif.]
Jo Minjoon mengernyit, bertingkat sensitif? Seingat Jo Minjoon, dia tidak pernah bertingkah terlalu sensitif. Tentunya, dia adalah tipe orang yang menunjukkan ada serbet tertinggal di meja atau jika ada kotoran di pakaian seseorang tapi dia berpikir itu tidak tepat jika disebut sangat sensitif.
Jo Minjoon tengah mengetik balasan, tentu untuk menyangkalnya. Sebuah pesan muncul lagi.
[Kaya: Oh, yang dieliminasi telah muncul!]
[Me: Siapa?]
[Kaya: Orang itu.]
Itu jawaban yang singkat dan juga membingungkan. Jo Minjoon hanya memandang layar. Dia mengirim pesan lagi.
[Aku: Jika kau mengatakan seperti itu, bagaimana aku tahu siapa? Katakan siapa? Siapa orang itu?]
Balasan Kaya tidak kunjung muncul.
<Rayuan 3 bintang (3)> Selesai