Dewa Memasak – Bagian 77: Musim semi dan musim semi (1)
Mei. Cuaca sedang bagus, bunga-bunga di halaman perlahan mekar. Jo Minjoon sedang duduk di kursi dengan earphone terpasang di telinga dan sebuah buku di tangannya. Layaknya sebuah karya seni, tapi buku di tangannya bukanlah buku sastra tapi buku tentang masakan.
Kaya melihat Jo Minjoon lalu mengerutkan dahi seolah-olah ada yang tidak dia suka. Dia mendekati Jo Minjoon lalu berkata. Suara serak Kaya terdengar.
“Kau sedang mendengarkan apa?”
Kaya melepas earphone di telinga Jo Minjoon, lalu memakainya, dia mengerutkan dahi lagi.
“Klasik?”
“Lebih tepatnya konser biola Mendelssohn dalam E Minor… Kenapa dengan ekspresimu?”
“Betapa membosankan caramu untuk memanjakan diri”
“Ada apa dengan musik klasik? Jika kau tidak ingin mendengarkannya, kembalikan earphoneku.”
Jo Minjoon mengernyit dan berusaha menarik earphonenya. Kaya menutup telinganya dengan tangannya agar Jo Minjoon tidak bisa mengambil earphonenya kembali.
“Siapa bilang aku tidak mau mendengarkannya? Ini lebih baik dari pada mendengarkan suara tiupan angin.”
Kaya berkata seperti itu dan duduk di lengan kursi, lalu melihat halaman buku yang sedang dilihat Jo Minjoon. Dia mengernyit.
“Kenapa di sana ada begitu banyak kata-kata yang rumit?”
“Ini kata-kata dari bahasa negaramu.”
“Itu kata-kata dari luar angkasa yang tertutup dalam bahasa Inggris.”
Jo Minjoon mengangkat bahunya. Kaya berbicara seperti itu bukan tanpa alasan. Ada banyak kata-kata yang digunakan, turunan dari bahasa Perancis atau Spanyol, dan Jo Minjoon bahkan harus mencari di kamus untuk mengartikan kata-kata itu.
Karena Kaya bersandar pada Jo Minjoon untuk melihat buku, desah nafasnya menggelitik leher Jo Minjoon. Jo Minjoon melirik Kaya lalu bertanya,
“Apa kau sedang bosan?”
“Aku tidak punya apa pun untuk dilakukan, tapi aku sedang tidak bosan.”
“Maksudnya bagaimana? kau tidak punya apa pun untuk dilakukan tapi tidak merasa bosan?”
Kaya hanya menatap Jo Minjoon. Pantulan bayangan Jo Minjoon tampak penuh di mata Kaya yang bulat dan besar di bawah garis matanya yang hitam gelap. Jo Minjoon tidak berencana terus menatap mata Kaya seolah-olah itu cermin baginya, jadi dia mengalihkan pandangannya. Kenapa? Saat dia melihat wajah Kaya, dia merasa tersipu. Jo Minjoon berkata,
“Bagaimana kalau kita berolahraga seperti Chloe?”
“Kau bahkan jarang berolahraga. Apa aku sudah bilang padamu? Pria harus memiliki otot yang kekar.”
“Aku tidak perlu menjadi seperti pria idamanmu.”
“…Itu benar.”
Kaya menggosok-gosok bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, lalu menggaruk-garuk kepalanya. Jo Minjoon melihat Kaya dengan tatapan tidak nyaman, dia sedang melihat rambut Kaya yang berantakan.
“Apa kau sudah mencuci rambutmu?”
“Sudah, semalam.”
“Meski semalam sudah, kau harus mencuci rambutmu lagi saat kau bangun.”
“Kulit kepalaku kering, jadi tidak perlu mencuci rambut sesering itu. Memangnya kenapa? Jangan melihatku seperti itu. Bukan aku yang jorok, tapi kau yang terlalu cinta kebersihan.”
“…Kita perlu juri. Chloe!”
Jo Minjoon mengerutkan dahi dan melambaikan tangan pada Chloe yang kebetulan lewat saat itu. Chloe yang mengenakan setelan olahraga ketat berwarna biru gelap menghampiri mereka. Dia mengusap keringat di dahinya dan memasang wajah bingung.
“Kenapa kau memanggilku?”
“Kita perlu seseorang yang mengatakan pada kami antara hitam dan putih. Soal rambut, jika kau telah mencucinya kemarin malam, apa pagi ini kau mencuci rambut lagi?”
“Entahlah. Aku sering mencucinya setiap kali rambutku berkeringat setelah berolahraga.”
“Tapi kau mencuci rambut kan setelah bangun tidur?”
“Aku cenderung… mencucinya. Tapi kenapa?”
Jo Minjoon tidak menjawab pertanyaan Chloe. Dia justru melihat Kaya dengan senyum kemenangan. Hanya dengan melihat ekspresi geram Kaya, Chloe paham situasinya. Chloe tersenyum kecut.
“Sekarang kalian juga memperdebatkan tentang kapan harus mencuci rambut? Aku maklum dengan Kaya, tapi..Minjoon, ternyata kau juga masih bocah.”
“Tunggu, kenapa kau maklum denganku?”
“Karena kau adalah Kaya.”
Chloe berkata seperti itu lalu tersenyum manis. Itu senyuman yang sangat cantik. Jika kau punya mata, kau tak akan bisa membenci senyuman itu. Kaya iri, dia ingin memiliki senyuman seperti itu, tapi Kaya berpikir bahwa senyuman yang cantik itu tidak cocok dengannya.
Kaya berdiri dengan ekspresi tersinggung. Tentu, earphone Jo Minjoon tertarik dan lepas dari telinganya. Bukan dari telinga Kaya, melainkan lepas dari telinga Jo Minjoon. Kaya memasang ekspresi terkejut yang berlebihan lalu berkata,
“Maaf, aku tidak mencuci rambutku pagi ini dan aku menarik earphonemu hingga terlepas”
Jo Minjoon mendengus lalu membalasnya.
“Siapkan saja makan siang untukku.”
–
[Aku: Bagaimana kabarmu?]
[Marco: Begitulah, aku sedang mencari kerja.]
[Me : Menurutku, akan ada banyak toko kue yang menginginkanmu.]
[Marco: Reaksi dari semua tempat yang aku datangi cukup bagus, tapi aku baru akan tahu begitu hasilnya keluar.]
Saat balasan Marco muncul, Jo Minjoon tersenyum. Keahlian yang ditunjukkannya dalam siaran jelas lebih unggul. Bahkan tanpa mempertimbangkan keahliannya, hanya dengan merekrutnya, kepopuleran restoran akan meningkat. Martabat Grand Chef di Amerika Serikat memang sebagus itu.
[Aku: Telepon aku jika kau mendapat pekerjaan. Aku akan mengunjungimu. Tapi tentunya, aku harus di AS saat itu.]
[Marco: Oke, terima kasih. :>]
Jo Minjoon mengembalikan ponselnya. Pekerjaannya hampir matang di dalam oven.
Apa yang dia buat saat ini adalah tarte tatin, kue tart apel ala Perancis. Resepnya sederhana. Seperti semua kue yang dipanggang, tarte tatin bermula dari adonan. Setelah mengayak tepung hingga terbentuk gunung, dia membuat lubang di tengahnya, lalu menuangkan air dingin dan garam. Proses menuangkan air dengan perlahan dan membuat adonan adalah hal yang paling penting. Sebenanrnya, cita rasa dari roti separuhnya bergantung dari proses ini.
Setelah adonan selesai, buatlah bentuk salip, lalu gilas dengan tangan hingga tipis, letakkan mentega di bagian tengah, lalu lipat adonan seperti takchi(딱지). Gilas lagi setelah membentuk persegi, lalu lipat lagi seperti sebelumnya, lalu gilas lagi, dan lipat lagi. Dia harus mengulang proses itu sebanyak lima kali. Ini mirip dengan teknik membuat udon.
Setelah adonan selesai, langkah berikutnya mudah. Oleskan mentega pada permukaan loyang, lalu taburi gula di atas adonan. Letakkan irisan vertikal apel yang telah dibuangi bijinya di atasnya. Jika kau memanaskannya selama 20-30 menit, sari apel, mentega, dan gula terkaramelisasi dan berubah warna menjadi coklat.
Setelah menutupinya dengan adonan yang keras yang telah dia siapkan sebelumnya, dia melubangi adonan penutup agar tidak lembek terkena uap air dari apel. Setelah itu, letakkan dalam oven 180-200 derajat yang telah dipanaskan sebelumnya, lalu selesai. Sebenarnya, ada satu lagi tahapan yang tersisa, yaitu membalik tarte tatin dengan hati-hati. Kemudian roti bagian bawah dan atas akan memperlihatkan irisan apel yang terpanggang bersama dengan tersebarnya aroma mentega dan karamel.
Dan tarte tatin buatan Jo Minjoon cukup baik.
[Tarte tatin]
Kesegaran : 96%
Asal: (Terlalu banyak bahan untuk ditunjukkan)
Kualitas: Tinggi
Skor Masakan: 6/10
Tarte tatin tidak menggunakan metode khusus, hanya bergantung pada metode standar. Itu bukan hasil yang buruk mengingat level memanggang Jo Minjoon hanya 5. Sebenarnya, lebih mudah membuat masakan 6 poin dari pada memanggang kue. Kemungkinan itu karena dia terpengaruh dengan skor masakannya. Orang yang tahu bagaimana memasak dan memanggang berbeda dengan orang yang berpengalaman memanggang kue.
“Apa hasilnya bagus?”
Anderson bertanya sembari menghampiri Jo Minjoon. Di tangannya ada hidangan mille-feuille. Krim putih yang berada di sebelah roti itu tampak lebih enak dari pada tarte tatin. Dan bahkan skornya 7. Jo Minjoon menelan ludah. Anderson mundur karena dia waswas dengan ekspresi Jo Minjoon.
“Kau belum bisa memakannya. Kita setuju untuk memakannya bersama-sama saat siaran dimulai.”
“..Kau bisa saja gagal. Biarkan aku mencicipinya.”
“Maaf, tapi aku sudah mencicipinya.”
Anderson berkata seperti itu dan menaikkan ujung bibirnya. Jo Minjoon menghela nafas. Lalu, Kaya berjalan melewati Jo Minjoon dengan sedikit menyenggolnya. Di tangannya ada cheesecake juga, tapi yang menarik perhatiannya adalah rambut Kaya yang tersisir rapi. Entah berapa banyak sampo dan kondisioner yang dia gunakan. Aroma apel dan jeruk nipis menusuk hidungnya. Rambutnya tampak seperti model iklan TV. Kaya berjalan sedikit di depannya lalu menoleh ke belakang.
Anderson menyeringai lalu bertanya,
“Kenapa dia seperti itu?”
“Dia kan Kaya.”
Anderson mengangguk seolah-olah dia paham. Dia adalah Kaya. Kenapa kata-kata yang singkat itu menjadi jawabannya?
Di dalam dapur, tidak hanya mereka bertiga. Ada juga Chloe, Sasha, Joanne, Ivanna,dan Hugo. Kedelapan peserta berkumpul. Mereka bukan hendak makan malam, mereka sudah makan. Apa yang mereka persiapkan saat ini adalah camilan untuk dimakan saat mereka menonton siaran. Jo Minjoon berkata dengan suara penuh sesal..
“Andai saja Marco masih bertahan. Aku tidak makan souffle seenak buatannya.”
“Kau bilang begitu karena belum mencoba punyaku.”
“…Kenapa kau begitu menjengkelkan?”
“Dunia cenderung mengirimkan kecemburuan dari pada ketulusan pada orang-orang baik.”
“Menurutku itu hanya untuk orang-orang yang separuh baik.”
“Jika aku sekarang separuh baik, 10 tahun lagi aku akan menjadi super baik.”
Jo Minjoon menggelengkan kepala seolah-olah dia lelah terhadap Anderson. Itu normal untuk melihat sisi yang belum kau ketahi dari orang yang mulai akrab denganmu, jadi kau akan melihatnya dengan cara yang lain. Tapi setidaknya, Anderson konsisten dalam satu hal.
“…Brengsek tak tahu malu.”
“Kau tidak jauh lebih baik.”
Anderson berkata dengan suara tenang. Jo Minjoon melihat Anderson sambil mendekat,
“Aku tidak tahu malu?”
“Setelah kau mengatakannya dengan santai, sekarang kau bingung saat mendengarnya. Lihatlah, kau orang yang tidak tahu malu atau bukan?”
“…Bukan”
“Meski kau berbicara bahasa Inggris dengan baik, tapi kau tetaplah orang asing. Dalam kasus ini, kau justru banyak bicara.”
Jo Minjoon mendengus dan berjalan menaiki tangga. Saat dia menuju lobi di lantai 4, dia melihat Kaya yang duduk di sofa paling dekat dengan TV. Lebih tepatnya, dia merebahkan diri di sudut antara lengan dan sandaran sofa.
“Kau akan menjadi sapi jika seperti itu.”
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Ini suatu gurauaan di negaraku. Jika kau makan sesuatu sambil bersandar seperti itu, kau akan menjadi seperti sapi.”
“Bukannya babi?”
“Mungkin karena kau jadi tidak bisa mencerna dengan baik. Aku tidak tahu.” (TL:Sapi di Korea 소, dan perut sapi adalah 소화.)
“Hmph. Meskipun kau kuliah, itu sia-sia. Kau bahkan tidak belajar sesuatu seperti itu.”
Jo Minjoon hanya sedikit tersenyum pada kata-kata Kaya lalu duduk di tempatnya. Kaya mengulurkan tangan sambil tetap bersandar.
“Aku minta kuemu. Aku ingin mencobanya.”
“Makanlah saat siaran dimulai.”
“Ya ampun. Jangan pelitlah. Bahkan kurang dari 10 menit, siaran akan dimulai.”
Jo Minjoon hanya menjilat bibirnya lalu menyajikan tarte tatinnya di piring. Kaya memakannya sesuap lalu mengangguk-angguk dan berekspresi seolah-olah rasa kue Jo Minjoon cukup enak.
“Ini oke.”
“Apa terlalu manis?”
“Kue ini memang rasanya manis. Yaa, mungkin terlalu manis buatmu. Tapi meski begitu, pelanggan akan menginginkan yang seperti ini.”
Anderson mengangguk setuju dengan kata-kata Kaya.
“Semakin menstimulasi, semakin kurang sehat bagi pelanggan. Tapi apa yang pelanggan inginkan bukanlah makanan yang sehat. Jika mereka ingin sehat, mereka akan pergi ke rumah sakit bukannya restoran. Tentunya ada juga restoran yang menyajikan makanan yang sehat…tapi sejujurnya, penjualannya tidak bagus. Kesehatan dan stimulasi tidak bertentangan, tapi meski begitu, ada jarak yang cukup jauh di antara keduanya.”
Saat Anderson selesai mengatakan kalimatnya, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. 5 peserta yang lain berdatangan ke lobi dengan membawa puding, kue, atau roti yang mereka buat. Chloe melihat TV lalu bertanya,
“Apa belum mulai?”
“Sudah ada pemberitahuan akan segera dimulai. Siaran akan mulai setelah iklan.”
“Bagus. Tepat pada waktunya.”
Chloe tertawa senang dan duduk di tempatnya. Saat mereka semua makan hidangan mereka, iklan TV berlalu. Logo Grand Chef memenuhi layar dan siaran dimuali. Seperti misi truk makanan yang berlangsung selama seminggu, siaran minggu lalu dan hari ini masih menayangkan misi yang sama.
Konten siarannya telah mereka ketahui. Sejujurnya, lebih menarik menonton bagaimana nasib yang lain alih-alih menonton kisah mereka sendiri. Sebagai contoh, saat Jo Minjoon dan Peter yang sedang berbincang serius, sebenarnya, Jo Minjoon sungguh malu, tapi yang lain justru penasaran. Joanne bertanya selah-olah terkejut,
“Kalian berdua membicarakan hal seperti itu? Kenapa aku tidak tahu? Aku tepat di sebelah kalian.”
“Karena kami berbicara sangat pelan.”
Tapi tidak semua adegan, menarik untuk dilihat. Kisah tentang orang brengsek yang menghina Kaya dan berakhir adu mulut dengan Chlo bukanlah hal yang menarik untuk ditonton.
“Orang brengsek bodoh. Apa dia hidup seperti itu?”
Jo Minjoon berkata dengan suara penuh penghinaan. Sungguh aneh melihat Jo Minjoon mengutuk seperti itu, tapi tidak ada yang mengungkapkannya. Karena mereka semua merasakan yang sama. Sama halnya saat ada orang brengsek yang mendatangi tim Jo Minjoon. Kaya berkata dengan suara sinis,
“Wanita murahan menyedihkan. Lihat betapa buruknya dia makan lalu seenaknya minta uang kembali. Jika kau melakukan hal itu di kotaku, kau sungguh akan menghilang saat kau berjalan di malam hari.”
“…Menurutku, aku tidak akan tinggal di kotamu.”
“Aku tidak bertanya padamu.”
Kaya berkata dengan suara tajam, Chloe membelai rambut Kaya. Dia, yang menyukai rambut acak-acakan kaya, sepertinya tampak kecewa dengan tampilan rambut Kaya yang rapi. Kaya membuka matanya lebar-lebar seperti anak kucing lalu bertanya,
“Apa kau akan terus membelaiku seperti anakmu?”
“Tapi kau memang lebih muda dariku.”
Chloe tertawa dan menjawab. Kaya menggerutu tapi tidak menepis tangan Chloe. Itu seperti anjing dan kucing. Pada saat itu, Rachel Rose tertangkap kamera dan Martin tidak melewatkan sedetik pun rekaman dirinya. Apa boleh buat, dia adalah bintang utama episode ini. Dia adalah orang yang bisa menjamin rating episode ini.
“Rachel Rose…Kau sungguh bertemu dengannya.”
Sasha bergumam dengan ekspresi datar. Meski saat dia mendengar bahwa mereka telah bertemu dengannya, dia tidak berpikir itu bohong, tapi sekarang saat dia melihat layar TV, perasaannya berbeda. Itu adalah adegan yang membuat Jo Minjoon pasti mendapat perhatian, baik dari penonton, maupun dari kalangan chef.
Sebenarnya, mereka bahkan tidak iri karena memang itu di luar standar. Akan tetapi, bagi Jo Minjoon, memiliki indera pengecap yang mutlak, adalah kecurangan, layaknya merk dagang, yang keberadaannya menjadi dihargai. Mereka hanya penasaran apakah Jo Minjoon tahu hal itu.
Berikutnya, adegan menarik seperti biasa, yaitu pengumuman hasil misi, lalu mereka menyebutkan orang-orang yang harus menjalani misi eliminasi. Melihat lagi adegan saat Jacob tereliminasi sungguh tidak menyenangkan, tapi semua orang tetap menonton meski dengan mulut terkatup karena itu kejadian yang bisa menimpa mereka kapan pun.
Setelah itu, adegan saat tim Jo Minjoon makan di Rose Island. Sejujurnya, Jo Minjoon ingin keluar dari tempat itu karena dia tahu adegan apa yang akan disiarkan dengan cukup baik. Mereka berpikir bahwa hanya hidangan mewah yang terekam kamera, tapi setelah beberapa menit, adegan saat Jo Minjoon menangis muncul. Meskipun bagi penonton, itu akan menjadi adegan yang menunjukkan kejeniusannya dalam mengecap, tapi bagi Jo Minjoon tidak seperti itu. Beruntungnya, orang-orang yang bersamanya tidak mengolok-olok Jo Minjoon, tapi justru terlihat antusias dengan makanan tersebut…
“Kau anak cengeng. Si cengeng.”
Kaya senyum mengejek, lalu berkata, Jo Minjoon merona, lalu berkata,
“Tidak, itu tak terhindarkan. Jika kau makan hidangan itu juga, kau akan mengerti.”
“…Akankah hari itu akan tiba padaku? restoran bintang 3.”
“Kenapa tidak? pasti akan datang.”
“Aku berharap demikian.”
“Kau hanya akan makan hidangannya? Kau harus menjadi chef kepala direstoran bintang 3. Apa terlalu sulit?”
Anderson menjawab.
“Iyalah, brengsek.”
< Musim semi dan musim semi (1) > Selesai