Dewa Memasak – Bagian 76: Kolaborasi tak terduga (4)
Jo Minjoon menelan ludah. Sejujurnya, dia berpikir bahwa tidak akan ada jalan lagi baginya untuknya tereliminasi, tapi jantungnya tetap saja berdebar.
Dia menatap Marco, dia tidak terlihat baik. Hugo yang berada di sebelahnya menepuk punggungnya tanpa berkata apa-apa. Emily berkata dengan suara tenang.
“Setelah kita mengumumkan hasilnya, kalian akan dibagi menjadi 2 kelas untuk para peserta yang bertahan dan yang tidak. Apa ada yang merasa akan tereliminasi?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Emily karena mereka tidak mau menunjukkan sikap tidak percaya diri. Emily mengangguk. Jelas mereka memilih diam pada pertanyaan Emily. Saat dia hendak menoleh, Marco perlahan mengangkat tangan. Emily melihat wajah Marco yang tidak menyiratkan gurauan sedikit pun. Marco ragu-ragu, lalu berkata dengan suara pelan hampir seperti berbisik.
“Menurutku, aku akan tereliminasi.”
“…Marco, memang benar bahwa tidak banyak orang menyantap makanananmu, tapi masih ada perhitungan suara. Kenapa kau sudah menyerah?”
“Bukannya aku tidak yakin dengan tiramisuku, tapi yang lain juga chef yang bagus. Aku tidak yakin aku mendapat lebih banyak suara dari mereka. Lebih dari apa pun…”
Marco tersenyum kecut. Dia berusaha berbicara dengan suara tenang.
“Terlebih, menurutku hanya separuh dari orang yang datang yang makan tiramisu, dan dari orang-orang tersebut, yang makan tiramisu lagi hanya separuhnya lagi. Mau tak mau aku hanya mendapat suara dari kelompok minoritas itu.”
Jelas Marco sangat pesimis, tidak ada gunanya mengatakan agar lebih percaya diri. Cahaya di mata Emily surut. Suara yang keluar dari mulut Marco bahkan lebih rendah dari biasanya.
“Aku megerti kau merasa pesimis. Tapi jika kau mungkin bertahan, bagaimana perasaanmu nanti?”
“Pertama, aku akan merasa lega dan…”
Marco menghentikan kata-katanya sejenak. Dia melihat para peserta yang lain. Pada Kaya, Jo Minjoon, Anderson… Setelah dia melihat satu per satu dari mereka, Marco lanjut berbicara,
“Aku ingin tetap bersama mereka. Mereka benar-benar orang yang baik dalam hidupku.”
“…Aku juga berharap kau bisa terus bersama mereka.”
Setelah ungkapan sedih Emily, percakapan selesai. Joseph berdehem sambil melihat Alan. Alan melihat kartu yang dia pegang.
“Sebelum mengumumkan perolehan suara dan jumlah berapa porsi hidangan yang telah disantap, kami akan mengatakan suara kami terlebih dahulu. Pertama, aku akan mengatakan pilihanku.”
Alan ragu-ragu sesaat. Jo Minjoon berpikir bahwa saat itu, Alan bertemu pandang dengannya, tapi nama yang dia sebut bukanlah namanya.
“Kaya, pilihanku.”
Kaya menaikkan kedua alisnya. Dia melihat Alan karena sungguh tidak menduganya. Alan berkata dengan suara tenang.
“Aku orang Italia. Aku tahu betul dari pada orang lain rasa asli yang harus dimiliki frittata. Kaya, kau membuatku merasa di kota asalku di tengah perantauanku. Sejujurnya, aku terkejut. Kau tidak diajari oleh chef orang Italia…Bukan. Jika dipikir-pikir, kau bahkan tidak pernah pergi ke restoran Italia. Aku hanya terkejut karena kau tahu rasa ideal dari frittata.”
Kaya hanya diam mendengarkan Alan, lalu bertanya,
“Anda berbicara panjang lebar, saya kurang paham, tapi Anda sedang memuji saya, bukan?”
“…Ini seratus persen pujian untukmu.”
“Baiklah, terima kasih.”
Ujung bibirnya naik. Itu senyum bahagia yang membuat orang yang melihatnya ikut tersenyum. ‘remaja jaman sekarang itu sulit.’ Alan berpikir seperti itu dan menarik nafas. Dia ingat masa kecilnya, akankah orang-orang yang melihatnya saat itu merasa Kaya seperti dirinya?
Suasana berubah canggung sesaat. Joseph perlahan berkata,
“Sepertinya giliranku. Aku berpikir banyak di antara dua orang, yaitu Sasha dan Marco.”
Sedikit senyuman terukir di mulut Marco. Joseph tersenyum masam dan lanjut berbicara,
“Kalian berdua membuat hidangan dengan sangat baik dan cocok dengan seleraku. Di usiaku, aku semakin suka dengan makanan yang tidak membuat gigiku lelah. Kue sifon stroberi Sasha dan tiramisu Marco, keduanya sangat lembut dan sangat enak bagiku. Keseimbangan rasanya juga sempurna dan tidak berlebihan. Sejujurnya, sungguh sulit menentukan hidangan mana yang lebih baik, bahkan genrenya tidak sama.”
Jo Minjoon ikut mengangguk-angguk. Keduanya sama-sama 8 poin. Tentu ada perbedaan kecil di antara keduanya, tapi kau bisa melihat level keseluruhannya mirip. Joseph lanjut berbicara,
“Namun, Marco, tiramisu buatanmu kurang terasa menyegarkan dibandingkan kue sifon Sasha. Kue sifon stroberi Sasha mengandung sari lemon di dalam krimnya, dan rasa asam dari stroberi itu sendiri membersihkan lidah. Sedangkan tiramisumu hanya terasa manis, tapi memang seperti itu rasa tiramisu…Maaf, pilihanku jatuh kepada Sasha.”
“Terima kasih.”
Sasha menjawab datar. Dia tidak begitu kejam untuk mengekspresikan kegembiraannya saat di sebelahnya ada Marco yang memasang ekspresi suram.
Emily berdehem. Dia melihat Jo Minjoon dan Chloe sekilas.
“Aku mengatakan pada kalian sebelumnya, ini sesuai seleraku, bukan sebagai juri, melainkan sebagai pelanggan. Akhir-akhir ini, aku tertarik dengan makanan Asia. Saat ini, aku butuh sesuatu dengan warna berbeda, yaitu cita rasa asing dan aromanya.”
Mulutnya dibuka lebar. Emily menunjuk lidahnya lalu berkata,
“Dan lidah ini berkata bahwa kedua hidangan itu membuatnya terstimulasi selama beberapa saat. Aku tentu pernah makan dak galbi dan mapo tofu beberapa kali sebelumnya… Aku bisa yakin mengatakannya bahwa itu satu-satunya hidangan yang paling lezat yang pernah aku coba.”
“Terima kasih.”
Jawab Jo Minjoon dengan sedikit tersenyum. Chloe bingung harus menjawab juga atau tidak. Emily berbicara lebih cepat agar semua yang dipikirkannya tersampaikan seluruhnya.
“Chloe, Aku cemas karena kau memasukkan saus kacang ke dalam mapo tofu…tapi itu justru senjatamu, rasa lembut yang ditambahkan di atas rasa pedas. Dan kau Minjoon, aku merasakan bahwa dak galbi buatanmu berada di tengah antara hidangan dengan bumbu jahe dan dakgalbi. Apakah itu bisa disebut perpaduan masakan?”
Jo Minjoon dan Chloe tidak menjawab dan hanya menatap Emily. Mungkin dia terganggu dengan tatapan Chloe dan Jo Minjoon, sehingga Emily tertawa canggung lalu lanjut berbicara,
“Ini agak aneh untuk memuji kalian lalu menjatuhkan salah satu di antara kalian, aku minta maaf. Namun,aku benar-benar menikmati hidangan kalian. Orang yang aku pilih adalah Jo Minjoon.”
Seketika wajah Chloe bergetar. Dia pun, memendam kesedihannya lalu tepuk tangan sembari tersenyum. Jo Minjoon membungkuk secara tak sadar, lalu berkata,
“Terima kasih telah menikmati hidangan saya.”
“Aku tidak menikmati sembarang makanan. Minjoon, kau telah berkembang sangat banyak di kompetisi ini dan kami melihatnya dengan jelas. Dulu, tidak selezat ini…”
Jo Minjoon membalas dengan senyuman. Emily melihat Jo Minjoon seolah-olah dia melihat keponakannya yang telah tumbuh besar lalu berkata,
“Tetaplah seperti ini. Jika kau terus memasak seperti hari ini, mungkin, kau sungguh bisa menang dan rencanaku untuk merekrutmu sebagai epicurean akan hancur…Tapi, aku akan tetap menyemangatimu.”
“…Bagaimana mungkin Anda mengatakannya begitu terang-terangan?”
“Apa ada yang harus disembunyikan? Kau mungkin akan menjadi epicurean yang menjanjikan di negara ini, bukan, tapi sepanjang sejarah.”
Membuatnya terlihat menonjol ternyata begitu mengganggu. Jo Minjoon mundur dengan tersenyum canggung. Alan berkata dengan suara keras.
“Suara dari kami, para juri, sebanding dengan satu suara dari pelanggan. Tidak perlu kecewa bagi kalian yang tidak kami pilih. Pertama, aku akan mengumumkan yang piring prasmanannya paling cepat kosong. Yaa, menurutku, kalian bisa menebaknya samar-samar.”
Sekali masak, kau bisa menyajikan untuk 20 porsi. Hugo, yang mengisi ulang sebanyak 5 kali, setidaknya telah menyajikan 100 porsi, sedangkan Jo Minjoon yang telah mengisi ulang sebanyak 4 kali, berarti telah menyajikan sebanyak 80 sampai 100 porsi. Satu-satunya yang mengisi ulang hanya 2 kali adalah Marco. Alan membuka suara.
“Peserta dengan skor terendah adalah Marco. Kau membuat 5 hidangan, tapi hanya 2 yang habis. Menurutmu, apa penyebabnya?”
“…Seperti yang Anda katakan, hidanganku terlalu manis. Tentu, ada beberapa orang yang menginginkannya…aku tidak berpikir orang-orang akan cenderung lebih memilih rasa asam. Itu kesalahanku.”
“Syukurlah jika kau tahu itu. Tapi Marco, tiramisumu memang enak. Tidak perlu berkecil hati.”
Pengumuman berlanjut. Hugo juara pertama dengan menyajikan 113 porsi. Juara kedua, Kaya, yang telah menyajikan 93 porsi, dan selanjutnya,
“Minjoon, kau juara ketiga. Kau telah menyajikan sebayak 92 porsi.”
Juara ketiga adalah Jo Minjoon. Dia tersenyum dan menyodok Kaya dengan sikunya. Kaya menajamkan matanya seolah-olah dia bertanya mengapa Jo Minjoon menyodoknya. Dia berbisik,
“Perbedaannya hanya satu porsi.”
“Kau tidak akan pernah bisa mengurangi perbedaan itu dalam hidupmu.”
“Tidak perlu menguranginya jika hanya satu porsi, karena hampir sama.”
“Saat Usain Belt bertanding lari, dia selalu berlari di depan tidak jauh dari pesaingnya, tapi dia tetap menjadi yang paling unggul di dunia ini.”
“Entahlah. Selain perbedaan itu, tidak ada atlit yang namanya Usain Belt.”
“Hmm, jadi kau tidak tahu dia. Bodoh. Kau kurang wawasan.”
Jo Minjoon ingin meralat bahwa bukannya Belt, melainkan Bolt, tapi menahannya. Tatapan para juri yang memperhatikan mereka, seolah-olah memperingatkan mereka untuk berhenti bercakap-cakap. Jo Minjoon teringat saat masih sekolah, saat dia mendapat peringatan dari guru. Kaya menggerutu dengan suara sangat pelan hampir tidak bisa terdengar sambil menundukkan kepalanya.
Pengumuman skor hidangan selesai, tapi tidak ada yang bereaksi, karena memang sesuai dengan yang mereka bayangkan. Hal yang penting adalah pelorehan suara, itu akan menentukan semuanya. Alan berkata dengan suara tenang,
“Kami akan segera mengumumkan hasil perolehan suara tanpa membuang-buang semenit pun. Aku akan menyebutkan dari peserta yang memperoleh skor hidangan tertinggi. Hugo, 7 suara. Kaya, 17 suara.
Saat skor Kaya disebutkan, peserta lain berseru. Jika kau menambahkan suara juri dan pelanggan, maka total suara hanya 103. Tapi jika Kaya mendapat 17 suara, itu hampir dua kali rata-rata. Barangkali, Kaya yang mendapat suara paling banyak. Sesaat setelah Jo Minjoon masih terkesima memikirkan itu.
“Minjoon…”
Pada saat itu, berlawanan dengan yang mereka bilang tidak akan membuang-buang waktu, mereka justru menghentikan ucapannya. Dia lanjut berbicara dengan suara bergetar.
“…24 suara.”
“GILA!”
Seseorang mengumpat, tapi tidak ada yang menyalahkannya karena semua merasakan yang sama. Bagaimana bisa dia mendapat 24 suara. Tatapan Alan berubah tajam. Dia berpikir ini bukan hanya karena hidangannya yang lezat.
‘Komunitas penggemar yang menjadi sayap tak terlihat untuk Jo minjoon. Itulah alasan terbesarnya.’
Memang tak terhindarkan, bahkan seperempat pelanggan yang datang adalah epicurean yang mendatangi restoran-restoran. Dari para pelanggan yang datang, kebanyakan mereka berpikir bahwa karena hidangannya populer dan orang lain juga berkata hidangannya lezat, akhirnya mereka juga yakin bahwa hidangannya memang enak. Sama halnya dengan restoran terkenal, bergantung dari seberapa terkenal epicurean yang mengevaluasinya, reaksi pelanggan juga akan berubah. Restoran yang telah mengantongi penilaian positif dari epicurean terkenal, hidangan di sana akan terasa lebih lezat, dari pada restoran lain yang menyajikan hidangan yang sama.
Oleh karena itu, nama brand penting. Bukankah seorang chef seperti Dave tidak membuka restorannya sendiri, justru bekerja di salah satu cabang Rose Island sebagaichef kepala, hal itu karena dia tidak punya nama untuk membuat restorannya sendiri.
Meskipun Jo Minjoon membuka restoran dengan keahlian seadanya, dia otomatis akan mempromosikan pada semua pelanggan yang datang, karena indera pengecapnya yang mutlak akan memberikan rasa percaya diri layaknya 3 bintang Michelin. Mungkin, tidak hanya di antara epicurean, tapi di lingkaran bisnis masak-memasak akan menghargai kartu sakti seperti Jo Minjoon, karena dengan memasukkan Jo Minjoon ke dalam jajaran tim chef, meski tidak menjual menu buatan Jo Minjoon, maka hal itu dapat menarik banyak pelanggan.
“Alan?”
Suara Emily membangunkan Alan yang tenggelam dalam pikiranya. Alan lanjut berbicara dengan suara canggung.
“Aku kehilangan kata-kata karena sangat terkejut. Aku akan melanjutkan. Chloe, 10 suara. Anderson, 12 suara. Sasha, 9 suara. Ivanna, 6 suara. Olivia, 5 suara. Joanne, 6 suara. Dan…Marco, 7 suara.”
7 suara. Mengingat orang-orang yang mengambil hidangan Marco tidak sampai 50 orang, itu sungguh jumlah suara yang sangat tinggi. Saat para peserta mengkalkulasi skor dalam kepala mereka, Joseph berkata dengan suara tenang.
“Aku akan mengumumkan juara pertama dalam misi ini. Juara pertama mendapat total 332 poin dengan 92 poin dari hidangan dan 240 poin dari perolehan suara. …yaa, kalian bisa menduganya. Kalian benar, yaitu Minjoon. Minjoon, kau akan mendapat hak istimewa yang spesial di misi berikutnya.”
“…Terima kasih.”
Jo Minjoon menjawab dengan wajah bingung. Dia bahagia memenangkan misi, tapi dengan memperoleh 24 suara, itu..? Apakah hidangannya yang membuatnya memperoleh kemenangan telak seperti itu? Hanya itu yang terpikir oleh Jo Minjoon.
Juara dua adalah Kaya. Kaya tidak mendapat poin sebanyak Jo Minjoon, tapi jumlah suara yang didapat Kaya juga jauh lebih banyak dari peserta lain. Joseph tidak menyebutkan juara ketiga karena tidak ada artinya. Lalu skor terbawah diumumkan.
“Aku akan mengumumkan skor terendah. 121 poin. Peserta yang mendapat 5 suara dan menyajikan 71 porsi. Kau sudah melakukan dengan baik, Olivia. Silahkan meninggalkan asrama Grand Chef.”
Tiba-tiba, Olivia mulai menangis. Jo Minjoon hanya memandang Olivia. Meskipun dia tidak akrab dengannya hingga saat terakhir, dia adalah gadis Spanyol yang kerap menanyakan skor hidangan yang dia buat pada Jo Minjoon. Chloe memeluk Olivia dengan ekspresi sama sedihnya seperti Olivia.
Saat Olivia meninggalkan dapur, kegugupan peserta kembali muncul. 2 orang yang akan tereliminasi hari ini. Siapa yang akan tereliminasi berikutnya, Jo Minjoon sengaja tidak menghitungnya. Dia tidak mau.
“Orang kedua yang tereliminasi menyajikan 52 porsi dan memperoleh 7 suara. Dibanding jumlah porsi hidangan, suara yang diperoleh cukup tinggi. Marco.”
Pada saat itu, keheningan yang sungguh aneh terasa. Joseph tidak ikut larut dalam keheningan. Dia lanjut berbicara dengan suara tenang.
“Tiramisumu benar-benar enak. Kau sudah melakukan dengan baik. Teruslah memasak setelah ini. Kuemu juga luar biasa dan layak disajikan di restoranku.”
“…Terima kasih.”
Marco tidak menangis seperti Olivia. Meskipun suaranya basah, mungkin dia tidak ingin membasahi wajahnya dengan air mata..
Melihat punggung Marco menjauh meninggalkan dapur, semua orang melihatnya tanpa berkata apa-apa. Sebelum dia meninggalkan dapur, Marco berbalik. Meskipun mereka tidak tahu siapa yang dilihat Marco, dia berpikir bahwa semua peserta sedang melihatnya.
“Semoga menang! Jangan sampai gagal!”
Tida ada yang membuka mulut untuk membalas ucapan Marco.
< Kolaborasi tak terduga (4) > Selesai