Dewa Memasak – Bagian 78: Musim semi dan musim semi (2)
Jason Bean : Rose Island…… Aku juga ingin pergi ke sana. Berapa harganya?
ㄴ Sophia Chen : Berbeda-beda tergantung cabangnya, tapi cabang yang di Chicago, cukup $300 per orang. Kalau kau ingin pergi ke restoran bintang 3 selain Rose Island, ada banyak tempat dengan harga separuhnya.
ㄴ Jason Bean : @Sophia Chen Dibandingkan namanya, itu tidak mahal. Aku pikir setidaknya seharga ribuan Dollar.
ㄴ Sophia Chen : @Jason Bean Menurutku, sulit mencari restoran yang menjual makanan yang luar biasa mahal seharga ribuan dollar.
Tomos Surrey : Kisah romansa ternyata ada di truk makanan dan adegan Peter yang mengobrol dengan Jo Minjoon juga keren. Mereka seperti tentara yang saling memberi semangat sebelum berperang? Yaa, meskipun demikian, itu tidak akan menghapus fakta bahwa Peter sudah menghina masa lalu Kaya.
ㄴ Dante Miles : Sejujurnya, aku paham maksudmu, tapi aku tidak bisa bersimpati padamu. Bagaimanapun, Peter membuatku sedih.
Sienna A. : Secara pribadi, menurutku Anderson menunjukkan bahwa dia sungguh berpengalaman dengan truk makanan, itu bagus dilihat. Selain itu, aku terharu melihat Chloe maju untuk melindungi Kaya.
ㄴ Luke Joe : Bagian itu juga bagus, pastinya. Kemarahanku saat melihat si brengsek itu sirna setelah melihat reaksi Chloe. Sepertinya dia benar-benar baik hati. Aku ingin jadi temannya.
Kaya Lotus : Aku Kaya.
ㄴ Glori Castillo : Kalau begitu, aku Jo Minjoon.
ㄴ Kaya Lotus : @Glori Castillo Jadi kau duduk di sebelahku saat ini?
ㄴ Gina Carr : @Glori Castillo Jangan menanggapi pria-pria seperti ini. Mereka bertingkah seperti ini karena mereka tidak mendapat cukup perhatian dan mereka tidak hanya satu atau dua orang.
ㄴ Kaya Lotus : @Gina Carr Aku tetap Kaya.
Roy Sherfan : Aku akan menikahi Kaya.
ㄴ Wretic : Menurutku, Jo sudah melamarnya.
ㄴ Roy Sherfan : @Wretic Aku akan merebutnya.
Pat Fiasco : Omong-omong, aku tidak menyangka bahwa aku akan melihat Rachel lagi di TV. Aku pikir Rachel hanya akan menjadi kenangan masa kecilku, tapi melihat Rachel lagi itu menyenangkan. Menurutku, ratingnya juga akan sangat meningkat.
ㄴK.R.R : Menurutku, akan melampaui 1/3. Aku semakin terkejut dengan fakta bahwa dia tertarik dengan Jo Minjoon alih-alih penampilannya kembali di TV. Aku dengar semua chef yang mendapat perhatian Rachel setidaknya menerima satu bintang Michelin. Masa depan Jo Minjoon akan cerah.
ㄴ Pat Fiasco : @K.R.R Akan bagus jika Minjoon dan Kaya membuka restoran bersama-sama, kemudian mereka menikah.
Tess Gilly : Aku punya sesuatu untuk dikatakan. Saat aku SMP…
“Hampir semua tentang Minjoon dan Kaya.”
Chloe membaca semua komentar lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Meskipun dia berusaha tidak terganggu dengan komentar-komentar itu, tapi dia tetap merasa agak sedih, itu tak terhindarkan. ‘Aku juga melakukan yang terbaik.’ Dia bergumam seperti itu dalam hati, tidak ada satu pun orang yang akan mendengarnya.
Bukan karena Chloe tidak populer, Chloe pun peserta yang punya kepribadian dan kemampua yang baik. Namun, popularitas Kaya dan Jo Minjoon begitu tinggi, apalagi Anderson lebih populer dari pada Chloe. Tentu tidak ada gunanya membuat peringkat seperti itu, tapi hasilnya entah kenapa membuatnya frustasi.
Ini bahkan bukan musim gugur, melainkan musim semi, lalu kenapa mereka merasa begitu sedih? Chloe menekan pipinya dengan kedua tangannya, hingga bibirnya mencuat maju seperti ikan. Joanne dan Ivanna yang sedang melihat Chloe dari sebelahnya, saling berpandangan sejenak, lalu mereka mendekati Chloe. Joanne bertanya,
“Kenapa kau sepertinya tidak bersemangat?”
“…Bukan apa-apa. Aku hanya lelah.” Jawab Chloe dengan tawa.
Tawanya lemah. Ivanna mengeluakan coklat yang dibungkus plastik dari saku bajunya, lalu memberikannya pada Chloe.
“Makanlah. Aku memberimu semangat.”
“…Terima kasih.”
Setelah dia membuka bungkus plastik dan menggigit coklat batang itu, kue renyah yang tersembunyi di dalam coklat hancur dengan lembut dan juga ada krim di dalamnya. Chloe berkata dengan terkesima.
“Apa kau yang membuat ini?”
“Bukan aku, tapi Sasha yang membuat itu untukku.”
“Aku akan meminta dia untuk membuatkan juga untukku.”
Sasha mengkombinasikan coklat dan krim dengan baik. Chloe tersenyum manis.
“Menurutku akhir-akhir ini, makanan buatan Sasha semakin lezat.”
“Kau juga? Aku juga berpikir begitu.”
Joanne berkata seperti itu karena terkejut. Setelah Chloe memakan semua coklat dengan wajah yang bahagia, dia juga menjilat coklat yang ada di tangannya. Pada saat yang sama, Mereka melihat Kaya dan Jo Minjoon muncul dari tangga dan memasuki dapur. Tidak seperti Chloe yang melihat mereka tanpa berkata apa-apa, Joanne justru membuka obrolan,
“Sepertinya Kaya akan membuatkan Jo Minjoon sarapan lagi. Apa mereka akan berkencan jika terus melakukan itu? Sekarang, aku semakin bingung…Aduuuh, ada apa?”
Joanne berhenti berbicara dan melihat Ivanna dengan kesal. Jari Ivanna yang tadinya mencubit pinggang Joanne sekarang tertempel di mulut, dan dia berkata ‘ssst’. Kemudian, Ivanna melirik Chloe sepintas. Joanne melihat jari Ivanna lalu melihat punggung Chloe yang sedang melihat ke dapur dengan wajah aneh.
“…Benarkah?”
“Benar. Chloe suka Minjoon.”
“Apa?!”
Chloe yang memasang wajah datar, kemudian terkejut dan seketika menoleh pada Joanne. Joanne menutupi wajahnya karena malu,bahkan pinggangnya sudah dicubit agar berbicara dengan hati-hati tapi malah dengan tenangnya berkata seperti itu. Chloe melambaikan tangannya untuk membantah perkataan Joanne dengan pipinya yang memerah.
“Sekarang kau juga berencana membuatku terlibat di antara mereka? Tidak. Aku tidak menyukainya.”
“Oke, baiklah.”
Ivanna membalas dengan suaranya yang lamban seperti orang mengantuk seperti biasanya seolah-olah tidak tahu apa-apa. Chloe berdiri dari tempatnya dengan gerakan yang berlebihan.
“Ayo minta Sasha membuat ini lebih banyak. Ini lezat. Kau tidak ikut? Kita juga harus sarapan.”
“… … …”
Chloe tidak membalas. Dia melihat mata Joanne yang hanya penuh dengan kecurigaan.
Mata Chloe berkaca-kaca.
–
Restoran Rose Island di Chicago diserbu dengan telepon reservasi yang lebih banyak dari biasanya, setelah adegan Jo Minjoon yang berkunjung ke sana. Tentunya, di restoran bintang 3, tidak mungkin mendapatkan tempat tanpa memesannya dulu, tapi bukan itu masalahnya saat ini. Ada begitu banyak orang yang melakukan panggilan, bahkan meski mencoba seribu kali, hanya satu yang akan tersambung.
Bagi Dave, itu adalah situasi yang dia tidak tahu harus senang atau tidak. Itu bagus karena ada banyak pelanggan, tapi dampaknya terasa oleh pelanggan tetap, yaitu mereka kesulitan menelpon untuk membuat reservasi.
Apalagi ada banyak orang yang membuat reservasi tapi membatalkannya pada saat hari-H tiba. Bukan, mungkin itu lebih baik. Jika mereka tidak menelpon untuk membatalkan reservasi mereka atau batal datang tanpa pemberitahuan sebelumnya, restoran akan menanggung kerugian biaya bahan. Restoran yang bangkrut karena reservasi yang dibatalkan tidak hanya 1 atau dua, jadi tidak aneh jika Dave merasa sangat cemas.
Namun tidak lama kemudian, wajah Dave berubah ceria. Setelah dia mendengar bisikan dari chef paling junior, dia bergegas keluar dari dapur menuju ruang makan. Dia tersenyum ceria setelah melihat orang-orang yang duduk di ruang makan.
“Ya Tuhan. Joseph, Alan, dan Emily! Bagaimana bisa kalian datang bersama!”
Mereka bertiga berdiri dan bergantian menjabat tangan Dave. Dave tidak bersalaman dengan Alan, tapi justru memeluknya. Alan dan Dave pernah bekerja bersama di satu dapur. Kemudian Alan berkata dengan suara tenang,
“Ini pertama kalinya setelah restoran ini mendapat bintang 3, bukan?”
“Sepertinya begitu. Apa kabarmu baik?”
“Yaa, aku sama seperti biasa. Tapi menurutku, jika aku mendapat satu bintang lagi, itu akan lebih baik.”
Dave tersenyum dan menerima pesanan mereka. Tapi itu bahkan tidak perlu disebut sebagai pesanan. Di antara menu hewani atau sayuran, sudah pasti yang pertama. Mereka semua pasti memilih menu hewani.
Dave kembali ke dapur dan ketiga juri diam sejenak. Mereka membicarakan hal yang kurang penting beberapa saat, lalu Joseph segera beralih membahas topik utama.
“Level peserta kali ini agak tinggi.”
Suaranya terdengar bahagia tapi juga menyesakkan, meski sebenarnya wajah Joseph menyiratkan kebingungan. Wajahnya seolah-olah tampak seperti siswa yang tidak tahu bagaimana mengatasi masalah itu. Begitu juga dengan Alan dan Emily. Emily menghela nafas dan berkata,
“Saat diwawancara, Minjoon berkata bahwa dalam misi prasmanan terakhir kali, ada 6 hidangan dengan skor 8 poin. Meskipun lucu untuk 100 persen mempercayai standarnya, tapi sejujurnya, aku paham dengan skor itu. 6 Hidangan yang Jo Minjoon sebutkan memang tidak lebih buruk dari hidangan buatan chef spesialis, itu jelas. Jika mereka mendekorasinya sedikit dan menyajikannya di restoran, hidangan itu akan mendapat komentar bagus. Oleh karena itu, rasanya semakin sulit untuk memikirkan misi apa lagi yang harus kita buat…”
Sebenarnya, para juri hanya perlu menjalankan misi yang telah mereka rencanakan. Akan tetapi, mereka tidak bisa melakukannya sekarang karena misi itu tidak membuat para peserta sesi kali ini merasakan sensasi tidak aman.
Sebenarnya, setelah misi terakhir selesai, Martin menangis keras. Seharusnya dia melihat satu atau dua orang melakukan kesalahan atau mundur, tapi itu jarang terjadi. Mengeliminasi peserta yang jelas melakukan kesalahan, itu berbeda dengan mengeliminasi orang yang melakukan dengan baik di antara sekian orang yang melakukannya dengan lebih baik lagi.
Tentu yang lebih handal yang bisa bertahan, levelnya pun pasti akan naik, tapi jika mereka ingin membuat para penonton juga merasa gugup, adegan peserta menjalani misi yang sangat sulit perlu dimunculkan…Setidaknya mereka perlu mengolahnya agar penonton ikut gugup sesekali. Itulah tema siaran berikutnya. Emily memberikan pendapat,
“Bagaimana dengan membuat makanan Asia? Menurutku, tidak semua peserta terbiasa membuatnya. Kita bisa mendapat adegan para peserta yang berusaha menyelesaikan misi dengan terburu-buru.”
“Itu bukan ide yang buruk. Namun, para penonton akan menyangka kita memberi Chloe, bukan, melainkan Minjoon, misi yang menguntungkannya. Mengingat betapa besarnya dampak kepopuleran Minjoon… Meski terjadi sekali, atau dua kali, mereka akan menyangka PD sengaja membuatnya.”
Alan berhenti berbicara, dia menelan ludah dan melihat pramusaji yang membawa makanan. Amuse-bouchee yang diletakkan di atas papan kayu yang di bakar. Dia memasukkan gougère ke dalam mulutnya dan merasakan cita rasa keju menyebar di dalam mulutnya. Rasa lezat dan manis hidangan itu meredakan kegugupannya. Kemudian Alan berkata dengan suara yang jelas terdengar lebih rileks dari sebelumnya.
“Omong-omong, mari kita simpan dulu ide memasak masakan Asia itu. Kita perlu hal yang lebih pasti.”
Mereka tidak melanjutkan pembicaraan hingga mereka selesai makan hidangan utama. Sejujurnya, mereka berkonsentrasi pada hidangan yang ada di depan mereka, sehingga mereka tidak bisa berbicara banyak. Saat hidangan penutup disajikan, Emily terkesima dengan hidangan dadih sudachi dan jeli apel hijau.
“Minjoon memang memproduksi ulang hidangan ini dengan resep yang sama persis. Rasanya tidak berbeda, sungguh terasa seperti di buat oleh chef yang sama di restoran yang sama. Saat itu, aku mengandalkan ingatanku, aku pikir hidangan ini identik karena mirip sekali…”
“…Aku tidak bisa merasakan perbedaan dengan jelas meski kecil. Indera pengecapnya yang mutlak sungguh di luar akal sehat.”
Alan berkata dengan suara tertahan. Emily yang menatapnya dengan tersenyum penuh arti, menanggapi perkataan Alan dengan suara yang lembut. Suaranya keluar di antara bibirnya yang berwarna merah dan lidah merahnya yang menyembul keluar.
“Jika dia memang seperti itu, dia sungguh akan menjadi epicurean yang tidak ada duanya dalam sejarah. Bagaimana dia akan menjalani dunia memasak? Kemampuannya untuk membuat ulang resep sudah pasti, tapi dia tidak menunjukkan keahlian memasaknya sendiri, bukan?”
“Hanya karena dia tidak menunjukkannya, dia tidak perlu takut dan menyerah dulu. Jo Minjoon akan senang memiliki indera pengecap yang bisa diandalkan dalam memasak, itu tidak akan merugikannya. Aku pun melihat Jo Minjoon sama tinggi seperti chef sungguhan. Dia punya bakat. Dia bisa bertahan sampai saat ini tidak mungkin hanya karena keberuntungan.”
Tatapan Alan dan Emily semakin tajam. Saat suasana di antara mereka semakin panas, Joseph berkata dengan suara lembut.
“Namun Minjoon berharap dia menjadi chef. Menurutku, perdebatan selesai dengan itu.”
“…Kau tidak tahu. Barangkali, dia berubah pikiran nanti.”
Emily berkata dengan ekspresi tertekan. Joseph membuka suara,
“Emily, sama halnya dirimu yang tidak bisa keluar dari dunia mengecap makanan, dia juga tidak bisa keluar dari dunia memasak. Ada takdir yang sudah digariskan untuk masing-masing orang. Jika kau keluar dari takdirmu, kau tidak akan tahan dan kau akan menderita. Dan takdir minjoon sepertinya di situ…”
Joseph mengangkat telunjuknya. Ada luka bakar terkena minyak panas dan api, serta beberapa luka teriris pisau di tangan Joseph. Jari telunjuk Joseph yang buruk rupa itu menunjuk ke arah dapur.
“Di tempat itu, meski kau begitu menginginkan Jo Minjoon, kau tidak bisa menggeretnya keluar. Tidak ada seorang pun yang bisa melakukannya, dan tidak seharusnya melakukan itu.”
Emily tidak membantah lagi. Dia juga tahu bahwa menginginkan Jo Minjoon hanyalah ambisinya semata. Hela nafas terdengar keluar dari bibirnya. Pada saat itu, Alan membuka suara,
“…Aku terpikir sesuatu tentang misi berikutnya.”
Tatapan Josephs dan Emily berpindah menatap Alan. Ujung bibir Alan naik.
“Apa alasan kita beradu pendapat seperti ini? Ini karena ada jenis pria yang belum pernah kita temui sebelumnya. Alasan kita berkumpul pun sama, yaitu peserta yang jelas lebih unggul di banding sesi sebelumnya. Nah, bahan-bahan yang sulit ditangani yang membuat kita membenci bahan itu, harus kita pertemukan dengan mereka.”
Alan tertawa seolah-olah dia begtu menikmati suasana itu hingga dia tidak tahan lagi. Emily bertanya karena dia sangat penasaran.
“Apa itu? Apa yang kau pikirkan?”
“Bahan ini.”
Alan lanjut berbicara.
“Ayo kita beri mereka bahan-bahan yang belum pernah mereka tangani sebelumnya.”
< Musim semi dan musim semi (2) > Selesai