Dewa Memasak – Bagian 69: Rayuan 3 bintang (4)
Apa kaya bermaksud balas dendam karena tindakan Jo Minjoon yang tidak membalasnya terakhir kali? Jo Minjoon tertawa masam dan menutup ponselnya. Jika Kaya tidak membalas, tidak perlu terus-menerus menekannya karena Jo Minjoon akan tahu saat dia sampai.
Jelas bukan Marco.
Siapa lagi yang ada di tim mereka? Jo Minjoon mulai berpikir. Peserta yang dekat dengan Jo Minjoon hanya Hugo dan Marco dan mereka masih belum jelas kabarnya, tapi dia juga mulai cukup dekat dengan Jacob. Selain mereka…
‘Tidak penting siapa yang tereliminasi.’
Selain mereka bertiga, sulit menyatakan bahwa Jo Minjoon cukup dekat. Sejujurnya, dia tidak merasa begitu kecewa siapapun yang tereliminasi. Dia hanya ingin tahu apakah yang tereliminasi di antara mereka bertiga? Tentunya, suatu hari mereka pasti akan berpisah, tapi dia ingin menundanya selama mungkin.
Namun, apa yang dia harapkan, yang terjadi selalu sebaliknya. Saat mobil van sampai di asrama Grand Chef, mereka turun, lalu mereka menuju lantai 4, seseorang yang mereka lihat adalah Jacob yang hendak pergi dengan membawa kopernya.
Wajah Jo Minjoon sejenak membeku, tapi kemudian melunak. Jika Jacob akan pergi, dia tidak ingin menunjukk an padanya wajah yang sibuk. Dia berkata dengan suara tenang.
“Apa kau akan pergi?”
“Begitulah, sialnya.”
“Kau bilang ayahmu memasak hidangan Perancis? Jadi apa kau akan bekerja di restorannya lagi?”
“Tidak, aku tidak berencana demikian. Bekerja di balik bayang-bayang ayahku dan memasak di luar, itu sedikit berbeda, aku bisa merasakannya sekarang. Aku akan diomeli sedikit, tapi aku harus berjalan di jalanku sendiri.
Jo Minjoon tersenyum, dan mengambil nafas. Dia sedikit tidak nyaman. Level memanggang Marco adalah 7, Hugo 6, dan Jacob 5. Dia sedang berada di zona tidak aman, sekali terpeleset, dia akan begitu mudah terdiskualifikasi. Meskipun mereka tidak mempunyai level memanggang yang tinggi, level 5 adalah yang paling buruk dari semua, kecuali Jo Minjoon.
‘Jika aku menjalani misi diskualifikasi…’
Memikirkan tentang itu, bulu kuduknya berdiri. Level memanggang Jo Minjoon masih 4. Barangkali yang kalah sudah ditentukan sebelum misi dimulai. Bisa jadi level memasak akan mengkompensasi level memanggang…Tapi itu jelas kekurangan Jo Minjoon.
Jo Minjoon tertawa sedih.
“Selamat jalan.”
“Iya. Kau, bertahanlah dengan baik.”
Jacob yang berbicara seperti itu, berjalan mantap meninggalkan asrama. Jacob dan Anderson saling menatap. Sebenarnya, Jacob lebih dekat dengan Anderson dari pada Jo Minjoon. Mungkin karena dia pernah satu tim dengan Anderson dan Kaya sebelumnya. Singkatnya, mereka berteman dekat.
Tapi hanya karena itu, mereka tidak perlu berbicara lama-lama. Anderson berkata dengan singkat,
“Kau sudah melakukan dengan baik.”
“…Semoga menang, Anderson. Menangkanlah!”
Jacob tersenyum ceria dan dia melangkahkan kaki dengan berat. Tidak ada yang terus memandangi kepergian Jacob. Jika mereka melakukannya, menurut mereka, hal itu akan membuat Jacob semakin putus asa.
Setelah Jacob menuruni tangga dan tidak terlihat lagi, Jo Minjoon menghela nafas yang dia tahan. Anderson melihat ke sekelilingnya dengan tatapan yang tajam seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, dia melihat Kaya, tapi kemudian beralih melihat Marco. Dia berkata dengan suara yang sedikit keras,
“Kenapa Jacob terdiskualifikasi? Ceritakan padaku.”
“….Dia memasukkan keju ke dalam pai apel, lalu memasukkannya ke dalam oven.”
“Apa?”
Anderson mengerutkan dahi seolah-olah tidak percaya. Itu adalah resep yang jelas akan gagal meski tanpa melihat hasilnya. Pai apel dan keju, meski chef yang ahli sekali pun, akan sulit menyelaraskan rasa kedua bahan itu.
Setelah itu, Jo Minjoon paham kenapa Jacob didiskualififkasi. Anderson menghela nafas. Kaya melihat Anderson, tapi tidak mengatakan apa-apa, lalu dia melihat Jo Minjoon. Saat Kaya hendak mengatakan sesuatu, Chloe melangkah mendekati mereka.
“Bagaimana di restoran bintang 3?”
“Sempurna.”
Jo Minjoon menjawab singkat. Tidak perlu bercerita panjang lebar. Kata sempurna sudah mewakili perasaannya. Sejujurnya, jika dia berbicara banyak, mereka akan membandingkan. Kata sempurna sudah mengandung semua poin masakan yang diperlukan.
Sekilas, kata sempurna memang sederhana, tapi untuk membuat hidangan seperti itu kau harus mempunyai pengalaman yang sangat banyak, usaha, dan perhatian. Hal itu sudah jelas bagi mereka yang suka memasak. Chloe memasang wajah tercengang sejenak, tapi segera berkata dengan suara lembut seolah-olah dia paham.
“Kau pasti sangat menikmatinya.”
Jo Minjoon menjawab hanya denga senyuman. Itu adalah senyum kegembiraan. Pada saat itu, Chloe melihat senyum Jo Minjoon dengan tatapan kosong lalu menoleh. Kaya berkata dengan suara tajam,
“Jangan tertawa, babi.”
“Sekarang, aku harus izin jika ingin tertawa?”
“Perutku sakit, saat yang lain makan makanan yang lebih lezat dari aku.”
“Kau begitu sirik. Temanmu bolehlah makan makanan enak.”
“Aku membenci itu, meski temanku yang makan makanan enak.”
Kaya berkata demikian dan melotot pada Jo Minjoon. Jo Minjoon hanya tertawa dan duduk di atas sofa di dalam lobi. Peserta yang lain mengusir suasana hati yang buruk dengan mendekati Jo Minjoon. Mereka sangat penasaran dengan restoran bintang 3. Pertanyaan mereka pada Jo Minjoon jatuh seperti air terjun.
“Hidangan apa yang disajikan?”
“Apa kau bertemu chef di sana? Apa yang dia katakan?”
“Berapa harga menu lengkap di sana?”
Jo Minjoon mengangkat tangan untuk menenangkan mereka. Dia berkata dengan wajah meringis,
“Kenapa kalian hanya menanyaiku? Bertanyalah pada yang lain juga?”
“…Pengecapanmu sensitif, jadi kau pasti bisa merasakan dengan lebih jelas. Sekarang jelaskan pada kita.”
“Entahlah. Meski jika aku merasakan itu semua, aku tidak yakin bisa menjelaskannya…”
“Baiklah. Kalau begitu setidaknya katakan skor hidangannya. Bagaimana?”
Tentu pertanyaan itu sesuai dugaan. Bukankah Martin juga fokus menanyakan soal skor? Jo Minjoon menjawab dengan senyuman. Dia tidak berbelit-belit.
“Ada satu hidangan dengan skor 10 poin.”
Bersamaan dengan jawaban Jo Minjoon, terdengar hela nafas kekaguman. Mereka melihat Jo Minjoon, yang berada di sebelah mereka, yang sedang bercerita bagaimana dia menilai hidangan itu. Bahkan hidangan 7 hingga 8 poin sudah luar biasa, apalagi 10 poin. Mendengarnya saja sudah jauh tak terbayangkan.
Perbincangan mereka berlangsung cukup lama. Mungkin karena suasananya bagus, mereka sedikit melebih-lebihkannya. Tapi hanya karena itu, mereka tidak mengubah sisi menarik dan ekspektasi mereka. Restoran bintang 3 adalah impian setiap chef. Ada harga ada rupa, meskipun jumlahnya sedikit, orang biasa tidak akan dipekerjakan di sana. Itu adalah realitanya.
Walaupun mereka adalah peserta, sama sekali tidak berbeda. Mereka punya mimpi dengan memasak, tapi banyak dari mereka memiliki pekerjaan yang normal yang tidak berhubungan dengan memasak. Bukankah Chloe pun mahasiswa biasa?
Mereka masih berbincang-bincang hingga lewat tengah malam. Di tengah perbincangan, mereka membuat beberapa camilan untuk mengatasi rasa lapar. Karena mereka tidak perlu menjalani misi dalam beberapa hari ke depan, maka tidak masalah untuk mengacaukan ritme rutin satu hari dalam hidup mereka.
Saat tengah malam, mereka tentu minum alkohol juga. Rasanya tidak begitu enak karena itu alkohol untuk masakan, tapi cukup untuk mempertahankan perbincangan agar lebih lama.
“Akankah kita bisa membuatnya…?”
Itu adalah Hugo. Dia menatap ke depan dengan mata berkaca-kaca karena mabuk. Tidak ada tahu apa yang Hugo lihat di ujung tatapannya. Mungkin dia membuka sampanye atau kue tiramisu di depannya. Jo Minjoon menenggak mojito, minuma tanpa alkohol, lalu berkata,
“Chef yang sukses berkata bahwa kau harus bekerja keras …tapi kau tidak akan tahu karena saran dari orang-orang yang sukses dan orang-orang yang pernah gagal akan berbeda. Normalnya, saran dari orang sukses akan lebih membantu tapi…”
“Chef yang pernah gagal, bukan, ekspresi ini tidak bagus. Bukan berarti chef yang tidak mendapat bintang Michelin, mereka tidak bekerja keras. Orang yang tidak bekerja keras hanya sedikit.”
Anderson mengangguk mendengar jawaban Hugo. Dia membuka suara.
“Aku tahu beberapa orang selain orang tuaku yang punya restoran bintang 3. Salah satu dari mereka menerima 3 bintang pada usia 34 tahun, dan bekerja hampir 10 tahun. Kemudian, dia bunuh diri. Mungkin karena dia takut restorannya akan turun menjadi bintang 2. Sejujurnya, jika mendapat 3 bintang, itu penuh beban, …Itu tidak baik untukku. Aku hanya ingin memasak saja.”
“Namun, masakanmu akan dievaluasi. Meskipun kau berusaha untuk mengabaikan itu, pada akhirnya kau harus memperhatikannya. Apakah orang tuamu juga begitu?”
“Aku tidak tahu. Tentu mereka terbebani, tapi mereka bukan orang yang terhanyut oleh evaluasi orang lain. Sejujurnya, meskipun mereka merasa berat, tidak ada orang tua yang menunjukkan itu pada anak-anak mereka.”
Anderson bercerita demikian, lalu meminum seteguk wine merah lagi. Seiring berjalannya waktu, wajahnya memerah seperti wine. Dia tidak begitu suka alkohol jadi dia tidak bayak meminumnya, dan karena itu dia lebih berisik dari mereka. Jo Minjoon berkata dengan wajah bingung.
“Jika kau terus meminumnya mungkin kau akan menjadi zombie saat kau bangun besok. Kenapa kau tidak berhenti minum?”
“Diamlah. Jika kau tidak mau minum, lebih baik makanlah camilan itu.”
“…Aku memperingatkanmu.”
Jo Minjoon menggerutu dan memasukkan biskuit ke dalam mulutnya. Biskuit buatan Marco beraroma jeruk dan sangat enak hingga membuatmu kecanduan ingin terus memakannya. Dia membuka suara.
“Ah, aku harus menambah keterampilan memanggangku. Tapi biskuit ini sangat tidak mudah.”
“Di negaramu, kau tidak banyak makan roti.”
“Itu lebih seperti camilan bagi kami. Dan ada sedikit orang yang membuat roti sendiri.”
“Bagus. Jika misi selanjutnya adalah memanggang, ada satu orang yang pasti di bawah kita.”
Jo Minjoon tertawa masam mendengar kata-kata Anderson. Sejujurnya, sulit baginya untuk menyangkal.
“Aku hanya harus memohon agar itu bukan misi memanggang kue.”
“…Kau ingin aku mengajarimu?”
“Haah, ada apa ini? Kau menjadi baik.”
Sejujurnya, dia tidak perlu meminta jika ingin Anderson mengajarinya karena hanya dia dan Marco yang mempunyai level memanggang 7. Anderson berkata dengan nada agak marah, tapi mungkin karena dia mabuk suaranya bergetar.
“Jacob sudah pergi… dan jika kau juga pergi, siapa lagi yang tahan dengan temperamenku?”
“Maka perbaikilah! Kau dan juga Kaya.”
“Jangan bandingkan aku dengan gadis pengganggu itu…”
“Aku bisa mendengarmu. Tutup mulutmu!”
Mendengar kata-kata Anderson, Kaya yang badannya tertelungkup di meja berkata dengan suara dingin. Dia tidak banyak minum, tapi wajahnya sangat merah. Anderson menaikkan ujung bibirnya sangat tinggi. Itu adalah ekspresi yang jelas menunjukkan bahwa dia mabuk.
“Kenapa? Jika tidak, kau akan menghajarku?”
“Kau dibesarkan dengan baik hingga kau tidak tahu bagaimana kasarnya orang-orang di pasar, hah?”
“Apa? dibesarkan dengan baik? Aku juga menderita. Selalu seperti ini. Hanya karena keluarga kami kaya, mereka pikir kami hidup tanpa kekhawatiran ataupun penderitaan.”
“Setidaknya, kau tidak membawa pulang sisa kubis di pasar dan memasaknya hanya karena kau berpikir itu sayang jika dibuang.”
Mendengar kata-kata Kaya, Anderson terdiam. Dia menggelengkan kepala karena temperamennya, lalu dia berdiri.
“Ah, aku tidak tahu lagi. Aku ingin tidur. Silahkan kalian minum alkohol atau apapun itu dan lakukan apapun yang kalian mau.”
Dia pergi menuju kamarnya sambil terhuyung-huyung. Kaya melotot padanya sembari pipinya menempel di atas meja. Jo Minjoon menghela nafas.
“Kau juga sedikit mabuk. Tidurlah.”
“Aku tidak mau. Jangan menyuruhku ini dan itu. Kau pikir kau bisa seenaknya menyuruhku hanya karena aku miskin dan bodoh?”
“…Tuh kan? Kau mabuk.”
Jo Minjoon meletakkan lengannya pada bahu Kaya, lalu memaksanya berdiri. Jo Minjoon melihat Chloe, Marco, Joanne, dan sisanya juga tertidur di meja, tapi mengangkat Kaya terlebih dahulu karena jika Jo Minjoon meninggalkan mereka dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan membuat kekacauan. Jo Minjoon memegangi Kaya yang berjalan sambil menyeret. Jo Minjoon menghela nafas.
“Aku sudah bilang padamu jangan minum terlalu banyak. Mereka bilang setidaknya di AS, kau harus berusia 21 tahun baru boleh minum. Kau melakukan tindak kriminal.”
“Jangan bertingkah sok tertib. kau tidak pernah minum saat seusiaku?”
“Tidak.”
“…Tidak lucu, tolol.”
Kaya menggerutu. Jo Minjoon hanya mengerutkan dahi lalu menguatkan lengannya yang memegangi Kaya. Kaya tiba-tiba berhenti berjalan. Jo Minjoon berkata,
“Berjalanlah dengan benar.”
“Aku tidak mau. Aku menolak. Apa kau pernah melihat seekor sapi yang membiarkan dirinya mau di seret ke rumah jagal?”
“Kau tidak akan pergi ke rumah jagal, tapi ke kamarmu.”
Jo Minjoon mencubit pergelangan tangan Kaya. Kaya berteriak ‘Aaw’ dan melotot pada Jo Minjoon penuh kebencian.
“Aku tidak suka dengan orang yang melakukan kekerasan…”
“Kekerasan apanya?”
“Itulah kenapa kau tidak boleh minum alkohol. Orang itu juga mabuk…dan memukul ibu. Di depan mataku. Orang yang mengaku dirinya ayahku yang melakukannya. Itu karena alkohol.”
Yang paling penting, bukan Jo Minjoon yang meminum alkohol melainkan Kaya, tapi Jo Minjoon tidak mengatakan itu pada Kaya. Ketika Jo Minjoon sampai di lantai 4 dan meninggalkan Kaya di kamarnya, Kaya bersandar di dinding dan melihat ke langit-langit dengan ekspresi tercengang. Jo Minjoon menghela nafas.
“Aku tahu aku mabuk…”
“Aku akan membunuhmu.”
Pada kata-kata yag tak terduga itu, Jo Minjoon terdiam. Jo Minjoon menatap Kaya dengan wajah bingung. Meski mabuk, kata-kata Kaya terlalu terang-terangan. Kaya membuka matanya yang seperti anak-anak sekuat mungkin dan menatap Jo Minjoon, atau pada hal yang hanya bisa dia lihat dengan mata keras kepalanya itu.
“Aku akan menyingkirkan semua rintangan di depanku. Aku tidak akan terdiskualifikasi lagi. Kemenangan atau apapun dalam hidupku. Tidak akan hancur lagi. Kau lihatlah. Bagaimana aku akan mendakinya. Aku…aku akan membunuh kalian semua.”
Beberapa saat kemudian, saat Jo Minjoon hendak berkata sesuatu, Kaya menutup mata, dan badannya perlahan ambruk. Jo Minjoon segera memeganginya. Hidungnya yang berbintik, dan pipinya yang merona. Melihat air mata yang mengalir turun, Jo Minjoon berkata dengan suara yang rumit,
“Apa kau setakut itu?”
Suaranya pelan hingga Kaya tidak akan mendengarnya.
<Rayuan 3 bintang (3)> Selesai